STRUGGLE

By IM_Vha

27.7K 2K 224

[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pu... More

Prolog
1. Kesalahan
2. Rasa Aman
3. Perbandingan
4. Just Wanna Sleep
5. Mama
6. Mabuk
7. Sebuah Alasan
9. Not Okay
10. Katanya, Rumah Tempat Ternyaman
11. Liburan
12. Liburan (2)
13. Sebuah Apresiasi
14 ; Si Akar Masalah
15. Keduanya Terluka
16. Seorang Teman
17. Mencoba Terbuka
18. A Figure
19. Pendekatan
20. Semakin Jauh
21. Different
22. Target Amarah
23. Rumah yang Tak Lagi 'Rumah'
24. [Matheo] Deep Talk
25. [Matheo] Dia yang Paling Menyedihkan
26. [Matheo] Hallucination

8. Rindu

722 78 5
By IM_Vha

Bahagia porsi setiap manusia itu berbeda, pun dengan wujud serta tingkatannya. Saat ini, di antara semua kebahagiaan yang dia alami, mungkin berada di dalam mobil yang sama dengan sang ibu adalah salah satu hal paling bahagia untuk sosok remaja berjaket putih itu.

Sederhana bukan? Namun, baginya ini momen langka. Jangankan berada dalam satu mobil, untuk sekadar bertatap muka pun terkadang Rei hanya bisa mendapat kesempatan dua atau tiga kali dalam sebulan. Jadi, hari ini ia akan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan melepas semua kerinduan yang sudah lama ditahan.

"Kamu masuk sendiri aja, ya. Mama tunggu di sini," celetuk Celine ketika kendaraan beroda empat yang ditumpanginya sudah terparkir apik di samping kendaraan lainnya.

Suara lembut nan tegas itu menyadarkan Rei dari lamunan. Namun, dengan segera ia mengernyit.

"Mama nggak mau ikut? Nggak mau sekalian kunjungi Papa?" tanyanya sedikit kecewa.

Wanita itu menggeleng. "Nggak usah, kamu aja. Dan jangan lama-lama karena langitnya mendung, nanti kamu kehujanan."

"Oke, deh." Pasrah, Rei tak ingin memaksa agar Celine ikut.

Dengan langkah sedikit lesu, pemuda itu berjalan memasuki area pemakaman dengan hamparan rumput yang terawat rapi. Cukup jauh ia melangkah hingga sampailah ke depan sebuah nisan yang tak lagi asing. Ia berjongkok lantas mengusap pelan keramik dingin itu diiringi senyum sendu.

"Hai, Pa. Hehe," sapanya yang jelas tak akan pernah mendapat jawaban.

"Udah berapa lama aku nggak ke sini, ya? Hmm ... coba aku ingat-ingat."

Akibat kesibukannya dalam mengejar nilai, mungkin sudah hampir setengah tahun lamanya sejak Rei terakhir kali berkunjung di sini. Saat itu, ia juga datang bersama Celine dan wanita itu juga ikut datang memasuki pemakaman. Ikut menabur bunga, serta berbagi sedikit cerita.

"Besok aku udah ujian kenaikan kelas. Itu artinya sebentar lagi aku kelas dua SMA, Pa. Cepet banget, 'kan? Padahal dulu kayaknya aku masih harus dibantu Papa buat naikin sepeda." Ia terkekeh pelan, dan kembali diam untuk beberapa saat.

"Ah, sial. Maaf, ya, Pa. Padahal udah janji buat nggak nangis, tapi tetep aja air mata ngeyel," tuturnya mengusap buliran air yang tiba-tiba menyeruak keluar.

Rei tidak bisa berbohong bahwa dia merindukan sosok Andy—ayahnya—di mana rasa rindu itu tak pernah surut meski waktu telah lama berlalu. Bagi remaja yang belum genap tujuh belas tahun itu, tak ada ayah lain yang sehebat ayahnya. Bahkan Samuel yang memiliki segalanya pun tak bisa menggeser posisi itu barang satu inci.

