Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(42) Musuh Misterius

1.2K 259 29
By dekmonika

NEXT GUYS!

______________________________

"Delapan lawan satu itu pengecut namanya." Kata seseorang itu sambil melepas jas hitamnya.

"Anda sudah berani ikut campur. Jangan menyesal." Ujar pria tua yang telah kembali bangkit.

"Saya akan lebih menyesal membiarkan satu orang menghadapi delapan orang pengecut seperti kalian semua." Sahutnya dengan tersenyum miring.

"Serang dia!"

Beberapa dari tukang pukul itu seketika maju melawan seseorang tersebut dengan marah. Melihat hal itu, Aldebaran berusaha untuk kembali bangkit dengan susah payah. Di tengah kepayahannya itu, salah satu dari tukang pukul melihatnya dan hendak menendang tubuhnya kembali, namun Aldebaran langsung menangkap satu kaki itu dan membalas menendangnya dari bawah.

Tukang pukul itu terpelanting keras saat Aldebaran sudah mampu bangun. Pria tua yang sedang dijaga ketat oleh dua anak buahnya nampak kaget dengan kekuatan Aldebaran yang telah kembali, hingga mengisyaratkan para anak buahnya untuk waspada.

"Al, kamu tidak apa-apa?" Tanya sang penolong yang bernama Ferdinand itu saat sudah berhasil melumpuhkan beberapa lawannya.

"Saya nggak papa, Pak. Terima kasih sudah menolong saya." Balas Aldebaran sambil waspada terhadap serangan-serangan tukang pukul yang mungkin saja menyerangnya tiba-tiba.

"Syukurlah. Mereka siapa?"

"Saya tidak tahu, Pak."

//BUGG!!//

Aldebaran menendang tongkat kayu yang hampir saja akan melayang di punggung Ferdinand oleh salah seorang tukang pukul. Dengan cepat, Ferdinand membalas serangan itu. Begitu pula dengan Aldebaran yang kembali berhadapan dengan beberapa orang sekaligus serangan demi serangan mengincarnya lagi.

"Beraninya dia mengacaukan rencana kita." Tutur pria tua yang dengan buru-buru masuk kembali ke dalam mobilnya dibantu oleh dua anak buahnya.

Sementara di luar mobil, Aldebaran dan Ferdinand masih bertarung melawan sisa-sisa tukang pukul yang masih sanggup melawan. Hingga sebuah suara sirine menggema dari kejauhan membuat semua tukang pukul itu terbirit-birit menuju mobil mereka karena menyangka sirine itu berasal dari mobil polisi yang akan menghampiri mereka.

"Sial, ada polisi. Kita pergi sekarang." Perintah bos tersebut. Begitu seluruh anak buahnya sudah masuk di kedua mobil mereka, tanpa menunggu lagi dua mobil itu melesat pergi dengan kecepatan tinggi.

"Woyy!" Seru Aldebaran dengan nafas yang tersenggal.

"Polisi?" Tanya Ferdinand saat melihat sebuah mobil sedan mendekat ke arah mereka, yang mana mobil itulah sumber dari suara sirine tersebut.

"Tommy, Pak. Asisten saya." Sahut Aldebaran yang begitu mengenali mobil tersebut. Tak lama kemudian, si pemilik mobil itu pun keluar dengan raut panik seraya menghampiri atasannya.

"Bapak terluka, Pak?" Tommy terlihat cemas melihat kondisi bosnya itu, dimana kemejanya terlihat kotor dan terdapat bercak-bercak darah. Ditambah wajahnya yang terdapat beberapa lebam bahkan sampai mengeluarkan cairan merah.

"Saya tidak apa-apa." Jawab Aldebaran.

"Asisten kamu pintar juga memanipulasi musuh." Ujar Ferdinand pada Aldebaran membuat Tommy menyengir, salah tingkah.

"Tadi Pak Al sempat bilang soalnya kalau beliau sedang dibuntuti. Jadi, sejak berangkat saya prepare dengan sirine ini." Jelas Tommy membuat Ferdinand tertawa dan Aldebaran terkekeh.

"Terima kasih, Tommy." Ucap Aldebaran membuat asistennya itu mengangguk, patuh.

