Forever After

By dekmonika

104K 15.7K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(46) Segalanya Tentangmu

1.2K 294 41
By dekmonika

Pagi Minggu yang cerah. Hari yang tepat untuk bermalas-malasan. Bahkan bagi Aldebaran yang biasanya selalu produktif dalam setiap hari-harinya, meski di hari libur sekalipun. Tapi tidak dengan hari ini. Tubuhnya yang masih berbalut selimut tebal seakan begitu enggan untuk bangkit dari belenggu kehangatan tersebut.

Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, ia mengambil ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. Hampir semuanya adalah pesan dari Tommy yang mengkonfirmasikan mengenai keberangkatannya esok hari. Dengan malas, ia membuka satu-persatu pesan tersebut.

Keberangkatannya ke New York yang menjadi jembatannya untuk sebuah cita-cita yang telah lama ia idamkan, terasa lebih berat dengan kondisi percintaannya yang sedang tidak baik-baik saja. Tiga hari berlalu setelah berakhirnya hubungannya dengan Andin, tidak lantas membuat Aldebaran sembuh dari patah hatinya. Tentu saja tidak semudah itu. Apalagi Andin adalah perempuan pertama yang membuatnya jatuh hati.

Bukannya ia tidak ingin berjuang lagi, namun jika perjuangannya justru membuat perempuan yang ia cintai merasa tidak nyaman, Aldebaran harus memikirkannya lagi berkali-kali. Bahkan ia sempat menyampaikan keinginannya kepada Roy untuk mengundur keberangkatannya, atau mungkin akan membatalkannya sama sekali. Rasanya, ia tidak bisa meninggalkan Indonesia dengan kondisi yang rumit seperti sekarang.

"Apa gue batalkan keberangkatan gue saja ya, Roy?" Ucap Aldebaran menatap jauh ke depan saat ia tengah duduk di bangku tepi kolam renang, sedangkan Roy yang ia ajak bicara sedang berendam pada air kolam renang tersebut.

"Heh, lo jangan gila, ya!" Sahut Roy dengan sedikit emosi.

"Gue nggak bisa pergi dalam keadaan seperti ini, Roy. Gue nggak bisa melepaskan Andin."

"Gue tahu. Tapi bukan berarti lo mengorbankan cita-cita lo sendiri. Ingat Al, memimpin perusahaan itu sudah jadi impian lo dari dulu kan? Masa belum bertarung, lo sudah mundur gitu aja." Roy naik ke tepian kolam renang, meraih handuk dan mengusapkannya pada wajahnya.

"Ya mungkin ada benarnya sama apa yang pernah gue denger. Kadang untuk mendapatkan sesuatu, kita harus mengorbankan sesuatu yang lain. Memimpin ARTMedia grup bukan cita-cita gue satu-satunya. Gue masih bisa memimpin perusahaan gue sendiri. Tapi untuk merelakan Andin, gue nggak yakin gue bisa. Gue hanya mau Andin, Roy." Curah Aldebaran, frustasi. Melihat sang kakak yang begitu keras kepala membuat Roy menghela nafasnya begitu panjang, tak habis pikir.

"Ternyata Andin nggak hanya bikin lo jadi bucin ya, tapi juga mendadak tolol tahu, nggak!" Cerca Roy, membuat Aldebaran menatapnya kesal.

"Yasudah, sekarang begini, kalau lo memutuskan untuk nggak jadi pergi, terus apa yang mau lo lakuin sama hubungan kalian, heh?" Mendengar pertanyaan itu membuat Aldebaran terdiam. Jujur, ia pun belum tahu mengenai apa yang harus ia lakukan.

"Nggak ada juga, kan?" Roy terkekeh, seakan mengejek.

"Begini, ya, Mas Al..." Ucap Roy dengan sedikit penekanan, seakan ingin mengejek abangnya tersebut, sebagaimana panggilan itu yang disematkan oleh Andin pada Aldebaran.

"Lo sadar nggak sih, apa yang menjadi impian kita, itu juga bagian dari impian papa dan mama. Kalau lo melepaskan impian lo yang satu itu, bagaimana dengan mereka? Lo tega bikin papa yang selama ini mati-matian dukung lo jadi kecewa?" Tanya Roy yang pada nampaknya membuat Aldebaran harus memikirkan ulang keputusannya. Roy benar. Dalam hal ini, ia tidak boleh bersikap egois. Orang tua mereka sudah mendukung cita-citanya sejauh ini.

