Want to See My Cat?

By berbilovie

47.5K 5.2K 1K

Kim Lilith merasa masuk ke dalam lubang neraka ketika manajernya mengungkapkan bahwa dengan terpaksa ia harus... More

Prologue
1. Perfect Destiny
3. Apartement-Mate
4. First Morning with You
5. Limited Mix
6. Cheating on Me
7. First Snow
8. Bastard
9. New Question Mark
10. About Kavinsky
11. Two Choices
12. Bitter Reality

2. Lilith's Home

3.9K 547 105
By berbilovie

selamat malam, lovre. apa kabar?

yap, aku update lagi. aku sedang berusaha supaya ke depannya bisa rutin update. semoga bisa.

untuk chapter ini akan ada challenges vote dan komen ya lov, seperti di NCWP. jadi aku ga akan update sebelum challenges-nya terpenuhi. ini aku jadikan penyemangat ketika aku lagi kehabisan energi buat nulis. dan aku harap kalian ga jadi silent readers ya huhu. :"(

oh iya, jangan lupa follow instagram beeverse_ untuk informasi seputar karyaku ya! novel NCWP bulan ini restock loh!

challenges: 1k views, 350 votes, 115 comments

.


"Bukankah ini takdir yang sempurna, Nona?"

Sesaat Lilith mengerjap, masih berusaha mencerna kejadian yang tak pernah ia sangka ini. Sebuah kebetulan luar biasa yang tak asing dan selalu ada di dalam novel romansa yang kerap kali ia baca. Mungkin kali ini Lilith telah terjun bebas ke dalam dunia fiksi di mana selalu ada kebetulan-kebetulan tak terduga di dalamnya.

Lilith meneguk liurnya seraya menatap sekilas ke arah tirai, lantas mundur selangkah sebelum menarik napas untuk melontarkan sebuah jawaban. "Senang bertemu denganmu lagi, Tuan." Sabit pada bibirnya terukir sempurna, berhasil menggait atensi sang pria lebih dalam.

Pria itu membalas senyuman Lilith. Sebuah senyuman tipis yang tak berlebihan. Namun, entah mengapa sanggup merebakkan pesona yang luar biasa. "Tak perlu seformal itu," katanya dengan suara lembut.

Tapi kau yang lebih dulu berbicara formal, batin Lilith dalam hati. Kendati demikian, Lilith sedikit salah fokus dengan suara pria itu yang mengalun lembut di telinganya. Apakah pria ini berbicara selembut ini pada semua wanita yang baru dikenalnya?

"Apakah kau tidak keberatan jika harus satu atap denganku?" Pria berkaus hitam itu bertanya, menatap binar mata Lilith dengan serius. Ia mencoba mencari jawaban sendiri sebelum Lilith mengutarakannya.

Lilith menggeleng. "Tentu saja tidak, aku memang membutuhkan seseorang untuk tinggal bersamaku di unit ini."

"Bukan begitu, maksudku ... aku seorang pria," jawab sang pria dengan begitu hati-hati. Bersamaan dengan itu, ia masih menelisik roman Lilith guna memastikan jawaban dari wanita itu—apakah bohong atau tidak. Karena ia tak ingin jika sang wanita merasa keberatan dengan kehadirannya di dalam hunian ini. Terlebih mereka akan tinggal bersama cukup lama.

Mendengar perkataan sang pria, Lilith pun mengerjap. Sedikit malu sebab ternyata sebelumnya ia mengartikan pertanyaan pria itu dengan maksud yang berbeda. Lilith tak berpikir sejauh itu. "Ah ..., tidak apa-apa. Kita bisa menjaga batasan," ucapnya sambil memegang leher sekilas. Sebelumnya Lilith tak pernah merasa semalu dan secanggung ini ketika berbicara dengan orang baru. Namun bagaimana bisa pria ini membuatnya merasa demikian? Apakah karena tatapannya yang terasa begitu lekat?

Pria itu hanya membalas perkataan Lilith dengan anggukan tanpa suara. Ia memilih bungkam dan mengedarkan pandangannya pada seisi ruang tengah sambil menilai-nilai apakah ada perabotan yang kurang cocok di matanya dan perlu ia ganti dengan yang baru.

