Forever After

By dekmonika

104K 15.7K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(41) Serangan Tak Dikenal

1.2K 261 33
By dekmonika

- FLASHBACK -

                Di teras belakang rumah itu, Aldebaran dan Andin duduk bersantai pada dua bangku yang tersedia. Sembari menunggu dokter datang, mereka membiarkan Baskara untuk istirahat sebentar. Keduanya menikmati suasana pagi yang cerah bersama sembari memberikan makan kepada kucing peliharaan Andin.

"Ini yang namanya Poppy?" Tanya Aldebaran.

"Iya, Mas. Ini dikasih Om Tama waktu itu."

"Ohh. Cantik..." Komentar Aldebaran sembari mengelus bulu-bulu halus kucing tersebut.

"Kamu suka kucing juga?"

"Di rumah juga ada kucing, tapi jenisnya berbeda. Namanya kiko. Punya papa sih." Jawab Aldebaran.

"Ohh..."

Andin memperhatikan pria itu yang terlihat senang dengan kucingnya. Andin pernah mendengar bahwa laki-laki yang menyukai hewan, termasuk kucing, rata-rata adalah laki-laki yang baik, lembut, dan berhati tulus. Mungkin tidak semua. Tetapi melihat ketulusan yang selalu terpancar dari bola mata pria itu, Andin tahu Aldebaran adalah salah satunya.

"Kenapa?" Tanya Aldebaran saat menyadari Andin yang sedari tadi memandanginya.

"Nggak apa-apa." Jawab Andin, tersenyum.

"Ada yang mengusik pikiran kamu?" Aldebaran menepuk-nepukkan kedua tangannya, membersihkannya dari bulu-bulu kucing yang mungkin saja menempel.

"Tadi malam papa datang kesini, Mas." Ungkap Andin, setelah sebelumnya menimbang-nimbang untuk bercerita atau tidak kepada kekasihnya. Mendengar hal itu Aldebaran tampak tertegun, menatap Andin.

"Baskara marah, dan mungkin dia sakit sekarang selain karena kecapekan kerja, pasti karena semalam dia banyak menangis." Lanjut Andin dengan tatapan nanar.

"Papa kamu ngapain kesini?" Andin menggelengkan kepalanya.

"Dia bilang hanya ingin mengantarkan hadiah."

"Lalu?" Andin menghela nafasnya, panjang.

"Aku tidak peduli dia mau apa. Aku hanya merasa terganggu dengan kehadirannya kembali di hidup kami."

"Kamu tidak merindukannya barang sedikit pun?" Aldebaran penasaran. Andin terkekeh, miris.

"Apalah artinya rindu pada orang yang sudah berkhianat, Mas? Kalau pun aku rindu, aku akan mengubur rindu itu dalam-dalam."

Aldebaran terdiam. Ia sebenarnya ingin sekali membahas itu lebih jauh, namun mengingat beberapa kali pembicaraan mereka dengan pembahasan yang sama tidak pernah berakhir baik, maka Aldebaran memilih untuk menahannya, entah sampai kapan.

"Kamu masih sering ketemu dia?" Tanya Andin, kemudian.

"Pak Ferdinand?" Andin mengangguk.

"Tidak sering, sih. Tapi memang sempat bertemu beberapa kali." Jawab Aldebaran dengan perasaan sedikit gugup, takut jika Andin curiga mengenai kedekatannya dengan Ferdinand.

"Kenapa?"

"Boleh aku minta tolong, Mas?"

"Apa?"

"Kalau kamu ketemu lagi sama dia, tolong bilang jangan repot-repot lagi untuk memberi kami hadiah atau apapun. Jangan pernah datang lagi kesini. Aku dan Baskara sudah bisa bangkit, jadi jangan membuat keadaan menjadi buruk lagi." Kata Andin dengan tatapan sendunya.

Aldebaran terpaku melihat binar mata Andin yang menunjukkan kesedihan. Lagi-lagi ia bisa merasakan bahwa jauh di lubuk hati gadis itu, ia masih sangat mencintai sang ayah. Namun saat ini, Andin hanya terus membohongi dirinya sendiri, menyangkal bahwa sebenarnya ia masih membutuhkan sosok sang papa dalam kehidupannya.

