RUMOR

By blueesilverr

5.5K 478 81

āš ļø š‡ššš«ššš© šŸšØš„š„šØš° šš®š„š® š¬šžš›šžš„š®š¦ š¦šžš¦š›šššœšš š‡ššš«šššš§ šššš§ š«š®š¦šØš« š­šžš§š­ššš§... More

Prolog
satu ; kita
dua ; tentang rumor
empat ; tentang pahlawan dan pengakuan tak terduga
lima ; susah move on
enam ; malioboro menjadi saksi
tujuh; bertemu
delapan; disini untukmu
sembilan; kebenaran (1)
sepuluh; akhirnya
sebelas; restu
duabelas; kebenaran (2)
tigabelas; bintang kecil (1)
empatbelas; bintang kecil (2)
limabelas; janji
enambelas; keluarga kecil
tujuh belas; cinta pertama
delapan belas; semua akan baik baik saja
sembilan belas; kemunculan
dua puluh; Radhika bersaudara (1)
dua puluh satu; Radhika bersaudara (2)
dua puluh dua; pengirim pesan (1)
dua puluh tiga; pengirim pesan (2)
dua puluh empat; titik terang (1)
dua puluh lima; berdamai
dua puluh enam; tentang rindu

tiga ; bertengkar

242 26 0
By blueesilverr






Vote komen jangan lupa ya guys
Biar aku lebih semangat nulis cerita ini ..







Gita keluar dari ruang dosen dengan wajah yang terlihat sangat lelah. Langkahnya gontai, wajahnya sayu dan tubuhnya terasa lemas sekali. Ia ingat betul bahwa dirinya tidak melewatkan sarapan, namun entah mengapa rasanya seluruh energinya telah terkuras habis. Tidak salah lagi, ini mungkin adalah dampak dari perdebatan singkatnya dengan Pak Tono perihal artikel tadi. Langkahnya berhenti kala dirinya melewati kantin. Kedua netranya menangkap perawakan seseorang yang amat sang ia kenali dengan baik. Ia pun berteriak memanggil nama berharap orang tadi mendengar suaranya.

"Mbak Gita udah selesai kelas?" ujar suara itu menyambut kehadiran Gita yang tengah berlarian kecil menghampirinya.

"Iya nih kebetulan juga lagi laper makanya lewat sini biar bisa beli siomay. Kamu mau?" tanya Gita seraya menurunkan tas-nya ke atas meja. Bersebelahan dengan tempat duduk orang yang dipanggilnya tadi.

"Iya mau!"

"Oke, tunggu sebentar ya? Aku pesenin dulu,"

Gita menuju salah satu outlet dimana dirinya biasa membeli siomay dan batagor. Tidak lupa pula memesan dua gelas jus jambu yang segar dan cocok diminum siang-siang seperti ini. Usai memesan dirinya kembali ke tempat duduk sembari menunggu pesanannya tiba.

"Kamu tumben kesini? Jemput Jivan ya?" tanya Gita pada gadis berperawakan mungil di sebelahnya, Widia.

"Iya mbak. Mobil yang biasa dipakai mas Jivan lagi masuk bengkel. Tapi mbak, aku udah setengah jam nungguin disini, mas Jivan-nya nggak muncul-muncul! Mbak tau nggak mas Jivan kemana?"

Gita mengerutkan keningnya, "Aku nggak papasan sama dia seharian ini atau mungkin dia lagi ada urusan lain? Ketemu dosen atau ke perpus dulu misalnya?"

Widia mengangguk kecil, "Bisa jadi sih, soalnya daritadi aku telfon sama chat nggak dibales sama sekali,"

Pesanan keduanya datang dengan diantarkan oleh seorang pemuda. Mereka pun tanpa berpikir panjang segera melahap siomay itu karena rasa lapar yang melanda.

"Tunggu sebentar ... aku coba chat Hardan dulu. Barangkali dia lagi sama Jivan sekarang," Gita bersiap mengetik di ponselnya sedangkan Widia hanya mengiyakan saja.

"Mas Hardan ada kelas juga hari ini?" tanya Widia. Gita menoleh sebentar padanya.

"Ada kok,"

Belum selesai pesan itu ditulis, Gita dikejutkan dengan tepukan dari arah belakang. Ia terperanjat diikuti Widia kemudian. Dengan tidak santai mereka menoleh secara bersamaan dan menatap tajam seseorang yang telah berani mengejutkan keduanya.

"Ish Har! Kurangajar lo ya?" hardik Gita tidak terima sementara Hardan tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Eh ada dek Widia, lagi nungguin siapa?"

"Suaminya lah, masa iya gebetannya!" serobot Gita tidak bersahabat membuat Hardan menebah dada melihat kelakuan sahabat satu itu.

"Iya, aku lagi nungguin mas Jivan. Mas Hardan ketemu dia nggak?"

"Aku belum masuk kelas daritadi. Ini baru mau ma-"

"Hardan!!"

Seorang wanita jakung berjalan dengan napas naik turun menghampiri Hardan yang dengan sengaja meninggalkan dirinya tadi. Sedangkan yang dipanggil sibuk menghindar dengan hendak melarikan diri, namun tas punggungnya berhasil ditarik kuat dari arah belakang. Tubuhnya sedikit terhuyung, tetapi tidak sampai membuatnya jatuh.