"Dan Pak Ferdinand, sekali lagi saya ucapkan terima kasih karena Anda datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin sekarang saya sudah kehilangan nyawa saya."

"Sama-sama, Al. Kebetulan saya juga sedang lewat dan saya mengenali kamu saat mereka semua mengeroyok. Saya tidak mungkin tinggal diam." Balas Ferdinand.

"Tapi Anda tidak apa-apa, kan, Pak?"

"Saya tidak apa-apa, Al. Paling hanya memar-memar kecil."

"Ya."

"Kalau begitu, biar saya antarkan bapak pulang. Bapak tidak mungkin kan menyetir sendiri." Usul Tommy.

"Tidak perlu, Tom. Saya masih bisa menyetir sendiri."

"Tapi kondisi bapak sekarang..." Tommy terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan bosnya itu yang tetap keras kepala.

"Saya baik-baik saja, tidak usah khawatir." Melihat Aldebaran yang tetap kekeh pada keputusannya, membuat Ferdinand terkekeh.

"Kamu keras kepala juga ya, Al." Cetus Ferdinand membuat Aldebaran beralih menatapnya.

"Begini saja. Kalau Al tetap tidak ingin diantar, kamu pantau bos kamu saja dari belakang, Tom. Jadi kalau ada apa-apa, kamu bisa sigap menolongnya." Usul Ferdinand membuat Tommy berpikir sesaat, kemudian mengangguk setuju.

"Ya terserah kamu saja, Tom."

"Siap, Pak."

Selama di perjalanannya, Aldebaran tak henti-hentinya memikirkan komplotan tukang pukul yang baru saja menyerangnya secara membabi buta tadi. Siapa mereka? Sejauh yang ia ingat, ia tidak pernah memiliki musuh besar, kecuali yang terakhir kali pernah membuntutinya adalah orang suruhan yang pernah ingin menjebaknya melalui secangkir kopi waktu itu. Apa mungkin mereka disuruh orang yang sama?

Aldebaran menggelengkan kepalanya. Sepertinya bukan. Orang yang ingin menjebaknya melalui kopi tempo hari nampaknya rivalnya dalam urusan bisnis, yang sejauh ini ia menduga adalah Pak Bakti, rekan bisnis papanya sendiri. Sementara komplotan tadi sempat berbicara perihal dosa papanya di masa lalu. Apakah sang papa pernah melakukan kesalahan besar sehingga membuat orang itu menaruh dendam yang begitu dalam?

Tidak mungkin. Lagi-lagi Aldebaran menggeleng. Aldebaran kenal papanya, sangat mengenal. Ia tahu sang papa sejak dulu tidak pernah memiliki musuh besar. Dan Aldebaran yakin papanya dari dulu adalah orang yang baik, sangat baik. Ia rasa tidak mungkin jika sang papa melakukan kesalahan besar yang kemudian berefek pada keluarganya sendiri, termasuk Aldebaran.

"Kalau bukan papa, lalu siapa yang mereka maksud?" Gumam Aldebaran, berpikir keras.

Aldebaran memegang kepalanya yang mendadak terasa nyeri, sedangkan satu tangannya lagi tetap berada pada setir. Sebuah kilasan memori tiba-tiba menghampiri ingatannya. Suara seseorang yang pada saat itu cukup membuatnya ketakutan.

"Setelah melakukan beberapa kali penyelidikan, sepertinya kecelakaan itu mengandung unsur kesengajaan."

"Kesengajaan?"

"Iya, Pak. Tim kami menemukan kejanggalan pada salah satu kabel rem mobil itu. Seperti sebuah pembunuhan berencana."

//CIIITTT!!//

Aldebaran mengerem mobilnya secara mendadak dengan posisi yang sedikit meminggir. Tommy yang sejak tadi terus mengawasi atasannya itu sontak merasa kaget dan segera menginjak rem. Karena merasa khawatir, Tommy pun turun dari mobilnya untuk memeriksa kondisi Aldebaran.

"Pak, bapak baik-baik saja?!" Tommy berseru sambil mengetuk pintu kaca mobil tersebut. Aldebaran tersadar dan segera membuka kaca mobil yang baru saja diketuk oleh asistennya.

