Real Thing (JMJ)

By silversilver99

929 152 26

"Dari dulu kamu gak pernah mengerti." "Kamu yang gak pernah buat aku mengerti." More

1
2
4

3

136 33 11
By silversilver99

Saat bel berbunyi Karina bergegas memasukan alat tulisnya ke dalam ransel.

Kemudian ia cepat-cepat turun ke lantai satu untuk menemui seseorang.

Dan mungkin, keberuntungan sedang berpihak padanya. Karena beruntunglah orang yang tengah ia cari kini berdiri berhadapan dengannya.

Winter nampak terkejut namun sejurus kemudian tersenyum pada Karina.

"Apa?"

Karina tak bicara.
Yang ia lakukan adalah menaruh botol di tangan Winter.

Botol yang tadi di berikan Winter padanya.

"Oh.."

Winter terdengar kecewa.

Namun Karina yang seketika kehilangan keberanian hanya bisa menarik diri.

Kata-kata yang sudah ia rangkai sedemikian rupa di dalam kepalanya seketika hilang ketika ia berhadapan dengan Winter.

Selalu begini.
Ia selalu saja kehilangan cara untuk menyampaikan perasaannya.

Namun ia tidak bisa terus begini kan?
Ia harus berubah.

Maka dari itu ia menarik napas. Mencoba untuk mengumpulkan apapun keberanian yang tersisa pada dirinya.

Apa susahnya sih, tinggal bilang makasih doang; batin Karina menyemangati diri sendiri.

Dengan satu tarikan napas ia pun memantapkan dirinya untuk kembali berbalik arah pada Winter.

Ia pun kembali berhadapan dengan Winter yang beruntungnya belum beranjak dari sana.

Ada sedikit perubahan pada sorot mata gadis itu tatkala ia melihat Karina kembali.

"Makasih." Pelan Karina.

Atas perkataan itu Winter mengangguk.

"Jusnya manis." Lanjut Karina.

Kali ini anggukan itu ditemani dengan sebuah senyuman kecil.

"Tapi saat ini senyuman kamu jauh lebih manis."

Oh.
Keceplosan kah?
Atau Karina memang sengaja membuat Winter deg-degan?

Karina tentu saja tidak sengaja mengatakan hal itu. Pikirnya ia sedang berbicara dalam hati.

Menyadari kesalahannya itu Karina segera menggelengkan kepalanya.

"Bercanda. Serius amat." Ucapnya disela tawa yang terdengar kering.

Namun Winter tidak tertawa.

Ia malah diam seraya menatap Karina dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan.

Apa salahnya memuji?

Mending jangan bikin berharap kalau niatnya hanya ingin bercanda; pikir Winter.

Winter pun menggeleng, mencoba melupakan candaan Karina yang menurutnya sama sekali tidak lucu.

"Sudah baikan?" Mulai Winter berinisiatif menciptakan percakapan yang berbobot.

"Sudah."

"Besok aku buatin jus nanas, mau?"

"Apa gak merepotkan?"

"Ya gak apa-apa biar kamu gak minum Cola terus, sekali-kali makan buah. Kan sehat."

"Aku sering makan buah."

"Buah apa?"

"Pisang."

Winter memutar bola matanya.
"Pisang goreng kan?"

"Yang penting buah."

"Cukup. Gak usah berdebat sama aku, pokoknya besok aku buatin jus."

"Aku gak nyuruh padahal."

"Aku yang mau."

Dan diam.
Yang lebih tinggi tak tahu lagi harus membalas apa. Atas perhatian atau mungkin sekadar rasa berasalah karena kejadian kemarin pagi. Entahlah.

Namun pada akhirnya ia pun mengangguk--mengalah untuk menerima tawaran dari kawannya itu. Lagipula ia memang perlu menjaga kondisi karena bulan depan ia akan mengikuti kompetisi basket.

Disisi lain Winter nampak puas dengan reaksi Karina. Kejadian kemarin pagi membuatnya sadar bahwa Karina tidak terlalu mempedulikan kesehatannya. Ia pun ingin membantu walau hanya menjadi seseorang yang mengingatkan Karina tentang hal-hal itu.

Kemudian Winter pun kembali membuka mulut, "Lain kali jangan di skip sarapannya."

"Iya buk."

"Kurang-kurangin begadang."

"Iya om."

"Makan makanan yang bergizi jangan snack terus."

"Iya tante."

Winter pun menghela napas.
"Kenapa gak sekalian manggil mama aja Rin?"

"Terus yang jadi papa siapa, aku?"

Winter mendengus sembari mengerutkan hidungnya.

"Daripada ngomong sama kamu yang gak jelas mending aku pulang. Bye."