"Andin, bolehkah aku berpendapat?" Tanya Aldebaran, lembut. Andin menatapnya teduh, dan memberikan sebuah anggukan.

"Saya mengerti perasaan kamu. Dikhianati, dikecewakan, dan dilukai oleh orang yang sangat kita cintai itu sangat menyakitkan. Tapi saya percaya, pada setiap rasa sakit, setiap rasa kecewa, Tuhan pasti memberikan pelajaran kepada kita untuk bisa melihat sisi lain yang lebih baik." Ucap Aldebaran, menatap lekat kekasihnya.

"Sebagai manusia, kita bisa merencanakan apa saja yang kita mau. Tapi keputusan takdir, Tuhan yang menentukan. Ada banyak sekali rencana manusia yang tidak serupa dengan jalan yang Tuhan beri. Merasa kecewa? Wajar. Sedih? Silahkan. Tapi jangan terlalu larut. Kita tidak pernah tahu berapa banyak jalan keluar menuju kebahagiaan yang ada di depan sana kalau kita hanya diam di tempat sambil terus melihat kelamnya masa lalu." Terang Aldebaran membuat Andin diam tercenung.

"Memaafkan adalah salah satu cara untuk kita mengalahkan ego dan membuat semuanya jadi lebih baik." Lanjut Aldebaran.

"Aku sudah memaafkannya, Mas." Sahut Andin membuat Aldebaran tertegun.

"Tapi tidak untuk menerimanya kembali." Timpalnya kemudian.

"Aku harap kamu mengerti maksudku dan bisa paham perasaanku mengenai hal ini. Aku tahu semua orang bisa berubah dan memiliki hak untuk mengambil kesempatan memperbaiki masa lalunya, tapi aku juga punya hak untuk menentukan kebahagiaanku. Untuk saat ini, aku sudah merasa cukup dengan adanya Baskara dan mama. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun untuk datang dan mengacaukan semuanya lagi."

"Kamu yakin, kamu bahagia dengan pilihan itu?" Tanya Aldebaran, menatap lekat dengan rasa ragu. Andin terdiam membalas tatapan kekasihnya. Andin tahu dari tatapan Aldebaran bahwa pria itu merasa ragu dengan keputusannya, tetapi Andin harus bisa meyakinkan kekasihnya bahwa ia benar-benar bahagia dengan pilihannya.

"Iya." Jawab Andin, tegas.

Keduanya kemudian sama-sama terdiam, menatap kosong pada pemandangan pagi di hadapan mereka, sibuk dengan pikiran masing-masing. Diam-diam Andin melirik wajah samping pria itu dengan pandangan sendu. Andin tahu, pria itu begitu baik. Aldebaran adalah salah satu lelaki paling tulus yang bisa Andin rasakan. Semakin ia menyadari kebaikan kekasihnya, semakin Andin merasa bersalah karena terus menggantung hubungan mereka. Semakin Andin merasakan ketulusannya, semakin Andin merasa jauh untuk menggapainya karena sifat keras kepala yang Andin miliki.

"Mas..." Panggil Andin.

"Hem?" Aldebaran menoleh.

"Aku minta maaf, ya."

"Kenapa minta maaf?" Aldebaran menatapnya, bingung.

"Aku masih menggantung hubungan kita. Aku masih belum bisa memberikan kepastian atas lamaran kamu." Jawab Andin membuat Aldebaran mengangguk, paham.

"Kenapa, Andin? Kamu masih ragu dengan saya?" Andin menghela nafasnya, kembali mengalihkan pandangannya ke depan.

"Entahlah, Mas. Banyak hal yang aku cemaskan saat berpikir tentang pernikahan. Aku takut kecewa dan dikecewakan lagi. Aku takut disakiti dan menyakiti lagi. Aku takut dikhianati. Latar belakang keluarga kami yang hancur membuat aku cemas dan pesimis dengan langkah yang akan aku jalani terkait pernikahan. Aku juga tidak benar-benar mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku bingung." Andin menumpahkan perasaan yang selama ini mengganggunya.