Kepergian sosoknya adalah guncangan besar baik untuk Rei maupun Celine. Dunia seakan runtuh saat itu juga, meski nyatanya begitulah kehidupan seharusnya berjalan. Ketika yang datang akan pergi, dan yang hidup akan mati. Uang pun tak mampu menyentuh, apa lagi membuatnya kembali utuh.

"Aku bingung, Pa. Sampai sekarang, kenapa aku nggak bisa merasa bahagia?Padahal semua ada, dan aku bisa. Tapi kenapa malah semakin sesak?" adunya dengan air mata yang semakin deras mengalir.

"A–aku juga takut ... takut gagal buat bahagiain Mama. Padahal aku satu-satunya yang diharapkan, tapi malah kayak sampah gini. Dan karena aku juga, seseorang kehilangan sesuatu yang jadi haknya. Aku bener-bener orang jahat nggak berguna, Pa. Nggak ada satu pun hal baik dari Papa atau Mama yang menurun ke aku ...."

Mungkin jika orang mati bisa mendengar, sang ayah di dalam sana sudah bosan dengan aduan yang Rei lontarkan. Namun, beruntung karena mereka yang mati tak lagi terhubung dengan dunia. Maka aduan Rei hanya tumpah ke tanah, dan hilang oleh embusan angin.

Ketika tangisnya mulai reda, rintikan hujan kini menggantikan. Membuat remaja itu mengusap air mata dengan tergesa dan bangkit. Pesan Celine untuk segera kembali lantas terlintas bersamaan dengan rinai yang mulai deras berjatuhan.

Ia menghela napas sembari menyeka sisa-sisa air mata. "Huft ... maaf, ya, Pa. Aku nggak bisa lama-lama, hujannya makin deras dan Mama nungguin. Jadi aku pulang dulu, kapan-kapan mampir lagi kalau ada waktu luang," tuturnya kemudian berdiri.

Hujan mengguyur semakin deras sebelum Rei mencapai mobil. Tudung jaket yang ia gunakan untuk melindungi kepala pun tak membantu banyak, sebab setibanya di tempat, Rei tetap basah. Tatapan tajam dari Celine langsung menghujam tepat setelah bocah itu memasuki mobil.

"Kamu, tuh, dibilangin buat nggak lama-lama, malah basah kuyup," sembur wanita itu yang tak habis pikir melihat kondisi putranya yang seakan terjatuh ke dalam kolam.

Dengan tubuh menggigil bocah itu lantas menyahut, "Tadi pas jalan keluar juga baru gerimis, Ma. Tapi baru dua langkah langsung deres aja hujannya. Udah lari pun tetep basah kayak gini."

Ia berkata jujur, tetapi tidak semuanya benar. Karena sebenarnya Rei sengaja membiarkan hujan membasahi tubuhnya agar jejak air mata yang tersisa tak tertangkap oleh sang ibu.

Decakan pelan Celine layangkan. "Udah tahu besok ujian, malah hujan-hujanan. Kalau jatuh sakit yang rugi kamu sendiri, 'kan?"

"Pasang sabuk pengamannya, kita ke rumah lama. Nanti ganti sama baju yang kamu tinggal di sana, jadi nggak usah beli baju baru," lanjutnya kemudian mulai menyalakan mesin mobil.

Kendaraan roda empat itu mulai melaju, membelah jalanan serta rintik hujan yang kian meruwah. Rei menyaksikan betapa padatnya jalanan yang diguyur hujan dari balik kaca mobil. Seulas senyum tipis menghiasi bibir tebalnya.

'Nggak buruk juga kehujanan, Mama jadi perhatian,' soraknya dalam hati.

🍬🍬🍬

Ketika sampai di tempat tujuan, hujan tak lagi sederas tadi. Menyisakan rintik-rintik kecil serta sang angkasa yang masih setia dalam gulita. Mereka baru sampai di teras rumah ketika suara Celine memecah keheningan.

