RUMOR

By blueesilverr

5.3K 455 78

āš ļø š‡ššš«ššš© šŸšØš„š„šØš° šš®š„š® š¬šžš›šžš„š®š¦ š¦šžš¦š›šššœšš š‡ššš«šššš§ šššš§ š«š®š¦šØš« š­šžš§š­ššš§... More

Prolog
satu ; kita
dua ; tentang rumor
tiga ; bertengkar
empat ; tentang pahlawan dan pengakuan tak terduga
lima ; susah move on
tujuh; bertemu
delapan; disini untukmu
sembilan; kebenaran (1)
sepuluh; akhirnya
sebelas; restu
duabelas; kebenaran (2)
tigabelas; bintang kecil (1)
empatbelas; bintang kecil (2)
limabelas; janji
enambelas; keluarga kecil
tujuh belas; cinta pertama
delapan belas; semua akan baik baik saja
sembilan belas; kemunculan
dua puluh; Radhika bersaudara (1)
dua puluh satu; Radhika bersaudara (2)
dua puluh dua; pengirim pesan (1)
dua puluh tiga; pengirim pesan (2)
dua puluh empat; titik terang (1)
dua puluh lima; berdamai
dua puluh enam; tentang rindu

enam ; malioboro menjadi saksi

157 18 0
By blueesilverr






I'm back






Semoga suka~






Don't be silent readers!



"Mbak, dicariin mami tuh,"

Jojo membuka pintu kamar sang kakak dan mendapati seonggok tubuh berbalut selimut tebal tengah duduk di tengah-tengah ranjang—sembari menghadap laptop. Suhu di kamar itu tidak sedingin biasanya, sebaliknya terasa sangat hangat hingga membuat Jojo kegerahan.

"Ada apa?" Gita menjawab dengan menampilkan wajah pucatnya yang membuat Jojo prihatin melihatnya.

Terhitung sudah 4 hari sang kakak meringkuk lemah diatas kasur. Dokter mengatakan bahwa kakaknya itu sedang kelelahan akibat terlalu memforsir tenaga tanpa ampun. Hampir pula ia dilarikan ke rumah sakit agar menjalani rawat inap saja, namun Mami dan Papi menolak mentah-mentah dan meminta dokter untuk memberikan rawat jalan saja kepada Gita. Tentu saja, dengan diberi pengawasan ketat seperti kapan waktu yang tepat untuk minum obat dan lain-lain.

"Disuruh makan," Jojo menjawab seraya memegang gagang pintu. Menahannya sedikit agar pintu tetap terbuka.

"Nggak mau!" Gita menggeleng membuat Jojo berdecak mendengarnya. Pasalnya ini sudah kesekian kalinya sang kakak menolak untuk pergi makan.

Tanpa berpikir panjang, Jojo melangkahkan kakinya menghampiri sang kakak. Dengan gerakan tiba-tiba ia menggendong tubuh Gita ala karung beras—dan membawanya keluar dari kamar. Tidak peduli seberapa keras dan barbarnya tingkah Gita saat memberontak. Jojo hanya peduli akan satu hal—yaitu kesehatan kakaknya sendiri.

Kedatangan mereka ke ruang makan disambut tatapan terkejut dari Mami dan Papi. Sepasang suami istri itu hanya mampu menggelengkan kepala mereka melihat perilaku sang anak bungsu kepada si sulung. Disamping itu, mereka juga turut merasa lega karena pada akhirnya Jojo berhasil membawa Gita ke ruang makan.

"Lo kenapa sih Jo? Gue bilang nggak mau, ya nggak mau!" Gita menggerutu sembari merapikan piyamanya yang sedikit kusut. Salahkan saja Jojo yang tiba-tiba saja menggendongnya seperti tadi huh!.

"Makan dulu mbak. Mau sampai kapan sih mogok makan terus?" Jojo yang geram menimpali dengan nada suara kesal. Ia tidak habis pikir, kakaknya dan sifat keras kepalanya masih saja belum luntur.

"Gue nggak mogok makan ya, Jo. Gue tuh lagi males makan aja," bela Gita.

