Another B

By hellowdinow

926K 45.1K 2.4K

Brigitta terkejut bukan main saat ia terbangun dalam pelukan seorang laki-laki asing dalam keadaan tanpa seh... More

B.00
B.01
B.02
B.03
B.04
B.05
B.06
B.07
B.08
B.09
B.10
B.11
B.12
B.13
B.14
B.15
B.16
B.18
B.19
B.20
B.21
B.22
B.23
B.24
B.25
B.26
B.27
B.28
B.29
B.30
B.31
B.32
B.33
B.34
B.35
B.36
B.37
B.38
B.39
B.40
B.41
B.42
B.43
B.44
B.45
B.46
B.47
B.48
B.49
B.50
B.51
B.52
B.53
B.54
B.55
B.56
B.57
B.58
B.59
B.60
B.61
B.62
B.63
B.64
B.65

B.17

14.2K 760 38
By hellowdinow

“Beda ya, kalau orang jatuh cinta, lirik lagunya bikin orang mesem-mesem,” sindir Ziko yang tengah mengetuk-ngetuk stik drum-nya.

Mengerti maksud Ziko, Reas pun menimpali, “Setuju banget! Yakin sih gue, kalau album kali ini bakal naik di kalangan anak abege.”

“Emang lo lagi jatuh cinta sama siapa, Yan?” goda Matt sembari menyenggol bahu Bryan—yang kebetulan sedang duduk di sebelahnya.

Bryan tidak bereaksi seperti apa pun. Ia masih disibukkan dengan memetik senar menciptakan beberapa melodi. Tak lama ia menyimpan gitar itu di sampingnya yang kosong dan merebahkan tubuhnya ke kepala sofa.

“Gue cuma ngeluarin apa yang ada di kepala gue, kok. Nggak ada hubungannya sama jatuh cinta,” kilah Bryan.

Ziko berdecih. Bibirnya mendadak keriting menggoda Bryan. Ia tidak percaya kalau laki-laki itu tidak sedang jatuh cinta. Buktinya, hampir setiap hari, Ziko mendapati Bryan senyum-senyum sendiri di depan handphone di pagi hari, atau sebelum tidur. Perilaku yang jarang sekali setelah kejadian beberapa tahun silam.

“Iya, deh, yang nggak lagi jatuh cinta. Sayangnya banget gue nggak percaya,” cibir Ziko.

“Dahlah, Ko! Lagian si Iyan mah mana mau ngaku. Kayak nggak tau aja lo, gengsinya setinggi langit,” sahut Matt angkat suara.

Atensi semua beralih karena tiba-tiba Bryan menegakkan tubuhnya, lalu menatap satu per satu teman-temannya. “Latihan hari ini udah kelar, kan? Gue boleh dong balik Apart?”

“Nah, kan! Aneh! Biasanya si Iyan nggak pernah mau balik Apartemen kalau album belum rampung, lah ini?” Ziko menatap Bryan dengan tatapan menelisik.

Sementara yang tertuduh hanya bisa mendengkus sebal. Tidak salah jika mereka beranggapan yang bukan-bukan, karena ini memang di luar kebiasaannya. Seperti yang dikatakan Ziko, Bryan itu jarang pulang ke apartemen sebelum pekerjaannya rampung. Biasanya, selagi persiapan album baru, Bryan sering memilih mendekam di studio yang ada di basecamp, dan akan pulang ke apartemen kalau sudah tinggal nunggu rilis saja.

“Pasti gara-gara ada Gitta, ya, nunggu di apartemen lo?” tuduh Ziko kesekian kalinya. Ini bukan semata-mata menuduh, ia hanya senang menggoda Bryan dan melihat laki-laki itu misuh-misuh tidak jelas. Belum sempat Bryan menanggapi ucapannya, Ziko kembali bertanya, “Kumpul kebo, ya, kalian?”

Sebuah timpukan keras tidak tanggung-tanggung melayang ke wajah Ziko. Saat bantal itu mendarat manis di wajah Ziko berulang-ulang, bersamaan dengan itu gelak tawa keluar dari mulut Matt dan Reas. Mereka nampaknya sudah tidak aneh dengan pemandangan ini.

