Sexy Rich Man [PINDAH KE DREA...

Oleh yurriansan

178K 1.8K 648

🚫+18 PINDAH KE DREAME/INNOVEL. CARI AKUN LION ATAU JUDUL OH, MY RICH MAN Tutorial membaca: 1. Pastiin gak la... Lebih Banyak

ANAK HILANG
Mahluk Malang Menyebalkan
Cerita Ran

Promosi Gooddreamer

71 1 0
Oleh yurriansan

Judul: Mantra Cinta untuk Dilan
Genre: Romansa Komedi
Aplikasi terbit Gooddreamer

🍒🍒🍒

BAB 1: Minta Obat Pelet




Ini gila! Aku nggak habis pikir, gimana ceritanya bisa terjebak datang ke sini, menemani seseorang untuk bertanya ke orang pintar--katanya--yang bisa membuat dia kembali rujuk dengan mantan pacarnya. Kalau tahu bakal diajak ke tempat yang nggak benar kayak begini, dari awal langsung saja aku putar balik. Tapi, lagi-lagi aku yang terlalu polos dan juga baik malah dimanfaatkan dan dijebak dengan cara tidak bermoral sampai akhirnya bokongku menempel di lantai rumah dukun duduk bersila mendengarkan apa yang akan diucapkannya. Walaupun, sedari tadi nggak ada satu pun yang aku percaya.



"Bisa. Dengan syarat, kamu harus siapkan mahar demi kelancaran hajat kamu ini." Pria paruh baya dengan napas bau menyan memberi jawaban sekaligus harapan palsu. Aku tahu ini. Cuma, astaga. Kok, ya, masih begitu loh, kami-aku dan sosok bego ini-- duduk anteng mendengarkan dia ngomong.



"Apa itu, Mbah?" Mata temanku berbinar. Kalau ada yang tahu berkilaunya mata seseorang saat melihat tumpukan berlian. Nah, kurang lebih beginilah ekspresi seseorang yang berada di sampingku. "Sebut aja. Bahkan, kalau Mbah butuh tumbal, ini saya punya satu kawan udah nggak ada semangat hidup." Aku ditepuk-tepuknya.



Bangsul, memang! Enggak nyangka teman sendiri bakalan jadikan aku tumbal demi cinta yang enggak worth it untuk diperjuangkan.



Omong-omong, percakapan di atas terjadi antaraa seorang pria yang menggunakan ikatan di kepala, berkulit keriput, dengan sebatang rokok aroma menyan yang memberikan nasihat pada temanku. Seorang wanita bertubuh tinggi sekitar 160 cm, kulit kuning langsat. Cantik, tapi tukang halu. Bodohnya bukan main.



Ini saja aku nggak menyangka kalau bakalan diajak ke tempat begini. Bilangnya tadi mau menyelesaikan masalah, eh nggak tahunya datang ke tempat dukun.



Mending dukunnya kelihatan agak rapi dan bersih sedikit, dari tampilan luar saja sudah kelihatan urakan. Dia datang ke sini untuk menanyakan perihal cintanya yang ditolak. Bukan ditolak sih, lebih tepatnya mereka sudah menjalin hubungan tapi nggak berhasil hingga temanku ini ditinggalkan.



Yang paling menyakitkan dari semua peristiwa ini adalah dengan begitu gamblangnya dia bersedia menumbalkan aku. Sebagai teman, kenapa bukan ibu kosnya atau adiknya sendiri yang dibilang menyebalkan itu?



Kenapa harus aku?



Walaupun hidupku ini suram dan kebanyakan cerita pahitnya, sejujurnya aku tetap ingin bertahan hidup karena punya semangat dari seorang laki-laki yang aku sukai.



Kunyuk satu ini malah mengajakku ke tempat musyrik. Kalau bukan mau menghargai karena dukun yang kami datangi sudah lumayan tua, sudah pasti aku bakal langsung tarik temanku pulang. Enggak boleh kita ada di sini.



Dari tadi semua omongan yang dia lontarkan enggak ada yang aku percaya. Takutnya amal ibadahku hilang selama 40 hari dan aku dicap sebagai pendosa besar.



Ini pantatku saja sudah enggak nyaman. Duduk dari tadi goyang kiri goyang kanan tanpa musik. Jadi hambar goyangannya.



Dukun melihat wajahku. Tangannya terjulur dengan telapak tangan terbuka. Dia menggeram kayak orang bahan berak.



"Hem, aura teman kamu ini gelap," katanya sembari memejamkan mata dengan tangan terjulur. "Dia memang butuh pertolongan, nasibnya buruk juga kalau mau bertahan hidup, setiap hari dia sial terus, jodoh juga jauh."