Sejujurnya, terdapat hal yang sedikit mengganjal di pikiran Lilith. Terkait tinggal bersama pria asing, jelas suatu hal yang mungkin bisa menjadi bumerang baginya suatu saat nanti. Pasalnya Lilith akan segera debut menjadi seorang penyanyi solo, ia akan dikenal banyak orang, namanya akan menjadi sorotan di publik, maka sudah pasti ia pun akan menjadi sasaran empuk bagi para jurnalis dan wartawan jika kedapatan tinggal bersama seorang pria di apartemen. Kariernya dipertaruhkan. Dan yang lebih membuatnya pusing lagi adalah fakta bahwa ia telah memiliki seorang kekasih.

Karena melamun sejenak, tanpa Lilith sadari kini pria itu telah berjarak lima meter darinya, berdiri di depan sebuah lukisan abstrak berukuran empat puluh kali empat puluh sentimeter. Pria itu terlihat tengah memperhatikan setiap detail dari lukisan itu.

Dan pada detik yang sama, manik Lilith memandang tubuh sang pria dari bawah hingga atas. Lantas mendadak terheran-heran bagaimana bisa pakaian sesederhana itu bisa membuat seorang pria terlihat sangat tampan. Rasanya memang benar, bukan pakaian yang membuat seseorang terlihat menarik, melainkan value yang dimiliki orang tersebut.

Detik berikutnya, sang pria menoleh, membuat Lilith terkejut dan langsung membuang pandangannya ke arah lain. Astaga, benar-benar memalukan! Lilith tertangkap basah sedang memperhatikan pria itu dengan lekat. Beruntungnya, belum sempat suasana berubah menjadi lebih canggung, pria itu membuka suaranya. "Apakah kau punya aturan khusus?"

"Tidak." Lilith menggeleng. Ucapannya terjeda sejenak. "Tapi bolehkah aku menempati kamar utama?" tanyanya dengan nada yang sedikit menggebu, sebelum akhirnya merasa menyesal karena telah menanyakan hal itu. Pasalnya sang pria tak kunjung memberi jawaban, justru hanya menatapnya dengan tatapan elusif. "Ah ... itu tidak akan terjadi jika kau keberatan," tambah Lilith agar tak merusak suasana. Astaga, ia telah melakukan hal bodoh untuk kedua kalinya.

Alih-alih langsung menjawab, justru sang pria kini tertawa lirih, membuat Lilith merasa kebingungan karena tak tahu di mana letak humor dari perkataannya barusan. Apakah pria itu menertawakan ekspresi canggung Lilith? "Tentu. Tentu kau boleh menempatinya." jawabnya setelah lima detik berlalu.

Lilith mengangguk canggung. "Terima kasih."

"Silakan lakukan apa pun yang bisa membuatmu nyaman selama kita tinggal bersama," lontar sang pria seraya berjalan mendekati Lilith.

Mendengar hal itu, Lilith mengembangkan senyumnya. Ia merasa pria itu menyambutnya dengan baik. Mungkin mereka bisa menjadi teman akrab nantinya. "Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan." Lilith mengulurkan tangannya. "Kim Lilith," ucapnya dengan ramah.

Di dalam ruangan yang akan menjadi tempat mereka berteduh bersama, tangan kedua insan itu mengait bersama suara berat dari sang pria yang mengalun dengan lembut. "Jeon Arche. Kau bisa memanggilku Jeon."

Pada detik yang sama, pria yang bernama Jeon itu memuja vista yang ditangkap oleh kedua pupil matanya. Pemandangan akan wajah cantik yang terpidas oleh cahaya mentari yang masuk melalui bentangan kaca persegi. Kendati bibirnya bungkam seribu bahasa, tetapi hatinya terus-menerus mengutarakan pujian untuk sosok cantik yang dilihatnya.

"Baik, Jeon. Aku harap kita bisa menjadi teman akrab ke depannya."

Sopran yang mengalun penuh energi itu sukses menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. Baginya, Lilith benar-benar menarik, terlebih tatapan tajam wanita itu teramat spesial untuk selalu ia ingat. Bahkan aroma mawar Bulgaria yang merebak dari tubuh wanita itu pun telah melekat di dalam ingatannya. Sejak pertemuan pertama, hingga detik ini.