"Gue mengerti lo lagi dilema banget sekarang. Tapi please, lo jangan bertindak bodoh, apalagi hanya karena persoalan cinta. Abang gue yang gue kenal bukan orang yang mellow seperti ini. Abang gue selalu memutuskan semuanya dengan pilihan terbaik." Lanjut Roy, mencoba meyakinkan Aldebaran dengan pilihannya yang tepat.

Meski dengan berat hati, sepertinya Aldebaran memang harus benar-benar pergi. Semua keperluannya dari surat –menyurat, tiket, visa dan lainnya sudah selesai diurus oleh Tommy. Hari ini saatnya Aldebaran harus berkemas. Ia tidak bisa terus terpuruk dengan perpisahannya dengan Andin. Ia harus bangkit dan fokus pada tujuannya yang lain.

Pria itu bangkit dari tempat tidurnya, kemudian berjalan menuju jendela sekaligus pintu balkon di kamarnya. Ia sedikit merenggangkan otot-otot tangannya yang semalaman sudah berisitirahat. Tangannya membuka pintu kaca tersebut dan mengambil langkah menuju balkon.

Aldebaran menghembuskan nafas leganya, menikmati udara pagi yang terasa segar. Setidaknya bisa sedikit memberikan energi positif untuk fisiknya, meski tidak memberikan pengaruh apa-apa pada perasaannya yang masih rapuh.

Bibirnya tiba-tiba membentuk sebuah senyuman simpul saat dari kejauhan matanya menangkap keberadaan seseorang yang baru saja keluar dari sebuah rumah untuk mengambil bingkisan paket yang dikirim oleh seorang kurir yang telah menunggu di depan pagar. Dia adalah Andin yang berjalan diikuti oleh seekor kucingnya.

Sejak mereka putus, entah mengapa itu menjadi sebuah pemandangan favorit baru bagi Aldebaran. Hanya dengan cara itu ia bisa melihat Andin, meski dari jarak yang cukup jauh, dan meski Andin tidak tahu akan hal itu.

Pertemuan terakhir mereka secara langsung adalah satu hari yang lalu, saat Aldebaran di suatu sore memasuki area kampus untuk mengantarkan sebuah naskah skenario milik Roy yang tertinggal di mobilnya. Awalnya ia menolak permintaan Roy karena ingin bergegas pulang, namun Roy mengiming-imingi kakaknya dengan nama 'Andin' yang hari itu sedang satu kelas dengannya.

Atas bujuk rayuan Roy, Aldebaran pun luluh dan memutar setirnya untuk menuju ke kampus itu. Dan benar saja, setelah ia menyerahkan naskah tersebut kepada Roy dan berjalan di koridor kampus tersebut, dari kejauhan ia melihat sosok perempuan yang begitu ia rindukan.

Andin terlihat baru saja keluar dari toilet. Tapi, ada yang aneh. Gadis itu terlihat melangkah dengan mengendap-endap, memperhatikan sekitarnya. Sedangkan kedua tangannya memegangi tas di belakang bokongnya. Aldebaran yang terlihat bingung, terus berjalan di belakangnya tanpa Andin sadari.

Saat tas itu sedikit tergeser, Aldebaran akhirnya mengetahui alasannya. Terdapat sedikit bercak merah pada rok gadis itu yang berwarna krim cerah. Aldebaran ikut memperhatikan keadaan di sekelilingnya yang tak begitu ramai, khawatir jika ada yang menyadari.

"Andin..." Panggil Aldebaran dengan suara lembutnya yang samar-samar masih bisa didengar oleh Andin. Gadis itu terdiam saat mendengar suara pria yang sudah tak asing baginya.

Aldebaran berjalan cepat ke hadapan Andin, membuat perempuan itu mematung di tempatnya, menatap Aldebaran yang kini berdiri tegak tepat di depan matanya. Keduanya saling menatap dalam diam untuk beberapa saat. Keduanya tak bisa membohongi bahwa ada rindu yang sama-sama mengalir melalui tatapan tersebut.