"Buruan ke kamar, ganti baju terus turun. Mama buatin teh anget."

Tak ada jawaban dari remaja itu selain anggukan patuh. Rei melangkah ke tempat yang di perintahkan sedangkan Celine langsung bertolak ke dapur. Kamar yang ditempatinya berada di lantai dua, berdampingan dengan kamar yang dulu digunakan oleh Celine dan Andy. Namun, kini tempat itu terkunci rapat, hanya dibuka ketika orang suruhan Celine datang untuk membersihkan.

Sementara kamar Rei sendiri dibiarkan tetap terbuka dengan kunci yang selalu menggantung di lubangnya. Sengaja karena ketika berkunjung, Rei selalu lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Sedangkan Celine akan sibuk di ruang tengah dan berkutat dengan pekerjaan.

"Ugh ... dingin," gumamnya usai mengganti pakaian yang basah akibat hujan.

Tak langsung turun seperti yang diperintahkan sang ibunda, Rei justru menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan termenung sembari menatap langit-langit. Sejauh dia bisa mengingat, desain kamar ini tak pernah berubah. Meski sudah banyak waktu berlalu, jejak masa itu masih ada. Semua masih sama, hanya perasaan manusia yang berubah.

Dulu, di tempat ini, sang ayah sering membacakan dongeng untuknya. Tak peduli bahwa sebenarnya Rei tak menyukai dongeng, cerita khayalan dalam beragam alur dengan akhir yang sudah bisa ditebak itu membosankan. Namun, meski demikian, sang ayah tak pernah berhenti untuk membacakan untuknya.

Hingga saat semua sudah tak lagi ada, Rei diam-diam merindukannya. Tak jarang ia kembali membuka, buku-buku dongeng yang dulu Andy baca. Mengumpat dan terpingkal dengan alur tak masuk akal, lantas menangis.

Ini sedikit aneh, ketika ia menyangkal dongeng. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Rei berharap tentang adanya keajaiban tentang pemutaran ulang waktu. Dia hanya ingin kembali ke masa itu, dan menghentikan kejadian di mana itu semua mengubah alur hidupnya.

Akan tetapi, pada akhirnya dongeng hanyalah dongeng yang tidak dan tak akan pernah nyata. Dan harapan tentang pemutaran waktu hanyalah ilusi untuk menutupi luka hati. 

"Anak ini, disuruh turun malah tiduran." Sosok Celine muncul dari balik pintu dengan membawa sebuah nampan kecil dan meletakkannya ke atas nakas.

"Ayo, duduk. Tehnya diminum dulu, Rei," titahnya pada sang putra yang masih bergeming. Ia duduk di tepi ranjang.

Melepaskan semua lamunan, remaja itu mengubah posisi menjadi duduk tepat di samping sang ibu. Ia meraih gelas berisikan teh buatan Celine dan menenggak perlahan isinya. Sensasi hangat lantas mengaliri tenggorokan dan mengusir dingin yang sedari tadi mencekam.

"Makasih, Ma."

Untuk beberapa saat, hening menjadi yang paling berkuasa di antara mereka. Rei masih menikmati teh di genggamannya sedikit demi sedikit, sedangkan Celine tampak enggan untuk memulai percakapan. Terlalu lengang sampai detik jarum jam terdengar lebih gaduh dari biasanya. Menit berlalu begitu saja tanpa ada perbincangan. Hingga Rei yang sudah menandaskan isi gelas buka suara.

"Mama udah nggak cinta Papa?"

Pertanyaan singkat karena spontanitas yang Rei lontarkan itu kini membuat sosok dewasa di sampingnya tercekat.

"Bicara apa kamu?"

Sebenarnya pertanyaan itu hanya terlontar begitu saja setelah ia melamun beberapa saat tadi. Namun, Rei tak menduga bahwa reaksi Celine akan seperti ini.