"Astaga, nggak usah narik baju aku juga Aya!"

"Ya kamu sih pakai kabur segala!"

Perdebatan kedua manusia berbeda jenis kelamin tersebut berhenti ketika Kalyana menoleh dan mendapati dua orang wanita tengah memperhatikannya dengan Hardan sejak tadi. Ia tersenyum untuk menyapa salah satunya-yang memang ia kenal dengan baik sejak bangku sekolah dulu.

"Lho mbak Kalya disini juga?" tanya Widia.

Memang perawakan fisik dari seorang Kalyana Zanitha tidak pernah berubah sedikitpun. Wanita itu kini memiliki aura dewasa yang positif. Membuat Widia terkagum-kagum sendiri saat bertemu dengannya.

"Iya nih, eh kamu juga tumben disini?" tanya Kalya.

"Lagi nungguin mas Jivan. Soalnya aku anter dia ke kampus tadi pagi,"

"Oh Jivan! Tadi waktu jalan kesini aku sempet liat dia di lapangan depan. Tadi mau nyamperin, tapi keburu Hardan lari duluan. Jadinya aku nggak nyamperin dia,"

"Lapangan depan?" Widia dengan sigap membereskan semua barangnya dan melenggang pergi darisana.

"Jivan lagi apa di lapangan?" tanya Hardan penasaran.

"Nggak tau, tapi tadi sama cewe-"

"Waduh!"

Hardan kembali berjalan menyusul Widia yang lebih dulu pergi ke lapangan. Di belakangnya ada Kalyana dan paling belakang ada Gita. Mereka bertiga menghampiri Widia yang sedang berdiri di pinggir lapangan dengan pandangan menatap lurus ke arah seorang lelaki. Dia tidak sendirian melainkan tengah duduk bersama seorang gadis bersurai panjang warna hitam legam, entah siapa. Widia tidak mengenal dengan baik siapa gerangan sosok gadis yang tengah berduaan dengan suaminya.

"Ish ditungguin daritadi, nggak taunya lagi mojok berdua sama cewek!" gerutu Widia yang didengar jelas oleh yang lainnya.

"Eits~ mau kemana kamu?" tanya Gita. sembari menahan bahu kiri Widia. Wanita mungil itu otomatis menghentikan langkahnya secara paksa.

"Mau nyamperin mas Jivan," jawab Widia dengan suara setengah bergeta dan kedua manik matanya sudah berkaca-kaca.

"Wid, sabar dulu. Jangan kebawa emosi ya? Kamu boleh kesana, tapi jangan teriak-teriak oke? Mau aku temenin?" Gita berujar lembut berusaha meluruhkan emosi yang tengah mengepul dalam benak Widia.

Belum sempat mereka menghampiri Jivan, laki-laki itu telah lebih dulu menyadari kehadiran sang istri dan ketiga temannya yang lain. Seketika diletakkannya pulpen dan kertas yang ia pegang sebelum berlarian kecil meninggalkan gadis yang bersamanya kemudian menghampiri Widia dan Gita-yang berdiri paling dekat dengan lapangan.

"Widia?" panggilnya seraya mengatur napasnya yang naik turun.

Tangan Jivan terulur untuk meraih telapak tangan sang istri, "Kamu-"

"Jangan sentuh!"

Jivan tersentak mendengar Widia meneriakinya. Ia mundur beberapa langkah dan membiarkan Widia membuat jarak dengan dirinya. Istrinya itu berbalik dan menghampiri Hardan lalu tanpa berpikir panjang memeluk lelaki itu dan menumpahkan tangisnya disana.

"Sayang, kok kamu-"

"Diem kamu!"

"Tapi aku disini lho, kok kamu malah peluk Hardan?"

"Makanya jangan kebanyakan tingkah! Aku juga marah Widia disakitin sama lo kayak gini!"

Tidak dapat berbuat banyak, Jivan hanya menghela napas pasrah. Membiarkan sang istri memeluk Hardan dan menumpahkan segala kesedihannya dalam pelukan tersebut.

"Wid, udah jangan nangis," hibur Kalya sembari menyentuh pucuk kepala Widia dengan lembut. Mengusapnya pelan penuh kasih sayang.

"Makanya kalau mau kemana-mana ijin dulu, jangan main pergi aja!" omel Gita memperingatkan Jivan.

"Aku lupa kalau hari ini Widia jemput aku," balas Jivan penuh penyesalan.

"Setidaknya buka hp kamu dan balas chat dia. Kamu tau nggak dia nungguin kamu di kantin udah dari setengah jam yang lalu? Dia lagi hamil lho kalau kecapekan gimana hayo?" Gita kembali menyambung ucapannya, Jivan semakin merasa menyesal dan bersalah atas keteledorannya.

Widia melepas pelukannya pada tubuh Hardan, namun usapan lembut Kalya pada pucuk kepalanya belum berhenti. Gita juga menatapnya penuh dengan rasa khawatir, membuat dirinya merasa seperti seorang adik kecil bagi ketiga orang yang dulunya memang kakak tingkatnya di bangku SMA. Lantas pandangannya kembali pada Jivan yang masih menatapnya penuh dengan rasa bersalah.

