KookMin Story [Requested]

By Lvxyz10

121K 8.4K 938

Lanjutan dari book pertama -> Oneshoot. Khusus REQUEST~ WARN!⚠ BoysLove! BxB!! Gay!! Yaoi!!! So, buat kalian... More

Jeonlous
Dangerous Alpha
Dangerous Alpha [II]
Dangerous Alpha [III]
Marriage
Marriage [2]
Marriage [3]
Marriage [4]
Marriage [5]
Marriage [6]
Marriage [7]
Bonus Chap [Marriage]
Baby
Baby [2]
Paper Hearts
Paper Hearts [2]
My Ironman
My Ironman [2]
My Ironman [3]
My Ironman [4]
My Ironman [5]
Lost Fiance
Lost Fiance [II]
Lost Fiance [III]
The Omega
The Omega II
The Omega III
Strength
Strength III
The Omega IV

Strength II

738 121 19
By Lvxyz10

~Happy Reading~

***

Hari-hari berikutnya, Jeongguk memang pulang ke apartemen yang ditempati olehnya bersama Jimin. Tapi dia mengabaikan pria manis itu, tidak sekalipun dia membuka suara untuk Jimin.

Sementara itu, pria kecil yang malang tidak berhenti berusaha menarik hati Jeongguk. Dia selalu membuatkan Jeongguk makan malam yang selalu diabaikan tanpa disentuh sedikitpun, begitu juga saat sarapan. Jimin menyiapkan pakaian untuk Jeongguk hanya untuk pakaian pilihannya dibuang di keranjang pakaian kotor.

Jimin tidak lelah berusaha membuat percakapan dengan suaminya, tapi selalu diabaikan.

'Jeongguk, kamu harus bersama Jimin setidaknya selama satu bulan. Jangan beraninya kau meninggalkan Jimin sendirian selain di hari kerjamu atau namamu akan kucoret dari surat warisan,' Jeongguk berteriak kesal setiap dia mengingat perkataan ayahnya yang sedari awal tidak menyukai istri pertamanya, Kwon Aera. Dia tidak mengerti kenapa ayahnya membenci wanita yang dia cintai, Aera merupakan wanita baik, juga asal-usulnya jelas meski bukan dari keluarga terpandang tapi masih bisa dikatakan keluarga kaya.

Jeongguk sekali lagi mengabaikan Jimin saat pria itu berlari menuju toilet, dia berlalu keluar dari apartemen untuk pergi ke kantornya. Dia membuka ponselnya saat benda itu bergetar, dia mendapatkan pesan dari istri pertamanya yang membuatnya kepalang bahagia.

'Sayang, aku hamil!' Jeongguk bahagia, dia ingin berlari ke rumahnya tapi lagi dan lagi, dia tidak diijinkan pergi selain ke kantornya. Ayahnya pasti saat ini menyuruh orang untuk mengawasinya, dia tidak bisa mengambil resiko kehilangan warisannya jadi dia menahan diri. Setidaknya suasana hatinya sedang baik saat ini.

Jeongguk mengerjakan berkas di mejanya dengan sedikit senyuman, yang membuat sekretarisnya kebingungan. Ada apa gerangan yang membuat atasannya merasa senang setelah beberapa hari dalam suasana hati yang buruk? Yah, dia tidak peduli. Yang terpenting berkas-berkas itu selesai jadi dia bisa pulang lebih awal.

Sementara itu dengan Jimin, pria itu tampak berjalan terhuyung-huyung menuju kamarnya. Kepalanya terasa berputar setelah dia menghabiskan beberapa waktu di toilet, membuang semua isi perutnya yang bahkan belum dia isi sejak kemarin, hanya air yang keluar.

Jimin menatap pantulan dirinya di cermin, sangat pucat dan tidak ada tanda kehidupan yang layak. Jimin menghela nafas lelah, dia mungkin membutuhkan istirahat.

Jimin membaringkan tubuhnya di ranjang kecilnya, perutnya masih sedikit mual tapi dia masih bisa menahannya. Sudah tiga minggu sejak dia resmi menyandang marga Jeon, tapi Jeongguk sama sekali tidak menunjukan bahwa dia mulai menerima kehadirannya. Bahkan sikap Jeongguk semakin kasar dari hari ke hari.