Mami menghela napasnya kemudian tersenyum hangat, "Masalahnya mbak kan lagi sakit. Kalau nggak makan banyak nanti lemes,"

"Tapi Mi, Gita lagi nggak napsu makan,"

Papi menjulurkan telapak tangan kirinya hingga menyentuh pucuk kepala putri sulungnya. Diusapnya lembut surai brunette milik Gita dengan lembut.

"Anakku, makan dulu ya nak? Mau papi suapin hm?" suara lembut papi membuat Gita perlahan luluh. Ia memang akan berubah menjadi penurut jika itu dengan papinya.

Namun rasa gengsinya tentu jauh lebih mendominasi dibandingkan dengan isi hatinya yang sesungguhnya. Gita menggeleng seraya menepis lembut telapak tangan papi agar menyingkir dari pucuk kepalanya.

"Nggak ah, mbak kan udah gede papi, masa disuapin sih?"

Jojo yang mendengarnya tertawa terpingkal-pingkal.

"Lo kenapa ketawa?" tanya Gita sewot.

"Nggak, gue keinget aja sama seseorang yang waktu tangannya patah malah bertingkah manja sama papi. Yang minta disuapin sampai digendong segala,"

Raut wajah Gita berubah geram dengan semburat merah merona di pipi kanan dan kirinya. Papi dan Mami yang mendengar ucapan Jojo ikut tertawa. Membuat suasana hati Gita semakin tidak baik karenanya. Hey, malu sekali jika mengingat betapa manjanya dia hari itu pada papi. Ia bahkan menjadi bahan ledekan teman-temannya 7 hari 7 malam karena kejadian itu.

Astaga, ia tidak ingin membicarakan hal ini lagi!.

"Badan kamu gimana sayang? Udah baikan?" tanya Mami mengalihkan topik, Gita menarik napas lega.

"Udah kok Mi, tenang aja,"

"Tapi inget ya tetap minum obatnya dengan rutin,"

"Siap komandan!"

Mami mengangguk-anggukkan kepalanya seraya membantu putri sulungnya itu mengambil lauk pauk dan nasi lantas membiarkan Gita makan dengan tenang. Hatinya menghangat kala melihat putrinya makan dengan lahap. Rasanya seperti sudah lama sekali tidak melihat Gita makan dengan penuh semangat seperti itu.

"Sayang, mami boleh tanya sesuatu?"

Gita mengangguk saja tanpa menghentikan aktivitas makannya. Kini bergantian dua manusia separuh baya dihadapannya yang menatapnya dengan khawatir. Berharap jika mereka bertanya, Gita akan baik-baik saja.

"Kamu sama Jendra gimana? Baik-baik aja kan?"

Gerak sendok dan garpu yang tadinya beradu cekatan di atas piring—seketika berhenti begitu saja. Kunyahan nasi pada mulutnya perlahan melambat seiring dengan kedua manik mata yang mulai berembun. Sulit sekali rupanya untuk tidak mendengar nama lelaki itu sekali saja dalam hidupnya.

Semua orang kelak akan mempertanyakan tentang hubungannya dengan Jendra. Meskipun hubungannya telah berakhir, orang-orang tidak akan pernah berusaha untuk mengerti. Mereka akan selalu menganggap hubungannya dengan Jendra baik-baik saja. Tidak tahukah mereka bahwa dirinya sudah lelah?.

"Mami, papi ... bisa nggak untuk sementara waktu Gita minta kalian nggak membahas soal Jendra dulu?"

Papi lebih dulu mengangguk paham, disusul Mami yang mengembuskan napasnya pelan. Sebagai orang tua mereka memilih untuk menghormati keinginan sang anak dan memilih untuk bungkam. Tidak ingin lagi melontar tanya—yang bersifat menyudutkan. Masalah putrinya dengan Jendra mungkin tergolong serius. Dan ini bukan waktunya untuk ikut campur urusan mereka.

