Forestesia | Pribumi dan Penj...

By Adel_Aidan

3.1K 577 144

🍁Teen-Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia ro... More

🍁I : Tugas Prakerin (a)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (b)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (c)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (a)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (b)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (c)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (a)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (a)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (b)🍁
🍁V : Apa Itu Bahaya?🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (a)🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (b)🍁
🍁VII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (a)🍁
🍁 VIII : Ke Bumi Lagi (b)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (c)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (d)🍁

🍁IV : Aduh, Sial (c)🍁

95 23 2
By Adel_Aidan

•Anna•

Nasi goreng kami sukses dengan bawang goreng yang terlalu gosong dan rasanya yang sedikit lebih asin dari yang diperkirakan. Kami menyantapnya sembari duduk di lantai beralaskan kain tirai, di tengah-tengah kericuhan perabot rumah yang belum kembali ke tempatnya.

"Enak, kok," kata Radit. Dia terus mengunyah-minum-mengunyah-minum.

Ayah mengangguk-anggukkan kepala dengan mata membelalak pada Ibu dan aku. "Kalian kenapa tidak membuka kedai makan saja?"

Ibu menghempas napas sembari tersenyum. "Sudahlah, kami tau kalian merasa keasinan. Tidak usah merasa terbebani untuk menghabiskan nasinya."

"Ini ada acar," kataku, menggeser potongan timun, wortel dan jagung muda pada Ayah. "Ini penawar asinnya."

"Itu Anna yang buat sendiri, loh." Ibu mencubit kecil pipiku. "Aduh, kalau tau begini, Ibu gak bakal sok-sokan bisa masak. Jadi minder."

Refleks, aku tertawa kecil. Tawa yang biasa kulakukan ketika digoda Mama dan Papa. Kini tawa itu secara natural muncul di tengah keluarga baruku.

Aku jadi risau karena merasa sesenang ini.

Terlalu senang bisa mengundang hal buruk untuk terjadi tak lama setelahnya.

"Oh iya, Bu. Aku mau ikut misi sama Mbak Amma beberapa hari lagi," ucap Radit tiba-tiba.

Bisa kurasakan bahwa suasana hangat tadi langsung sirna dan menegang. Aku bahkan sampai tidak berani melanjutkan perjalanan suapan nasi goreng di tanganku yang terhenti di udara.

Aku melirik Ayah yang gerakan makannya melambat sembari menunggu respons Ibu. Agaknya saat ini kami memikirkan hal yang sama.

"Kenapa kamu ikut?" tanya Ibu, nada suaranya tidak marah, tapi cukup untuk membuat orang tau kalau beliau sedang serius. "Kamu bukan prajurit Iredale."

Suara Radit memelan. "Iya, sih ...."

Ibu meneruskan menyendok Nasi goreng di piringnya. "Nah, itu kamu mengerti sendiri. Kalau tidak ada alasan kuat keberadaan kamu di sana, kamu tidak perlu pergi."

"Lagi pula, kamu gak kasihan sama Kakak kamu yang nanti bakal sendirian di rumah sepanjang siang?" lontar Ayah.

Radit memberi tatapan meledek padaku. "Mana mungkin kesepian. Kak Anna udah punya Bang Saga."

Aku tersedak mendengarnya memanggil Saga dengan 'Bang'.

"Aaa, begituuu." Ibu menimpali dengan nada yang meledek juga.

Ayah malah ikut-ikutan. "Anna, dekat sebagai teman boleh-boleh aja. Gak perlu malu."

"Iiih, apa, sih," kesalku ke mereka.

Setelah melihat respons Ibu, ada bagian dari diriku yang ingin melakukan tindakan nekat Radit juga. Sayangnya, aku tidak memiliki keberanian sebesar adikku. Bahkan untuk memberitahu apa yang terjadi siang tadi saja aku masih berpikir ribuan kali.