"Kamu datang bulan?" Tanya Aldebaran, sedikit berbisik. Andin tertunduk menahan malu.

Dengan penuh inisiatif, Aldebaran melepaskan jas biru malam yang sedang ia pakai dan hanya meninggalkan kaos polos hitam yang terlihat pas di tubuhnya yang bidang dan sedikit berisi. Giliran Andin yang kebingungan dengan apa yang akan dilakukan pria itu.

Dengan tersenyum simpul, Aldebaran menutup rok belakang yang sedari tadi Andin tutupi dengan jasnya itu. Bagian lengan jas ia ikat pada pinggang Andin, membuat si pemilik tubuh nampak takjub dengan perlakuan pria yang baru saja menjadi mantan kekasihnya. Tanpa sadar, Andin terus menatap Aldebaran dengan lekat dan penuh keteduhan. Astaga! Sikap pria ini tetap tidak berubah. Selalu tulus dan penuh kelembutan meskipun mungkin ia sudah menyakiti hatinya.

Tatap kedua mataku

Hapuskan ragu, labuhkan hatimu

Mungkin tak selalu biru

Namun bersamamu, langitku tak lagi sendu

(Luthfi Aulia – Langit Favorit)

"Pulang sama saya, ya?" Ajak Aldebaran membuat Andin membuyarkan pandangannya.

"Aku sudah pesan ojek online." Jawab Andin.

"Batalkan aja. Kondisi kamu seperti ini akan tidak nyaman kalau kamu harus naik ojek online." Ujar Aldebaran.

"Tapi ojeknya sudah di depan."

"Kalau begitu kita ke depan. Biar saya yang bicara dengan abangnya."

Aldebaran mengulurkan tangannya, membuat Andin menatap tangan itu dengan bingung. Ia menatap Aldebaran, seolah sedang bertanya.

"Tas kamu biar saya yang bawa." Terang Aldebaran membuat Andin akhirnya mengerti.

"Nggak usah, Mas. Aku bisa bawa sendiri." Tolak Andin, gugup.

"Yasudah. Kalau begitu, tangan kamu saja, bagaimana?" Tawar Aldebaran membuat Andin tertegun. Belum sempat Andin memberikan jawaban, Aldebaran meraih satu tangan Andin dan menggenggamnya.

"Yuk." Ajak Aldebaran, berusaha terlihat santai di saat Andin sedang menahan kegugupannya yang tidak pernah berubah dari sebelumnya terhadap pria itu yang tentu saja masih ia cintai.

Aldebaran tersenyum tatkala mengingat kejadian itu kemarin. Meski senyuman itu hanya sesaat, dan pudar saat ia kembali menyadari bahwa Andin kini bukan miliknya. Ditambah dengan beratnya hatinya untuk esok pergi meninggalkan segala yang ia cintai. Aldebaran hanya bisa berserah tentang apa yang akan terjadi di kehidupannya yang akan datang.

___________________________________

Seusai sarapan bersama, Aldebaran kembali menuju ke kamarnya meninggalkan sang mama dan Roy yang masih belum selesai. Sedangkan papa mereka sudah lebih dulu beranjak karena ada panggilan telepon.

"Kakak kamu beberapa hari ini aneh sekali, Roy. Dia terlihat agak murung dan jadi lebih pendiam. Al ada masalah, ya?" Tukas Rossa setelah meneguk air putihnya.

"Tahu itu, Ma. Galaunya berkelanjutan." Sahut Roy sambil mengunyah nasi goreng di mulutnya.

"Galau kenapa?" Tanya Rossa membuat Roy terdiam. Pria itu baru sadar bahwa ia hampir saja keceplosan. Tapi setelah Roy pikir lagi, buat apa terus menutupi itu dari sang mama?

"Urusan hati, Ma." Jawab Roy membuat kening Rossa mengerut, bingung.

"Lagi ada masalah sama Andin?"

"Sebelum aku cerita, mama janji nggak bilang ke Al kalau aku sudah bocorin ke mama, ya." Kata Roy sambil memperhatikan di sekelilingnya, jaga-jaga supaya Aldebaran tidak mengetahui bahwa ia akan membocorkan persoalan kakaknya.

"Aduh, kenapa pakai rahasia-rahasiaan segala sih."