"Sayang, apapun yang terjadi diantara kalian, papi sama mami tetap mendukung keputusan kamu,"

"Makasih ya pi, mi ... "

Papi dan Mami tersenyum hangat ke arah Gita. Membiarkan putri mereka melanjutkan kembali aktivitas makan yang sempat terjeda. Serta mengubur dalam-dalam rasa penasaran yang sesungguhnya sulit untuk dikendalikan.



○○○

Jivan menatap intens ke arah dua sejoli ... ah bukan ... mereka hanya dua orang saling mengenal yang kebetulan satu kelas di kampus. Siapa lagi jika bukan Hardan dan Aurel—yang tengah duduk berhadapan dengan laptop terbuka lebar. Tak lupa tiga buku tebal yang mengeliling dua manusia berlawanan jenis tersebut.

Sejak Aurel mengungkapkan perasaannya, gadis tersebut seolah tak kenal kata menyerah. Seberapa jauh Hardan berusaha menghindarinya, Aurel tetap berjalan mendekat. Berbagai cara telah ia lakukan agar usahanya mendekati Hardan berhasil.

Meskipun seluruh kerja kerasnya tidak mendapatkan apresiasi yang semestinya dari Hardan, Jivan justru merasa salut pada gadis cantik bermata sipit tersebut. Aurel tidak kenal yang namanya mundur. Atau bisa dikatakan ia terlalu gigih untuk menjadi seorang wanita.

Plakkk

Kedua bola mata Jivan melotot sempurna setelah sebuah geplakan tiba-tiba mendarat di pipi kanannya. Salah gerak sedikit, matanya akan ikut tercolok jari dengan nail art yang cantik itu. Alih-alih marah, ia justru meringis kala mendapati wajah jelita nan imut itu menatapnya dengan wajah menekuk lucu. Yaampun, andai saja ia sedang berada di rumah, ia mungkin akan membungkus makhluk menggemaskan satu ini dengan selimut tebal dan menguncinya di atas ranjang untuk dipeluk seharian.

"Awas itu bola mata kamu keluar nanti!" ancam si wanita mungil yang tengah merajuk setelah mendapati Jivan sibuk memandang ke arah seorang gadis yang tidak begitu ia kenal.

"Nggak kok. Ini liat masih nempel di tempatnya. Baik-baik aja lho ini bola mata aku,"

"Ihh mas Jivan!! Dasar manusia nggak peka!"

Jivan tertawa kemudian meninggalkan pekerjaannya sejenak hanya untuk menangkap tubuh mungil Widia.

"Ayang, jangan gemes-gemes dong. Udah mau punya anak masih aja gemes begini sih? Aduh gimana kalau nanti yang keluar dari perut kamu bentukannya sama persis kayak kamu gini hm? Bisa-bisa aku makin nggak kuat ngadepinnya,"

"Nggak kuat gimana maksud kamu?" tanya Widia sewot.

"Nggak kuat gara-gara dikelilingin makhluk-makhluk menggemaskan,"

Widia mengulum bibirnya sembari berusaha untuk tidak tersenyum. Ingatkan dia bahwa dirinya sedang merajuk pada Jivan. Jadi dilarang tersenyum oke?

"Jangan marah-marah dong. Nanti cepet tua lho!"

"Ya kamu sih, ngapain coba liat tuh mbak mbak segitunya? Suka kamu sama dia?"

"Hey, aku punya mata lho sayang, aku liat ke arah dia bukan berarti aku suka ya sama dia," elak Jivan.

"Nggak usah alesan kamu,"

"Sst~aku nggak suka sama dia sumpah! Aku tadi lagi mengamati dia sama Hardan aja. Asal kamu tau, itu cewek yang lagi sama Hardan itu temen aku di kampus. Namanya Aurel. Dan dia sukanya sama Hardan bukan sama aku,"

"Ya tapi tetap aja nggak menutup kemungkinan kamu suka sama dia,"

"Tuh kan mulai ... "

Jivan melonggarkan pelukannya kemudian menatap Widia yang masih mengerucutkan bibirnya lucu. Tanpa berpikir panjang, Jivan mendaratkan satu kecupan pada bibir sang istri. Persetan dengan pasang mata yang mungkin memergoki aksinya. Ia tidak peduli sama sekali.