Karina menatap punggung Winter yang semakin menjauh, ada perasaan tak rela yang hinggap di dadanya. Membuatnya seperti tanpa sadar menggerakan kaki untuk berlari kecil kearah Winter.

"Daripada pulang sendiri mendingan pulang bareng aku." Ucap Karina ketika ia berhasil mengejar Winter.

Pernyataan yang jelas itu membuat Winter sejenak menatap Karina, keningnya terangkat seperti mengisyaratkan: Kamu serius ngajak aku pulang?

Namun yang ditatap tak bisa menahan kontak mata. Ia mengalihkan pandang seraya berucap sedikit terbata, "K-kalau kamu gak mau ya gak apa-"

"Anterin sampai depan rumah ya?" Pintah Winter yang dibalas dengan anggukan antusias oleh Karina.













*














"Aku jadi ingat..."

Karina mengerutkan dahinya, ia hampir saja lupa ternyata Winter sedang berkunjung ke rumahnya. Matanya tak meninggalkan layar televisi tatkala ia merespons.

"Hm?"

Ia merasakan kehadiran Winter semakin dekat sebelum yang bersangkutan mendudukan diri tepat di sebelahnya.

"Dulu kamu sering ngasih tebak-tebakan."

Oh.
Itu..
Karina ingat.

"Terus?"

"Kangen."

"Huh?"

Satu kata itu mampu menarik perhatian Karina dari layar persegi panjang yang berada di depannya. Kini menatap Winter dengan wajah yang datar--walau jantungnya sedang tidak baik-baik saja.

Bilang apa tadi?

"Aku kangen tebak-tebakan kamu." Ulang Winter seperti membaca pikiran Karina.

Namun Karina mendengus untunglah dia memiliki kontrol yang cukup baik. Daripada terbawa perasaan dia kembali fokus pada acara tv yang sedang ia tonton.

"Coba dong Rin, udah lama soalnya."

"Gak." Tolak Karina

"Pengen dengar."

"Gak."

"Sekali aja.."

Winter tetap bersikeras, membuat Karina menggaruk kepala--sedikit merasa kesal.

Karena ingin menonton dengan tenang ia pun terpaksa mengiyakan keinginan Winter.

"Kamu tahu gak kesamaan kamu sama toples in--"

"Ah gak mau lah awalnya aja udah gak enak. Bagusan dikit kek, kenapa sih?"

"Kan kamu yang mau, katanya sekali aja tapi malah dipotong."

"Aku mau tapi yang benar."

Lagi-lagi Karina mendengus seraya meraih toples berisi nastar yang terletak diatas meja.
"Tapi kenapa tiba-tiba, bukannya dulu kamu kurang suka sama hal itu?"

Sejenak terdiam Winter pun mengangkat pundaknya sebelum menjawab.
"Kangen aja sih apalagi dulu hampir tiap hari kan ada tebak-tebakan kamu. Yang awalnya cringe, aku malah jadi terbiasa dan lama-lama senang ketika dengar kamu gitu."

Dahi Karina kembali berkerut. Perkataan Winter benar-benar membuatnya bingung.

"Jangan katakan sesuatu yang bikin aku berpikir keras."

Karena aku bisa saja mengira kamu masih suka.

Menafsirkan hal yang tak pasti tentu saja tidak menyenangkan. Ada banyak perkataan Winter yang membuat Karina bertanya-tanya. Sebagian besar meninggalkan tanda tanya besar, seolah-olah Karina memang diberikan izin untuk berharap.

Diam adalah respon yang diberikan Winter.

Mereka pun terdiam.
Untuk beberapa saat tak ada yang berbicara.

Karina tak tahu bagaimana ekspresi wajah Winter saat ini; apakah ia kesal, kecewa, sedih, atau bahkan biasa-biasa aja.

Tatapan Karina bertumpu pada wadah dengan material kaca di tangannya. Tangan itu masih berkutat pada tutup toples yang sedari tadi belum bisa ia buka. Memang benar ia selalu kesulitan memutar benda berbentuk lingkaran itu.

Kemudian..

"Kamu tahu kamu itu kayak toples ini, sama-sama ngasih aku kesulitan." Itu bukan tebak-tebakan melainkan perasaan Karina yang sebenarnya.

Karina pun menarik napas, menyerah dan kembali meletakan toples itu di tempat yang semula.

Tatapannya tak sedikitpun terarah pada Winter tatkala ia melanjutkan..

"Karena toples ini sulit dibuka dan ada kamu yang sulit dilupa."








**

Sejauh ini, menurut kalian gimana?
Pls let me know.

Continue Reading

You'll Also Like

86.9K 8.1K 32
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
90.5K 9.1K 37
FIKSI
50.2K 6.8K 31
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
143K 13.9K 25
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...