Love Shoot! | Sungsun โœ”

By piscesabluee_

133K 13.1K 1.5K

[COMPLETED] "Fuck a princess, I'm a King." Kenneth Raymond, adalah seorang cucu laki-laki dari pemilik perusa... More

-PROLOG
-Meet The Characters
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Ten
Eleven
Twelve
Thirteen
Fourteen
Fiveteen
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty
Twenty One
Twenty Two
Twenty Three
Twenty Four
Twenty Five
Twenty Seven
Twenty Eight
Twenty Nine
Thirty
INFORMATION

Twenty Six

2.5K 342 46
By piscesabluee_

Vote & comment ya bestiee follow juga yaa biar ga ketinggalan info dri sayaa😗

ˏ⸉ˋ‿̩͙‿̩̩̽‿̩͙‿̩̥̩‿̩̩̽‿̩͙‿̩͙‿̩̩̽‿̩͙‿̩͙‿̩̩̽‿̩͙‿̩̥̩‿̩̩̽‿̩͙'⸊ˎ

One Months Later

Dengan nafas terengah Harry melakukan pull-up pada pusat kebugaran yang tersedia di yacht-nya. Sudah seminggu ini kondisi tubuhnya meningkat, hal itu tidak Harry sia-siakan, ia langsung turun ke gym dan melakukan berbagai macam olahraga untuk membentuk tubuhnya semakin atletis. Kegiatannya di Lionis juga tidak terlalu menyita waktu, meski ia ditunjuk sebagai ketua, Harry tetap menyerahkan kepemimpinan pada Lionel Brother.

Seperti yang diminta Ray, ia sama sekali tidak muncul di hadapan lelaki itu, dan Harry mulai terbiasa. Mungkin Ray hanya sekedar lewat disisinya.

"Apalagi yang kau bentuk? Tubuhmu kan sudah bagus."

Tanpa menoleh pun Harry tahu bahwa itu Nick, laki-laki itu memang sering nongkrong di yachtnya akhir-akhir ini. Harry tidak keberatan sama sekali asal Nick tidak membawa wanita. Matt menjadi super sibuk kesana kemari, mungkin karena itu juga Nick jadi lebih sering menemuinya.

"Kau sudah membaca beritanya?" Nick melempar surat kabar yang mendarat di kaki Harry.

"Steve Smith akan menikah bulan depan."

Harry langsung berhenti melakukan pull-up dan mengambil surat kabar yang tadi lan lempar. Foto Steve terpampang besar-besar di halaman depan bersama seorang lelaki yang wajahnya disembunyikan. Tanpa berpikir pun Harry sudah tahu bahwa lelaki itu adalah Ray.

Surat kabar itu langsung basah akibat tangan Ray yang berkeringat, dan bergetar karena tangan Harry yang juga gemetar. Entah karena marah atau apa Nick tidak tahu, tapi sepertinya Harry masih mencintai lelaki yang bernama Kenneth itu.

"Kau ingin kita membatalkannya Harry?" tanya Nick hati-hati.

Harry tahu jika ia meminta hal itu, pasti akan segera dilaksanakan oleh Nick dan Matt. Tapi Harry tidak mau egois.

"....mengertilah sebelum aku membencimu."

Sepenggal perkataan Ray yang akan selalu Harry ingat.

Harry merobek surat kabar tersebut menjadi serpihan kecil, dan berdiri untuk mengambil minum yang sudah uncle George siapkan untuknya.

"Biarkan." kata Harry kemudian. "Jangan usik mereka. Dan pastikan pernikahan itu berjalan dengan lancar."

Setelah berbicara seperti itu Harry langsung pergi, meninggalkan Nick yang mengumpat. Ternyata sedalam itu perasaan Harry pada Ray.