"Kamu—"

Sekali lagi, Jivan mendaratkan kecupan pada bibir sang istri dan kali sedikit lebih lama karena ia sengaja melumat bibir mungil Widia. Tak ada penolakan dari si wanita mungil. Sebaliknya ia membalas ciuman itu dengan bergantian melumat bibir Jivan.

"Masih marah? Aku cium lagi nih,"

"Eh udah ... udah ... malu tau!" Widia sedikit mendorong dada Jivan agar suaminya itu tidak kembali menciumnya.

Jivan tersenyum kemudian menjulurkan tangannya hingga menyentuh surai hitam legam wanita bersurai pendek sebahu tersebut. Dipandangnya wajah jelita sang istri dengan pandangannya memuja. Widia itu cantik sekali. Bagaimana bisa ia berpaling dari wanita kesayangannya ini?. Ia tidak sebodoh itu dengan meninggalkan dan menyia-nyiakan wanitanya.

"Kamu masih inget nggak, gimana aku dateng ke rumah kamu dan ngomong ke ayah dan ibu kamu waktu itu?"

Widia mengangguk. Sejujurnya ia masih sering merasa sedih jika mengingat hari itu. Dimana Jivan datang di titik terendahnya dan mendapatkan makian dari ayah ibunya. Lelaki itu menerima semuanya dan tidak mundur sama sekali untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwa dirinya layak.

"Setelah semua yang terjadi hari itu akhirnya ayah dan ibu kamu mempercayakan kamu untuk menjadi istri aku. Aku seneng banget karena akhirnya aku bisa membuktikan pada mereka bahwa aku layak buat kamu, aku bisa jadi suami yang baik untuk kamu,"

"Ayang ... "

"Widia, kamu satu-satunya, nggak ada yang lain. Aku nggak mau mencoreng kepercayaan kedua orang tua kamu ke aku. Nggak, setelah semua badai yang kita lalui bersama sampai titik ini,"

Widia berkaca-kaca. Wanita itu seketika merasa bersalah dan beralih masuk ke dalam pelukan Jivan. Memeluk lelaki itu erat.

"Maaf,"

Jivan mengangguk kemudian mengecup pucuk kepala Widia dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Heh ini tempat umum! Kalau mau mesra-mesraan sono di rumah! Kasihan yang jomblo nih nanti kejang!" hardik Hardan yang entah sejak kapan sudah hadir di counter pemesanan.

"Mata kamu aku colok! Siapa yang jomblo? Aku baik-baik aja ya, kamu kali yang kejang!" Yesha menimpali dengan kesal setelah Hardan sengaja sekali menunjuk dan mengklaimnya sebagai jomblo.

"Hilih kalau jones ngaku aja udah. Nggak usah ngeles!"

"Idih jomblo teriak jomblo!"

Jivan memijat pangkal hidungnya. Pusing sekali melihat kelakuan dua manusia yang hampir setiap hari beradu argumen. Sedangkan Widia hanya tersenyum melihat interaksi dua sahabat Jivan—yang memang tiada hari tanpa berdebat itu.

"Ayang kamu masuk aja sana gih! Disini nggak baik buat bayi kita. Banyak makhluk akhlakless ngajarin yang nggak bener,"

"Heh mulut lo! Salahin Yesha nih! Gue mah diem aja daritadi," bela Hardan.

"Woy enak aja, orang kamu tadi yang mulai!"

Jivan hanya mampu menatap ke arah kedua sahabatnya itu seraya menghela napas. Widia sendiri memilih menuruti perintah Jivan untuk pergi darisana.

"Aurel mana, Har?"

Hardan mengendikkan bahunya seraya mengangkat segelas air putih kemudian meneguknya. Kering juga tenggorokannya setelah berlatih debat dengan Aurel yang katanya akan ikut kompetisi debat minggu depan.

"Pulang,"

"Cepet banget tumben, eh tapi ngomong-ngomong gue boleh nanya sesuatu nggak?" Jivan kembali berucap, Hardan mengangguk.

"Dia masih bersikeras deketin lo?"