"Pokoknya mama janji dulu."

"Iya, yaudah, mama janji. Apa masalahnya?"

"Sebenarnya... Al sama Andin sudah putus, Ma." Beber Roy membuat sang mama tercekat kaget.

"Kok putus?" Roy menaikkan kedua bahunya, tak menjawab.

"Aku nggak bisa jelasin apa-apa ke mama soal alasan sebenarnya. Mungkin mama bisa tanya langsung ke orangnya."

"Itu keputusan mereka berdua?" Tanya Rossa masih terlihat shok.

"Lebih tepatnya, Al diputusin sih, Ma." Jawab Roy diakhiri dengan kekehannya.

"Ya ampun. Ada apa, ya?" Gumam Rossa.

"Mama harus tanya Susan kalau begini." Rossa langsung terpikir untuk menghubungi sahabatnya itu yang tak alain adalah ibu Andin sendiri. Roy menatap sang mama yang mendadak melenggang pergi, meninggalkannya sendirian di meja makan itu.

Begitu sampai di kamarnya, Rossa mengambil handphone-nya yang terletak di atas tempat tidur. Tujuannya kini adalah ingin menghubungi sahabatnya, yakni Susan. Ia harus mentahui apa yang sebenarnya terjadi di antara anak-anak mereka.

"Halo..." Terdengar suara di seberang sana.

"Halo, San."

"Ada apa, Ros? Tumben nelpon pagi-pagi?"

"Aku mau tanya soal masalah anak-anak. Mereka kenapa ya, San sebenarnya?" Tanya Rossa, penasaran, yang membuat Susan justru mengerut heran.

"Anak-anak? Al sama Andin maksudnya? Memangnya ada apa, Ros? Aku tidak tahu apa-apa." Susan menjadi ikut bingung.

"Loh, kamu nggak tahu juga kalau mereka sudah putus?"

"Putus? Kenapa putus?" Susan malah balik bertanya.

"Aku justru mau tanya ke kamu, San. Aku pikir kamu sudah tahu. Aku baru saja diberitahu Roy."

"Aku tidak tahu sama sekali, Ros. Astaga, pantas saja beberapa hari ini Andin matanya sering sembab. Jangan-jangan karena dia kebanyakan menangis." Balas Susan.

"Serius, San? Al juga beberapa hari ini terlihat murung. Tapi Roy bilang, Andin yang mutusin Al."

"Yang benar, Ros?" Susan semakin dibuat kaget.

"Sepertinya kita harus merencanakan sesuatu, San." Usul Rossa.

"Rencana apa, Ros?"

"Rencana untuk mempertemukan mereka lagi, tapi kita pura-pura nggak tahu kalau mereka sudah putus. Soalnya Al besok kan sudah harus berangkat ke New York, masa mereka berpisah dalam keadaan putus sih?"

"Iya. Kamu benar, Ros. Kita harus merencanakan sesuatu." Susan menyepakati.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 siang, namun Aldebaran masih betah mengurung diri di kamarnya. Sehari menjelang keberangkatannya membuat pria itu enggan mengurus segala hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Ia ingin menghabiskan waktu sendiri di kamarnya, di ruangan rahasianya. Mengambil satu-dua buah foto yang akan ia bawa pergi, termasuk fotonya bersama Andin yang sudah lama ia cetak diam-diam.

"Setelah saya pergi nanti, apa kamu akan benar-benar melupakan saya, Ndin?" Gumam Aldebaran seraya memandangi foto mereka, dimana di foto itu terlihat kedua lengan Andin melingkar pada pinggang Aldebaran, memeluknya dengan senyuman lebar. Sedangkan tangan Aldebaran nangkring di atas kepala gadis itu, seperti mengacak-acak gemas.

"Apakah pada akhirnya saya akan benar-benar kehilangan kamu?" Aldebaran memejamkan matanya sejenak, merasakan kecemasan yang amat dalam tatkala ia berucap demikian. Sakit sekali rasanya jika ia harus merasakan kehilangan sekali lagi.

"Al!" Terdengar suara seseorang yang memanggilnya dari luar. Aldebaran buru-buru keluar dari ruangan rahasia itu dengan membawa bingkai foto tersebut, lalu memasukkannya pada sebuah koper yang terbuka.