Yak, Terus! Lanjutkan itu aib orang dibuka. Segala bilang auraku gelap! Mulutmu itu bau jigong!



Aku cuma bisa ngomel dalam hati.



Ujung jariku yang mungkin ketutupan taplak meja, mencolek paha Saras. Kawanku yang bego itu. Tapi, gara-gara dia sudah fokus banget untuk dengar omongan dukun, aku dicuekin.



"Hidup teman kamu ini memang jauh dari kata bahagia, tapi saya nggak butuh tumbal. Cukup kamu sediakan mahar."



"Mahar apa, Mbah?" Saras makin menggebu.



Dukun senang lihat Saras jadi orang patuh begini. "Siapkan bunga edelweiss yang dipetik langsung dari pegunungan sebelum jam tiga pagi, ayam cemani, juga kambing yang punya sembilan bintik di badannya."



"Kambing polkadot?" Aku keceplosan tanya.



"Kalau polkadot, 'kan, rame. Ini cuma sembilan. Wajib sembilan," jawab dukunnya.



"Tapi, Mbah, saya nggak punya syarat itu semua." Saras kelihatan sedih.



Hamdallah. Minimal kalau Saras nggak punya syarat yang dikasih dukun dia terselamatkan dari tindakan musyrik begini. Pulang dari sini, aku bakal ajak dia tobat.



"Aduh!" Dukun kelihatan kecewa. "Kalau dilihat dari kriteria laki-laki yang kamu kasih itu, syarat segitu hal sepele."



"Kalian tahu pepatah?" Kelihatannya itu dukun tanyakan pada kami berdua.



Dengan percaya diri aku jawab, "Tahu, Mbah. Yang, 'masak air, biar matang', gitu kan,?"



Dukun mencebik. "Itu kamu belajar dari mana?" Skeptis banget dia tanyanya. "Nilai bahasa indonesia kamu pasti minus!"



Sialan! Aku dapat hinaan lagi. Lama-lama aku tendang juga ini meja, biar kayak Dian Sastrowardoyo. Hancurkan semua biar ramai.



Setelah geleng-geleng, Dukun kasih contoh pepatah bijak di mana kami ini para anak muda bisa memahaminya. "Untuk dapatkan sesuatu yang besar, diperlukan pengorbanan yang besar juga."



"Cakep!" Jempolku mengacung.



Saras tempeleng kepalaku karena dinilainya aku ini mengganggu ritual perdukunan ini. Enggak sakit, cuma aku sudah merencanakan untuk membalasnya nanti setelah ini.



"Apa nggak bisa Mbah, saya syarat yang lebih ringan?" Saras bertanya. "Maksudnya yang sekiranya saya sanggup untuk memenuhi itu."



"Padahal itu sudah syarat yang paling ringan saya kasih. Kalau kamu nggak sanggup, saya juga nggak bisa membantu." Dukun sengaja mancing-mancing Saras, aku yakin ini cuma trik.



Dengan bodohnya, temanku ini malah memohon. "Tolong, Mbah."



Benar-benar Ini Saras sudah terjebak cinta dengan mantannya yang bernama Kevin itu. Memang sih orangnya ganteng. Lumayan tajir juga. Tapi, aku yakin alasan kenapa mereka bisa bubar di tengah jalan begini alias enggak berjodoh mungkin itu adalah yang terbaik dari Tuhan. Harusnya enggak perlu dipaksakan, apalagi sampai mendatangi dukun seperti ini.



Kalaupun jadi cinta lagi Kevin padanya, belum tentu murni perasaan yang datang dari dalam hati. Menjalani kehidupan yang seperti itu enggak enak, 'kan?



"Kalau untuk syarat itu sudah nggak bisa ditawar lagi. Demi cinta kamu yang begitu besar pengorbanan segitu nggak ada apa-apanya." Dukun jago banget mengompori bikin Saras semakin menggebu dan yakin kalau cara gila ini akan berhasil.



"Tapi, Mbah, saya nggak sanggup. Apalagi saya harus kerja di mana saya harus cari persembahan kayak gitu?" Tahu nggak sanggup, Saras ini masih saja memohon. Ya iyalah, dukunnnya semakin berlagak kayak pahlawan.



Tuhan ... berbaik hatilah sedikit. Hamba ingin menyelamatkan teman hamba ini dari kebodohan yang hakiki. Semoga bisa!



"Saya nggak sanggup, Mbah, kalau syaratnya itu." Makin memelas temanku ini.