Hardan mengangguk, "Ya seperti yang lo liat. Jangan lo kira gue nggak tau lo daritadi ngamatin gue sama dia darisini ya?"

Jivan meringis, "Tapi gue liat-liat lo cocok sama dia. Kenapa nggak coba aja atuh?"

"Gimana mau nyoba jalin hubungan? Kamu lupa dia kan udah punya Kalyana," Yesha berceletuk membuat Jivan tersadar.

Hardan mendengus kemudian berucap lirih, "Emang aku sama Kalya beneran keliatan kayak pasangan ya?"

"Hah ngomong apa lo barusan?" tanya Jivan.

"Bukan apa-apa. Gue pulang dulu ya?"

Jivan dan Yesha memandang kepergian Hardan dengan tatapan sulit diartikan. Mereka membiarkan lelaki itu pergi dan meninggalkan banyak tanda tanya untuk mereka.


○○○


Beberapa bulan kemudian ....

Sebelumnya Kalyana jarang sekali pergi jalan-jalan malam. Selain tidak diperbolehkan, ia juga tidak ingin terlalu terkena angin malam. Kata orang-orang, angin malam yang dingin tidak baik untuk kesehatan. Terutama untuk orang hamil juga. Maka dari itu sebesar apapun keinginannya untuk pergi keluar di malam hari, ia lebih memilih untuk menahan keinginannya itu.

Sayang sekali batas yang ia buat untuk tidak dilewati justru ia langgar sendiri setelah Jendra mengajaknya untuk keluar sebentar. Awalnya lelaki itu mengajaknya keluar untuk membeli persediaan biskuit gandum miliknya yang sudah habis, namun entah bagaimana ceritanya, mereka justru melipir ke suatu tempat yang belum pernah Kalyana kunjungi sejak hari dimana dirinya menginjakkan kaki di kota ini.

Orang pertama yang ia harapkan akan mengajaknya kemari adalah Hardan. Tetapi siapa mengira jika ternyata yang berhasil mengajaknya berkunjung kemari adalah orang yang bahkan tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya.

Jendra Abirama, lelaki itu mengajaknya untuk mampir sebentar di malioboro. Bukan untuk belanja banyak barang, tetapi untuk sekedar rehat dengan jalan-jalan sembari membeli banyak jajanan.

Mereka berhenti di salah satu outlet pinggir jalan. Ada banyak sekali pengunjung yang hendak membeli nasi kucing dan berbagai wedang hangat. Kalyana duduk lesehan di tengah-tengah keramaian sembari menunggu Jendra selesai memesan. Dikeluarkannya ponsel dari dalam tas seraya berharap semoga Hardan tidak mencarinya. Tak tahu mengapa, Kalya merasa bahagia sekali karena akhirnya dapat keluar malam. Ia ingin menikmatinya sebentar saja.

"Kalya, ini ada susu jahe anget buat kamu. Diminum ya?"

Suara Jendra berhasil memecah lamunan Kalyana yang sedaritadi tertuju pada hiruk pikuk di depannya. Ia menoleh dan mendapati lelaki itu tengah menatapnya teduh sekali. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik ke samping kanan dan kiri, kala melihat Jendra tersenyum hangat kepadanya.

"Tapi Jen, aku takut rasanya nggak bakalan cocok sama lidah aku," sahut Kalyana. Jendra mengangguk tanpa ragu.

"Dicoba dulu aja, kalau nanti ternyata nggak cocok, bisa pesen yang lain. Biar nanti susu jahe nya aku yang abisin," sahut Jendra.

Tak ingin mengulur waktu, Kalyana pun menyeruput sedikit susu jahe dihadapannya. Dahinya berkerut seiring permukaan lidahnya bersentuhan dengan rasa asing yang mengecap benda lunak tak bertulang tersebut. Tentu saja rasa minuman ini asing baginya—mengingat dirinya tidak pernah mencoba sebelumnya. Terlalu sulit dipahami bagi dirinya yang sejak kecil terbiasa tinggal di luar negeri.