Sayang sekali, ia memilih untuk tetap pada pendiriannya. Ditariknya Gita pergi darisana, mengabaikan Jivan yang masih berdiri mematung berharap perhatian darinya. Hardan menggelengkan kepalanya lalu menepuk bahu sahabatnya berusaha menenangkan ditengah kacaunya hari akibat ulah Jivan yang sembrono.

"Jangan diulangi, besok-besok cek hpmu! Kasihan Widia, jangan dibuat stress. Lagi hamil lho dia," ucap Hardan menasehati.

"Biarin dia dianter pulang sama Gita. Lo naik motor gue aja,"

Jivan melotot tak percaya, "Terus nanti pulangnya gimana?"

"Siapa? Gue?" Hardan menunjuk dirinya sendiri, Jivan menganggukkan kepala.

"Gampang lah, gue bisa naik taksi sama Kalya nanti,"

"Makasih ya, Har?"

Jivan menerima kunci motor dari tangan Hardan kemudian berlalu menuju parkiran. Sedangkan Kalyana tersenyum melihat bagaimana baik hatinya seorang Hardan Adimasatya terhadap para sahabat dan orang terdekat. Ia bahkan tidak memikirkan dirinya sendiri.

"Eh sebentar! Hp aku bunyi,"

"Yaudah angkat itu telfonnya. Aku ke kelas duluan ya?" pamit Kalya dan Hardan hanya melambaikan tangan sebagai tanggapan.

Dipandanginya layar ponselnya dengan ragu. Antara dirinya perlu mengangkat panggilan masuk itu atau tidak.

○○○

Beberapa hari kemudian ....

Siang itu Bu Dewi tidak masuk ke dalam kelas. Sebagai gantinya para mahasiswa dan mahasiswi diwajibkan untuk membuat artikel dengan tema bebas. Hardan menghela napas berat sembari mengeluarkan ponselnya dari balik saku jaket. Tidak ada satupun pesan maupun daftar panggilan masuk yang ia dapatkan selain sebuah alarm pemberitahuan mengenai jadwal gajiannya-yang memang akan cair hari ini.

Tidak lama kemudian terdengar suara pintu ruang kelas diketuk berulang-ulang dari luar. Seluruh atensi beralih pada pintu yang kini terbuka akibat dibuka oleh seseorang. Seorang gadis dengan penampilan yang cukup catchy memasuki ruang kelas dengan senyum merekah. Hardan yang tidak tertarik pada awalnya, kini ikut menjatuhkan atensinya pada gadis tersebut. Dia tidak tahu siapa gadis itu, namun entah mengapa tatapannya seolah tidak ingin terlepas barang sedetikpun.

"Duduk sini aja, kebetulan sebelah gue kosong," teriak salah seorang mahasiswa yang duduk di deretan bangku paling belakang. Hardan mengunci pandangan pada mahasiswa tadi dan entah mengapa ia merasa tidak rela mendengar tawaran teman sekelasnya tersebut.

Ia beranjak dari posisi duduknya kemudian sengaja berjalan menghampiri gadis tadi. Dengan berani ia menghadang langkah gadis itu kemudian menunjuk pada salah satu bangku kosong-yang letaknya bersebelahan dengan tempat duduknya.

"Duduk disitu aja. Kalau jalan ke belakang jauh. Nanti capek," ujarnya singkat gadis tadi tentu merasa bingung menyikapi dirinya.

Namun tidak terdengar kalimat penolakan apapun dari gadis asing tadi. Sebaliknya ia segera berjalan menuju bangku yang tadi ditunjukkan Hardan kepadanya. Dilepasnya totebag warna cream yang ia pakai kemudian melayangkan senyuman manisnya kepada Hardan. Merasa tidak siap menerima pemandangan tersebut, Hardan segera mengambil langkah. Lelaki itu segera duduk kembali di tempatnya.

"Makasih ya? By the way nama gue Aurelya Amanda. Panggil aja Aurel. Nama lo siapa?"

"Hardan Adimasatya. Panggil aku Hardan,"

Aurel menggangguk kecil, "Jadi mau pakai aku-kamuan nih? Oke, deal!"

Hardan mengerutkan keningnya, namun memilih untuk tidak banyak bertanya. Ia sempat mengira, Aurel mungkin akan diam saja setelah menemukan bangku duduk. Tetapi belum, aksi gadis itu nyatanya belum selesai. Ia menyodorkan ponselnya sendiri ke hadapan Hardan.

"Hm?"

"Aku minta nomor kamu boleh kan? Ya, siapa tau aja kita bisa temenan?"

Hardan menelan ludahnya sendiri, namun tetap mengetikkan sederatan angka pada ponsel tersebut kemudian mengembalikannya kepada sang empunya. Setelah menerima ponselnya kembali, Aurel mengotak-atiknya sebentar. Lantas mendekatkan benda pipih itu ke telinga kanannya.

Ponsel milik Hardan-yang tergeletak di atas meja bergetar-menandakan ada sebuah panggilan masuk. Diliriknya sekilas sederetan nomor asing pada layar sebelum menoleh kilas ke arah Gita yang tersenyum kepadanya.

"Itu nomor aku, save ya?"