"Ada apa, Pak? Bapak kesakitan?" Aldebaran lantas menggelengkan kepalanya.

"Tidak apa-apa."

"Apa tidak sebaiknya saya saja yang menyetir, Pak?" Tommy masih tampak cemas.

"Tidak, Tom. Saya bisa sendiri. Kamu kembali ke mobil kamu." Aldebaran tetap keras kepala. Ia menaikkan kaca mobilnya kembali dan membawa mobil tersebut beranjak pergi lagi. Hal itu membuat Tommy yang tiba-tiba ditinggalkan segera kembali ke mobilnya dan berusaha mengejar mobil Aldebaran yang sudah melesat jauh.

Beberapa waktu berselang, Aldebaran sudah tiba di rumahnya. Sedangkan Tommy, setelah memastikan bosnya sampai dengan selamat, ia pun berbalik arah untuk pulang. Dengan sedikit sempoyongan, Aldebaran keluar dari mobil dan berjalan menuju rumahnya. Seorang satpam rumahnya yang melihat kondisi Aldebaran sedang tidak baik langsung menghampiri.

"Pak bos kenapa?"

"Tidak apa-apa." Jawab Aldebaran sambil terus berjalan menuju pintu rumahnya.

"Pak bos sepertinya terluka. Biar saya bantu, Pak." Aldebaran langsung menepis tangannya saat satpam rumah tersebut ingin membantunya berjalan.

"Saya bilang saya tidak apa-apa. Kamu fokus jaga di depan saja." Bantah Aldebaran membuat satpam itu tak berkutik dan hanya diam di tempatnya sambil terus memperhatikan majikannya itu yang memasuki rumah.

Aldebaran masuk dan tidak melihat ada siapapun. Ia menghela nafas dengan lega. Ia harap orang-orang rumah itu sudah tertidur sehingga tidak melihat kondisi kepulangannya yang babak belur.

"Al, kamu sudah pulang?" Suara seorang wanita tiba-tiba mencegat langkahnya. Pria itu berdecak kesal dalam hatinya karena ia tahu persis siapa pemilik suara itu. Mau tidak mau ia pun membalikkan tubuhnya dan melihat wanita itu.

"Ma..." Lirih Aldebaran.

Senyuman Rossa yang awalnya mengembang, seketika pudar saat melihat kondisi wajah putranya yang dipenuhi beberapa luka dan memar. Wanita itu segera mendekat dan mencoba melihat lebih jelas dengan tampak panik.

"Kamu kenapa, Al? Kok babak belur begini?" Tanya Rossa sambil mengusap wajah putranya. Aldebaran tampak tergagap, bingung.

"Aku..."

"Pa! Papa kesini, Pa!" Belum sempat Aldebaran menjawab, wanita itu langsung menyeru suaminya dengan panik.

"Ma, aku nggak papa, ma." Ujar Aldebaran.

"Nggak papa bagaimana? Wajah kamu penuh luka begini."

"Kenapa, Ma?" Damar datang dengan bertanya-tanya. Aldebaran melihat sang papa dengan cemas.

"Hei, kamu kenapa, Al?" Damar ikut mendekat, sebagaimana istrinya.

"Ma, Pa, please calm down. Aku bisa jelaskan apa yang terjadi." Kata Aldebaran, berusaha menenangkan kedua orang tuanya itu yang terlihat sangat panik.

"Bagaimana mama bisa tenang sih, Al?"

"Ma, I'm okay. Aku nggak papa."

"Kamu berkelahi, Al?" Tanya Damar yang terlihat lebih tenang dibanding istrinya.

"Aku diserang oleh komplotan orang tidak dikenal, Pa. Aku tidak tahu mereka siapa." Ungkap Aldebaran membuat kening Damar mengerut.

"Kok bisa?" Aldebaran menggelengkan kepalanya.

"Mungkin mereka hanya ingin merampok. Aku juga tidak tahu pasti." Jawab Aldebaran, mengarang. Aldebaran tahu betul bahwa komplotan itu bukanlah komplotan perampok, melainkan ada misi tertentu terhadapnya. Namun ia tidak mau membuat kedua orang tuanya menjadi semakin kepikiran yang tidak-tidak.