Dengan memicingkan mata, dukun bertanya, "Apa kamu benar-benar cinta dengan pria itu?"



Percakapan antara Saras dan dukun masih berlangsung, aku yang ada di sana cukup diam jadi kambing congek bulukan dan belum mandi.



"Iya, Mbah. Saya cinta dengan Kevin. Tulus, cinta setengah mati." Yakin banget Saras mengatakannya.



Dasar dia ini! Cinta tulus, kok, pakai sarana dukun. Ini namanya egois.



Sang Dukun akhirnya mau mengabulkan keinginan Saras dan untuk syarat yang sebelumnya memberatkan, dia punya solusi lain untuk mempermudah urusan Saras. Dengan bodohnya temanku ini menyetujui tanpa pikir panjang.



"Untuk semua syarat yang Mbah berikan, kamu cukup siapkan uang untuk Mbah. Nanti biar anak buah Mbah yang siapkan semua syaratnya. Kamu tinggal duduk tenang, semua Mbah yang atur." Begitulah siasat dukun membua" Saras terkesima.



"Benar begitu, Mbah?" Saras berbinar matanya.



Dukun di depanku ini tentu langsung membusungkan dada. "Benar, masa bohong."



"Oke, berapa uang yang harus saya serahkan?" Saras segitu yakinnya. Aku cuma bergidik. Dia hidup saja pas-pasan mau sok gaya pakai bayar dukun segala.



"Tujuh juta tujuh ratus tujuh puluh tujuh ribu rupiah." Ah ilah, ini dukun ribet amat. Genapin jadi delapan atau 7,8 juta malah gampang.



Aku menggerutu, Saras malah kelihatan seperti menghitung berapa banyak jumlah uang yang bisa dia miliki untuk diserahkan pada dukun tersebut. Aku jamin walaupun semua uang tabungannya ditotal, nggak akan sampai segitu. Bulan kemarin salah dia sendiri baru beli tas Prada yang harganya lumayan mahal.



"Oke, Mbah. Saya sanggup!" Kata-kata itu terlontar dari bibir durjana Saras.



Si Kunyuk satu ini! Aku sudah enggak bisa menahan diri. Main bilang sanggup. Kemarin saja makan seblak utang dulu belum bayar, belum pinjaman cicilan I phone dia.



"Mau bayar pakai apa kamu!" Aku sudah enggak bisa nahan emosi.



"Pakai uang, Nar. Aku bakal usahain. Lagian ada kamu, aku bakal pinjam uang kamu." Matanya kedip kedip manja. Untung nggak pakai bulu mata anti badai.



"Heh, utang kamu bulan lalu belum dibayar nggak ada, ya. Lagian uangku udah berubah jadi saham, nggak bisa ditarik seenaknya belum dapat untung!"



"Ya ampun, Nar. Pinjam tiga juta aja masa nggak ada?" Dia merengek.



"Nggak ada." Aku jug anggak akan luluh dengan rayuan nggak bergunanya kali ini.



Saras masih mengemis. "Nar?"



"Nggak ada!" Aku angkat bokong. "Mbah kalau butuh tumbal, dah tuh, saya tumbalin teman saya. Dibandingkan hidup saya yang buruk amat, saya masih ada guna ketimbang dia yang halu terus."



Dukun menggeleng perlahan. Beberapa detik kemudian, dia mengeluarkan sesuatu dari kantung. Aku sudah menebak kalau itu adalah jimat atau jompa-jampi buat kirim santet. Eh, enggak tahunya ....



"Scan pakai Qris, saya kasih diskon 20%, loh." Ponsel keluaran terbaru yang dia tunjukkan padaku.



Enggak ada pikir panjang lagi, aku tarik Saras keluar!






BAB 2 : Bos Terkutuk


"Kamu ngapain sih, Nar, tarik aku keluar kayak gini. Apa segitu beratnya kamu bantu aku?" Saras menggerutu sepanjang jalan aku tarik dia keluar.



Mau tahu dia mengoceh apa?



Uang tiga juta itu baginya bukan jumlah yang besar kalau dia pinjam dariku. Kalau nanti dia bisa balikan lagi dengan Kevin dan hubungan mereka naik ke jenjang status yang lebih tinggi alias dijadikan istri sama Kevin, katanya uangku bakal dikembalikan sepuluh kali lipat. Aku bakal untung. Dia terus saja berceloteh kalau nantinya jadi Nyonya Kevin aku juga yang bakal senang nantinya.