Memang, Ziko dan Bryan ini seperti tikus dan kucing. Ada saja bahan yang diperdebatkan. Ziko yang terlalu iseng, dan Bryan yang bersumbu pendek. Ramai sudah suasana di ruangan ini.

“Lo kalau ngomong aneh-aneh lagi, gue sumpel mulut lo pake batu! Lemes banget, anjir! Kayak emak-emak rempong tau, nggak! Tukang gosip!” umpat Bryan dengan napas menggebu. Sahabat di depannya ini memang agak lain. Sangat menguji kesabaran Bryan yang sudah tidak tahan ingin beristirahat di apartemen.

Bryan memilih untuk pulang ke Apartemen karena ia merasakan tidak enak badan. Ia merasa sudah terlalu memporsir tubuhnya untuk menyelesaikan album baru Scout. Studio atau Basecamp ini sudah menjadi rumah kedua baginya. Hanya saja, untuk saat ini tidur di studio terlalu dingin untuknya.  Apalagi Bryan terlalu lama diam di bawah AC. Belum lagi ia juga sering ketiduran di atas sofa, padahal sudah disiapkan kasur untuk anak-anak kalau ada yang mau istirahat di Basecamp. Alhasil, tubuhnya sudah benar-benar terasa remuk.

“Gue cuma pengen tidur tenang aja di apartemen. Nggak usah mikir yang enggak-enggak. Lagian badan gue udah nggak enak diem terus di studio,” keluh Bryan.

Mendengar keluhan Bryan, Ziko tidak menyangkal lagi. Di antara mereka berempat, ia akui kalau Bryan memang yang paling bekerja keras dalam merampungkan album ini. Di saat teman-teman yang lain tertidur pulas, Bryan masih betah mengerjakan lagu di dalam studionya.

Matt dan Reas pun mengakui itu. Mereka bahkan kadang tidak tega melihat Bryan yang terlalu memporsir tubuhnya bahkan seringkali laki-laki itu lupa makan. Sifat bebal yang mendarah daging di laki-laki itu, membuat ketiga temannya yang lain cukup kewalahan menasehati perihal kesehatan pada Bryan.

“Ya udah, lo istirahat aja, Yan. Kalau lo tumbang, kacau juga jadwal kita,” ucap Matt sembari menepuk-nepuk pundak Bryan.

“Bener, Yan. Lo balik aja, gih! Istirahat dulu aja. Sisanya, biar kita-kita yang kerjain,” sambung Reas.

Bryan menatap satu per satu sahabatnya, lalu tersenyum dan berterima kasih. Tatapannya berhenti pada Ziko yang menyeringai jail.

“Sana balik lo! Jangan lupa istirahat! Awas aja lo pake waktu istirahat lo buat ena-ena!”

Tidak tanggung-tanggung, sebuah bantal kembali mendarat di wajah tak berdosa itu.

“Ziko bangsat!”

***

Brigitta dapat bernapas lega, karena hari ini ia dapat pulang lebih cepat dari biasanya. Saking ingin cepat-cepat rebahan di apartemen, ajakan Sheila untuk makan bebek goreng langganannya pun Brigitta tolak. Ia hanya ingin mengisi tenaganya yang terkuras habis satu minggu belakangan ini dengan pekerjaan yang menumpuk. Tidur adalah jalan ninja.

Awalnya tidak ada yang mengganggu, sampai pintu lift menuju lantai unitnya tidak jadi tertutup karena tiba-tiba ada seseorang masuk. Mengapa Brigitta merasa terganggu? Karena sosok itu terlalu tertutup. Dari pakaian yang serba hitam menutupi tubuh, hingga masker dan topi pun turut menutupi wajah sosok itu.

Apa itu Bryan? Mengingat terakhir bertemu dengannya, Bryan menggunakan kostum kurang lebih seperti itu. Ya, walau tidak setertutup ini. Perasaan Brigitta semakin tak karuan. Ia khawatir terjadi sesuatu karena hanya ada mereka berdua di dalam lift.

Ting!

Beruntung pintu lift itu segera terbuka dan tanpa menunggu lama, Brigitta pun melangkahkan kakinya menuju lorong. Pikiran Brigitta melenceng saat ia berpikir kalau sosok itu tidak akan mengikutinya.