"Mereka bawa mobil kamu?"

"Nggak, Pa. Beruntung saat itu tadi ada Pak Ferdinand yang menolong dan membantuku melawan mereka."

"Ferdinand papanya Andin?"

"Iya. Dan ada Tommy juga yang datang."

"Yaudah, kita ke rumah sakit, ya." Cetus sang mama.

"Nggak perlu, Ma. Aku baik-baik saja kok. Luka sedikit ini bisa aku obati sendiri nanti."

"Kamu ini selalu begini, keras kepala. Yasudah kalau begitu biar mama telepon Om Ilham saja untuk memeriksa luka-luka kamu." Sahut Rossa.

"Nggak usah, Ma. Om Ilham pasti lagi repot di rumah sakit. Lebih baik sekarang mama siapkan makan malam buat aku, ya. Tadi kata mama, Andin ada masakin sesuatu, kan? Aku lapar." Aldebaran mengalihkan pembahasan mereka dengan wajah yang sedikit merengek manja pada sang mama.

"Kamu ini, ya. Yaudah, kamu bersih-bersih dulu ke kamar, ganti baju. Terus kalau sudah, langsung turun ke meja makan, biar sekalian mama obati lukanya." Balas Rossa yang akhirnya mengalah.

"Iya, Ma."

Aldebaran berjalan gontai saat tiba di dalam kamarnya. Setelah beberapa saat berpura-pura tersenyum di hadapan kedua orang tuanya, kini pikiran pria itu kembali pada kejadian yang menimpanya beberapa saat yang lalu. Ia duduk di ujung tempat tidurnya dengan menunduk serta kedua tangan yang mengusap kasar rambutnya.

"Arrggh!" Ia menggeram, marah.

Kepalanya mendongak, menatap lurus pada dinding kamar dengan pandangan kosong. Apa maksud mereka? Pandangannya lalu beralih pada pintu ruangan rahasia miliknya yang ada di kamar tersebut. Dengan langkah perlahan, ia menuju kesana, menekan beberapa digit nomor yang terdapat pada pintu tersebut, mengisi password rahasia miliknya. Pintu itu mengeluarkan bunyi, lalu terbuka otomatis. Tanpa ragu, Aldebaran masuk kemudian menutupnya kembali.

Sementara itu, Rossa kembali sibuk di dapur untuk menghangatkan beberapa lauk untuk makan malam putranya yang baru saja pulang. Disana ia ditemani oleh seorang asisten rumah tangganya. Di tengah aktivitasnya, Rossa jadi berpikir untuk menghubungi Andin, kekasih putranya. Ia rasa Aldebaran pasti akan senang jika Andin tiba-tiba datang. Lagipula Andin juga pasti tidak tahu kejadian apa yang sidah menimpa Aldebaran. Andin harus mengetahuinya, pikir Rossa.

"Halo, tante..." Sapa suara perempuan di balik ponsel Rossa.

"Halo, Andin. Maaf tante nelpon kamu malam-malam begini. Kamu sudah mau tidur, ya?"

"Oh, nggak kok, tan. Kebetulan aku lagi ada yang dikerjain juga."

"Tante ganggu kamu, ya?"

"Enggak, tante. Santai saja, hehe." Jawab Andin membuat Rossa tersenyum senang.

"Syukurlah."

"Ada apa, tante?" Tanya Andin, penasaran.

"Tante mau ngasih tahu kamu kalau Al baru saja pulang."

"Ohh. Dia lembur ya, tante?"

"Sepertinya, ya."

"Tapi..." Rossa menggantungkan kalimatnya membuat Andin bereaksi penasaran.

"Tapi apa, tan?"

"Dia pulang dalam kondisi terluka." Beritahu Rossa membuat Andin di seberang telepon merasa kaget.

"Hah? Maksud tante terluka bagaimana?"

"Di tengah perjalanannya pulang, dia diserang sama komplotan orang yang tidak dikenal. Al bilang sih, mereka mungkin perampok."