Enggak ada satu pun omongan Saras yang aku jawab. Aku diam, biarkan saja dia sesuka hati mau ngomong apa. Orang tuh, kalau lagi termakan cinta begini. Percuma aku mau bilang apa pun, semua akan dimentahkan Saras.



Aku menghargai niat baik Saras. Tapi, sama sekali nggak tertarik untuk menerimanya. Selain sudah yakin kalau cuma kehaluan belaka, aku juga merasa Kalau uang yang didapatkan nantinya adalah uang haram.



Ya, 'kan?



Saras pakai acara cari dukun segala, sih. Sudah yakin kalau Kevin jatuh cinta lagi dan sampai ajak balikan, fix itu bukan hati nurani Kevin yang mengarahkan. Seratus persen itu adalah bisikan setan.



Lagi pula. Aku heran kenapa temanku ini bisa tergila-gilanya dengan Kevin. Bahkan, sudah menjurus gila sungguhan karena dia masih ngotot sekarang memintaku untuk temani kembali ke tempat dukun tadi.



Oke, aku akui Kevin memang ganteng,.kaya raya, dan bisa dilihat termasuk dalam tipe laki-laki idaman. Cuma, 'kan, nggka hatrys memaksakan cinta juga. Dia bisa kok, bahagia dengan laki-laki lain asalkan mau buka hati. Malah aku pikir percuma memaksakan cinta kallau memang masing-masing di antara mereka sudah nggak ada kecocokan. Ibarat kata sepasang sandal, antara kiri dan kanan nggak cocok, mau semahal apa pun nggak akan nyaman dipakai. Begitu juga dalam percintaan.



Fakta lainnya harus aku sadari di sini adalah selalu saja Saras jadi wanita yang gagal dalam bercinta. Memang sih, nasibnya nggak jauh beda dariku. Cuma, kalau dilihat dia lebih miris. Pasalnya, selalu saja perempuan itu jadi korban budak cinta. Kalau sudah masuk ke pelukan laki-laki bisa apa saja dilakukan. Aku yang sering jadi alarm buat dia, setiap kali delta dengan pria. Selalu aku pantau supaya jangan menyerahkan keperawanannya pada pria yang belum sah jadi suami.



Nggak peduli meski saat ini orang bilang FWB atau apalah namanya, aku yang tahu kalau Saras itu anaknya polos, setengah mati menjaganya.



"Ayo, pulang." Aku masih sabar lihat dia memberengut memilih untuk berjongkok di pinggir jalan. Asal tahu saja, gara-gara kelakuan Saras itu, aku sampai rela dorong motor biar agak jauhan sedikit dari rumah dukun. Mau menyalakan mesin langsung tancap gas, takut dianya merengek pegangi bagian belakang motor. Bisa terjungkal kalau begitu.



"Please, bantuin aku. Aku cinta banget sama Kevin. Ngga bisa hidup tanpa dia." Saras menatapku pias. Bulir air matanya menetes setelahmya masih ada sisa yang menggenang di kelopak mata.



Sedih memang kalau lihat kelakuannya begini. Oh, tapi tahun lalu juga dia sama merengek-rengek karena cintanya pada Pak Kepala Desa di kampungnya yang masih muda dan ganteng.



Saras hampir-hampiran saja jadi pelakor karena Pak Kades ganteng tersebut sudah punya istri. Untung nih ya, dia masih punya teman kayak aku yang peduli untuk nasihati dia untuk enggak macam-macam. Ingatkan dia kalau fokus hidup kali ini bukan cuma lelaki.



Apa aku cuma sekali atau dua kali ngomong kayak gini ke Saras?



Nyatanya aku sudah ratusan bakal ribuan kali bilang. Tapi, dasar anak itu bebal. Selalu saja ujungnya jadi korban cinta juga. Aku merasa kami ini sebagai wanita enggak perlu ini itu. Cukup fokus ke diri sendiri. Self love istilahnya. Kalau sudah bisa kayak begini, nanti juga akan membuat orang lain lebih tepatnya lawan jenis tertarik. Intinya tuh, pantasakan diri dulu.



Tapi, Saras bilang kalau mau menunggu pantas entah kapan dapat cowok. Karena sebagai hamba sahaya yang punya penghasilan biasa saja dan enggak bisa dapat perawatan, butuh waktu lama untuk bisa jadi wanita yang kelihatan glow u hasil self love. Bakal bermunculan perempuan-perempuan lain yang punya modal besar untuk mempercepat semua proses itu dan pada titik Itulah bisa saja kami ini sudah terrtinggal jauh. Begitulah teorinya Saras.



Oke aku setuju. Tapi, bukan berarti sebagai perempuan harus jadi orang bodoh bukan?