Tetapi, cepat atau lambat aku harus mengatakan ini pada orang tuaku, bukan? Aku bukan Saga atau Radit yang bisa pergi begitu saja, tak memikirkan kekhawatiran orang tua.

Duuuh, tapi bagaimana cara mengatakannya?

Dan bagaimana tanggapan Ayah dan Ibu nantinya?

Dugaanku benar perihal hal buruk. Buktinya, Saga datang segera setelah kami usai makan dan melanjutkan berkemas rumah.

"Loh, Nak Saga?" ujar Ayah yang membukakan pintu. Tanganku yang sedang merapikan pakaian segera terhenti, mendengar percakapan mereka dengan saksama.

"Malem, Om Nouman. Malem, Tante Lya."

Eh, benar. Itu Saga dengan nada suara riangnya. "Ini dari bunda aku, Om," lanjutnya.

Ayah tertawa jenaka, entah sedang menerima apa. "Aduh, jadi merepotkan, nih. Harusnya kami yang kasih bingkisan ke keluarga kamu, Saga. Sebagai permintaan maaf."

"Maaf apa, Om?" balas Saga dengan jenaka pula. "Gak ada salah, masa' minta maaf. Lebaran juga belom. Ngomong-ngomong, aku mau pinjem Anna sebentar boleh, Om? Ngobrol sebentar di depan sini aja. Mau tau kabar dia."

"Boleeeh. Annaaa!"

Aku merotasikan mata dan dengan malas bangkit dari duduk, melangkah gontai ke Ayah dan Saga. Bingkisan yang dimaksud ialah keranjang anyaman sebesar galon air yang dipenuhi buah-buahan dan sayur-sayuran di pelukan lengan Ayah. Wah, ini bukan bingkisan namanya, tapi bantuan pemerintah.

Saga masih berpakaian serba panjang ala masyarakat Nascombe, tapi kali ini dia memakai luaran berupa jaket hijau dari sekolah kami. Aku jadi mulai penasaran ke manakah perginya seragam sekolahku usai pulang dari Madagaskar beberapa hari lalu.

"Apa, sih, malem-malem gini?" kataku.

"Kamu bukannya mau ngomong sama Sady?" tanyanya.

Dahiku mengerut. "Ha?"

"Soal pergi ke Bumi, mencari ingatan-"

"OOOH!" lantangku, membuat Ayah dan Saga tersentak kecil di tempat. Aku segera membalik badan laki-laki itu dan berkata dengan cepat, "iya, iya, aku lupa! Kalau gitu, kita omongin di luar, ya! Ayah, Ibu, aku pergi dulu sebentaaar!"

Aku menariknya ke dekat tangga turun, lalu memukul kesal lengannya. "Ih, jangan ngomong soal itu ke orang tua aku," tekanku dalam bisik.

Dia mengaduh dan tertawa tanpa suara. "Ya udah, mau ngobrol di mana?"

"Di bawah sini aja. Di jembatan." Aku turun lebih dulu sembari mendumal. "Kamu kenapa bisa tau kalau aku mau nanya ke Sady soal Niida?"

Saga tertawa kecil. "Sady mirip-mirip makhluk halus, jadi dia kayak bisa telepati gitu-loh, bener, kok, kamu makhluk halus!" jengkelnya di akhir.

"Sady marah ke kamu?"

"Iya, nih. Dia protes. Dia pikir aku gak iseng setiap dia ngomong tiba-tiba."

Kalian berdua ini memang sesuatu sekali.

"Untungnya, rumah kamu sekarang gak begitu jauh," kata si peri.

"Iya." Untungnya tetanggaku bukan Kak Min lagi.

Kami sampai di jembatan dan berdiri merapat ke birainya, menatap jejeran toko dan lampu-lampu minyak yang tak begitu terang.

Keramaian masyarakat Nascombe digantikan oleh keramaian serangga malam. Aku jadi teringat pada malam pertama menginap di rumah Lofi. Di banding saat itu, kini aku tidak lagi terganggu dengan orkestra malam para serangga.