"Ya ampun. Lalu keadaan Mas Al sekarang bagaiaman tante?"

"Wajahnya sih babak belur, tapi saat mama mau ngajak dia ke rumah sakit, dia nggak mau. Dia bilang dia tidak kenapa-napa. Padahal bohong banget, jelas-jelas dia mendapat banyak luka." Adu Rossa, membuat sesosok gadis yang sedang menerima telepon darinya itu semakin dilanda kekhawatiran.

"Astaga, aku jadi kepikiran banget, tante." Balas Andin menciptakan sebuah senyuman di bibir Rossa. Nampaknya usahanya agar Andin berinisiatif untuk datang ke rumah mereka akan berhasil.

"Kalau aku kesana sekarang boleh nggak, tante? Aku ingin melihat kondisi Mas Al." Tanya Andin, semakin memperlebar senyuman wanita itu.

"Tentu. Boleh banget, sayang. Al juga pasti akan senang kalau kamu datang."

"Makasih, tante. Kalau begitu aku siap-siap sebentar, terus langsung ke rumah tante, ya."

"Iya, Andin. Tante tunggu, ya."

"Ya, tante."

___________________________

Aldebaran berdiri tegak memandangi sebuah bingkai lukisan abstrak pada salah satu dinding lapang di ruang rahasia itu. Tatapan matanya lekat namun terlihat sendu. Setelah meyakinkan dirinya, ia menyentuh bingkai lukisan itu, lalu melepaskannya secara perlahan.

Ternyata di balik lukisan besar itu, terdapat sebuah bingkai lukisan lagi namun berukuran lebih kecil. Bukan lukisan abstrak lagi, melainkan lukisan yang menampakkan sebuah keluarga kecil. Lukisan itu memang terlihat tidak begitu sempurna, akan tetapi disana dapat terlihat jelas adanya dua sosok suami-istri beserta dua anak kecil, laki-laki dan perempuan, yang mungkin adalah buah hati mereka.

Aldebaran sedikit menyeka lukisan itu yang agak berdebu. Senyuman tipis melengkung di sudut bibirnya saat melihat gambar diri manusia terlukis pada bingkai itu. Tatapan sendunya melayang jauh bersama pikirannya, seolah sedang menyingkap masa-masa indah yang menjadi makna dari lukisan tersebut.

"Kenapa sih papa mau jadi polisi? Padahal kan polisi banyak musuhnya." Kata seorang bocah laki-laki saat sedang bermain bersama seorang pria dewasa.

"Kata siapa polisi banyak musuhnya?"

"Kata teman-teman di sekolah." Pria itu tersenyum mendengar ungkapan bocah lelakinya.

"Hei, Nak, dengarkan papa. Polisi itu tidak boleh bermusuhan dengan siapapun. Satu-satunya musuh polisi adalah kejahatan itu sendiri, bukan orangnya. Kalaupun ada orang yang melakukan kejahatan, tapi kemudian dia mengaku salah dan meminta maaf, maka dia harus dimaafkan." Tutur pria itu mencoba memberi pengertian pada putranya.

"Kalau sudah dimaafkan, orang itu tetap dihukum, Pa?"

"Iya, sesuai dengan kesalahannya. Kita harus saling memaafkan, tapi hukum harus tetap berjalan."

"Ohh. Berarti papa tidak punya musuh?"

"Tidak ada, Darren. Satu musuh saja itu sudah terhitung banyak untuk papa. Jadi papa tidak mau mencari-cari musuh. Tugas papa sebagai polisi adalah menjaga keamanan dan menolong orang-orang yang perlu bantuan papa." Lanjutnya sambil mengusap rambut tebal bocah lelaki itu sambil tersenyum.

Kilasan memori itu membuat Aldebaran terhenyak, seperti menyadari sesuatu. Apakah peristiwa yang baru saja menimpanya beberapa saat yang lalu itu ada hubungannya dengan seseorang di masa lalunya itu? Seseorang yang sudah begitu lama ia kubur kisahnya, dan menjadikannya hanya sebagai kenangan saja.

//TOK TOK!!//

"Mas!"