Detik itu juga Hardan rasanya ingin menghilang dari bumi. Ia tidak tahu harus mengatakan apa selain tangannya bergerak menuruti kemauan si gadis unik, Aurelya Amanda.

○○○

Gita keluar dari kelasnya sembari mengetik pesan balasan untuk Jendra. Lelaki yang berstatus sebagai pacarnya itu tiba-tiba saja membatalkan janji kencan mereka untuk kesekian kalinya. Dihirupnya udara yang berhembus sepoi-sepoi dengan berat hati. Dadanya terasa sesak, namun sayang sekali, ia seolah sudah tidak memiliki daya upaya untuk menunjukkan betapa sedihnya ia sekarang.

Jika dipikir kembali, rasanya hubungan antara dirinya dan Jendra sudah seperti kehilangan harapan. Ada banyak celah yang membuat mereka harus berjarak tanpa sebab. Jendra yang selalu beralasan sibuk dan ia yang hanya diam tak mengeluarkan protes karena ingin dianggap sebagai pacar yang pengertian.

Huft~ini terlalu melelahkan. Hubungan ini sudah terlihat ujungnya. Mungkin mulai detik ini ia harus segera memikirkan rencana untuk meminta putus dari Jendra.

"Hayo, lagi ngelamunin apa kak?"

Suara Yola memecah lamunan Gita yang saat itu sedang duduk di bangku taman sendirian. Gadis yang beberapa waktu lalu terciduk berduaan dengan Jivan di lapangan depan kampus-hingga membuat Widia cemburu setengah mampus-kini duduk disebelah Gita seraya menyeruput es teh sisri dalam plastik yang nampak segar dikonsumsi di siang terik seperti ini.

"Lagi mikirin cara buat transmigrasi ke pluto harus naik apa ya kira-kira?"

"Hah random banget kak tiba-tiba mau transmigrasi ke pluto?" Yola menyahut dengan tampang polos.

Gita hanya mampu menghela napasnya pelan, "La, mau denger cerita nggak?" tanyanya kemudian.

Yola yang sedang tidak ada kerjaan alias nganggur hanya manggut-manggut bersiap mendengarkan.

"Tapi sebelum itu, aku mau nanya sesuatu sama kamu,"

"Iya kak, mau nanya apaan?"

"Kamu masih sama Jojo kan?" tanya Gita, Yola mengangguk kecil.

"Bagus deh, nggak nyangka kamu sama Jojo bisa langgeng,"

"Ih kakak nih sebenernya lagi ngeledek atau seneng aku bertahan sama ayang ku?" Yola merasa tidak terima tetapi sebaliknya Gita justru tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Terus nih ya, apa hubungannya coba Jojo dan cerita kakak?"

Gita mendengus kasar, " Nggak ada sih. Aku cuma aku lagi merasa kecewa berat sama Jendra. Mau putusin dia tapi rasanya sulit banget. Padahal seharusnya nggak sesulit ini untuk melepaskan seorang Jendra,"

Yola menganggukkan kepalanya paham, namun seolah mengingat sesuatu, gadis itu menjentikkan jarinya seraya memekik heboh.

"Terus apa kabar mas Hardan? Kata mbak Raya, mbak Gita naksir mampus sama mas Hardan?" tanyanya kemudian, Gita memijat pangkal hidungnya pelan.

"Raya ember bocor banget sih? Dan ini tadi kita lagi bahas Jendra lho, kok jadi lompat bahas Hardan sih, La?" gerutunya yang mengundang tawa heboh dari Yola.

"Gapapa kali kak, gausah malu. Jujur jauh lebih baik tau,"

"Nggak usah malu, ndasmu! Rahasia aku bocor lho ini! Emang paling bener nggak usah cerita apa-apa sama Raya,"

Yola kembali tertawa, membuat Gita semakin mengerucutkan bibirnya karena mendengar suara tawa adik tingkatnya itu. Memang sepertinya tentang rasa sukanya pada Hardan, tidak bisa lagi menjadi rahasia umum. Satu per satu orang terdekatnya mengetahui semua itu berkat mulut ember milik Raya. Ingatkan Gita untuk memberikan peringatan pada gadis itu nanti.

"Tapi ngomong-ngomong kok bisa sih mbak Gita pacaran sama Mas Jendra? Bukannya kalian nggak saling mencintai ya?" tanya Yola kembali pada topik utama.

Gita menoleh menatap Yola, "Nggak tau, mungkin bener gara-gara dia ganteng aja sih makanya aku mau jadi pacar dia,"

Yola menatap lawan bicaranya itu dengan sendu, "Ini sebenernya jahat banget, tapi kalau aku jadi mbak aku juga nggak mau munafik. Mas Jendra emang seganteng itu sih. Siapa juga yang nggak mau jadi pacar dia coba?"

"Ya, tapi ternyata setelah dijalani, dia nggak bisa ngebuat aku membalas perasaan dia. Yang ada tiap hari saling menyakiti. Aku udah capek, La. Semakin hari Jendra itu makin keliatan aneh dan mencurigakan,"

"Maksud mbak?"

"Kayaknya ada sesuatu yang dia sembunyiin dari aku. Dan dia nggak mau ngasih tau,"

Yola terdiam di tempatnya. Menyaksikan Gita yang terisak dengan air mata berlinang yang membasahi kedua pipi gembilnya. Membuat hatinya terketuk karena tidak pernah sekalipun melihat sang kakak tingkat berada di titik terendahnya.