"Jadi," lontar Saga, dia berbalik badan, bersandar pada pembatas birai. "Mau nanya apa?"

"Serpihan Niida," kataku langsung ke inti topik. "Tadi siang ... aku ketemu Karma."

Raut ramah Saga langsung lenyap, digantikan oleh ekspresi serius mengarah ke benci. "Buat apa kamu ketemu dia lagi?"

Aku jadi ragu untuk lanjut bertanya karena pancaran emosi negatif dari Saga, tapi mulutku punya berpikiran lain. "Aku menanyakannya soal cara menguasai kemampuan ini dengan segera. Terus, dia bilang aku harus pergi ke Bumi, mencari ingatan tentang Niida dari orang lain-aku tidak mengerti bagian ini-dan dia menyebutnya 'Serpihan'."

Aku menatap ke arah lain sembari menautkan alis. Tunggu, apa mungkin maksudnya Karma, aku harus menjelajahi Bumi? Dia bilang aku akan pergi ke tempat yang jauh dari negara asalku, bukan?

"Menurut kamu gimana, Saga?"

Hening.

Aku menoleh, mendapatinya sudah berdiri menghadapku, terlihat ramah dan tenang. Kedua lengannya terangkat, hendak menutupi telingaku selagi dia berucap dengan suara seorang perempuan, "penjelasannya cukup panjang."

Tiba-tiba kegelapan total menelan kami berdua. Sedetik kemudian, cahaya yang tidak begitu silau mengisi sekitar, disusul visi jernih lingkungan di sekitar kami yang sudah berubah.

Aku tidak berada di bawah langit malam, di jembatan Nascombe. Aku berada di dalam ruangan, berdiri di depan dua orang. Seorang wanita dengan surai panjang sesiku, dikepang satu dengan tali bahan warna cokelat melilit di antara kepangannya. Seorang wanita lain dengan surai sama panjang tak diikat sedang menggenggam tangannya. Mereka berdua tampak sebaya, di bawah dua puluh tahun, duduk agak berhadapan.

Aku tidak melihat rincian ruangan seperti model lantai, warna tembok, atau apa yang mereka duduki. Memori kali ini hanya menunjukkan mereka berdua.

"Apakah Karma pernah bilang padamu tentang cangkupan kemampuan Niida?" tanya Sady yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelah kiriku. Rautnya sendu menatap kedua wanita di hadapan.

Aku mengangguk. "Banyak hal yang bisa dilakukan dengan kemampuannya," balasku. "Banyak dan berisiko."

"Makanya, Niida jarang menggunakan kemampuan 'Energi' untuk diri sendiri. Dia menggunakannya ke orang lain-secara diam-diam-. Membantu mereka mengembangkan kemampuan mereka sendiri, membuat kemampuan orang lain lebih hebat, lebih dahsyat dari biasanya."

Lengan wanita bersurai panjang yang tidak dikepang mendadak terbakar, mengingatkanku pada kemampuan ras Api. Hanya saja, api dia berwarna biru keunguan dan nyaris tidak bisa ditangkap mata kalau tidak dilihat dari jarak dekat.

Ah, api itu ... api yang mirip dengan api biru dari Kawah Ijen di Indonesia. Api yang hanya bisa ditemui di dua tempat di Bumi sana.

Api itu mendadak dengan cepat menjalar ke seluruh lengan wanita itu. Kalau dia adalah ras Api, berarti wanita berkepang itu Niida?

Wajah khas wanita Eropa terkesan sendu dan serius itu baru kali ini kulihat.

"Karma dan Niida tidak jujur tentang kemampuan itu. Orang-orang akan menggila memperebutkan kemampuan Niida untuk keegoisan masing-masing." Sady memejamkan mata, alisnya menukik menunjukkan raut pedih. "Itulah yang akhirnya merenggut Niida."