Jendra ikut mengernyitkan dahinya kala melihat perubahan air muka Kalyana. Sudah dapat ditebak, wanita itu merasa sangat asing dengan rasa susu jahe. Lelaki itu sabar menunggu, hingga Kalya tiba-tiba saja mengucap sepatah kata.

"Enak," Kalyana sedikit mendorong kecil gelas susu jahenya ke hadapan Jendra. Membiarkan lelaki itu mengambil alih kala perubahan ekspresinya wajahnya telah menjelaskan segalanya.

"Udah? Nggak mau lagi?" Jendra memenuhi janjinya dengan mengambil alih gelas susu jahe dan meminum sisanya. Tidak ingin memaksakan kehendak agar Kalyana menghabiskan minuman tersebut.

"Iya udah, enak tapi nggak terlalu cocok di lidah aku,"

Jendra mengangguk sebagai tanggapan. Tak lama kemudian pesanan nasi kucing dan teh hangat datang ke meja mereka. Kedua manik mata Kalyana berbinar kala melihat makanan dihidangkan di hadapannya. Rasa lapar seketika menyerangnya kala melihat makanan yang juga untuk pertama kalinya akan ia cicipi.

"Makan yang banyak ya? Mau nambah juga boleh," ucap Jendra kala melihat Kalyana dengan semangatnya menarik pelan piring berisi nasi kucing.

"Gimana, suka?" tanyanya kala satu suapan telah masuk ke dalam mulut Kalyana. Gadis itu mengangguk dengan semangat. Menandakan bahwa makanan itu cocok dengan lidahnya.

"Enak banget! Iya kan, nak?"

Jendra terkesiap kala mendengar Kalyana bertanya pada perut buncitnya. Seulas senyuman tersungging pada wajah rupawannya kala menyadari interaksi hangat antara Kalyana dengan calon bayinya.

Sadar atau tidak, Jendra menjulurkan telapak tangannya yang bebas hingga menyentuh permukaan perut Kalyana yang tertutup dress. Diusapnya pelan perut yang sudah sedikit membuncit itu, hingga sebuah tendangan kecil berhasil bersentuhan dengan telapak tangannya. Jendra reflek menjauhkan tangannya seraya melotot. Tidak percaya dengan sensasi aneh yang baru saja ia rasakan kala merasakan tendangan dari dalam perut Kalyana.

"Hahaha .... kaget ya? Sayang, jangan kenceng-kenceng ih nendangnya. Kasihan om Jendra sampai kaget tuh," ucap Kalyana seraya mengelus pelan perutnya.

"I–itu tadi ... baby nya nendang?" tanya Jendra yang disambut anggukan kepala oleh Kalyana.

"Iya, kayaknya dia seneng deh berinteraksi sama kamu. Mana sini, coba lagi,"

Jendra yang belum siap hanya pasrah saja kala tangannya ditarik kembali untuk menyentuh permukaan perut buncit Kalyana. Dan untuk kedua kalinya, ia merasakan tendangan itu lagi. Air matanya meluncur, ia pun terisak. Kalyana bahkan sampai tidak mempercayai apa yang dilihatnya.

"Jen, you okay? Kok kamu nangis?"

Jendra menggeleng, "Boleh nggak aku peluk kamu sebentar, Ay?"

Kalyana panik. Permintaan Jendra terdengar sangat mendadak untuk dirinya. Terlebih lagi, lelaki itu sudah merentangkan kedua tangannya bersiap untuk menangkap tubuhnya dan memeluk. Namun baru saja tubuh kekar lelaki itu mendekat, Kalyana sengaja memundurkan tubuhnya sendiri. Membuat Jendra mengerutkan keningnya, bingung.

Apakah ia sedang mendapatkan penolakan?.

"Aya?"

"Jen maaf, tapi kita lagi ada di keramaian," cicit Kalyana seraya memalingkan wajahnya agar semburat merah di kedua pipinya tidak tertangkap jelas oleh Jendra.

"Oh iya, aku lupa," Jendra menjawab sembari menghapus jejak-jejak air matanya. Berusaha menetralkan napasnya yang sesegukan usai menangis tadi.

