Laksa Dan Lukanya

By goresanlaraf

21.4K 1.8K 220

Laksa sempat merasakan bahagia dengan orangtua lengkap dan seorang kakak yang begitu menyayanginya. Akan teta... More

00 | Selamanya pergi
01 | Bully
02 | Persoalan hidupnya
03 | Seorang diri
04 | Bahasa kalbu
06 | Biarlah tersimpan
07 | Retakan hati
08 | Masih mampu

05 | Luka yang terpendam

1.3K 125 14
By goresanlaraf

🎶 Playing song : Heo Young Saeng - Looking 🎶

SELAMAT MEMBACA

“Tuhan itu adil kok. Jadi, jangan patah semangat ya.”

• LAKSA DAN LUKANYA

    

     Jangan kemana-mana ya, Bang? Jangan pergi ninggalin Laksa sendirian,” tukasnya lirih.

     Arshi beralih mengusap kepala belakang Laksa. Abang gak akan kemana-mana, Dek. Abang akan tetep di sini dan selalu di sini sama Laksa.”

xxx

     Arshi lekas mengucap salam saat takhiat akhir usai—mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Sejenak helaan napas terdengar, kepala Arshi sontak mendongak ke atas dengan tangan yang menengadah.

     Ini masih subuh, di luar masih tampak gelap dan di belakangnya—Laksa masih tertidur. Jadi, mungkin ini adalah waktu yang telat untuk Arshi menumpahkan segala kesedihannya.

     Menangis dalam diam, itulah yang kerap Arshi lakukan tanpa satupun orang tahu bahwa Arshi juga bisa menangis walau selama ini lelaki itu terlihat baik-baik saja.

     “Arshi kangen sama kalian.” Arshi bergumam lirih dengan wajah yang sedikit basah. “Apa Bunda sama Ayah selalu jagain Arshi sama Adek di sana?“

     Seolah begitu merindukan sosok yang kini tak bisa ia lihat, tak mampu ia gapai, juga ia rengkuh. Bertahun-tahun hidup tanpa kehadiran kedua orang tuanya, bohong jika Arshi tak merindukan mereka—merindukan kehadiran mereka untuk memeluknya.

     “Bunda, Ayah... Arshi cuma mau bilang kalau sekarang yang Arshi punya cuma Adek. Jagain Adek dari sana ya?” pinta Arshi lalu menjeda perkataannya.

     “... Arshi gak mau lihat dia sedih, lihat dia kesakitan. Arshi gak mau apa-apa, Arshi hanya mau Laksa cepet sembuh, terus melihat dia sebagai wakil di pernikahan Arshi nanti,” lanjutnya lalu menunduk dalam saat air matanya tak mampu lagi terbendung.

     Tak di sadari di belakang sana, Laksa sudah terbangun sejak beberapa menit lalumah sakit yang juga mengumumkan dimana kedua orangtuanya dinyatakan tak selamat dari kecelakaan.

     Bahkan Laksa sendiri bingung pada Tuhan, mengapa hidupnya tak pernah jauh dari cobaan.

     "Auw! Sakit!"

     Laksa terbelalak saat ia menemukan sosok anak kecil yang tersungkur lalu berjongkok memegangi lututnya. Bibir mungil itu terus saja meniup-niup lututnya yang nampak sedikit lecet.

     Buru-buru Laksa menghampiri Anak kecil itu, mensejajarkan tubuhnya. "Kamu gak apa-apa?"

     Sang anak kecil mendongak menatap Laksa, lalu beralih melohat lututnya. "Lututku sakit, Kak."

     "Sebentar, ya." Laksa nampak mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah plester lucu yang bergambarkan motif hewan.

     Sebelum itu Laksa meniup-niup luka anak kecil itu, hingga akhirnya menempelkan plester miliknya dengan hati-hati.

     "Sudah selesai," ungkap Laksa lalu membantu anak kecil itu berdiri.

     Sang anak pun menatap lututnya yang sudah terbalut plester. Lalu beralih menatap Laksa dengan gembira.

     "Yeay! Udah gak sakit lagi! Makasih, ya, kakak ganteng!" ungkapnya kegirangan lalu tubuhnya yang kecil lekas berhambur memeluk Laksa.

     Laksa pun terkekeh dan menguap surai hitam anak itu. "Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya? Jangan lari, oke?"

     "Siap kakak ganteng!"

    "Yaudah, kakak pergi dulu, ya? Ingat pesan kakak tadi kalau jalan harus hati-hati."