***


Di balik kemudi sebuah mobil mewah, Lilith menggigit jari telunjuknya dengan sirat gundah. Binar mentari yang menyorot wajah cantiknya menjadi saksi bagaimana bimbang dan gelisahnya ia saat ini. Maniknya tampak menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya tengah melanglang buana menuju sebuah titik yang sejak tadi mengganjal di hatinya.

Masih perihal tinggal bersama pria asing. Maksudnya, Jeon Arche. Ah, Lilith sendiri tak mau peduli dengan nama pria itu. Yang jelas, pria yang akan tinggal satu atap dengannya itu berpotensi menimbulkan masalah baru di hidupnya. Manajernya tentu tidak akan mengizinkannya jika tahu orang yang akan berbagi unit apartemen dengan Lilith adalah seorang pria.

Terlebih sang kekasih, pria yang telah menjalin hubungan dengannya itu akan satu pendapat dengan Hyunki. Atau bahkan akan menentang lebih ganas lagi. Wajar saja, siapa sih yang rela wanitanya tinggal bersama pria lain?

Namun, memilih untuk tidak tinggal bersama Jeon juga bukan pilihan yang bagus. Bagaimanapun juga Lilith tak akan sudi jika harus tinggal di apartemen Yumi. Bahkan mengingat wajah wanita keturunan Jepang itu saja bisa membuatnya emosi sampai ingin menghancurkan batu menggunakan tangannya sendiri.

Tatkala mobilnya melewati sebuah gedung raksasa, Lilith menggeleng cepat, berusaha membuyarkan isi pikirannya yang semakin lama semakin membuatnya pening. Ia bisa memikirkan hal ini nanti setelah ia menyelesaikan semua urusannya hari ini. Sekarang yang harus ia lakukan adalah menancapkan gas agar segera sampai di toko hewan. Kemarin ia telah membuat janji dengan pemilik toko—Seungji, untuk mengadopsi seekor kucing. Oleh karena itu, Lilith segera mengumpulkan fokusnya, lantas menarik gas cergas dan menyalip beberapa kendaraan di depannya.

Sesampainya di toko hewan itu, Lilith langsung menghampiri Seungji dan menanyakan di mana kucing itu berada. Lantas sang pemilik toko pun segera menunjukkannya, dan tak lama dari itu, Lilith pun segera mengadopsi sang kucing. Mengadopsi yang dimaksud adalah adopsi bermahar, bukan adopsi secara cuma-cuma.

Seekor kucing persia berusia tiga bulan dengan bulu putih bersih nan lebat. Wajah kucing itu masih sama jutek dan galaknya seperti yang Lilith lihat kemarin, bahkan ketika Lilith memasukkannya ke dalam mobil bersama perlengkapan-perlengkapannya, kucing itu mendesis dengan mata yang memicik tajam ke arahnya. Galak sekali memang, Lilith takut kucing itu tidak akan suka dengannya. Namun, di sana Seungji menenangkannya dengan berkata, "Dia masih kecil, belum sering berinteraksi dengan manusia. Setelah ini kau bisa memberinya nama dan rajin bermain bersamanya, nanti dia akan menurut dengan sendirinya." Setidaknya itu sedikit membangun rasa percaya diri Lilith untuk dapat mengurus buntalan bulu itu dengan baik.

Kembali menancapkan gas mobilnya, Lilith tak langsung kembali ke kediamannya, bahkan sepertinya ia tak akan kembali sampai besok. Ia berencana untuk menginap di gerha milik sang kekasih—seorang pria mapan kaya raya berusia dua puluh sembilan tahun yang memiliki aset dan properti di mana-mana. Kekayaannya tidak bisa diragukan lagi, bahkan ketika mobil Lilith sampai di halaman gerha sang kekasih, maniknya langsung dapat melihat belasan atau bahkan puluhan pelayan dan penjaga, mereka menyambutnya dengan ramah tamah. Mereka sudah mengenal Lilith sebagai kekasih dari tuan mereka.

Lilith turun dari mobilnya, tersenyum tipis kepada seorang pelayan yang tengah berjalan menghampirinya. "Di mana Tuanmu?" tanya Lilith tatkala pelayan itu menunduk hormat kepadanya.

"Tuan ada di ruang kerjanya, Nona Kim. Beliau sudah menunggu Anda sejak tadi," jawab pelayan tersebut.

Lilith mengangguk. "Baiklah." Selanjutnya, ia menoleh ke arah salah satu penjaga yang berdiri tak jauh dari mobilnya dan melempar kunci mobilnya kepada pengawal itu.