Dia mengelus pipinya yang sedikit memar, hasil dari tamparan Jeongguk karena memasuki ruang kerjanya tanpa ijin. Dia hanya ingin memberikan secangkir kopi untuk Jeongguk yang sibuk bekerja bahkan di hari libur, tapi dia mendapatkan tamparan karena memasuki 'kawasan' pria itu, secangkir kopi panas juga sedikit melukai kulit perutnya yang masih sedikit memerah dan perih.

Jimin tidak menyadari air mata yang mengalir dari sudut matanya, dia menggigit bibir bawahnya mengingat tidak ada satu hal baik yang dilakukan Jeongguk padanya.

Dia ingin pergi, tapi kemana dia akan pergi? Dia tidak memiliki rumah, dia tidak memiliki kerabat atau teman, dia tidak memiliki uang untuk bertahan hidup. Alih-alih keluar dari siksaan Jeongguk, dia yakin akan berakhir di tempat pelacuran. Jadi, dia menguatkan diri untuk tetap bersama Jeongguk sekalipun dia merasa sakit. Setidaknya disini dia tidak akan disentuh orang lain selain Jeongguk, itu lebih baik, kan?

Jimin terisak sedih, dia meringkuk di kasurnya, tangannya memeluk perutnya yang semakin melilit. Dia tidak peduli, dia hanya ingin menangis sekarang.

Kenapa hidupnya tidak pernah berjalan baik? Kenapa dia harus menerima rasa sakit tanpa kebahagiaan? Kenapa dia harus menerima ini?

Dia tidak tahu siapa orang taunya, dia sudah berada di panti asuhan sejauh yang dia ingat. Disana, dia dan beberapa anak lain tidak diperlakukan dengan baik, mereka dipaksa mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya belum bisa dikerjakan anak kecil. Dia hanya mendapatkan pendidikan sekolah dasar, setelah dia lulus sekolah, dia dibuang begitu saja tanpa pertanggung jawaban, itu berlaku untuk semua anak panti yang juga sudah lulus sekolah.

Begitu dia keluar dari panti, dia hidup di bawah belas kasihan orang lain. Dia hanya anak berusia 12 tahun yang tidak memiliki pengalaman kerja sedikit pun, dia hanya memiliki ijazah kelulusan yang sangat tidak memadai untuk melamar pekerjaan dimana pun.

Selama empat tahun, dia menggunakan berbagai emperan toko, jembatan, atau bahkan trotoar sebagai tempat tidurnya. Tubuhnya sangat kusut saat itu, tidak jarang dia diganggu oleh anak-anak kecil atau bahkan orang dewasa yang tidak suka padanya. Dilempari batu, dituangi air, dilempari makanan busuk, didorong dengan sangat kasar, dicaci maki, ditampar. Dia sudah merasakan itu semua hanya karena dia yang dianggap mengganggu.

Sampai saat dia bertemu dengan Nyonya Jeon saat dia tengah kesakitan setelah dipukuli oleh preman, dia tidak memiliki tenaga lagi. Dia bahkan yakin jika dia akan mati di tempat itu jika saja Nyonya Jeon mengabaikannya.

Nyonya Jeon merawat lukanya, memberinya pekerjaan yang bisa dia lakukan, memberikan tempat tinggal yang layak. Dia berhutang budi pada wanita itu. Tidak, dia berhutang hidup pada wanita itu. Dia akan melakukan apapun yang dikatakan Nyonya Jeon, termasuk saat wanita itu memintanya menikah dengan putra tunggalnya.

Menurutnya, perlakuan Jeongguk belum sebanding dengan susahnya hidup terlunta-lunta. Kecuali bagian saat dia dilecehkan oleh suaminya sendiri.

Jika Jimin bisa bertahan dengan perlakuan yang lebih buruk dari perlakuan Jeongguk padanya selama bertahun-tahun, kenapa dia harus menyerah sekarang? Dia melakukan ini demi pahlawannya. Wanita yang menjadi Nyonya Besar keluarga Jeon, Yoo Kaeri, atau yang sudah dikenal sebagai Jeon Kaeri.

Drrrtt... Drrrtt...

Jimin mengangkat kepalanya saat ponselnya bergetar, tangannya yang goyah berusaha mengambil benda persegi itu dari nakas.