Aku hendak bertanya maksud ucapannya, tapi memori telah berganti. Memori sebelumnya sirna, pergi seperti asap, digantikan oleh pemandangan siang di bawah pohon berdaun lebat. Kami berdua kini mendongak pada pohon itu, menelisik daun, ranting dan cabangnya.

"Ini pohon seribu bunga, kalau kamu lupa." Sady menoleh. "Tempat Niida menjemput ajalnya."

Aku tentu kaget mendengar itu. "Pohon seribu bunga yang ada di depan Kastel Nascombe?"

Wanita bersurai pendek lurus itu mengangguk satu kali. "Tanahnya adalah tanah tempat dia dan manusia berkemampuan lain pertama kali menginjakkan kaki di sini, hendak mempercepat evolusi planet. Mengubah tanah mati menjadi subur dan meluaskan oksigen serta kehidupan. Ada satu orang luar yang paham tentang kemampuan Niida yang sebenarnya dan setelah itu banyak orang ingin Niida melakukan sesuatu untuk menyelamatkan manusia berkemampuan dari usiran manusia biasa."

Aku teringat lagi pada memori terakhir Niida yang menangis sembari memaksakan diri untuk tersenyum pada Karma.

"Niida tidak dipaksa orang untuk berkorban," kataku.

"Aku tau. Namun, Karma tidak melihatnya demikian. Itulah mengapa dia melakukan apa yang sudah dia lakukan."

Sady melangkah maju, lalu tangannya terlulur menyentuh batang pohon. "Serpihan adalah ingatan dari tempat dan lingkungan yang merekam setiap aktivitas manusia di sekitarnya. Setiap tempat pasti memiliki sejarah, bukan?" Dia membalikkan badan, bertutur dengan senyum tipis. "Nah, aku tau kamu pintar, jadi aku akan memberi gambaran besarnya agar kamu lebih paham."

"Gambaran ... soal apa?" bingungku.

"Satu pohon mangga sedang diserang oleh ulat pemakan daun. Apa yang dia lakukan untuk memberitahu pohon mangga lain agar berhati-hati pada ulat tersebut?" tuturnya bak guru sekolah.

Agaknya, aku paham kenapa Saga sulit ditebak. Gara-gara didikan orang ini rupanya.

Namun, aku pernah dengar persoalan yang mirip, jadi aku tau jawabannya. "Lewat akar?" lontarku.

"Ting dong! Benar!" Sady menepuk tangan ringan. "Sudah kuduga, kamu sudah tau tentang itu."

"Lalu, apa hubungannya 'akar' dengan 'serpihan'?"

Sady protes. "Masa' kamu belum mengerti? Nih, aku kasih gambaran lagi. Pohon menyerap nutrisi tanah dari akar. Benar?"

"Iya."

"Nah, anggaplah nutrisi ini sebagai 'memori', jadiii?"

Aku mengerjap cepat dan menjawab dengan ragu dan bingung, "pohon ... menyerap memori?"

Wajah Sady kembali cerah dan dia kesenangan sambil menepuk tangan. "Anak pintar, anak pintaaar!"

Kalau aku anak pintar, aku akan tau maksud dari semua ucapannya, tapi aku sama sekali tidak paham.

"Di mana ada kehidupan yang berjalan, di sana ada pohon, rerumputan, bahkan semak liar. Gurun pasir saja memiliki tumbuhan, bukan? Mereka-lah yang merekam aktivitas di sekitar. 'ruangan' juga berlaku sama. Namun, 'ruangan' mudah sekali pergi dan hancur. Sedangkan tanaman, mereka hancur menjadi nutrisi, bergabung dalam tanah, diserap oleh tanaman yang baru, dan akan berulang terus seperti itu. Itu yang dimaksud 'serpihan'."

"Jadi, erm ... aku harus membaca pohon di lokasi tempat Niida dulu tinggal dan mencari serpihan Niida di sana?"

"Benar!"

Kenapa dia tidak bilang saja begitu dari awal?!