"A–aku nggak ada maksud apa-apa, cuma tanya aja, kok," sahutnya gelagapan.

Hening yang baru saja sirna kini terganti dengan canggung. Rei tertuntuk sembari meruntuki kebodohannya, sedangkan Celine kembali diam usai mendengar penjelasan itu. Padahal sangat jarang mereka bisa memiliki waktu bersama seperti ini. Namun, tampaknya Rei telah salah langkah dalam memilih topik pembicaraan dan menghancurkan semuanya.

"Kenapa kamu bisa berpikir begitu?" Cukup lama terdiam, Celine akhirnya buka suara.

"Soalnya ...." Ragu, pemuda itu tertunduk sembari meremas jemarinya. Berusaha menemukan kalimat yang tepat agar tidak menyinggung perasaan sang ibunda.

"Beberapa tahun belakangan, setiap kali Mama aku ajak bicara soal Papa, respons Mama kayak biasa aja. Seolah udah nggak ada Papa lagi di hati Mama," tukasnya masih tak berani beradu tatap dengan Celine.

Setelahnya Rei diam, memberi kesempatan bagi sang ibu untuk menjawab. Namun, di luar dugaan, wanita itu justru bangkit dan beranjak meninggalkan kamarnya tanpa sepatah kata pun. Tindakan yang justru memancing rasa ingin tahu Rei semakin dalam. Remaja itu turut bangkit, berniat untuk mengejar Celine demi penjelasan. Akan tetapi, sebelum ia melakukan itu, sang ibu yang berdiri di ambang pintu lebih dulu bersuara.

"Daripada berpikir soal itu, lebih baik kamu istirahat. Mama masak buat makan malam nanti, dan setelah itu kita pulang." Celine menjeda kalimatnya dan menatap Rei sejenak.

"Setiap kali kita ke sini, selalu itu yang kamu pikirin. Sekarang kamu pilih mau lupakan atau kita nggak usah ke sini lagi," lanjutnya sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu.

Menyisakan si pemilik kamar yang kini termangu dengan menggigit bibir bawahnya. Benar, seharusnya ia tidak mengungkit apa yang seharusnya terpendam. Namun, melupakan? Banyak hal sudah terjadi, mana bisa Rei melupakannya.

"Bego banget lo, Rei!" decaknya meruntuki kebodohan sendiri.

Daripada melupakan, dia seharusnya diam dan membiarkan yang terpendam tak muncul ke permukaan. Sedari dulu seperti ini, tetapi entah mengapa hari ini ia lepas kendali. Pada akhirnya menuruti ego hanya akan memperkeruh semuanya.

–STRUGGLE–

Masalah orang kaya selalu lebih rumit daripada masalah dompetku 🥲
Pokoknya siapkan hati dengan segala kemungkinan yaa

Barang kali ada yang kangen Bang(ˢᵃᵗ) Theo 😗

Terakhir, untuk baca bab lebih banyak dan lebih awal, bisa ke Karyakarsa ya. Link ada di bio ku, paling bawah pokoknya 😆

Salam

Vha

Continue Reading

You'll Also Like

205K 23.9K 29
[ Brothership, Friendship, Sicklit ] Sejujurnya, Alvey tidak pernah berkeinginan untuk mencampuri masalah orang lain. Namun, siapa sangka, dimulainya...
8.4K 906 18
Setelah bertahun-tahun menunggu dan berharap, akhinya Angkasa pun dapat menerima kenyataan pahit bahwa dirinya di buang oleh keluarganya. Seperti nas...
59.4K 5.1K 37
Cerita ini menceritakan kisah Wilson Jordan, lelaki dengan penuh seribu luka. Lelaki yang mampu melewati hari kejam itu. Setiap luka yang ia terima h...
2.3K 223 8
Dia Osaka, cowok nakal yang sialnya harus menjadi korban brokenhome ketika usianya yang masih balita. Cowok yang sering dipanggil dengan nama singkat...