"Mau pulang, nggak?" Aku sudah duduk di motor, pakai helm Saras masih memberengut kepalanya menoleh ke rumah dukun. Kayaknya masih berharap ada kesempatan untuk kami bisa kembali lagi ke sana.



Lama dia berpikir, aku mengancam. "Ya sudah kalau nggak mau pulang, aku tinggal!"



"Jangan, dong! Nara kejam amat, sih." Dia merengek sembari memakai helm yang aku operkan. Bodoh amat, aku dibilang kejam. Daripada kita berdua keburu kena santet sama dukun gadungan itu, mending pulang.



Temanku sudah menempelkan bokong di motor. Dia masih sempatnya mengomel. Ngalor ngidul, aku cukup diam mendengarkan. Habisnya, orang kalau lagi sableng enggak bisa diajak berpikir jernih. Percuma diajak ngobrol.



"Aku tuh, begini bukan karena gila dengan hartanya Kevin aja. Aku beneran kok, cinta dengan dia. Kamu kejam, Nar, nggak mau bantu aku. Hiks ... hiks ... hiks." Sebentar. Itu yang ada hiks tiga kali bukan tangisan murni Saras. Dasar dia lagi hiperbola. Air mata enggak bisa keluar juga masih dipaksa untuk nangis. Colok bawang juga nih, lama-lama.



"Ya aku bukan nggak mau bantu kamu, Sar. Selain aku juga sama kerenya kayak kamu, aku nggak mau kita jadi percaya omongan dukun. Kalau jodoh nggak akan ke mana, Sar. Kamu itu cantik, baik, banyak kok laki-laki yang mau sama kamu."



Aku sudah siapkan mental untuk ngomong dengan dia. Berharap ini bisa didengar baik-baik. Semua ini demi persahabatan kami yang kental mengalahkan SKM juga bagaikan kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu.



Eh, si dia malah tanya, "Kamu ngomong apa, Nar? Aku nggak denger. Itu barusan ada truk lewat."



"Nggak jadi!" Aku jengkel.



"Apa, Nar?" Saras masih merengek



"Diem atau aku lempar kamu ke got!" Vibes-nya sudah kayak karakter utama di novel online, 'kan



"Ih, Nara ...." punggungku ditepuknya.



Ck! Kenapa hamba punya teman enggak guna begini.



Aku fokus untuk mengantar Saras sampai kosan. Setelah dia turun, aku berikan sedikit nasihat.



"Istirahat, Sar. Kamu nggak perlu ke tempat kayak gitu lagi. No dukun dukunan lagi. Kamu harus lebih percaya kalau Tuhan itu akan siapkan jodoh yang baik."



Saras memelukku. "Makasih ya, Nara. Kamu selalu bisa jadi teman yang baik.



"Hummh."



Selesai obrolan singkat itu, aku segera pulang. Badan sudah pegal-pegal, bau pula. Semua gara-gara Saras yang bilang mau loncat dari jembatan kalau aku enggak segera datang.



Bodohnya malah aku percaya. Padahal nih ya, logika saja. Jangankan lompat dari jembatan, dia kepleset kulit pisang saja sudah minta MRI takut gegar otak.



Oke, rencanaku adalah rapikan tas dan sepatu buka baju, mandi pakai air hangat.



Baru sampai pada tahap meloloskan kemeja dari tubuh, aku dapat pesan dari bos.



'Kamu sudah buat konsep promo, 'kan?'



Mulutku menganga baca sebaris kalimat barusan. Duh, lupa. Kayaknya itu belum aku selesaikan. Eh, tapi, 'kan, dia minta siang tadi. Ya wajar dong kalau belum selesai.



Tapi, bosku ini kayak setan. Dia enggak bakal terima alasan apa-apa. Aku bisa dibebani tugas seabrek kalau berani bilang ini belum diselesaikan.



Aku balas, 'Sedang saya kerjakan, Pak.



'Berapa persen progres?' Hah! Kelihatannya aku tadi salah omong, sampai malah ditanya kayak gini. Oke, aku bakal hati-hati biar nggak kena jebak lagi.



'Delapan puluh persen, Pak.'



'Sedikit lagi berarti. Kalau begitu, saya tunggu malam ini juga dikirim!' Aku mendapat balasan yang sama sekali bukan harapanku



Ya, bagian kesialan lain yang harus aku hadapi. Niat mau mandi santai-santai, menenangkan pikiran, nyatanya malah harus buru-buru demi bisa mengerjakan tugas dari bos.