Pria kecil itu terdiam saat melihat siapa yang meneleponnya, dia sedikit ragu tapi tetap memilih untuk menjawab panggilan itu.

"H-halo, Eommonie..." Rasa mual di perut Jimin kembali menyerang, dia menutup mulutnya dan berlari ke kamar mandi meskipun langkahnya terhuyung-huyung dan hampir terjatuh.

Jimin tidak bisa membalas teriakan panik dari seberang, dia merutuki dirinya sendiri. Wanita itu pasti akan segera kesini, dan dia harus segera membuat alasan untuk melindungi suaminya.

Pemikiran Jimin benar adanya, karena 15 menit setelahnya, Jimin bisa mendengar pintu apartemennya dibuka dan terdengar langkah kaki rusuh mendekati kamarnya.

"Jimin? Astaga!!!" Jimin tidak memiliki tenaga untuk menyambut wanita itu dengan pelukan, dia hanya bisa memberikan senyum tipis. Tubuhnya berbaring di atas ranjang dengan posisi yang sedikit kacau.

"Aku akan memanggil dokter. Tunggu sebentar, oke, Sayang?" Jimin memilih menurut, dia bisa melihat wajah khawatir wanita itu dan dia tidak tega menolak perkataannya.

***

"Apakah Anda seorang hermaphrodite?" Jimin terlihat bingung, apa itu? Hemarodite? Kenapa katanya sulit untuk diingat dan dilafalkan? Apa maksudnya itu? Apakah semacam penyakit?

"Aku tidak tahu..." Yah, itu jawaban yang tepat. Dia saja tidak tahu makna kata itu, bagaimana dia tahu jika dia termasuk ke dalamnya atau tidak?

"Sepertinya lebih baik Anda memeriksa ke bagian yang lebih mengerti. Saya sangat menyarankan Anda untuk mendatangi dokter kandungan. Sekarang, saya akan memberikan vitamin untuk menambah sedikit stamina Anda tapi saya tidak bisa menghilangkan rasa mual Anda," Dokter tubuh menjelaskan secara singkat, wanita Jeon di samping Jimin mengernyit, tapi sepertinya dia tahu apa yang terjadi.

"Ya, Dokter. Terima kasih sudah datang kesini," Wanita itu membuka suara saat melihat Jimin masih bingung dengan kondisi tubuhnya.

Begitu wanita yang memeriksa Jimin pergi, Kaeri memanjakan Jimin. Dia membuatkan makanan untuk pria kecil itu, mengelus perutnya yang mual, mengelus rambutnya saat dia ingin tidur. Semua keinginan sederhana Jimin dia lakukan.

"Eommonie, apa yang dimaksud dokter tadi? Kenapa aku harus ke dokter kandungan? Aku laki-laki, tidak bisa hamil, kan?" Jimin bertanya dengan penasaran, menatap wanita yang duduk di ranjang bersamanya.

"Itu artinya kamu spesial, Sayang. Besok kita akan ke dokter untuk memeriksa dirimu ya?" Jimin hanya mengangguk, dia masih penasaran tapi jika Kaeri mengatakan dia istimewa, maka dia benar-benar istimewa, kan? Jimin tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu sempit Kaeri saat wanita itu mengelus rambut dan perutnya. Dia merasa disayangi, apakah ini bagaimana rasanya memiliki seorang ibu? Betapa beruntungnya mereka yang masih bisa merasakan kasih sayang seorang ibu.

Keesokan harinya, Jimin bersama Kaeri pergi ke rumah sakit. Jeongguk tidak pulang tadi malam, dia mendapatkan pesan dari pria itu hanya karena Jimin mengatakan jika Kaeri ada di apartemen mereka. Jimin memberitahu Kaeri bahwa Jeongguk memiliki tugas yang harus dikerjakan sehingga tidak bisa pulang, yang diterima Kaeri dengan wajah masam.

Hanya sekitar satu jam mereka sudah keluar dari rumah sakit itu, dengan wajah yang sama-sama terlihat bahagia. Kaeri menggandeng tangan Jimin dan mengajak pria manis kesayangannya ke sebuah tempat makan berbintang. Kaeri mengatakan jika ini hanya salah satu hal kecil untuk mengucapkan rasa syukur atas kehamilan Jimin yang sudah dikonfirmasi oleh dokter kandungan.