"Tolongin aku La. Bantu aku cari cara buat mutusin dia ya? Aku udah nggak sanggup."

○○○

Hardan meletakkan beberapa lembar uang di atas meja ruang tengah. Ia baru saja tiba di rumah Kalyana, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Tadinya ia ingin mengajak gadis itu jalan-jalan sore sembari mencari cemilan kaki lima. Tetapi sepertinya keinginannya tidak dapat terealisasi dengan baik sebab telepon dan pesan singkat darinya tak kunjung berbalas baik. Kalyana menghilang bagai ditelan bumi.

"Tika, kamu dimana?"

Sepatah suara yang terdengar dari seberang sana membuat Hardan menghembuskan napasnya lega. Adiknya baru saja mengangkat panggilan darinya.

"Ini lagi di jalan sama mbak Kalya. Maaf ya mas tadi perginya nggak izin dulu,"

Lagi-lagi Hardan menghembuskan napasnya kala rasa lega semakin menyelimuti dirinya. Kalyana tidak menghilang. Sebaliknya perempuan itu tengah bepergian dengan adiknya, entah kemana.

"Iya gapapa. Aku mau ngomong sebentar sama Kalya boleh kan?"

"Iya boleh kok mas, sebentar,"

Hardan menunggu, hingga suara yang berbeda kembali menyapa indera pendengarannya. Senyumnya merekah seiring suara itu menyapa gendang telinganya.

"Iya Har?"

"Gapapa, cuma mau bilang pulangnya jangan malem-malem ya? Kasihan kamu sama dedek, jangan sampai kena angin malam. Nggak baik buat kesehatan kalian berdua,"

"Iya Har, jangan bawel deh! Aku sama dedek bakalan baik-baik aja,"

Hardan mengangguk kecil, "Oke deh. Kalau gitu aku mau ngomong lagi sama Cantika boleh dong?"

"Iya halo mas?"

"Aku tutup dulu ya? Jagain mbak Kalya dan kalau ada apa-apa langsung telfon aja hm?"

"Oke mas, sampai ketemu nanti!"

Dijauhkannya benda pipih, tipis berbentuk persegi panjang tersebut dari telinganya. Pandangannya beralih pada dua lembar uang seratus ribu yang ia tinggalkan di atas meja ruang tengah. Jika Kalya mengetahui dari siapa uang tersebut berasal, maka perempuan itu akan segera mengembalikannya tanpa tapi. Dan Hardan tidak menginginkan hal itu terjadi.

"Maafin aku ya? Tapi uang ini harus kamu terima, Aya,"

Ia pun melangkahkan kakinya keluar dari rumah milik Kalyana. Langkah kakinya berjalan mengarah ke sebuah rumah yang letaknya berdampingan dengan rumah milik perempuan itu. Kedua manik matanya terbelalak kala melihat seorang perempuan lainnya sudah duduk manis di teras rumahnya.

"Gita?"

"Hai udah makan belum?"

Kedua manik mata milik Hardan berbinar-binar sesaat. Ia berlarian kecil menghampiri Gita yang masih setia duduk di tempatnya. Bedanya sekarang perempuan itu tengah memangku bungkusan plastik, entah apa isinya.

"Aku disuruh mami nganterin bakso aci ini buat kamu sama Cantika,"

Hardan menganggukkan kepalanya dengan semangat, "Wah makasih banyak ya! Sampaikan salam dari aku buat mami sama papi kamu ya,"

Gita menganggukkan kepalanya, "Oh iya Har, kamu lagi free nggak?"

Hardan mengerutkan keningnya samar, "Lagi free sih, soalnya hari ini cafe nya Jivan tutup satu hari. Ada apa Git?"

"Temenin aku jalan yuk. Muter-muter deket sini aja,"

"Kok tumben?"

"Nggak mau ya? Oh iya lupa, takut nanti Kalyana marah kan makanya nggak mau aku ajak keluar?"

"Ngawur kamu! Dia nggak bakalan marah. Ayo aku anterin!"

Gita memutar bola matanya kesal. Ia hampir menyembur protes pada Hardan, namun ia urungkan kala dirinya melihat motor milik seseorang melintas melewati rumah Hardan. Kedua netranya mengikuti kemana arah motor menuju.

"Bentar dulu Har, aku mau ke depan sebentar,"

Hardan yang tidak tahu menahu hanya mampu melepas genggaman tangannya padaa lengan Gita. Langkahnya tanpa sadar mengekor di belakang perempuan itu. Ia otomatis mengerem laju kakinya sendiri kala dirinya melihat Gita berbalik ke arahnya dengan posisi merentangkan tangan.

Dan hap! Tubuh itu berhasil terperangkap dalam pelukan hangatnya.

"Git, kamu kenapa?" tanya Hardan khawatir. Suara isak tangis perempuan dalam pelukannya- yang mengudara memang terdengar menyakitkan baginya.

"Kamu liat aja sendiri,"

Hardan mengerutkan kening lantas melongok sebentar ke sebelah rumahnya. Disana ia melihat sebuah pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Dimana seseorang yang tidak ia sangka akan datang ke rumah Kalya, kini justru datang kesana dan memeluk gadis itu tepat di halaman rumah. Tepat di depan mata kepalanya dan juga Gita.