     Anak kecil itu mengangguk penuh semangat. Dan Laksa sekali lagi mengusap surai hitam anak kecil itu sebelum melambaikan tangan dan berlalu pergi.

     "Juna! Kakak cariin tau! Kamu jangan bikin repot Napa!" sosok remaja lelaki lengkap dengan pakaian seragam khas anak SMA—berlari menghampiri anak kecil yang sempat di panggilnya. "Jangan bandel Napa, Dek!"

     Sang anak malah dengan girangnya memperlihatkan lututnya yang sudah terplester.

     "Heh, itu lutut kenapa?"

     "Kak Bian tau gak? Tadi ada kakak ganteng yang baik banget mau nyembuhin luka Juna!"

     Orang yang di panggil Bian pun mengernyit. "Siapa?"

     "Kakaknya juga pake seragam kayak kakak, lho! Semyumnya manis! Ganteng! Kak Bian kayaknya kakak itu juga habis sakit, deh ... Soalnya di tangannya ada bekas tusukan gitu kayak Juna!"

     Juna begitu antusias menceritakan kebahagiaannya kepada sang kakak. Sedangkan kakaknya sendiri hanya mengangguk-angguk seolah ikut bahagia.

     "Yaudah buruan balik ke kamar! Kakak telat, nih."

xxx

     Mobil itu sudah mendarat tepat di depan sekolah Laksa. Sebenernya Arshi tak menyetujui tindakan Laksa yang ingin lekas sekolah, akan tetepi adiknya tipikal orang yang tidak bisa meninggalkan sesuatu. Apalagi itu menyangkut sekolah dan masa depan.

     "Dek, nanti Abang lembur di kantor ... Kamu gak appa-apa, kan, pulang bareng Hanta?" kedua mata Arshi tersirat penyesalan karena hari ini ia tak bisa menjemput adiknya.

     "Abang udah bilaang sama Hanta, kok. Gak apa-apa, kan, Dek?" Lanjutnya dengan menatap Laksa penuh harap.

     Kedua tangan Laksa sedikit meremas celana seragamnya, ia berpikir panjang jika apakah Hanta mau dengannya?

     "Laksa kamu ngelamunin apa?" Arshi membuyarkan lamunan Laksa. "Kalau kamu gak mau Abang bisa tund—

     Buru-buru Laksa menggenggam tangan Arshi, menggelengkam kepala—menatap Arshi dengan senyuman tipisnya.

     "Abang jangan ijin lagi, ya? Laksa bisa bareng Hanta nanti. Abang tenang aja," jawab Laksa penuh keyakinan walaupun jauh di lubuk hatinya ia begitu berharap bisa pulang bersama Arshi. Akan tetapi ia tak boleh egois.

     "Beneran gak apa-apa?" tanya Arshi sekali lagi.

     "Iya Abang ... Beneran."

     Arshi pun tersenyum dan balas menggenggam tangan Laksa.

     "Jangan lupa obatnya di minum, ya? Jangan jajan-jajanan aneh."

     "Abang bawel."

     Laksa mencebik kesal, Arshi mendengus sembari terkekeh.

     "Laksa masuk dulu, ya, Bang? Abang semangat kerjanya dan cepet dapet calon istri!"

     "Laksa! Kamu, tuh, ya..."

     Laksa terkekeh, lalu menjabat tangan Arshi—menciumnya sebagai tanda berpamitan.

     "Assalamualaikum, Bang!"

     "Wa'alaikumussalam."

     Laksa sudah keluar dari mobilnya. Sedangkan Arshi pun tak lekas melajukan mobilnya, di sana ia masih membalas lambaian tangan sang Adik sebelum sosok itu benar-benar tak terlihat lagi.

     Senyum yang tadi sempat terpatri di bibir Arshi, kini luntur lah sudah tergantikan oleh tatapan sendu seakan penuh kesedihan.

     Arshi kembali mengingat perkataan Om Melvin kepadanya perihal Laksa.

     "Arshi, kanker otak Laksa sudah memasuki tahap kedua. Laksa harus lekas melakukan kemoterapi dan pengobatan intensif lagi. Juga masalah operasi yang harus kita bicarakan."

xxx

     Mungkin sudah ada dua hari Laksa tidak masuk sekolah. Dan pagi ini adalah pagi yang mungkin akan sama seperti pagi-pagi sebelumnya.