Jangan usik mereka mungkin adalah kalimat bodoh yang pernah Harry ucapkan. Nyatanya pagi keesokan harinya, ia sudah berada di Las Vegas tepatnya di Vincent hotel yang kini sudah di dekor sangat indah. Karena hari ini adalah hari pernikahan sang pemilik Vincent Marvin Jacob dengan mantan suaminya Bryan Nerithone. Kalau dugaan Harry tidak salah, Ray mungkin berada disini.

Harry diliputi perasaan euphoria yang tidak biasa saat tahu bahwa ia akan melihat Kenneth lagi setelah sekian lama. Sial. Hal ini benar-benar buruk.

Maaf Ray, aku hanya ingin melihatmu sebentar.

Harry masuk dengan undangan ilegal, dari info yang ia dapat Ray berada di kamar khusus yang sudah Vin siapkan. Itu berarti Harry harus puas dengan melihatnya dari jauh. Dan... itu dia. Seorang pangeran yang baru saja keluar dari lift.

Harry terpaku di tempatnya saat Ray berjalan pelan sambil memeriksa ponselnya. Lelaki itu terlihat cantik memakai jaz putih panjang dengan rambut yang ditata dengan rapih. Jika orang tidak tahu seperti apa wajah Bryan Nerithone, mungkin mereka akan mengira bahwa lelaki inilah calon pengantinnya.

Harry menahan diri untuk tidak berlari dan memeluk Ray, ia hampir menangis hanya karena melihat wajah Ray. Harry Eduardo benar-benar sudah gila.

"Mengagumi calon suamiku Eduardo?"

Suara itu menyadarkan Harry, entah sejak kapan Steve sudah berdiri di sebelahnya. Sama seperti Harry, kondisi Steve juga sudah membaik. Dengan kedua tangan dimasukkan pada kantong celana dan menatap Harry dengan tajam, julukan dewa memang cocok disematkan pada Steve Smith.

"Hanya melihat. Kau tidak keberatan kan Smith? Salahmu sih, kenapa punya calon suami yang setampan pangeran kerajaan." balas Harry.

"Terima kasih, akan ku sampaikan pujianmu padanya. Kalau kau tidak ada urusan lagi bisakah kau pulang? Aku takut jika kau lama-lama melihat calon suamiku kau bisa jatuh cinta dan menculiknya dariku."

Harry tertawa, "Kau memang pantas takut Smith. Kalau aku jadi kau, akan ku kurung dia di rumah dan tidak akan kuijinkan keluar sama sekali."

"Sudah kulakukan Eduardo terima kasih atas nasehatnya."

"Steve..." panggilan Ray terhenti saat melihat Harry berdiri di sebelah tunangannya. Lelaki itu mengabaikan Harry dan memeluk lengan Steve.

"Aku tidak terlambat kan?" kata Steve pada Ray, keduanya langsung pergi tanpa berpamitan pada Harry.

"Kau bodoh Harry." Harry memaki dirinya sendiri.

[Poor Harry(T_T)]

Harry bisa melihat betapa serasinya Ray dan Steve meski dari belakang. Cantik dan tampan, dan tidak kenal rasa takut.

"Apa yang dia lakukan disini?" tanya Ray pada Steve saat mereka berjalan beriringan menuju tempat upacara pernikahan dilaksanakan.

"Melihatmu katanya."

Steve melirik keadaan sekitarnya yang ramai dengan para undangan.

"Aku rasa aku terlalu erat menyimpul dasi, kau bisa membenarkannya? Ada waktu lima menit sebelum upacara dilaksanakan bukan?"

Laki-laki berjas hitam itu mendorong Ray ke lorong yang sepi dan sedikit tersembunyi akibat dekorasi.

"Siapa yang memilihkan setelan suit ini untukmu?"

Ray mengerucutkan bibir sambil membenahi dasi kekasihnya.

"Memangnya kenapa?"

Steve tertawa dan mengecup bibir kekasihnya, "Kau cantik. Dan kau memang seperti perawan, hangat dan erat. Setelah upacara selesai kita ke kamar ya. Sudah tiga hari kita belum bercinta."