Kalyana menyadari itu. Wanita bersurai hitam legam tersebut menarik telapak tangan Jendra kemudian menggenggamnya erat. Sentuhan pertama yang ia berikan sendiri tanpa perlu diminta dan disuruh. Membuat Jendra bingung sekaligus terkejut karena ini kali pertamanya menyadari Kalyana memberikan skinship padanya tanpa keraguan.

"Makasih ya, Aya. Makasih karena kamu sudah mempertahankan dia dan tidak melakukan suatu hal buruk padanya. Makasih juga karena kamu memilih menjadi seorang ibu untuk dia. Sekarang aku ngerti, kenapa kamu selalu memprioritaskan dia diatas segalanya," ucap Jendra seraya menyentuh permukaan perut Kalyana, lagi.

"Aku bahagia, Jen. Sebentar lagi keinginan aku jadi orang tua bakalan terkabul. Ya, meskipun dia ada karena sebuah kecelakaan, tetapi aku nggak menyesal sama sekali. Sebaliknya dia adalah sumber kebahagiaan yang ingin sekali aku pertahankan. Dia harus tau kalau aku, bundanya, sayang banget sama dia,"

Jendra mengangguk kecil, "Iya, dia harus tau kalau kamu selalu ada untuk menyayangi dan melindungi dia. Dan Aya?"

"Hm?"

"Aku punya satu permintaan,"

"Apa itu?"

"Aku tau kamu punya Hardan disisi kamu. Dia yang jaga kamu dan baby kan? Tapi boleh nggak aku punya tempat dan posisi yang sama dengan dia di kehidupan kamu?"

"Maksud kamu?"

"Aku juga pengen jagain kamu sama baby. Sama seperti Hardan yang menjaga kalian selama ini. Boleh kan?"

Kalyana terdiam di tempatnya. Berusaha mencerna dengan baik maksud permintaan dari Jendra yang tiba-tiba. Entah mengapa hatinya merasa tidak siap untuk mendengar permintaan lelaki itu. Namun apa daya, lidahnya kelu tak ingin melontar kalimat penolakan apapun selain menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tidak apa-apa, biar malioboro saja yang menjadi saksi, tentang bagaimana Kalyana Zanitha menerima permintaan tulus dari seorang Jendra Abirama.


○○○


"Keluar? Malam-malam begini?"

Hardan memijat pangkal hidungnya pelan. Ia berjalan kesana kemari usai mendengar jawaban dari Cantika yang mengatakan kalau Kalyana sedang berada diluar. Rasa khawatir seketika menyeruak, menyebar ke seluruh rongga dadanya kala panggilan telepon yang ia tujukan pada gadis tersebut, tidak mendapatkan sambutan semestinya.

Ia berdecak lalu menghempaskan tubuhnya sendiri ke atas sofa. Hingga tak lama kemudian, suara riuh dari arah pintu, mengalihkan perhatiannya dan Cantika. Mereka berjalan mendekat ke arah pintu dan disuguhi dengan pemandangan seorang wanita dan pria yang tengah berpelukan.

"Baik-baik ya. Nanti telepon aja kalau butuh sesuatu. Dan makasih udah ngabulin permintaan aku hari ini," ucap si pria seraya mengeratkan pelukannya. Namun tidak berlangsung lama kala netranya bertemu tatap dengan kedua manik mata Hardan.

"Bajingan!"

Hardan maju dengan tidak sabaran. Kedua tangannya bergerak bebas untuk mencekal kerah jaket yang dikenakan oleh pria bersurai hitam legam tadi. Tanpa berpikir dua kali pun, Hardan melayangkan pukulan pada wajah mulus lelaki tadi. Tidak hanya satu pukulan telak, namun beberapa pukulan yang meninggalkan lebam keunguan.

"Hardan! Har, udah!!" Kalyana menarik baju bagian belakang milik Hardan hingga lelaki terhuyung beberapa langkah ke belakang dan otomatis berhenti melayangkan pukulan.

"Lepas, Aya! Dia harus diberi pelajaran!"