     Tak ada yang menyapanya, memangnya dia siapa? Tak ada yang mau berteman dengannya. Laksa hanyalah orang biasa yang kata mereka tak layak untuk mendapatkan teman. Padahal Laksa juga ingin memiliki teman, tapi semua murid di sekolahnya seakan enggan mendekatinya.

     Di ujung koridor, Laksa tak sengaja melihat Hanta bersama dengan beberapa temannya—tampak asyik bercengkerama sembari bergurau. Senyum Laksa mengembang, kakinya lekas melangkah menghampiri Hanta.

     "Hanta," panggil Laksa saat ia sudah berada tepat di depan Hanta dan teman-temannya.

     Bukannya malah mendapatkan sapaan yang mbiay hati Laksa bergirang bahagia, malah ia menemukan tatapan tajam penuh kebencian—tersorot dari kedua mata Hanta.

     "Nanti aku pulang bareng, ya?" Lalsa memberanikan diri.

     "Ta? Serius lo udah mulai deketin nih anak cupu?" tanya teman Hanta.

     "Cie Hanta ... Di ajak balik bareng sama si cupu!"

     Laksa terdiam, kedua tangannya mengepal erat. Ia marah, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.

     Hanta meludahkan permen karetnya tepat mengenai sepatu Laksa. Lalu kakinya lekas bergerak mendekati sepupunya, hingga tangan Hanta yang terbebas dari apapun bergerak memegang dagi Laksa lalu mencengkeramnya erat. Membuat Laksa sedikit meringis karena sakit.

     "Denger, ya, sialan ... Gua gak pernah sudi berbagi sama lo," ucap Hanta dengan tatapan tajam.

     "Tap-tapi Abang bilang aku bareng Hanta."

     Bruk!

     Hanta melepaskan cengkeramannya pada dagu Lalsa dengan kasar. Lalu mendorong tubuh anak itu dengan kakinya, membuat Laksa tersungkur.

     "Lo itu pembawa sial! Jangan deket-deket gua, bangsat!" Hanta berteriak penuh emosi hingga membuat beberapa murid menatapnya sembari berbisik.

     "Tap-tapi Hanta ak—

     "Halah! Anjing!"

     Laksa buru-buru menutup kedua matanya saat ia melihat Hanta yang hendak melayangkan pukulan kepadanya. Akan tetapi pukulan itu tak juga mendarat di wajahnya, samar-samar Laksa membuka mata.

     "Gak pantes dengan gelar lo sebagai anak sekolah, menindas orang yang mana sama-sama manusia. Sama-sama makan nasi. Gak di ajarin etika lo di sekolah?"

     "Ini bukan urusan lo, dan lo gak usah sok jagoan sama tuh bocah." Hanta melepaskan cengkeraman tangan lelaki itu dengan paksa, sedangkan di sana Laksa lekas berdiri.

      "Sekolah ngajarin muridnya biar pinter, bukan jadi berandalan yang bisanya ngebully orang."

     Hanta terdiam, begitupun beberapa temannya.

     "Awas lo." ancaman itu Hanta tujukan pada Lalsa, sebelum pada akhirnya Hanta memilih pergi dan hanya meninggalkan lelaki tadi dan Laksa.

     "Bian makasih, ya ... Harusnya kamu gak usah belain aku."

     Bian melirik Laksa sejenak, lalu berucap. "Siapa yang belain lo? Gua cuman gak suka ada penindasan di sekolah ini."

     Tanpa sepatah kata lagi, Bian pun lekas melangkah pergi.

xxx

     Mobil itu sudah mendarat tepat di depan sekolah Laksa. Sebenernya Arshi tak menyetujui tindakan Laksa yang ingin lekas sekolah, akan tetepi adiknya tipikal orang yang tidak bisa meninggalkan sesuatu. Apalagi itu menyangkut sekolah dan masa depan.

     "Dek, nanti Abang lembur di kantor ... Kamu gak appa-apa, kan, pulang bareng Hanta?" kedua mata Arshi tersirat penyesalan karena hari ini ia tak bisa menjemput adiknya.

     "Abang udah bilaang sama Hanta, kok. Gak apa-apa, kan, Dek?" Lanjutnya dengan menatap Laksa penuh harap.

     Kedua tangan Laksa sedikit meremas celana seragamnya, ia berpikir panjang jika apakah Hanta mau dengannya?

     "Laksa kamu ngelamunin apa?" Arshi membuyarkan lamunan Laksa. "Kalau kamu gak mau Abang bisa tund—

     Buru-buru Laksa menggenggam tangan Arshi, menggelengkam kepala—menatap Arshi dengan senyuman tipisnya.