'Emang bajingan, mau sampai kapan sih dia bikin anak orang nangis sesegukan kayak gini?'

○○○

Usai drama tangis yang tadinya sudah ditangani dengan baik, Hardan membawa Gita masuk ke dalam rumah. Dijulurkan tangannya hingga menyentuh pucuk kepala perempuan itu. Lantas tersenyum hangat kala Gita menatapnya sendu.

"Udah mendingan?" tanya Hardan yang diangguki setuju oleh sang lawan bicara.

"Kamu nggak marah?" Gita hanya penasaran sebab Hardan nampak baik-baik saja, alih-alih marah besar sesuai dengan ekspektasinya.

Bukannya menjawab Hardan lebih memilih menyibukkan diri dengan membuat dua cangkir kopi instan. Memasukkan bubuk kopi sebelum menyeduhnya dengan air hangat. Lantas mengaduknya perlahan dengan menggunakan sebuah sendok kecil sebelum dibawanya dua cangkir kopi itu ke ruang tengah.

Gita yang sedaritadi duduk di pantry sembari memandanginya pun turut mengekor menuju ruang tengah. Perempuan tersebut beralih duduk di sofa dengan sengaja memangku bantal yang seharusnya menjadi penyangga punggung. Ditatapnya secangkir kopi yang dibuatkan Hardan untuknya. Asap tipis yang berasal dari secangkir kopi tersebut berhasil menyita perhatiannya. Cukup lama ia memandang ke arah situ sebelum suara Hardan terdengar dan memecah lamunannya.

"Buat apa aku marah hm?" Hardan berbalik bertanya setelah menyesap kopi buatannya. Rasa pahit bercampur manis yang lezat itu menyapa lidahnya. Menghantarkannya pada kenikmatan akibat sudah lama tidak mengkonsumsi minuman berkafein tersebut.

"Tadi kan Kalya-"

"Yang harusnya tanya itu aku, kamu baik-baik aja hm? Nggak marah?"

Gita mendengus kasar, "Ya siapa yang nggak marah coba? Kamu liat kan apa yang dia lakuin di depan tadi?"

"Dan ini udah keberapa kalinya dia bertingkah kayak gitu? Kamu masih mau bertahan sama dia?"

Hardan tidak bermaksud menyamar menjadi kompor meleduk, tetapi ia tahu bahwa hubungan sang sahabat dengan lelaki pilihannya memang tidak pernah berdasar pada cinta. Lantas untuk apa mereka bertahan selama ini?.

"Kamu nggak ngerti, ini sulit buat aku," ujar Gita sendu.

"Sulit atau karena sebenarnya kamu takut jadi jomblo hm?" tebak Hardan yang membuat Gita melotot mendengarnya.

"Ng-nggak ya! Jangan sembarangan ngomong kamu!"

"Aku bicara berdasarkan fakta. Orang kamu pernah ngasih tau kalau kamu takut kehilangan dia karena dia good looking. Terus kamu juga bilang takut jadi jomblo. Ngaku aja udah," ujar Hardan dengan nada suara mencibir. Membuat Gita memutar bola matanya kesal.

Ia mengibaskan tangannya pertanda tidak setuju dengan ucapan Hardan. Alasan utama ia menjalin hubungan dengan Jendra disebabkan oleh visual lelaki itu. Namun tidak hanya perkara visual saja, ia dulu juga sangat terkesan dengan kepribadian Jendra yang hangat. Lelaki itu memiliki banyak poin positif dalam sudut pandang Gita. Hingga tanpa sengaja, perempuan tersebut menjadi jatuh hati. Meskipun ya, ia tidak tahu betul perasaannya itu hanya sekedar tertarik atau sungguhan jatuh cinta.

"Kamu jadi buta semenjak punya hubungan sama dia. Sampai dibodohin aja, kamu nggak sadar," ujar Hardan membuat Gita terhenyak mendengarnya.

"Maksud kamu ngomong gitu apa, Har? Ini hidup aku ya. Kamu nggak berhak ngatur-ngatur kayak gini!" pekik Gita tidak terima.

"Aku cuma mau nasehatin kamu aja. Sumpah nggak ada maksud lain,"

"Terus apa kabar kamu sama Kalya? Kalian sama aja tau nggak?" Gita berbalik melempar pertanyaan, Hardan gelagapan mendengarnya.

"Kok jadi bahas Kalya?"

Gita menghembuskan napasnya kasar,"Rumor antara kamu sama dia itu udah menyebar seantero kampus Har. Kamu juga masih nggak mau konfirmasi apapun tentang rumor itu? Kenapa kamu diem aja? Atau jangan-jangan semua itu emang bener adanya? Kamu bahkan nggak jawab pertanyaan aku beberapa waktu lalu di rooftop,"

Hardan memejamkan kedua matanya berusaha meredam emosi yang sudah berkumpul menjadi satu hingga menyentuh ubun-ubun.

"Kamu nggak usah ikut campur,"

Gita berdecih, "Oke, kalau gitu kamu juga jangan ikut campur apapun soal kehidupan percintaan aku, bisa kan?"