"Apa kamu berpikir saya akan mengkhianati kamu?" Tanya Aldebaran, sontak membuat Andin menggelengkan kepalanya.

"Nggak, Mas. Aku tidak bermaksud seperti itu." Andin tidak mau Aldebaran salah pemahaman. Namun sesaat kemudian, Aldebaran mengambil satu tangan Andin dan menggenggamnya dengan erat.

"Andin, saya memang tidak bisa memberikan janji-janji manis yang belum pasti bisa saya tepati. Masa depan adalah milik kita yang masih menjadi rahasia Tuhan. Tapi saya optimis, saya bisa meyakinkan kamu untuk menaruh seluruh rasa percaya itu pada saya." Ujar Aldebaran, menatapnya dalam.

"Sekarang, saya ingin bertanya, dan saya harap kamu menjawabnya sesuai dengan hati kamu."

"Apa?"

"Apa kamu mencintai saya?"

Andin tiba-tiba tercenung dan mendadak bisu, tanpa mengalihkan pandangannya dari Aldebaran.

"Apakah kamu benar-benar mencintai saya, seperti saya mencintai kamu?" Tanyanya, lagi.

"Apa selama ini kamu tidak merasakannya, Mas?" Andin bertanya balik, membuat kening pria itu sedikit berkerut.

"Aku mencintai kamu. Aku cinta sebagaimana kamu mencintaiku." Jawab Andin, menatap pria itu tanpa berkedip. Jawaban kekasihnya itu membuat Aldebaran mengukir senyuman simpulnya, sekaligus merasa lega.

"Terima kasih, Andin. Saya hanya perlu jawaban itu dari kamu." Kata Aldebaran, dengan senyumannya.

"Saya tidak akan memaksa kamu untuk menerima saya sekarang. Saya sudah memutuskan untuk menunggu, menunggu sampai kamu benar-benar bisa mengalahkan rasa takut itu." Lanjut Aldebaran membuat Andin terpaku menatapnya. Meski itu adalah perkataan jujur dari Aldebaran, tapi Andin bisa melihat bahwa raut kekecewaan itu ada di kedua bola mata kekasihnya yang masih mencoba untuk tetap tersenyum simpul.

_____________________________________

Kerlipan lampu jalanan beradu dengan lampu-lampu menyilaukan dari para pengendara mobil dan motor yang kian malam kian memadat. Kilauannya terpantul pada genangan air di sudut-sudut jalan berlubang atau di bahu-bahu jalan yang tidak rata.

Ditemani alunan lagu dari Jhon Mayer yang mengalun pada tape mobil mewahnya, Aldebaran melintasi jalanan padat itu dengan pikiran yang melanglang buana. Seharian ini ia hanya sibuk di kantor, menyelesaikan banyak tanggung jawabnya sebelum ia tinggalkan pergi untuk waktu yang cukup lama.

Life is full of sweet mistakes

And love's an honest one to make

Time leaves no fruit on the tree

But you're gonna live forever in me

I guarantee, it's just meant to be

(John Mayer-You're Gonna Live Forever in Me)

"Halo, Ma." Sapanya saat menerima telepon dari sang mama, sambil tetap fokus menyetir.

"Al, kamu dimana? Kok belum pulang?"

"Aku lagi di jalan pulang, Ma. Tapi agak macet, kayaknya nggak sempat ikut malam bareng." Jawab Aldebaran.

"Oh begitu, yasudah nggak apa-apa. Kamu hati-hati tapi ya, sayang."

"Iya, Ma."

"Oh iya, mama juga mau bilang kalau tadi Andin datang ke rumah." Beritahu Rossa membuat raut wajah Aldebaran sedikit berubah, dan ia mendadak memperlambat laju mobilnya.

"Andin ke rumah, Ma?"

"Iya. Dia ngasih masakan buat kita. Nanti kalau kamu sudah pulang, mama angetin lagi." Kata Rossa membuat Aldebaran menyunggingkan senyuman kecilnya.