Ray mendorong kening Steve dengan telunjuknya.

"Bad news untukmu. Hari ini aku banyak kerjaan." kata Ray membuat Steve mengerang.

"Sial. Apakah tidak bisa kau luangkan waktu untukku."

"No. Tidak bisa ya Steve."

Steve mencium bibir Ray lagi, "Blowjob ya atau gunakan mulutmu... uuugghh..."

Ray langsung melayangkan tinjunya pada perut Steve.

"Setelah sembuh kau tambah mesum ya."

Lelaki itu pergi meninggalkan Steve yang masih sibuk mengatasi rasa sakit di perutnya.

Bryan celingak-celinguk mencari keberadaan mama mertuanya, dan menemukan wanita paruh baya tersebut sedang berbicara dengan orang tua Steve disudut ballroom hotel.

Setelah pagi tadi sah menjadi suami kedua Vincent Jacob, Bryan disibukan dengan para tamu undangan yang tak terhitung jumlahnya. Entah berapa ribu orang yang Caroline undang ke pesta pernikahan anaknya itu, yang jelas selama satu jam acara pesta berlangsung. Bryan sudah merasa sangat lelah.

"...terima kasih Vante, berkat campur tanganmu anakku bisa menikah lagi dengan mantan suaminya. Tapi bagaimana kamu mengatur kepindahan Billy Weston kesana?"

Bryan berhenti berjalan saat mendengar perkataan mama mertuanya. Billy Weston? Suami Rani? Berarti Rani pindah ke DC karena campur tangan Caroline? Bagaimana kalau Vin tahu soal ini?

Bryan sendiri masih bingung apakah Vin masih mencintai Rani atau tidak, ia sendiri tidak punya keberanian untuk menanyakan hal tersebut. Bryan takut mendengar jawaban Vin, apalagi mereka sekarang sudah menikah kembali. Apakah mereka mungkin juga akan berpisah dengan masalah yang sama?

"Bryan?"

Bryan tersentak kaget saat mendapati Caroline sudah berdiri di depannya.

"Kenapa kau melamun disini?" tanya wanita itu, Bryan juga bisa melihat orang tua Steve berdiri di belakang Caroline dan menatapnya khawatir.

"Ah... tidak ma, ada teman Vin yang mencari mama tadi. Mereka sekarang ada di casino. Aku mau mengganti setelan jas ku dulu."

"Perlu mama temani diluar?"

"Tidak ma. Ada Ray yang akan menemaniku."

Bryan berpamitan dan mmenghampiri Ray ang tengah berbicara dengan Will dan Axel.

"Temani aku ke kamar." bisiknya pada Bryan dan menyeret calon nyonya Smith tersebut.

"Apa sih Bryan? Pelan-pelan donk."

Bryan berjalan terburu-buru hingga Ray harus setengah berlari dalam mengejarnya.

"Kau tahu? Ternyata mama Caroline yang campur tangan dalam kepindahan Rani ke DC." kata Bryan begitu mereka masuk ke dalam lift.

"Lalu?"

"Lalu?" teriak Bryan.

"Iya lalu kenapa?"

"Bagaimana kalau Vin tahu?"

Ray menatap Bryan dengan penuh selidik, "Kau menikah lagi tanpa tahu perasaan Vin?"

Bryan memijat pelipisnya.

"Bry?" Vale menuntut penjelasan.

"Aku takut Ray. Aku takut mendengar jawabannya. Bagaimana kalau dia masih mencintai Rani."

"Oh God. Bryan."

Bryan menangis dan membenturkan keningnya pada dinding lift disaksikan oleh Ray yang tidak tahu harus berbuat apa.

Mereka sampai di penthouse Vin, dan keduanya langsung keluar dari lift.

"Bisa kau sampaikan pada Vin kalau aku tidak enak badan." Bryan menghampiri kamar tidur Vin dan merebahkan tubuhnya yang masih memakai jas pesta ke atas tempat tidur empuk tersebut.