"Masuk, Ma!" Sahut Aldebaran sambil menutup koper yang sudah ia kemasi isi-isinya. Pintu kamar itu pun terbuka dan menampakkan Rossa dengan senyuman lebarnya.

"Kamu ada kesibukan nggak hari ini?" Tanya Rossa. Aldebaran berpikir sejenak.

"Nggak sih, Ma. Kenapa?"

"Temenin mama belanja ke mall ya. Mama sudah lama nggak belanja-belanja." Ajak Rossa.

"Harus aku banget, Ma? Kenapa nggak sama Roy? Biasanya kan Roy yang suka nemenin mama belanja."

"Roy baru saja pergi. Dia ada calling-an shooting katanya." Al masih tampak mempertimbangkan.

"Sekali-sekali mama juga mau ditemenin sama kamu, sayang. Apalagi besok kamu akan pergi untuk waktu yang lama, mama pasti akan kangen banget sama kamu. Anggap saja kita quality time berdua sebelum kamu meninggalkan mama." Bujuk Rossa membuat Aldebaran tersenyum simpul, memahami keinginan sang mama.

"Yaudah, oke, Ma. Aku siap-siap dulu kalau begitu." Jawab Aldebaran membuat sang mama tersenyum riang.

"Owwh, thank you, my son. Mama juga mau siap-siap kalau begitu."

"Ya. You're wellcome, Mom." Balas Aldebaran.

Sementara itu, di sebuah teras belakang rumah bergaya klasik minimalis, terlihat Andin sedang bermain hangat bersama kucing kesayangannya. Ia membuka sebuah bungkusan makanan khusus kucing yang baru ia terima pagi tadi oleh seorang kurir. Dituangkannya pada sebuah wadah untuk mempermudah kucing berjenis anggora itu untuk memakannya.

"Poppy, come here!" Serunya pada kucingnya yang sedang asyik bermain di kakinya. Andin tengah duduk pada salah satu kursi dimana di tengah-tengahnya terdapat meja bundar yang tercipta dari kaca.

"Makan yang banyak, ya." Ucap Andin setelah mengangkat kucing tersebut naik ke atas meja dan menghadapkannya pada wadah yang sudah berisi makanan khusus untuk si Poppy.

Andin memangku dagunya dengan satu tangannya di atas pegangan kursi seraya memandangi kucingnya yang memakan makanannya dengan lahap. Sesekali ia mengelus bulu-bulu halus nan tebal dari kucing tersebut.

"Enak ya Pop jadi kamu, nggak ada yang perlu dipikirin. Nggak perlu patah hati. Nggak perlu harus kecewa juga." Andin terkekeh sesaat setelah berucap. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca begitu mengingat akan sesuatu.

"Besok dia akan pergi, Pop. Aku harus apa, ya?" Tanya Andin, seolah kucingnya tersebut bisa memberikan jawaban.

"Aku pikir keputusanku untuk berpisah dengannya adalah keputusan yang tepat. Tapi semakin hari aku semakin sadar kalau aku justru tersiksa dengan keputusanku sendiri. Aku kangen Mas Al, Pop! Tapi dia kangen aku nggak, ya? Atau dia sudah move on?" Gumam Andin, tak dihiraukan oleh Poppy.

Bibir gadis itu mengukir sebuah senyuman saat ingatannya terputar ke hari kemarin, di saat Aldebaran mengantarkannya pulang ke rumah karena ada insiden datang bulannya yang memalukan, sehingga mengharuskannya mengenakan jas pria itu selama di perjalanan.

"Makasih ya, Mas." Ucap Andin begitu mobil Aldebaran yang membawa mereka sampai di depan pagar rumah Andin.

"Sama-sama." Balas Aldebaran.

"Jas kamu biar aku bawa dulu, ya. Kalau sudah aku cuci dan kering, aku kembalikan."

"Iya, bawa saja, Andin." Jawab Aldebaran, menatap Andin dengan penuh makna. Hal itu membuat Andin sedikit salah tingkah. Tatapan Aldebaran tidak pernah berubah terhadapnya.

"Andin..." Panggil Aldebaran saat Andin baru saja akan membuka pintu mobil itu. Andin terdiam, lalu menatap Aldebaran kembali.