Sembari mengunyah roti tawar yang dioles pakai mentega dan juga Nutella, aku fokus mengerjakan konsep promo yang diminta. Untung tinggal penyempurnaan, jadi dalam setengah jam sudah bisa kirim. Selesainya, matikan tab, menuju tempat tidur nonton drama. Sebelum aku akhirnya enggak kuat buka mata lalu tidur dan bangun di pagi hari memulai aktivitas seperti biasa.



"Mana konsep promo yang kemarin saya suruh kamu untuk kirim? Ini saya ubek-ubek email, nggak ada." Aku yang masih tenang duduk di ruang kerja, menyelesaikan pekerjaan malah disembur bos begini.



"Udah saya kirim, Pak, semalam," jawabku.



Dia ngotot. "Nggak ada."



Si Bos. Namanya Dilan. Jangan kalian pikir kalau dia adalah sosok pria berwajah ganteng, agak bad boy, terus punya sejuta kata romantis. Pih! Buang jauh-jauh pikiran itu.



Serius, dia itu cuma seonggok daging tanpa hati yang dianugerahi wajah oke dan juga uang yang banyak. Tuhan, pasti lagi baik-baiknya waktu orang tua Dilan ena ena kerja sama bikin dia.



"Nara!" Aku dibentak lewat sambungan intercom. "Kamu ini dengerin saya ngomong apa nggak? Bengong kamu, jangan-jangan kamu melamun, ya!"



His! Si An-



Sabar Nara. Aku hampir saja mengumpat kata anjing untuk bos sialanku itu. Dia kayaknya enggak punya perasaan. Tahu aku ini baru magang tiga bulan, tapi langsung dikasih kerjaaan yang levelnya sudah sama kayak profesional lima tahun. Orang Mbak Titi tanpa DJ, rekan kerjaku yang sudah dua tahun di sini urusannya ke manajer, kok. Lah, kenapa aku yang anak baru malah harus langsung ke dia?



"Iya, Pak, sabar," kataku semanis mungkin bagaikan gula dicampur cuka. "Ini saya lagi cek cek lagi email saya. Nah, buktinya sudah terkirim, Pak."



"Tapi, nggak masuk di saya!" Bos bebas marah-marah pada karyawan.



"Ya, masa bisa eror gini sih, Pak?" aku juga nggak paham kenapa nasibku sesial ini



"Ngapain kamu nanya saya?"



Oh, bedebahnya mahluk satu ini. Aku yang semula enggak punya kosa kata bahasa kasar, sejak kenal dengan Ibrahim Dilan Waldetra. Kerjaan dia yang setiap hari marah-marah denganku, membuat aku selalu memiliki umpatan untuknya.



"Oke, Pak. Saya ke ruangan Bapak sekarang."



Aku bergegas ke ruangan bos dengan membawa USB yang sudah ada data untuk diserahkan padanya.



Ketuk pintu dulu, cek aroma mulut, menunggu dipersilakan masuk, baru aku melongokan kepala. "Permisi, Pak."



"Nggak usah basa-basi, duduk sini, cepetan!" Duh, dia mencret atau apa, sih, sampai aku harus diburu-buru begini.



Duduklah aku di kursi panas tanpa uang dua miliar itu. Dengan hati-hati menyerahkan USB. "Ini, Pak. Hasil kerja saya ada di file promo digital."



"Repot. Belum tentu juga USB kamu bebas virus."



Sabar. Ingat Nara, dia ini atasan. Tolong jangan colok lubang hidungnya, demi kemaslahatan dompet Anda sendiri



"Loh, tadi Bapak bilang nggak masuk email Bapak." Tentu harus aku ingat lagi alasanku bisa sampai di sini.



"Kirim pakai WA juga bisa, 'kan?" Oh, Dilan ini. Kenapa dia nggak bilang dari tadi.



"Saya kira itu nggak sopan."



Dilan cuma menggeleng. "Kirim buruan!" perintahnya.



Biar hidupku aman, segera aku kirim. Begitu masuk datanya, dia buka dan periksa di komputer kerja.



"Kamu boleh keluar."



"Iya, Pak." Aku mengangguk. Dengan anggunly dan slay pergi.



Sialnya, baru dua langkah Dilan malah mengoceh. "Ini yang kamu bilang konsep promo?"



"Hah?" Aku bengong



"Duduk sini lagi, saya ajarkan ke kamu gimana buat konsep promo itu!"



Ah, alamat ini aku dapat siraman rohani.





BAB 3 : Musibah vs Berkah




"Saya duduk lagi, Pak?"