"Terima kasih, Ma."

"Iya. Mama tunggu kamu di rumah, ya."

"Iya."

Pria itu melihat jam pada gelang yang melingkar di salah saru lengannya. Sudah hampir jam delapan malam, sementara ia baru akan memasuki kawasan jalan tol. Masih perlu sekitar setengah jam lagi baru ia sampai ke rumah. Akhirnya, Aldebaran memutuskan untuk berhenti sebentar di salah satu minimarket di dekat pintu tol untuk membeli minuman.

Ia kembali masuk ke dalam mobilnya dengan membawa sebotol kopi yang telah ia beli untuk mengurangi sedikit rasa kantuk yang mulai menyergap matanya. Dari kaca mobil, sorot matanya tak sengaja menangkap dua buah mobil yang sedang diam tepat di belakang mobilnya dengan jarak beberapa meter.

Kening Aldebaran mengernyit, heran. Apakah pengguna kedua mobil itu sama dengannya, singgah untuk membeli sesuatu di minimarket tersebut? Sebab selain minimarket, di dekat sana sudah tidak terdapat bangunan lain lagi. Ah, bukan urusanku. Aldebaran menggelengkan kepalanya, lalu menyalakan mesin mobilnya, bersiap untuk pergi dari sana.

Mobil sedan hitam itu telah memasuki kawasan tol yang tidak seramai jalan raya yang telah ia lewati. Dengan earphone bluetooth yang terpasang di salah satu telinganya, ia tampak sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.

"Besok pagi kontrak untuk brand ambassador harus sudah kamu siapkan ya, Tom. Kita harus meeting secepat mungkin. Siangnya saya ada urusan lain." Ucap Aldebaran, dengan pandnagan fokus ke jalan.

"Baik, Pak. Semua sudah saya siapkan. Oh iya, untuk visa keberangkatan bapak juga sudah selesai. Besok saya berikan ke bapak. Dan untuk tiket pesawat sudah saya kirim ke email bapak. Kalau tidak ada perubahan, bapak akan berangkat Senin depan."

"Oke. Terima kasih, Tom."

Aldebaran melirik kaca spionnya. Dua mobil yang berhenti di belakang mobilnya tadi saat ini sedang berjalan di belakang mobilnya. Apakah itu sebuah kebetulan? Atau jangan-jangan kedua mobil itu sedang sengaja mengikutinya?

"Sama-sama, Pak. Apa ada hal lain lagi yang bapak perlukan?" Sahut asisten pribadinya di seberang sambungan mereka. Aldebaran tidak menjawab. Ia meninggikan kecepatan mobilnya sambil terus memantau kedua mobil itu dari kaca spion.

"Pak? Bapak masih disana?"

"Iya, Tom. Maaf, saya masih di jalan, dan sepertinya saya sedang dibuntuti." Ucap Aldebaran dengan was-was.

"Dibuntuti siapa, Pak?"

"Saya tidak tahu. Ada dua mobil yang sejak tadi seperti terus mengintai saya."

"Astaga. Bapak sekarang sudah dimana?"

"Saya masih di perjalanan Tol Jagakarya. Baru masuk sekitar sepuluh menitan." Beritahu Aldebaran.

"Baik, Pak. Saya akan kesana. Bapak tetap waspada, ya."

"Ya, Tom."

Semakin Aldebaran melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kedua mobil itu semakin bringas mengejarnya. Tidak salah lagi, dua mobil itu pasti sedang mengincarnya. Tidak ingin menjadi pengecut, Aldebaran mulai melonggarkan kecepatannya kembali. Hal itu turut membuat kedua mobil pengintai itu memelankan jalannya. Aldebaran menyeringai. Laju mobilnya mendadak ia hentikan, membuat dua mobil pengintai itu seakan kaget, hingga salah satunya terlewat.

"Ada yang ingin bermain-main rupanya." Gumam Aldebaran, tersenyum miring.

Seolah mendapatkan sebuah aba-aba yang sama, beberapa pria bertubuh besar, berseragam serba hitam lengkap dengan kacamata hitam, turun bersamaan menghadang Aldebaran yang keluar dari mobilnya.