"Maaf, saya sudah membuat kamu kecewa. Saya sudah menghancurkan kepercayaan yang sudah kamu berikan." Ucap Aldebaran. Pria itu perlahan meraih satu tangan Andin yang mudah ia jangkau, lalu menatap gadis itu dengan lekat.

"Saya sangat mencintai kamu. Saya..." Andin melirik pria itu yang menggantung kalimatnya.

"Berat bagi saya jika harus pergi di saat saya juga harus melepaskan kamu. Saya tidak mau kehilangan lagi, Andin." Andin tertegun menatap Aldebaran. Kehilangan lagi? Apa maksudnya?

"Apakah saya sudah tidak memiliki kesempatan?" Aldebaran bertanya penuh harap seraya menggenggam tangan gadis itu.

Andin terlihat bimbang. Meski dalam hati kecilnya ia ingin sekali mengatakan, 'aku juga mencintaimu, dan aku mau kita kembali'. Tapi lidahnya terasa kelu. Mulutnya seakan terbungkam oleh rasa kecewa yang masih membekas.

//Tok tok!!//

Belum sempat Andin berucap, keduanya dikagetkan oleh suara ketukan dari luar kaca mobil. Andin buru-buru membuka kaca mobil tersebut dan menampakkan Baskara yang menyengir melihat pada mereka berdua.

"Sorry, ganggu. Motorku nggak bisa lewat, Kak." Ucap Baskara pada Aldebaran. Baik Andin dan Aldebaran tampak salah tingkah.

"Sorry, Bas." Ucap Aldebaran, tersenyum kikuk.

"It's okay, Kak." Sahut Baskara, tertawa.

"Yaudah, kalau begitu aku turun, Mas."

"I... iya." Jawab Aldebaran, sekenanya.

//Meoww!!//

Andin seketika tersadar dari lamunannya tatkala kucingnya tersebut mengeong sambil memainkan jari-jari tangannya, seolah mengisyaratkan sesuatu. Gadis itu melihat pada wadah makanannya yang sudah hampir kosong. Andin terkekeh saat ia mengerti maksud Poppy-nya tersebut.

"Mau lagi, ya?" Andin pun kembali menuangkan sesuatu berwarna coklat yang menyerupai sereal itu pada wadahnya seperti semula.

"Andin!" Andin mengdongak saat mendengar mamanya memanggil.

"Iya, Ma! Aku di belakang!" Sahut Andin. Tak lama kemudian sang mama muncul dari balik pintu keluar teras tersebut.

"Kenapa, Ma?"

"Kamu bisa temenin mama nggak?"

"Temenin kemana, Ma?"

"Mama rencananya mau ganti suasana di ruang kerja mama. Beberapa walpapernya mama lihat sudah mulai kusam. Terus mama mau nambahin sedikit ornamen-ornamen klasik-modern. Tapi masalahnya mama belum punya referensi yang cocok. Jadi, mama mau minta tolong kamu bantu pilihkan walpaper dan ornamen yang serasi tapi tetap terlihat simpel." Ujar Susan.

"Oh, boleh, Ma. Tapi mama maunya kemana?"

"Ke Mall Plaza saja bagaimana? Kayaknya disana lumayan lengkap."

"Emm... Oke. Sekarang, Ma?"

"Yuk, sekarang." Ajak Susan dengan antusias. Sebab di balik ajakannya itu sudah terselip rencana yang sudah ia rancang bersama Rossa.

______________Bersambung______________

Harusnya nambah dikit lagi sih di part ini. Tapi karena laptop author dikit lagi lowbat, dan author lagi nongkrong di indomaret, alias males ngecharger, jadinya sampai sini aja, ya wkwk.

Targetnya sih akhir tahun udah selesai judul ini semoga author bisa holiday dengan tenang, haha. Doain semoga targetnya nyampe, ya, hihi.

Dah ya, author mau pulang dulu, bye!

Continue Reading

You'll Also Like

45.7K 6.2K 29
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
84.3K 8.1K 32
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
171K 19.2K 47
#taekook #boyslove #mpreg
151K 11.6K 86
AREA DILUAR ASTEROIDπŸ”žπŸ”žπŸ”ž Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...