Baru saja Brigitta berbalik dan siap menghadang. Sosok itu tiba-tiba membuka topi dan masker yang digunakan untuk menutupi wajahnya tadi. Bibir Brigitta terbuka tanpa sadar dengan mata yang turut membulat.

“Jadi, lo tinggal di apartemen ini, Gitta?”

Suara itu terdengar dingin dan mencekam. Terlebih melihat wajah Bara yang tengah menatapnya frustrasi. Ya, benar! Sosok yang ia sangka penguntit itu adalah Bara.

Brigitta tidak ingin menjawab sebenarnya. Ia masih belum siap jika Bara harus mengetahui tempat tinggalnya yang baru. Namun, ia juga tidak menutup kemungkinan kalau memang Bara akan mencari tahu soal di mana ia tinggal. Karena informasi terakhir yang ia dapat dari Zafran, Bara mendatangi indekosnya lalu marah karena tidak mengetahui kepindahan Brigitta.

Belum sempat Brigitta menjawab, sebuah denting pertanda lift terbuka kembali berbunyi. Kali ini mendatangkan Bryan yang cukup terkejut dengan keberadaan Brigitta dengan seorang laki-laki.

Dari tampangnya, Bryan tahu siapa laki-laki di hadapan Brigitta sekarang. Laki-laki yang sama yang ada di dalam foto bersama Brigitta—yang ia lihat tempo lalu. Menyadari ada hal yang tidak beres, dengan cepat Bryan mengendalikan situasi.

“Kamu udah datang, Sayang? Maaf, ya, nunggu lama.” Bryan tiba-tiba menarik pinggang Brigitta dan mengecup puncak kepala gadis itu tepat di hadapan Bara.

Brigitta sempat mematung, sebelum akhirnya ia menguasai diri. Ia membalas senyuman Bryan dengan kikuk dan beralih menatap Bara. Laki-laki itu terlihat menatapnya nyalang. Raut wajahnya menegang dan rahangnya mengetat. Apa Bara marah?

Namun, Brigitta selalu takjub, karena Bryan selalu datang di saat yang tepat. Kebetulan sekali, bukan?

“Dia siapa, Yang?” tanya Bryan tanpa beban. Laki-laki itu menatap Bara dengan ramah.

Tubuh Brigitta menegang, lalu mengerjap-ngerjapkan matanya tanpa sadar. Lagi-lagi ia menoleh ke arah Bara dengan kikuk. “Dia Bara, sahabatku. Maaf, aku belum sempat mengenalkannya,” balas Brigitta masuk ke dalam drama yang disutradarai Bryan.

Pura-pura menjadi pacar Bryan di hadapan Bara, bukanlah keputusan yang buruk. Setidaknya ia bisa menghindari Bara sampai hatinya benar-benar pulih.

“Ah…” Bryan mengangguk mengerti. Laki-laki itu melepaskan tautannya pada pinggang Brigitta dan mengulurkan tangannya di depan Bara. “Gue Bryan, pacarnya Bri!”

Bara tidak langsung menyambut tangan Bryan. Matanya menelisik sosok laki-laki di sebelah Brigitta itu dengan intens. Namun tak lama Bara menyambut tangan Bryan dan mengulas sedikit senyum.

“Gue Bara. Cowok pertama yang ada di dalam hidup pacar lo!”


Sarapan pagi dulu, nih, besties!
Sarapan keuwuan🤣

Gimana-gimana dengan part ini?
Karena aku udah janji mau double up hari ini,
aku publish pagi satu, malem satu, ya!
Biar berjeda hahaha
Jadi, ramein dulu aja ini 🤭

See you!

Luv,
HD💜

Continue Reading

You'll Also Like

2M 119K 18
Saira pernah mencintai Gara dan mereka sempat menjalin hubungan selama kurang lebih satu semester. Lama berpacaran, Saira tak sengaja tahu kalau pera...
167K 20.3K 60
(COMPLETED) Yasmin adalah Gadis SMA biasanya yang tubuhnya sedikit tambun. Ia merasa kalau hidupnya akan terasa biasa saja, tanpa ada kisah-kisah rom...
6.2K 670 44
"Dear U... I have something for U. It's about U." »💌 CO(US)IN book 1 Hei! Apa di dunia ini ada jasa menitip salam? Jika ada, aku ingin menitip salam...