"Kau melarikan diri?"

"Aku lelah Ray."

"Kau tidak belajar dari kesalahan ya?"

"Tolong jangan ceramahi aku."

"Aku akan menceramahimu karena aku menyayangimu." Ray menarik Bryan agar menghadap ke arahnya. "Sekarang ceritakan padaku bagaimana kau bisa setuju menikah lagi dengannya?"

Dalam hati pun Ray menyalahkan dirinya sendiri karena akhir-akhir ini sering tidak berhubungan dengan Bryan, ia sendiri disibukkan dengan rencana pernikahannya bersama Steve.

"Saat bercinta dia sering mengajakku menikah." jawab Bryan, "Kau tahu sendiri kalau disaat seperti itu tidak ada yang bisa kita lakukan selain menjawab iya. Dan tahu-tahu mama Caroline sudah mengatur ini dan itu."

"Tanpa pernah bertanya pada Vin apakah dia masih mencintai Rani atau tidak?"

Bryan mengangguk, dan membuat Ray mengumpat. Lelaki cantik itu kembali menuju lift dan meninggalkan Bryan terisak sendirian di dalam kamar pengantinnya.

Ray mencari Vin di casino, ia bahkan tak menghiraukan panggilan Steve. Ray menarik Vin dari teman-teman penjudinya dan membawa pria tersebut menuju tempat yang lebih sepi.

"Sorry Ray, kamu memang cantik. Tapi aku tidak suka makan teman sendiri." seru Vin saat Ray menarik ujung dasinya.

Karena tidak mau tercekik, Vin hanya mengikuti Ray dengan pasrah. Steve bahkan mengerang iri saat melihat kedua orang itu lewat di depannya.

Kapan Ray bersikap bar-bar seperti itu padanya?

Akhirnya Steve pun mengikuti mereka.

"Katakan padaku bahwa kau mencintai Bryan?" kata Ray saat mereka sudah mendapatkan privasi.

Steve berhenti dan mendengarkan percakapan keduanya dalam diam. Situasinya ternyata sangat serius, sehingga Ray harus mengatur nafas agar tidak marah.

"Kau ini bicara apa? Kalau aku tidak mencintainya, untuk apa aku menikah dengannya?"

"Dulu kau menikah dengannya tanpa cinta."

"Itukan dulu Ray. Sekarang beda lagi."

"Bagaimana kalau Rani kembali?"

"Apa?" Vin langsung terdiam.

Ray menunggu jawaban Vin dan pria itu malah tertawa.

"Ekspresimu lucu sekali tahu gak Ray." kata Vin di sela-sela tawanya. "Dengar ya mana mungkin aku meninggalkan Bryan saat dia sedang mengandung anakku."

Giliran Ray yang terlihat bodoh, "Hah?"

"Kata mama Bryan sedang hamil, tapi Bryan belum tahu itu."

"Bagaimana mamamu tahu kalau Bryan sedang hamil?"

"Biasa firasat ibu-ibu. Jadi jangan pernah mempertanyakan perasaanku pada Bryan lagi oke. Aku mencintanya sekarang, dan aku sudah melupakan Rani."

Ray membaca raut wajah Vin, "Jika sampai kau melukai dan membuatnya menangis, ku tembak kau."

Vin tersenyum lebar. "Tembak saja. Setelah ini Bryan hanya akan menangis karena bahagia."

"Temui dia di penthouse. Dia sedang menangis."

"Benarkah? Kenapa?"

"Karena kau tidak pernah mengatakan kalau kau mencintainya."

"Shit... kenapa dia berpikiran pendek seperti itu sih." gerutu Vin sambil menuju lift meninggalkan Ray yang termenung dan Steve yang memeluk lelaki itu dari belakang.

"Kau sudah tahu kan kalau aku mencintaimu." kata Steve dengan pelan.

"Hmmm."

"Tapi aku belum tahu kalau kau mencintaiku."