Kalyana memperkuat cengkraman tangannya pada lengan Hardan, "Nggak, ini udah malem. Nanti tetangga pada denger,"

Mendengar jawaban Kalyana, Hardan seketika sadar jika dirinya sudah melewati batas. Ia menghembuskan napas kasar, tatapan pada Jendra masih sama. Tajam nan menusuk.

"Memang ada baiknya lo kehilangan Gita, Jen. Gue bersyukur karena akhirnya Gita sadar lo memang nggak baik buat dia. Liat aja kelakuan lo. Setelah putus dari dia, lo justru asik berduaan sama Kalya dan sama sekali nggak mikirin bagaimana sakitnya Gita,"

"Har gue .... "

"Lo emang bajingan, Jendra. Nggak seharusnya lo memperlakukan sahabat gue dengan buruk. Dia tulus banget sama lo!"

Jendra menarik napasnya berat, menghembuskannya pun juga terasa tak kalah berat, "Har, bukan gue yang putusin Gita. Dia sendiri yang mau,"

"Nggak ada bedanya, mau lo yang putusin dia atau dia yang mutusin, seharusnya lo tetap ketemu dan ngajak ngobrol dia. Putus baik-baik itu perlu, Jen. Bukannya main lepasin gitu aja!"

Hardan hendak melayangkan pukulan lagi, namun cekalan tangan Kalyana berhasil menghalangi niatnya tersebut. Entah darimana dirinya mendapatkan kekuatan untuk mendorong tubuh kekar lelaki itu hingga terhuyung jauh ke belakang.

"Har, udah!!"

Meskipun tubuhnya sudah didorong jauh ke belakang oleh Kalyana, Hardan tetap menatap tajam Jendra. Memakinya seraya mengacungkan jari telunjuknya. Menunjuk wajah lelaki itu dengan perasaan geram tak tertahankan. Umpatan demi umpatan masih menggema disana. Memecah heningnya malam yang seharusnya tenang tanpa kebisingan.

Sayang sekali, Hardan tidak akan membiarkan malam ini lewat begitu saja tanpa dirinya sempat melayangkan kemarahannya pada Jendra.

"Lo nggak seharusnya ikut campur, Har. Ini urusan gue sama dia, bukan urusan lo!"

Jendra menarik napasnya kemudian menyambung ucapannya, "Har, hubungan gue dan Gita nggak bisa dipaksa. Dia yang memilih untuk mengakhiri, gue bisa apa?"

Hardan terdiam. Kepalan tangannya memudar perlahan-lahan. Raut wajahnya kembali seperti semula meskipun tatapan tajamnya untuk Jendra masih tersisa.

"Gue mau bertahan sama dia, tapi kayaknya udah nggak bisa. Gita terlanjur kecewa sama gue dan gue sendiri juga menyadari seberapa kecewanya dia selama ini,"

"Setidaknya lo minta maaf dan jelasin apa yang terjadi, Jendra. Gue yakin lo sama sekali belum melakukan sesuatu sejak hari putus itu. Setidaknya pastikan keadaan Gita baik-baik aja. Bukan malah seenak jidat lepas tangan dari masalah kalian kayak gini."

Jendra terdiam. Dadanya sesak dan punggungnya terasa seperti disiram seember air es. Ia kehilangan kata-kata. Hardan benar, ia memang belum mengatakan apapun sejak hari putus itu. Meskipun ya, sudah ada ribuan kali ia berusaha untuk menghubungi Gita dengan mengirim pesan atau sengaja menelepon. Yang sayang sekali tak kunjung bersambut baik hingga detik ini.










Thank you buat kalian yang udah mampir dan meninggalkan jejak disini ...

You're the best!"





Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 17.7K 45
ON GOING SAMBIL DI REVISI PELAN-PELAN. Start 18 November 2023. End? Cerita bertema šŸ”ž, Kalau gak cocok bisa cari cerita yang lain terimakasih. Mars...
49.5K 4.2K 38
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
136K 12K 72
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
268K 22K 65
Salmira membenci Ronan. Lelaki itu pernah menorehkan luka dalam hatinya di masa lalu. Sayangnya takdir mempertemukan mereka kembali, padahal Salmira...