Ia beranjak dari posisi duduknya sembari menyambar jaket denimnya cepat. Memakainya kembali tanpa mempedulikan tatapan datar dari Hardan. Diambilnya kembali kunci motor dari atas meja sebelum berlalu ke teras rumah.

"Makasih kopinya. Aku pulang dulu."

Hardan mengerutkan kening seraya menatap punggung Gita yang perlahan enyah dari pandangannya. Ia tidak habis pikir mengenai apa yang tengah terjadi. Tetapi satu hal yang ia sadari adalah sepertinya Gita marah besar kepadanya. Tidak, bukan hanya marah, tetapi disertai kecewa?

Entahlah.

○○○


1 weeks later.....

"Lo kenapa sih Git? Udah kayak banteng mau nyeruduk orang aja. Lagi badmood ya?"

Yesha baru saja kembali dari salah satu outlet makanan di kantin fakultas ekonomi. Beruntung disana belum terlalu ramai, sehingga pesanan mereka segera diantar hanya dalam hitungan menit.

Melihat makanan sudah terhidang di atas meja, Yesha semakin tidak sabar. Tangannya bersiap untuk mengenggam sendok dan garpu, namun urung ia lakukan kala dirinya melihat Gita diam tanpa kata.

"Hardan kayaknya marah sama aku, Sha,"

Yesha hampir tersedak nasi goreng. Beruntung ia sempat meraih segelas jus jambu favoritnya sebelum menatap Gita tidak percaya.

"Kalian kalau marahan udah kayak pasangan ketahuan selingkuh aja," Yesha menyahut kemudian memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya, lagi.

"Padahal semalem aku cuma nanya sama dia, tapi nggak tau juga kalau respon dia bakalan kayak gitu," sambung Gita tanpa mengacuhkan komentar Yesha.

"Nanya soal apa?"

"Soal rumor itu,"

Yesha mengangguk paham. Memang rumor tentang Hardan yang telah menyebar seantero kampus itu belum sekalipun disertai konfirmasi yang jelas. Sehingga seringkali Hardan dan Kalyana mendapatkan tatapan negatif dari semua mahasiswa di kampus. Namun seolah menganggap semua itu adalah angin lalu, Hardan sama sekali tidak mengindahkan satu kalimat menyakitkan yang ia dengar dari orang-orang.

"Sampai sekarang aku masih nggak bisa percaya kalau Hardan melakukan hal nggak terpuji kayak gitu ke Kalyana," Yesha membuka bungkus keripik kentangnya kemudian mengambil satu keping untuk dimasukkan ke dalam mulutnya sendiri.

Gita menghembuskan napasnya kasar kemudian menyenderkan punggungnya pada permukaan dinding di belakangnya. Ia menatap lurus kedepan dengan pikiran berkecamuk serta hati yang berantakan.

"Lagipula siapa sih yang bakalan percaya kalau mereka aja nggak memberikan klarifikasi apapun mengenai rumor itu," Yesha kembali menyambung ucapannya, meraih botol teh sosro nya.

"Git, kamu setuju kan sama aku? Nggak mungkin kan Hardan itu melecehkan Kalya?"

"Heh mulutmu! Nggak mungkin lah!" serobot Gita seraya menatap tajam Yesha yang sudah terbatuk-batuk akibat tersedak teh sosro.

Yesha mengendikkan bahunya, "Sebenarnya fenomena hamil di waktu menjalankan kegiatan perkuliahan itu wajar aja sih. Maksud aku, disini juga banyak yang kayak gitu. Tapi masalahnya kasus yang menimpa Kalya itu membuat semua orang memandang sebelah mata karena bapak dari anak yang dikandungnya tidak jelas identitasnya. Ia dijauhi karena dituduh hamil diluar nikah. Terus nih ya, tiba-tiba aja muncul rumor kalau Hardan adalah bapak dari anak yang dikandung Kalya. Itu mengejutkan banget Git,"

Jeda terjadi di tengah-tengah percakapan mereka, Yesha sibuk mengunyah keripik singkongnya sedangkan Gita sibuk menatap lurus ke arah depan dengan pandangan setengah kosong. Apa yang ia dengar dari Yesha kini mempengaruhi pola pikirnya. Semua memang terlalu mengejutkan baginya yang bahkan tengah menaruh perasaan kepada sahabatnya laki-lakinya itu, Hardan.

"Dan sekarang nggak tau kenapa aku jadi percaya kalau Hardan adalah ayah dari anak itu. Asumsi kamu tentang dia yang melecehkan Kalyana, tiba-tiba aja memenuhi kepala aku,"

"Git, tapi kan lo bilang tadi-" Yesha menjeda ucapannya, kala Gita tiba-tiba saja menyerobot.

"Hardan udah menunjukkan kebenaran dibalik rumor itu lewat cara dia memperlakukan Kalyana. Aku kenal kok mana Hardan yang lagi serius atau nggak,"

"Git tapi .... "

"Aku pulang dulu ya, Sha? Makasih banget udah mau dengerin curhatanku hari ini. Sampai ketemu besok!"

Yesha menghela napasnya kasar seraya memandangi kepergian Gita dari tempat duduknya-dengan pandangan sulit diartikan. Sedetik berikutnya ia mengendikkan bahunya sebelum merangkul tas nya dan meninggalkan bangku taman.