Ada sekitar delapan orang dari mereka yang dilengkapi dengan alat pemukul yang mirip dengan bat. Aldebaran melirik semuanya secara bergantian dengan was-was namun tetap berusaha terlihat santai.

"Kalian siapa?" Tanya Aldebaran.

"Anda tidak perlu tahu kami siapa." Jawab salah satu di antara mereka.

"Kalian mengganggu perjalanan saya, jadi saya perlu tahu kalian siapa sebenarnya? Dan apa mau kalian?"

"Kami hanya menjalankan perintah untuk menghabisi Anda." Jawabnya, lagi.

"Menghabisi saya? Kita ada masalah apa memangnya?" Tanya Aldebaran, santai.

"Anda tidak punya masalah dengan kami. Tapi Anda harus menanggung kesalahan keluarga Anda di masa lalu." Ujar pria yang terlihat jauh lebih tua dibanding yang lain.

//HAPP!//

Belum sempat Aldebaran bertanya lebih lanjut, sebuah pukulan hampir saja singgah pada bahunya. Beruntung ia cukup sigap menangkap pukulan dari benda kokoh itu. Satu persatu dari tukang pukul itu menghadapi Aldebaran sendiri yang hanya dengan tangan kosong. Sementara satu orang yang paling tua di antara mereka tadi hanya memantau dengan santai.

Meski berhasil menjatuhkan beberapa lawannya yang membawa alat pukul sementara ia dengan tangan kosong, Aldebaran tetap kewalahan menghadapi banyak orang itu sendirian. Di saat ia lengah, salah satu dari lelaki berseragam hitam itu memukul pundaknya hingga menyebabkannya tersungkur.

"Akhh!" Aldebaran meringis.

Melihat Aldebaran yang mulai lemah, salah satu dari mereka memukul wajah pria itu dengan bogemannya berkali-kali, hingga menyebabkan darah segar keluar dari sudut bibirnya. Aldebaran masih sempat sedikit melawan, namun jumlah mereka sangat tidak seimbang dengannya. Aldebaran tak berdaya, ia terbaring di aspal jalan dengan sisa tenaganya yang masih tersisa. Sementara sekumpulan mereka terdengar tertawa melihat kekalahan lawannya.

"Apa yang kalian mau?" Aldebaran masih bisa bersuara dengan lemah.

"Masih nanya dia, bos." Sahut salah seorang dari mereka sambil tertawa.

"Kami hanya mau satu, nyawa Anda." Jawab pria tua yang dipanggil bos tersebut. Aldebaran memejamkan matanya, menahan rasa sakit sembari berusaha mengontrol nafasnya yang tak terkendali.

Pria tua itu mengeluarkan sebuah benda hitam mengkilat dari balik saku jasnya. Dengan menyeringai, ia mengarahkan moncong benda tersebut tepat di posisi jantung Aldebaran.

"Sayang sekali, Aldebaran. Anak baik sepertimu harus menanggung akibat dari dosa papamu di masa lalu." Ucapnya dengan satu kaki yang menginjak perut Aldebaran yang tak berdaya.

"Pergilah dengan tenang." Timpalnya sambil bersiap mendorong pelatuk pistol itu dengan telunjuknya.

//BUGG!!//

Belum sempat peluru itu tertembak, tiba-tiba tubuh pria tua itu terpelanting mendapatkan tendangan dari seseorang yang mengacaukan aksi komplotan tersebut. Semua anak buahnya ikut terkaget, beberapa di antaranya membantu membangunkan bos mereka. Aldebaran yang menyadari kehadiran seseorang seketika membuka matanya dengan susah payah.

_____________Bersambung_____________

Kira-kira siapa tuh yang datang membantu?

Terima kasih untuk voting dan komen teman-teman.

See u next part, guys!

Continue Reading

You'll Also Like

136K 13.5K 25
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...
172K 19.2K 47
#taekook #boyslove #mpreg
129K 13.4K 24
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...
205K 4.7K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"