     "Abang jangan ijin lagi, ya? Laksa bisa bareng Hanta nanti. Abang tenang aja," jawab Laksa penuh keyakinan walaupun jauh di lubuk hatinya ia begitu berharap bisa pulang bersama Arshi. Akan tetapi ia tak boleh egois.

     "Beneran gak apa-apa?" tanya Arshi sekali lagi.

     "Iya Abang ... Beneran."

     Arshi pun tersenyum dan balas menggenggam tangan Laksa.

     "Jangan lupa obatnya di minum, ya? Jangan jajan-jajanan aneh."

     "Abang bawel."

     Laksa mencebik kesal, Arshi mendengus sembari terkekeh.

     "Laksa masuk dulu, ya, Bang? Abang semangat kerjanya dan cepet dapet calon istri!"

     "Laksa! Kamu, tuh, ya..."

     Laksa terkekeh, lalu menjabat tangan Arshi—menciumnya sebagai tanda berpamitan.

     "Assalamualaikum, Bang!"

     "Wa'alaikumussalam."

     Laksa sudah keluar dari mobilnya. Sedangkan Arshi pun tak lekas melajukan mobilnya, di sana ia masih membalas lambaian tangan sang Adik sebelum sosok itu benar-benar tak terlihat lagi.

     Senyum yang tadi sempat terpatri di bibir Arshi, kini luntur lah sudah tergantikan oleh tatapan sendu seakan penuh kesedihan.

     Arshi kembali mengingat perkataan Om Melvin kepadanya perihal Laksa.

     "Arshi, kanker otak Laksa sudah memasuki tahap kedua. Laksa harus lekas melakukan kemoterapi dan pengobatan intensif lagi. Juga masalah operasi yang harus kita bicarakan."

xxx

     Mungkin sudah ada dua hari Laksa tidak masuk sekolah. Dan pagi ini adalah pagi yang mungkin akan sama seperti pagi-pagi sebelumnya.

     Tak ada yang menyapanya, memangnya dia siapa? Tak ada yang mau berteman dengannya. Laksa hanyalah orang biasa yang kata mereka tak layak untuk mendapatkan teman. Padahal Laksa juga ingin memiliki teman, tapi semua murid di sekolahnya seakan enggan mendekatinya.

     Di ujung koridor, Laksa tak sengaja melihat Hanta bersama dengan beberapa temannya—tampak asyik bercengkerama sembari bergurau. Senyum Laksa mengembang, kakinya lekas melangkah menghampiri Hanta.

     "Hanta," panggil Laksa saat ia sudah berada tepat di depan Hanta dan teman-temannya.

     Bukannya malah mendapatkan sapaan yang mbiay hati Laksa bergirang bahagia, malah ia menemukan tatapan tajam penuh kebencian—tersorot dari kedua mata Hanta.

     "Nanti aku pulang bareng, ya?" Lalsa memberanikan diri.

     "Ta? Serius lo udah mulai deketin nih anak cupu?" tanya teman Hanta.

     "Cie Hanta ... Di ajak balik bareng sama si cupu!"

     Laksa terdiam, kedua tangannya mengepal erat. Ia marah, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.

     Hanta meludahkan permen karetnya tepat mengenai sepatu Laksa. Lalu kakinya lekas bergerak mendekati sepupunya, hingga tangan Hanta yang terbebas dari apapun bergerak memegang dagi Laksa lalu mencengkeramnya erat. Membuat Laksa sedikit meringis karena sakit.

     "Denger, ya, sialan ... Gua gak pernah sudi berbagi sama lo," ucap Hanta dengan tatapan tajam.

     "Tap-tapi Abang bilang aku bareng Hanta."

     Bruk!

     Hanta melepaskan cengkeramannya pada dagu Lalsa dengan kasar. Lalu mendorong tubuh anak itu dengan kakinya, membuat Laksa tersungkur.

     "Lo itu pembawa sial! Jangan deket-deket gua, bangsat!" Hanta berteriak penuh emosi hingga membuat beberapa murid menatapnya sembari berbisik.

     "Tap-tapi Hanta ak—

     "Halah! Anjing!"

     Lalsa buru-buru menutup kedua matanya saat ia melihat Hanta yang hendak melayangkan pukulan kepadanya. Akan tetapi pukulan itu tak juga mendarat di wajahnya, samar-samar Laksa membuka mata.

     "Gak pantes dengan gelar lo sebagai anak sekolah, menindas orang yang mana sama-sama manusia. Sama-sama makan nasi. Gak di ajarin etika lo di sekolah?"