○○○

Larangan untuk membawa motor sendiri ke kampus memang sudah pernah dilontarkan sang mami kepadanya di awal-awal semester dulu. Tetapi bukan Gita jika tidak menaati peraturan dan melarangnya dengan cuma-cuma. Baginya mendapatkan omelan mami tidak akan sepadan dengan betapa remuknya hati dan jiwa raganya saat ini.

Apa hubungannya?

Tentu saja ada. Sebab jika ia tidak membawa kendaraan sendiri menuju ke kampus, maka ia akan mendapatkan tawaran boncengan dari Hardan. Dan ia sedang tidak ingin mendapatkannya sekarang. Semua ini gara-gara rumor sialan itu! Dia menjadi berpikir berlebihan yang tidak-tidak dan menjaga jarak dengan Hardan.

Tindakannya tentu tidak luput dari pengawasan Hardan. Lelaki itu masih setia duduk di atas motornya sendiri seraya memandangi Gita yang tengah kebingungan bagaimana caranya menyalakan motor tanpa kunci sejenis PCX. Ia hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat bagaimana kebingungannya gadis itu dari kejauhan-sebab sedaritadi hanya terlihat menggerutut kesal disamping motor seraya menendang-nendang ban sesekali. Hardan mengulum senyuman kemudian melepas helmnya sebentar. Lantas mengambil langkah maju mendekati si gadis yang tidak berhenti mencak-mencak memaki pada motor yang tak bersalah apapun kepadanya.

"Kamu bisa sampai kesini naik motor ini tadi gimana caranya hah?" Hardan berucap seraya merebut remote kecil yang dipegang oleh Gita.

"Bisa lah, orang tadi papi yang nyalain motornya buat aku!"

"Makanya kalau punya motor tuh dipake biar nggak mubazir!"


Brummmm

Mesin motor pun menyala membuat Gita melotot tidak percaya. Ia menghabiskan hampir setengah jam untuk bisa menyalakan motor dihadapannya ini. Tapi Hardan? Dia bisa menyalakannya dari waktu kurang 5 menit saja?. Woah, ini tidak adil!.

"Kok sama kamu bisa nyala sih?!" sewotnya seraya menatap kesal pada Hardan.

"Bisa lah, kalau tau caranya ya bisa nyala cepet. Sini, sini aku ajarin,"

Gita mendengus seraya mendekat pada Hardan. Menyetujui untuk melihat tombol mana saja yang sudah dipencet lelaki itu tadi untuk menyalakan mesin motor.

"Ngerti?" Hardan bertanya setelah memberikan penjelasan singkat mengenai bagaimana cara menyalakan motor tanpa kunci kepada Gita.

"Ya, ya aku ngerti! Udah siniin remote-nya, aku mau pulang!"

Hardan memberikan remote kembali kepada sang empunya lantas memberi jalan pada gadis itu untuk naik ke atas motor. Keningnya mengerut kala menyadari ada sikap tidak biasa yang sengaja Gita tunjukkan kepadanya akhir-akhir ini.

Oh apakah ini karena perdebatan kecil mereka beberapa hari lalu?.

"Gita, tunggu sebentar!"

"Apalagi sih?!" Gita menghela napasnya seraya menengok cepat untuk melihat Hardan yang telah bermuka sendu.

"Kamu marah?" tanya Hardan to the point, Gita merotasikan bola matanya jengkel.

Apakah aksinya kurang jelas untuk Hardan? Mengapa lelaki itu masih bertanya kepadanya?.

"Iya kamu marah. Kenapa? Gara-gara cekcok tempo hari ya?" Hardan mengambil kesimpulan sendiri lalu melontar tanya sedangkan Gita masih diam tanpa kata.

"Harusnya kamu tanya sama diri kamu sendiri kenapa aku marah,"

Hardan tersentak, "Tapi Git, aku-"

Gita mendengus kembali, "Kamu aneh, Har. Semenjak rumor diantara kamu sama Kalya bertebaran disini, kamu jadi aneh," balasnya kemudian melajukan motornya.

"Lho Gita! Gita, tunggu! Anandya Gita Sabila!"

Namun tidak ada tanggapan hangat yang Hardan dapatkan dari gadis itu. Berikutnya ia hanya dapat menatap kepergian gadis itu dalam diam. Tak jauh darisana, interaksi keduanya berhasil menarik perhatian seseorang-yang mengawasi secara diam-diam dari balik dinding gudang.









~~~














Continue Reading

You'll Also Like

49K 6.6K 28
'benci bisa jadi cinta loh, cantik' 'apaan, diem lu' 'aduh, malu malu ih si geulis' 'gue laki ya, jangan main cantik-cantik lu' 'tapi lu emang cantik...
129K 13.8K 57
FREEN G!P/FUTA ā€¢ peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
69.3K 6K 15
[ RION KENZO MIKAZUKI ] adalah ketua mafia dari Mikazuki AV Rion kenzo Mikazuki mafia Italia, ia terkenal dengan kekejamannya terhadap musuh maupun...
Fantasia By neela

Fanfiction

1.6M 4.9K 9
āš ļø dirty and frontal words šŸ”ž Be wise please ALL ABOUT YOUR FANTASIES Every universe has their own story.