Dengan gesit penjaga laki-laki itu menangkap kunci mobil Lilith. Lalu menunduk sebelum masuk ke dalam kendaraan kekasih majikannya dan membawanya masuk ke dalam garasi mobil. Ia melakukan pekerjaan seperti biasanya.

Lilith tidak perlu memerintah dengan kata-kata, para penjaga dan pelayan di sana sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Tepat setelah itu, Lilith masuk ke dalam hunian mewah nan megah itu melalui pintu utama. Sepatu high-heels yang ia kenakan menciptakan suara yang khas saat menapaki marmer silver, sementara maniknya menatap lurus ke depan tanpa memedulikan seluruh furnitur mewah di sekelilingnya. Baginya semua benda yang ada di kediaman ini sudah tidak asing lagi. Lilith memang kerap kali datang ke gerha ini untuk menginap atau sekadar menghabiskan waktu sejenak bersama kekasihnya.

Bersamaan dengan langkah jenjang Lilith yang masih berlanjut, terdapat dua orang pelayan yang mengekorinya di belakang. Mereka siap melayani Lilith jikalau sewaktu-waktu wanita itu membutuhkan bantuan. Apa yang Lilith minta akan langsung disediakan. Ia dijamu bak ratu di sebuah kerajaan megah.

Agaknya memang hunian ini cocok disebut sebagai sebuah kerajaan megah. Bangunannya didesain dengan konsep kerajaan Inggris, mengusung gaya Victorian yang kental akan nuansa klasik. Seisi gerha mewah ini didominasi oleh warna putih dengan lis silver dan gold. Tinggal di dalamnya akan membuatmu merasa seperti seorang permaisuri.

Sungguh itu tak berlebihan jika kau tahu berapa banyak aset yang dimiliki pemilik gerha ini. Miles Severin, anak pertama dan pewaris utama kekayaan keluarga Severin—sebuah keluarga pembisnis asal Negeri Tirai Bambu yang memiliki sebuah perusahaan di bidang properti dan real estate bernama Severin Group. Ayahnya merupakan keturunan China, sementara sang Ibu berdarah asli Korea Selatan. Miles kini mengambil alih perusahaan keluarganya dan menjadi pembisnis sukses di usia muda.

"Selamat datang, Sayang." Bariton Miles menyambut Lilith dengan sebuah senyuman manis tatkala wanitanya itu tiba di ruang kerjanya. Ia memiliki wajah yang tampan, senyum yang manis, dan aura yang karismatik. Ketika sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas, matanya spontan menyipit, lalu terbentuk garis-garis halus pada pipinya—terlihat seperti kumis kucing yang sangat menggemaskan. "Aku merindukanmu," ujarnya seraya memeluk Lilith.

Di dalam dekapan Miles, Lilith menghirup aroma tubuh kekasihnya seraya memejamkan mata. Rasanya nyaman sekali, seperti ia baru saja kembali ke dalam rumahnya untuk beristirahat. Tempatnya bersandar, tempatnya mengeluh dan menangis. Selelah apa pun dirinya, Miles mampu membuatnya merauk energi kembali. Pria itu berpengaruh besar di hidupnya. "Oleh sebab itu, aku datang kemari," jawab Lilith dengan suara lembut. Ia membelai punggung Miles sebelum mendorong dada pria itu perlahan.

Miles melepaskan dekapannya. "Di mana dia?" tanyanya seraya menilik ke belakang tubuh Lilith. Ia sedikit penasaran dengan kucing yang baru diadopsi Lilith, seberapa menggemaskannya kucing itu sampai membuat Lilith rela kabur pada detik-detik penampilan finalnya kemarin.

"Dia? Kucingku?" Dahi Lilith mengernyit. "Aku sudah memberikan kunci mobilku kepada penjaga."

Mendengar perkataan Lilith, Miles langsung melirik ke arah salah satu pelayan di belakang Lilith. Kemudian berujar dengan nada dingin, "Urus kucing kekasihku dengan baik."

"Baik, Tuan," sahut kedua pelayan itu, lantas pergi meninggalkan majikannya bersama kekasihnya.