Seharian itu, Kaeri tidak berhenti memanjakan Jimin. Dia membawa Jimin kemanapun pria itu ingin pergi, membelanjakan apapun yang menarik perhatian Jimin meski Jimin selalu menolaknya.

"Jimin, Eommonie harus pulang dulu. Besok Eommonie akan kesini bersama Abeoji. Jaga dirimu, jangan terlalu lelah. Kita cukup lama bersenang-senang tadi," Kaeri mengelus pipi Jimin dengan cemberutnya, dia tak rela meninggalkan menantunya yang sedang hamil sendirian jika Jeongguk tidak pulang.

"Iya, Eommonie. Jimin akan baik-baik saja, Eommonie harus segera pulang. Abeoji mungkin sudah khawatir dengan Eommonie," Jimin tersenyum lembut, Kaeri akhirnya meninggalkan unit apartemen Jimin dan Jeongguk. Dia tidak masuk lebih dulu karena dalam perjalanan pulang, dia mendapatkan pesan dari suaminya jika pria terkasihnya itu sudah merindukannya.

Jimin masuk setelah Kaeri tenggelam di dalam lift, dia berharap semoga Jeongguk tidak pulang malam ini. Dia tidak ingin menjadi sasaran amarah Jeongguk disaat dirinya hamil, meski dia tidak melakukan kesalahan tapi pria itu selalu menyalahkannya atas apa yang bahkan tidak dia lakukan.

"Darimana saja kau?" Jimin tersentak mendengar suara dalam itu, dia menoleh dengan tubuh yang sedikit menggigil. Dia melihat Jeongguk duduk di sofa ruang tamu, menyilangkan tangannya di depan dada dan menatapnya tajam. Jimin seketika menunduk, tidak berani menatap mata tajam Jeongguk yang terasa menghunusnya.

"E-Eommonie mengajakku jalan-jalan," Jimin menjawab takut-takut, dia memundurkan tubuhnya begitu Jeongguk melangkah mendekatinya, kepalanya semakin menunduk.

Brak!

Tubuh Jimin tersentak saat tangan Jeongguk melewatinya, memukul pintu yang tertutup dan menahannya menjauhi pria itu.

"Jangan melewati batasmu, Park Jimin. Mulai besok aku akan tinggal bersama istriku yang sedang hamil. Kau akan ikut kesana dan membantu keperluan istriku," Jimin mengangguk pelan, dia tidak memiliki keberanian untuk menentang apapun yang dikatakan Jeongguk sekalipun itu menyakiti hatinya.

Sesuai perkataan Jeongguk, mereka pindah ke rumah besar yang diisi beberapa penjaga dan pelayan. Seorang wanita yang Jimin lihat di acara pernikahannya dengan Jeongguk sudah menunggu kedatangan mereka, tapi dia mengabaikan Jimin dan bergelayut manja pada Jeongguk. Jimin kembali menunduk.

Dia sudah memberitahu Kaeri jika dia dan Jeongguk akan pindah ke rumah mereka, Kaeri sempat memprotes keputusan itu, tapi Jimin meyakinkan wanita itu jika dia akan baik-baik saja. Yang membuat wanita itu setuju dengan sangat berat hati.

Kehidupan Jimin setelahnya tidak pernah tenang, dia tidak ubahnya seperti pelayan wanita yang menjadi pasangan pertama Jeongguk. Wanita itu memperlakukannya sama buruknya seperti Jeongguk padanya, dia hanya bersyukur jika mereka hanya sekedar menyentuh wajahnya atau lengannya untuk sasaran tangan mereka. Setidaknya bayinya baik-baik saja, hanya itu yang penting bagi Jimin.

Hingga satu bulan setelah kepindahannya, Kaeri dan ayah Jeongguk datang berkunjung. Membeberkan tentang kehamilannya pada Jeongguk dan istrinya yang sudah memasang wajah masam, dia takut dengan tatapan mereka. Dia takut mereka akan menyakiti bayinya.

Dan apa yang dia takutkan terjadi, mereka menggunakan bayinya untuk mengancamnya. Jimin menurut tanpa bisa membela diri, dia diperlakukan lebih seperti sampah. Meski mereka tidak menyentuh perutnya, pasangan itu membuat begitu banyak jalan untuk menyakitinya.