Ketukan pintu yang disertai panggilan seseorang dari luar membuat lamunan Aldebaran terbuyar. Ia buru-buru memasang kembali bingkai lukisan itu, disusul ditutupi dengan lukisan abstrak yang besar sebelumnya. Ia bergegas keluar dari ruang rahasia itu saat mendengar suara perempuan yang memanggilnya. Keningnya mengerut heran, sebab ia kenal siapa pemilik suara itu.

"Andin?" Gumamnya dalam hati seraya berjalan menuju pintu kamarnya. Ia menarik kenop tersebut yang membuat daun pintu itu terbuka lebar.

"Kok disini?" Aldebaran bingung saat mendapati kekasihnya yang berdiri di hadapannya. Gadis dengan piyama biru yang dilapisi dengan sebuah jaket itu tampak menatapnya dengan gundah, terlebih saat melihat kondisinya yang masih berantakan karena belum sempat mandi ataupun berganti pakaian.

"Kamu kenapa?" Andin bertanya langsung seraya mendekat lalu menyentuh salah satu sisi wajah pria itu dengan tangannya.

Aldebaran bisa merasakan tangan Andin yang sedikit gemetar saat menyentuh wajahnya. Terlebih Andin menatapnya dengan amat gundah dan cemas, membuat Aldebaran terpaku karena menyadari kekasihnya itu sedang ketakutan.

"Saya nggak apa-apa, Andin." Ujar Aldebaran disertai senyuman manisnya.

"Kamu kenapa kesini malam-malam, bukannya istirahat?" Timpal Aldebaran. Namun Andin masih menatapnya dengan sedih.

"Mereka siapa, Mas? Beraninya mereka menyerang kamu." Omel Andin namun dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

"Saya tidak tahu. But, I'm okay. Saya bisa melawan mereka semua. Buktinya saya bisa berdiri di depan kamu sekarang." Jawab Aldebaran dengan tersenyum lebar seraya mengambil satu tangan kekasihnya yang masih menyentuh pipinya. Namun Andin justru menepis tangan Aldebaran dan menatap pria itu dengan kesal.

"Kamu selalu bilang 'nggak papa' terus. Kamu tahu nggak sih kalau aku khawatir sama kamu!" Andin berujar dengan ketus, membuat Aldebaran terdiam sesaat.

"Bagaimana kalau tadi mereka berhasil melumpuhkan kamu? Bagaimana kalau ternyata komplotan itu membawa senjata tajam yang bisa dengan mudah mencelakai kamu?!"

"Kamu lihat diri kamu sekarang! Wajah kamu itu babak belur, Mas. Dan kamu masih bilang kalau kamu nggak papa?"

Kecemasan yang tergambar pada wajah Andin membuat Aldebaran merasa bersalah. Ia mungkin memang merasa baik-baik saja, tetapi orang-orang tercintanya pasti akan merasa tidak tenang melihat dirinya pulang dalam kondisi seperti itu dan hanya dibiarkan saja.

Aldebaran terenyuh, lalu merengkuh gadis yang memiliki tinggi sebatas dagunya. Andin membalas pelukan itu dengan erat seraya memejamkan matanya, mencoba menetralkan rasa cemas yang melanda.

"Saya minta maaf, ya, sudah membuat kalian khawatir." Ucap Aldebaran, lirih, seraya terus mengelus rambut belakang gadis itu. Setelah beberapa saat, Andin melepaskan tubuhnya dari sang kekasih.

"Panggil Om Ilham, ya. Aku takut ada luka yang serius, Mas." Andin membujuk dengan wajah memelasnya. Melihat kekasihnya yang begitu manis saat memasang tampang membujuk padanya, membuat Aldebaran terkekeh, hingga kemudian mengangguk.

"Ya. Saya coba hubungi Om Ilham, ya." Aldebaran pun mengalah.

____________to be continued______________

Wihhh tumben kan cepet banget UP part berikutnya wkwk..

Selamat membaca semua! Kutunggu komen kelean semuaaahh, ehehe

Continue Reading

You'll Also Like

465K 46.6K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
233K 34.9K 63
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
45.6K 7.1K 38
Rahasia dibalik semuanya
74.8K 7.5K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...