"Kamu perlu Saga dan orang yang Karma utus untuk menelisik kampung halaman kami. Telusuri apa yang kamu cari, jangan terkalihkan ke hal lain."

Aku agak menelengkan kepala. "Kalau kamu tau detail kemampuan Niida, kenapa gak kamu kasih tau aku aja sekarang?" Supaya aku tidak perlu repot-repot pergi ke Bumi.

Alisnya terangkat. "Bukankah akan lebih mudah memahami kalau kamu mengalaminya secara langsung? Tidak semua hal bisa kamu pahami lewat ucapan."

Sady benar ....

"Kamu pasti bisa," sendu wanita itu, senyumnya meluruh. "Karena keadaanmu lebih baik dari Niida. Niida pun ... berharap demikian. Sama seperti Karma, aku tidak ingin apa yang terjadi pada sahabatku, terulang lagi padamu."

Aku mengerjap, mendapati manik hitam Saga yang membelalak. Laki-laki itu segera menjauh sambil bersuara kaget.

"Tadi itu ...." Aku tidak tau bagaimana menjelaskan fenomena barusan.

"M-maaf, ya, Na! Sady memang orangnya begitu. Gak jelas banget!" katanya panik-kenapa dia panik?. "Kamu ngerasa pusing?"

Aku menggeleng singkat, memikirkan apa yang Sady ucapkan. "Gak apa-apa, kok."

Kesimpulannya adalah aku benar-benar harus segera pergi ke Bumi. Tidak ada alternatif lain.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya bisa ke sana.

Yang paling utama, aku harus dapat izin dari Ayah dan Ibu. Perihal transportasi ke Bumi, aku rasa aku bisa membicarakannya pada Kak Amma. Kira-kira kapan kita bisa bertemu lagi, ya ....

Saga berbicara pelan dan aku sadar ketika mendengarnya berkata, " ... siap-siap aja kamu, Sady."

"Hmmm? Ada apa sama dia?" tanyaku.

"Eee ...." Laki-laki itu mengerjap cepat, lalu menjawab dengan senyum terpaksa. "Gak ada."

Aku terdiam sejenak. "Yakin? Terus, kenapa kamu numbuhin bunga tulip di bawah sana?" kataku sambil menunjuk ke bawah dengan pergerakan mata. Di antara rerumputan di bawah jembatan sampai beberapa meter ke depan, menyebarlah tulip berwarna merah, pink, kuning dan putih. Aku sangat yakin bunga-bunga itu tidak ada di sana beberapa detik yang lalu.

Si peri mengikuti arah pandangku, kemudian dia segera mengaduh dan menyesal sudah melihatnya.

"Kalau gak salah kamu juga pernah begini dulu. Di rumah Lofi, sebelum kita berangkat menjemput orang tua kamu," ingatku. "Kamu bilang kalau tumbuhan suka tumbuh sendiri di ruangan ketika kamu tidur. Tapi, ini ...."

"Aku cuma iseng!" lantangnya tiba-tiba, yang membuatku tersentak di tempat. "Aku iseng aja. Biasalah, Na. Kamu tau, kan, aku orangnya gimana."

"Oooke," lambatku. "Ya udah. Makasih, ya, Ga."

Senyumnya merekah seperti biasanya. "Sama-sama, Na. Hati-hati naik tangganya."

Aku melambai santai padanya, lalu aku tertawa kecil di jalan pulang ke rumah. Saga benar-benar random dan aku jadi merasa lebih baik karenanya.

Continue Reading

You'll Also Like

677K 40.6K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
1.1M 106K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
12K 916 17
[Pemenang The Wattys 2018 Kategori The Heroes] [MASUK DALAM DAFTAR PENDEK (SHORTLIST) WATTYS 2018 (15/08/18)] Highest Rank: #1 di Wiaindonesia (15/07...
50.8K 6.5K 36
[15+] Jauh di masa depan, musim dingin panjang telah berakhir dan keadaan bumi sudah hampir kembali ke sedia kala. Namun, penyebab bencana itu masih...