"Kalau begitu kita tidak perlu menikah." Ray melepas pelukan Steve dan mendapat protes dari laki-laki itu.

"Apa susahnya sih bilang cinta."

"Cinta." kata Ray dengan singkat membuat Steve semakin gemas.

"Maksudku aku cinta padamu."

"Aku tahu."

"Maksudku kau yang harus mengatakan padaku kalau kau mencintaiku."

"Kau mencintaiku." Ray menahan tawa melihat wajah frustasi Steve.

"Ray..."

Ray berlari kecil menuju casino dengan Steve yang mengejarnya.

"Kau bisa berjudikan?" tanya Ray menjejeri langkah calon suaminya.

"Kau meremehkanku ya?"

"Ayo kita berjudi. Yang kalah harus berteriak disini dan mengatakan aku cinta kamu."

"Hah?" langkah Ray terhenti. "Tidak mau."

"Kau takut ya?"

"Aku? Takut? Kau mimpi ya Smith."

"Kalau begitu ayo kita bermain."

Ray menatap uluran tangan Steve dengan ragu.

"Kau takut kan?" tantang Steve membuat Ray langsung menyambut tantangannya.

"Ayo kita bermain." ajak Ray.

Steve tidak pernah menyangka bahwa selain menembak dan beladiri, Ray juga bisa berjudi. Bahkan Vero yang menjadi dealer permainan mereka pun tersenyum lebar menikmati ketegangan yang terjadi di antara kedua orang tersebut.

"Raise."

Alis Ray terangkat saat Steve ingin meningkatkan nilai taruhan.

"Lebih baik kau menyerah saja Raymond." kata Steve dengan senyum simpulnya.

"Kata menyerah tidak pernah ada dalam kamus hidupku Smith."

"Selain kesepakatan kita tadi, bagaimana kalau yang kalah juga harus menuruti apapun kemauan yang menang. Dalam artian yang kalah harus menjadi budak yang menang dalam sehari?"

"Kau sombong sekali, merasa sudah pasti menang ya Smith?"

Steve hanya mengangkat bahu.

"Jika tidak ku terima kau akan menyebutku takut kan?"

"Tentu saja." balas Steve.

"Ku turuti mau mu kali ini Smith."

Steve menunjuk Vero yang memperhatikan mereka dengan senyum.

"Kau saksinya miss Hammington."

"Yes sir." balas Vero.

Steve membuka telapak tangannya dan menyuruh Ray untuk membuka kartu, "Submissive first."

"Kau saja Smith. Aku takut kau akan menangis setelah aku membuka kartu ini."

"Kau yakin?" tantang Steve, "Jangan sampai kau yang menangis ya."

"Menangis untukmu sangat haram hukumnya Smith."

"The showdown." kata Vero mencari solusi perdebatan mereka.

The showdown dalam poker berarti pembukaan semua kartu pemain untuk diadu. Sedang Raise tadi diucapkan saat pemain ingin meningkatkan nilai taruhan.

Ray bersiap membuka kartunya, disusul oleh Steve yang masih tersenyum simpul.

"I got you."

Kira-kira siapa ya yang menang??? 👀

Don't forget to vomment, sorry for the any typos and thank you for the reading ❤

Continue Reading

You'll Also Like

63.2K 7.9K 28
[COMPLETED] Ketika Sunoo anak kota pindah ke desa sengklek yang penuh makhluk laknat, humoris dan terkutuk. Tapi anehnya, ia menemukan belahan jiwany...
14.9K 2.1K 17
Bagaikan hidup di dalam utopia, Sunoo selalu mendapatkan apa yang ia inginkan dengan sekali jentikan jari. Keinginannya adalah mutlak dan tak terbant...
19.3K 1.5K 8
Seokmin tidak ingin tahu terhadap apa pun yang sedang terjadi saat ini. Yang ia tahu Kwon Soonyoung adalah miliknya. Sampai kapan pun akan tetap mili...
156K 15.4K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...