     "Ini bukan urusan lo, dan lo gak usah sok jagoan sama tuh bocah." Hanta melepaskan cengkeraman tangan lelaki itu dengan paksa, sedangkan di sana Laksa lekas berdiri.

     "Sekolah ngajarin muridnya biar pinter, bukan jadi berandalan yang bisanya ngebully orang."

     Hanta terdiam, begitupun beberapa temannya.

     "Awas lo." ancaman itu Hanta tujukan pada Lalsa, sebelum pada akhirnya Hanta memilih pergi dan hanya meninggalkan lelaki tadi dan Laksa.

     "Bian makasih, ya ... Harusnya kamu gak usah belain aku."

     Bian melirik Laksa sejenak, lalu berucap. "Gak usah pede, siapa yang belain lo? Gua cuman gak suka ada penindasan di sekolah ini."

     Tanpa sepatah kata lagi, Bian pun lekas melangkah pergi.

xxx

     "Gimana aman?"

     "Aman!"

     "Kunci pintunya."

     Pintu itu lekas tertutup dan terkunci dari dalam. Dan di sana, menunjukkan ada sebanyak 3 orang yang kini berada di salah satu bilik kamar mandi lelaki. Mereka berdiri tepat di depan Laksa yang kini beringsut takut-takut.

     "Han-Hanta kamu mau apa-apa?"

     Saat Laksa berkata demikian, mereka hanya tertawa sembari menatapnya remeh. Bahkan tawa itu begitu terdengar menyakitkan di telinga Laksa.

     "Pegangi tangannya." Hanta tampak menyuruh kedua temannya untuk lekas memegangi tangan Laksa di sebelah kanan dan kiri. Setelahnya, sebuah seringai tajam terpatri di wajah Hanta.

     "Han-ta?"

     "Lo harus di kasih pelajaran karena lo udah malu-maluin gua di depan Bian."

     "Tapi kenapa aku?" Laksa mencoba membela diri.

     "Lo tau kenapa?" Hanta mencondongkan wajahnya. "Karena lo emang di takdirkan untuk jadi parasit di dunia ini."

     "Tap—

     Tanpa menunggu lagi, Hanta lekas memegangi kepala belakang Laksa—dan menenggelamkan kepala anak itu di salah satu bak air mandi. Laksa tampak terengah-engah.

     "Ahkh, Han—

     "Hahaha! Rasain akibatnya!"

     Hanta terus menekan kepala belakang Laksa lalu menenggelamkannnya ke dalam bak mandi. Terus dan terus seperti itu hingga berulang kali.

     "Hahaha ... Mampus lo!"

     "Uhuk! Uhuk! Hah, hah, hah, uhuk!"

     "RASAIN! ENAK, KAN?!"

     Hanta dan beberapa temannya pun tertawa, bahkan tanpa sedikitpun menyimpan belas kasih pada Laksa yang sudah tampak kewalahan.

     "Berhenti," titah Hanta pada temennya. Dan mereka pun menghempaskan cekalan tangan mereka begitu saja.

     Sedangkan Hanta, lelaki itu beralih menarik rambut Laksa kebelakang. Lalu menghempaskannya begitu saja.

     "Awas lo! Ini baru permulaan ... Gua bakal bikin hidup lo lebih sengsara dari ini. Anak sialan."

     "Cabut!"

     Hanta memerintahkan teman-temannya untuk lekas bergegas pergi meninggalkan Laksa seornag diri. Akan tetapi sebelum mereka benar-benar pergi, mereka sengaja menendang tubuh Laksa lalu berlalu begitu saja.

     Laksa meringkuk di pojok kamar mandi, memeluk tubuhnya yang mengigil. Satu lelehan air mata berhasil jatuh, dua lelehan air mata hingga semakin lama Isak tangis itu semakin terdengar pilu.

     Laksa menenggelamkan wajahnya di sela kedua kakinya yang tertekuk. Punggungnya pun bergetar hebat.

     "Abang ... Ini sakit."

     Tak ada yang tahu bagaimana keadaan Laksa kini, tak ada yang peduli se-rapuh apa Laksa selama ini. Tak akan pernah ada yang peduli bagaimana hidup Laksa, kecuali Abangnya—Arshi.

     "Abang mau pulang." Laksa bergumam lirih.

    

    
—2022

Continue Reading

You'll Also Like

408K 31.3K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
738K 86.7K 11
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
2.9M 141K 19
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
808K 61.3K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...