Dengan bodohnya aku masih berani tanya. Padahal, itu sudah jelas banget kalau mukanya Dilan ditekuk kayak kipas souvernir pernikahan, alis juga sudah berkerut. Malah tajam banget itu tatapan, kepalaku rasanya seperti dilubangi.



"Iya, kamu duduk lagi."



Sedikit gemetar, aku duduk. Aku tahu bakal kena omel. Karena Dilan ini tipe yang lumayan perfectionist juga galak. Beberapa kali aku dibuat mau mengompol karena dimarahi.



Dilan memutar layar komputer untuk menunjukkan padaku apa kebodohan anak buahnya ini.



"Kamu yakin ini konsep yang sudah bisa kita pakai untuk jasa promosi?"



"Ya-kin, Pak." Aku terbata menjawab. Fix, ini aku bakal ditelan Dilan hidup-hidup karena sudah jelas ketahuan kalau aku ini juga tidak yakin kalau konten iklan yang aku buat bisa dibilang layak.



"Huh, yakin kamu bilang?" Tatapan Dilan tajam.



Aku menelan Saliva. Kalau masih ngotot bilang yakin, aku bakal dicecar dengan banyak pertanyaan. Kayak, apa yang membuatku yakin?



Alih-alih membuat diriku tampak bodoh. Aku berstrategi untuk tanyakan apa yang dinilainya kurang.



"Bagian mana, Pak, yang harus saya benahi? Biar langsung saya kerjakan."



"Semua." Dilan menepuk meja. "Semua ini harus kami perbaiki. Mulai dari konsep iklan sampai kata-kata yang kamu buat!"



"Saya kerja dua kali dong, Pak?" tanyaku.



Harusnya sih, dijawab baik-baik, ini malah aku digalakin. "Salah kamu, bikin kayak gini juga masih nggak becus."



"Tapi, sebelum saya selesaikan saya ini sudah sempat diskusi dengan Mbak Titi, Pak. Ini katanya udah oke, kok." Ya, aku bela diri dong.



"Oke dari mana?" Aku makin digalakin. "Kamu ini lebih percaya dengan Titi atau saya yang punya bisnis ini?"



Aku percaya Tuhan maha adil, suatu saat akan ada kesempatan untukku bisa marah-marah begini dengannya. Tunggu Dilan-da Musibah! Aku akan balas kamu kalau ada kesempatan!



"Maaf, Pak." Ujungnya aku harus mengalah.



Dilan mencebik. "Kamu lupa, apa konsep dari pekerjaan kamu sebagai digital marketing?"



Ya, aku ingat. Sebagai digital marketing aku harus punya kemampuan berpikir strategis, kemampuan riset pasar, pemahaman SEO, penguasaan alat dan situs, dan masih banyak lainnya. Bahkan, sampai bahasa asing juga harus dikuasai.



Aku adalah orang yang harus menjaga mood tetap baik. Tetap senyum, meski hati getir ketika harus berhadapan dengan konsumen. Aku juga orang yang menderita karena berurusan dengan Dilan Sialan ini.



"Ingat, Pak," kataku pasrah.



"Kalau kamu ingat, kenapa sampai kayak gini?" Dilan tuh ya, nggak puas kayaknya kalau nggak buat aku ngompol di celana.



"Maaf, Pak. Tapi, saya memang nggak paham dengan apa yang Bapak maksud."



Dilan menghela napas. "Intinya, saya nggak suka dengan apa yang kamu buat. Kalau saya target kamu, menurut saya ini nggak menarik, membosankan, juga terlalu pasaran. Siapa coba yang akan tertarik?"



"Jangankan untuk beli, klik link yang kamu kasih pun belum tentu dia mau. Hasil kerja kamu sungguh payah," pungkas Dilan, puas banget dia merendahkan aku.



Setiap musibah dan kejengkelan aku selalu percaya akan ada kebaikan di dalamnya. Mungkin kemarahan Dilan kali ini membuatku bisa punya kesempatan untuk berkomunikasi dengan Galen. Dia itu manajer marketing, atasanku langsung. Orang yang buat aku bertahan di kantor ini. Pria tampan, rupawan, berhati malaikat yang aku suka.



"Baik, Pak. Saya akan perbaiki ini dengan segera." Mengalah adalah jalan terbaik biar aku nggak pening.



"Saya tunggu sebelum makan siang nanti hasil kerja kamu sudah ada."



"Iya, Pak.". Aku mengangguk kemudian keluar dari ruangan Dilan.



Huh, berasa kayak habis dijebak di goa gara-gara aku harus dengar semua omongan Dilan.