Jimin bertahan dengan itu selama berbulan-bulan, hingga perutnya sudah terlihat bulat, tapi Jeongguk dan istrinya seolah tidak peduli. Mereka tetap menyuruhnya mengerjakan hampir seluruh pekerjaan rumah. Tak jarang Jimin akan berakhir pingsan karena kelelahan, stress yang dia rasakan membuat kandungannya semakin lemah dari hari ke hari. Jimin beberapa kali merasakan kram semenjak kandungannya menginjak usia tujuh bulan, tapi sekali lagi itu tidak menarik belas kasihan Jeongguk.

"Hei! Buatkan aku makanan. Aku lapar, anak Jeongguk tidak boleh kelaparan," Suara Aera membuat Jimin yang sedang mengepel lantai segera meninggalkan pekerjaannya setelah memastikan lantai itu sedikit kering. Jimin memasak sesuatu di dapur dan segera membawa masakannya ke ruang tamu dimana Aera berada.

Sret! Bruk! Prang!!

"Aargghh!!!" Jimin yang sedang membawa nampan berisikan makanan panas dan minuman untuk Aera terpeleset dan terjatuh. Perutnya terasa sangat sakit, dia tidak bisa menahan jeritan kesakitannya.

Dia berharap Aera ataupun pekerja disini memiliki belas kasih untuk membantunya, tapi tidak. Aera berdiri di depannya dengan wajah angkuh, melipat tangannya di dadanya dan menatapnya puas. Jimin menangis saat merasakan aliran darah membasahi pahanya. Melihat cairan merah itu sudah menggenang di lantai dan dia tidak bisa melakukan apapun.

"T-tolong... Ku... Kumohon, t-tolong akuhh..." Jimin merintih saat rasa sakit di perutnya semakin menjadi-jadi, dia semakin panik saat pandangannya mulai kabur dan perutnya terasa semakin menyakitkan.

'Tolong selamatkan anakku,' Adalah satu-satunya permintaan Jimin tepat sebelum pandangannya menjadi gelap. Tubuhnya tidak lagi bergerak gelisah, hanya terbaring lemas di genangan darahnya sendiri.

Sekitar 15 menit melihat Jimin tak sadarkan diri, Aera akhirnya mengambil ponselnya dan menelpon Jeongguk. Membuat dirinya seolah menangis sejadi-jadinya.

"Jeongguk! Jimin terjatuh! Banyak darah! Cepat pulang!! Hiks..." Begitu sambungan panggilan itu terputus, Aera menyunggingkan senyum miringnya. Dia memaksa dirinya menangis hingga wajahnya memerah.

Begitu Jeongguk berlari memasuki rumah mereka dia menghampiri dengan wajah menyedihkan palsunya. Menunjuk tempat dimana Jimin masih terbaring di genangan darahnya sendiri. Dia mengikuti Jeongguk yang membawa tubuh Jimin, tangannya menyangga perutnya yang juga sudah besar.

Mereka segera melaju ke rumah sakit terdekat, Aera terus membuat isakan palsu yang terdengar begitu menyedihkan.

"Jeongguk... Aku... Hiks... Aku menyesal... Aku menyesal tidak memperlakukannya dengan baik..." Jeongguk mencoba menenangkan istrinya, dia harus fokus pada jalanan agar mereka tidak kecelakaan.

Begitu mereka sampai di rumah sakit, Jeongguk kembali membawa tubuh berdarah Jimin memasuki gedung itu dan berteriak pada perawat dan dokter.

Jimin dilarikan ke ruang gawat darurat, Jeongguk dan Aera menunggu di depan ruangan. Jeongguk terlihat sedikit termenung, terlihat di wajahnya rasa penyesalan begitu melihat pria kecil itu tak sadarkan diri di genangan darahnya sendiri. Untuk pertama kalinya setelah mengenal Jimin, Jeongguk merasakan hatinya dipukul dengan sesuatu yang begitu keras dan besar, terasa menyesakkan. Tangannya bergetar, itu masih dipenuhi warna merah.

Berbeda dengan Aera yang memasang wajah menyedihkan, tapi sesekali tersenyum miring. Dia senang bisa menyingkirkan pengganggu dalam rumah tangganya dengan Jeongguk. Kini hanya akan ada Jeongguk, dia, dan bayinya.