Kini tidak ada orang lain di dalam ruang kerja itu selain Miles dan Lilith. Miles merasa leluasa. Oleh sebab itu, ia duduk di sofa dengan kaki yang sedikit dirapatkan. Kemudian, menatap kekasihnya seraya menepuk pahanya dan berkata, "Kemarilah. Rasanya aku seperti tidak melihatmu selama satu bulan lebih. Rindu sekali."

Lilith terkekeh, lantas berjalan menghampiri Miles yang duduk di sofa dekat meja kerjanya. Namun, ia tak duduk di pangkuan kekasihnya itu, melainkan duduk di sebelahnya seraya tersenyum jahil. "Kita hanya tidak bertemu selama lima hari, Miles."

Spontan Miles menekuk bibirnya. Ia tahu jika Lilith sedang mengerjainya. Ingin bermain-main. Ingin membuatnya memohon sampai wanita itu mau duduk di pangkuannya. "Aku ingin bertemu setiap hari." Ia menjeda kalimatnya. "Bagaimana jika—"

Lilith menoleh dengan cepat, menempelkan telunjuk kanannya pada bibir Miles. "Kita sudah membicarakan ini sebelumnya." Tanpa perlu Miles menyelesaikan kalimatnya, ia sudah tahu apa yang ingin disampaikan pria itu.

Mereka memang dua orang yang sama-sama sibuk. Jadwal keduanya sangat padat, bahkan tak jarang bertabrakan sehingga menyulitkan keduanya untuk berinteraksi. Kendati begitu, Miles dan Lilith selalu mampu curi-curi waktu sehingga mereka bisa berjumpa. Sama seperti saat ini, setelan jas yang masih menempel pada tubuh Miles menjadi bukti bahwa ia memiliki banyak kesibukan. Lima belas menit yang lalu ia baru saja kembali ke rumah, membatalkan rapat yang harusnya dilaksanakan sekarang demi berjumpa dengan sang kekasih.

Oleh karena itu, Miles sempat menawarkan Lilith untuk tinggal bersama. Ia ingin memiliki hubungan yang erat dan harmonis. Idenya itu semakin digencar ketika ia mengetahui bahwa Lilith harus mencari sebuah apartemen untuk wanita itu tinggali. Menurutnya, Lilith lebih baik tinggal bersamanya. Sudah pasti aman dan nyaman. Tidak perlu memikirkan biaya dan tagihan. Semuanya sudah terfasilitasi. Sayangnya, Lilith menolak mentah-mentah. Jangan tanya lagi mengapa ia menolaknya. Itu semua terkait prinsipnya yang dijunjung setinggi awan.

"Sayang, aku bisa memberimu apartemen mewah jika kau tidak ingin tinggal bersamaku," tambah Miles. Suaranya mengalun lembut dan penuh kasih sayang. Caranya menatap Lilith sungguh mengartikan seberapa besar rasa cintanya pada wanita itu.

Lilith tersenyum tipis dan menghela napas. Sejenak terdiam sambil menyelami tatapan teduh kekasihnya. "Kau yang paling tahu soal prinsipku, Miles," jawabnya beberapa detik kemudian.

"Baiklah, aku mengalah." Miles mendengus. Jika Lilith sudah berbicara terkait prinsipnya itu, ia tidak bisa banyak berkutik. Wanita itu memang berpegang teguh pada prinsip dan keyakinannya. "Jadi, bagaimana dengan unit apartemenmmu? Apa kau sudah menemukan teman untuk tinggal satu atap?"

Tubuh Lilith refleks menegang. Dalam hati ia mengumpat sebab belum menyusun skenario kebohongan untuk pembahasan ini. "Ah soal itu ..., tentu saja sudah. Kau tidak perlu khawatir," jawabnya dengan sebuah senyuman kaku. Astaga, bagaimana jika Miles tiba-tiba bertanya siapa yang akan tinggal satu atap dengannya nanti? Tidak mungkin jika Lilith harus mengatakan yang sejujurnya. Sudah pasti ditentang.

Namun, bohong pun rasanya berat. Karena akan menjadi beban tersendiri di pikirannya. Pada intinya, jujur salah, bohong pun salah. Ibaratnya Lilith sedang berdiri di dataran tinggi dengan jurang di kanan dan kirinya. Salah langkah sedikit saja bisa membuatnya terjun bebas.