Jeongguk terus termenung hingga tak sadar jika dokter sudah keluar dari ruangan itu, dia tersentak begitu merasakan tepukan di bahunya. Mendongak dan melihat dokter wanita yang menangani Jimin menatapnya menyesal.

"Maaf, baik pasien ataupun bayinya tidak dapat kami selamatkan. Keduanya meninggal beberapa menit sebelum tiba di rumah sakit," Jeongguk terdiam, tubuhnya kaku. Tangannya terlihat semakin bergetar.

"B-bolehkah aku melihatnya?" Dokter wanita itu mengangguk pelan.

"Ya, Tuan, tapi anda harus membersihkan tangan anda dan juga memakai baju steril. Dan Tuan, kami sempat mengeluarkan bayi pasien untuk mencoba menyelamatkannya tapi sepertinya sudah terlambat. Maafkan saya. Tapi Tuan, bayi laki-laki tersebut terlihat mirip dengan Anda," Wanita itu memberikan senyum kecil.

Jeongguk menerobos pintu ruang gawat darurat untuk melihat dua orang yang tak sempat merasakan kasih sayangnya terbujur kaku setelah dia sudah mencuci tangannya, dia juga sudah memakai setelan hijau steril.

Jeongguk menatap Jimin sudah terlihat pucat, kulitnya juga sudah terasa dingin. Di samping Jimin terdapat buntalan kecil yang hanya memperlihatkan wajah seorang bayi kecil, dokter itu benar saat mengatakan bayi itu mirip dengannya. Itu putranya? Itukah bayinya yang tidak mendapatkan kesempatan untuk melihat dunia?

Kenapa dia baru merasakan penyesalan sekarang? Dia benar-benar bodoh, kan? Dia kejam, dia jahat. Sekarang, dia hanya bisa merintih menatap dua tubuh tanpa nyawa itu. Mengelus kulit dingin keduanya dengan telunjuknya, untuk pertama kali dalam seumur hidup yang dia ingat, dia menangis.

"M-maaf... Maafkan kebodohanku. Maaf..." Jeongguk tak berhenti merintih saat dia membungkukkan tubuhnya untuk merengkuh dua orang yang sudah dia sia-siakan. Dia menangis tanpa suara, memohon pengampunan dengan hati yang diremas sekuat tenaga, dia merasakan sesak.

Inikah karmanya? Dia tidak bisa meminta permohonan maaf pada dua orang yang sudah dia sakiti? Dia tidak memiliki kesempatan untuk membahagiakan mereka? Sesakit inikah? Apakah Jimin merasakan sakit seperti ini juga saat dia terus mendorongnya pergi?

Jeongguk mengecup kening Jimin dan bayinya, dia menatap keduanya dengan pandangan kosong.

Dia merasakan kakinya terasa berat saat dia semakin menjauhi ranjang itu, dia ingin menerjangnya dan tidak membiarkan siapapun menjauhkan mereka. Tapi Jeongguk menggunakan sedikit kewarasan yang tersisa untuk menjernihkan pikirannya yang begitu berkabut.

"Jeongguk!!" Pria itu mendongak, menatap kosong wanita yang melahirkannya. Ibunya akan sangat membencinya, kan? Dia merasakan matanya kembali memanas, tubuhnya luruh seketika bersamaan dengan air mata yang menetes.

"Eomma..." Suara lirih Jeongguk tak begitu terdengar saat tubuhnya terhuyung ke depan dengan mata tertutup.



T. B. C

Hai, I'm back...
Siap untuk masa penyesalan Jk?

JkJm193, 2 Desember 2022

Continue Reading

You'll Also Like

305K 5.7K 47
Dipper Pines thought that a summer in Gravity Falls with his twin sister Mabel and his weird great uncle Stan working at the Mystery Shack would be t...
89.1K 2.3K 33
A little AU where Lucifer and Alastor secretly loves eachother and doesn't tell anyone about it, and also Alastor has a secret identity no one else k...
194K 4.4K 67
imagines as taylor swift as your mom and travis kelce as your dad
8.3M 107K 63
"Bad guys can be good too... when they're in bed." #1 in FANFICTION✓ © sujinniie 2018-2019 ✓ © sujinniie revised 2022