Beruntungnya, Miles hanya menganggukkan kepala tanpa rasa curiga. Sekarang Lilith bisa bernapas lega untuk sesaat. Setelah ini, ia mesti harus memikirkan bagaimana caranya agar Miles tidak datang ke apartemennya disaat Jeon ada di sana. Jangan sampai mereka bertemu.

Sejurus kemudian, Miles meraih tangan Lilith, lantas menuntun Lilith agar duduk dipangkuannya. Wanita itu tak memberikan penolakan, pada akhirnya ia duduk di atas paha itu seraya menatap lekat mata Miles. "Miles ...."

Pria berjas hitam itu menyentuh pipi Lilith, lalu menyelipkan sehelai rambut Lilith ke belakang telinga. Selanjutnya, ia mengikis jarak di antara keduanya, menempatkan bibirnya di dekat telinga sang wanita sebelum berbisik, "Aku rindu, Sayang."

Pada detik itu juga sekujur tubuh Lilith dibuat merinding. Napas hangat Miles menyapa leher dinginnya tanpa aba-aba serta merta bariton serak menggelitik rungunya. "Aku tahu." Di sana Lilith masih berusaha untuk tak hanyut dalam suasana yang kian memanas. "Bagaimana dengan proyek Severin Art Space yang sedang kau jalankan?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Miles menjauhkan wajahnya. Sesaat ia memungut ingatannya mengenai proyek yang sedang ia gencarkan. "Berjalan dengan baik, timku sedang menyusun konsep yang baru. Konsep galeri sebelumnya menurutku terlalu lawas dan sudah banyak yang menggunakannya, aku ingin konsep yang berbeda untuk galeri seniku," jelasnya.

Lilith menyerap perkataan Miles dengan baik. Sejak dulu ia telah mengikuti perkembangan seni di negaranya. Ia bukan seorang seniman hebat memang, tetapi esensinya sebagai seorang penikmat tidak perlu diragukan. Ia sangat menghargai semua karya dan selalu mengapresiasinya, terlepas dari siapa pencipta karya tersebut—entah orang terkenal atau bukan.

"Kau pasti akan menyelesaikan proyek ini dengan baik."

"Kuharap begitu. Aku juga dibantu beberapa orang yang ahli dalam bidang seni." Miles membelai surai kekasihnya.

"Siapa? Pasti kau memilih seseorang yang—"

Miles memotong perkataan Lilith dengan mendaratkan bibirnya pada ranum wanita itu. Sebuah kecupan manis tanpa paksaan. Keduanya sama-sama memejamkan mata dalam waktu tiga detik, sebelum akhirnya Miles menjauhkan bibirnya kembali. "Jangan membicarakan pekerjaan jika sedang bersamaku, Nona Kim," ucapnya dengan lembut, tak ingin momen mereka terganggu oleh pembahasan berat.

Detik itu Lilith merasa ada yang meleleh di hatinya. Seperti momen ketika bongkahan es di Kurub Utara mencair secara perlahan karena efek dari pemanasan global. Kemudian, perasaan nyaman dan tenang yang melebur menjadi satu. Benar-benar definisi rumah untuknya. "Maaf, aku hanya ingin tahu," jawab Lilith dengan lugu.

Miles tersenyum. "Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu." Ia mengecup bibir Lilith lagi. "Let's move to my room, Sweetie."

Lilith mengangguk, menuruti ajakan sang kekasih tanpa penolakan. Bersama Miles, ia berubah menjadi sosok penurut dan lembut. Hanya dengan Miles. Rumahnya.

Miles Severin.

___

aduh arche punya saingan nih. 😆 kira-kira bisa ga ya arche ngambil hati lilith dari miles? 🤔

semangat ya arche, kayanya bakal susah deh. mana saingannya cowok mapan lagi. telat dikit bisa-bisa lilith udah dinikahin. 🤣

Des 17, 2022.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 6.3K 14
Area panas di larang mendekat 🔞🔞 "Mphhh ahhh..." Walaupun hatinya begitu saling membenci tetapi ketika ber cinta mereka tetap saling menikmati. "...
1.3M 105K 34
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
4M 30.2K 34
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
1.6K 413 39
✨Series kedua dari ᴍᴇᴛᴀɴᴏꞮᴀ✨ Duka itu akan selalu ada, terpatri di dalam hati. Dari setiap cerita yang diulang, akan selalu menghantui. Tapi baginya...