Oke, lupakan. Enggak perlu memikirkan itu. Tugasku sekarang adalah mengerjakan ulang yang Dilan pinta sebelum kena omel lagi.



Duduk di meja kerja, aku berusaha fokus. Tapi, apalah daya tanganku malah gatal mengirimkan pesan pada Saras.



'Punya kenalan dukun santet nggak, sih? Sumpah ya, rasanya mau aku santet itu orang yang jengkelin banget!'



Menunggu beberapa menit, Saras membalas.



'Cin, sadar. Ingat kemarin aku mau pakai dukun pelet aja kamu marah-marah katanya dosa. Ini mau santet orang.'



'Aku kesal banget! Gila apa, ada orang yang seenaknya kayak gitu di dunia ini! Dia pikir untuk buat sebuah desain promo itu segampang memasukkan jari ke lubang hidung untuk menggali upil?' keluhku dalam pesan.



'Aku butuh kerja keras, butuh memikirkan ini matang-matang. Belum lagi konsep-konsep lain yang harus dibuat.'



'Lagian juga, itu orang kayak kurang kerjaan! Sudah tahu urusannya aku dengan Pak Galen, tapi kenapa sih, dia yang sibuk banget!'



Aku memborbardir Saras dengan chat kekesalan hatiku.



Saras mengirimkan emoticon tertawa padaku.



'Sabar, jangan marah-marah begitu. Mungkin bos kamu lagi jomlo, makanya dia agak stres,' balasnya.



Aku balas lagi, 'Dih! Dia yang stress kenapa aku harus jadi korban?'



'makanya biar kamu nggak stres juga, cari jodoh. Ini aku lagi usaha mau mendekati Kevin lagi.'



Sumpah kalau rancangan cari jodoh itu sebodoh yang Saras lakukan, aku enggak akan pernah mau bertindak seperti itu.



'Nggak usah aneh-aneh ke dukun lagi ya!' Aku ingatkan Saras.



Dia balas, 'Nggak kok, tenang aja. Hari ini aku nggak bakalan ke dukun, soalnya biayanya mahal. Lagian semalam dapat ceramah, nggak sengaja dengan dari ibu kos yang nonton tausiah di TV.'



Bagus kalau begitu. Memang enggak pernah ada yang bagus kalau cinta menggunakan pelet. Dengar dari orang sih, katanya yang sebenarnya mengendalikan hati korban pelet adalah setan, bukan perasaannya sendiri. Iyuh, mengerikan.



'Nanti sore pulang kerja kita ketemuan, yuk. Kebetulan aku juga pulang cepat. Sekalian kita mampir di warung seblak langganan.'



Aku setuju dengan catatan, 'Kamu yang bayar, gantian.'



Saras pasti kesal. 'Ampun, deh. Perhitungan banget sama kawan.'



'Ya, you know, uangku dan uangmu itu nggak pernah bersaudara dan juga nggak akan pernah akrab. Jadi jangan kaget kalau aku bakal lebih perhitungan.' Aku juga nggak mau rugi.



Kembali Saras tertawa. Pesan terakhir darinya, 'Oke, Sista. Semangat kerjanya. Ingat, kita masih miskin, butuh uang untuk beli skin care, supaya bisa dapat cowok tajir. Tetap semangat kerja!'



Enaknya ngobrol dengan Saras, walaupun kadang-kadang dia kurang nyambung, bisa mengurangi sedikit beban pikiranku.



Baiklah, lanjut kerja. Setelah selesai, kurang dari dua jam dari yang ditargetkan Dilan, aku mau meminta bantuan Galen.



Sebenarnya waktu mau kirim pesan ke dia, ragu banget. Takut dia sibuk, takut ditolak, dan takut aku ini enggak dianggap apa-apa di sini. Tapi, memikirkan ketimbang aku bakal diomelin lagi dengan Dilan, mending aku tanya dulu deh ke Galen. Lagian, Mbak Titi juga setuju kok, kalau aku konsultasi dulu ke beliau.



'Selamat pagi menjelang siang, Pak Galen. Maaf, Bapak sibuk atau nggak? Kalau ada waktu, saya mau konsultasi ke Bapak soal kerjaan saya.'



Pesan dikirim, aku menunggu balasan dengan jantung berdebar. Kira-kira Pak Galen mau enggak ya, balas pesanku?



Ting!



Pop up pesan masuk. Hyuh! Tanganku berkeringat ketika membuka layar ponsel.



'Saya senang kok, kalau kamu mau konsultasi dengan saya. Ini saya lagi nggak sibuk, langsung aja ke sini.'



Emaaak! Anakmu berhasil punya kesempatan untuk dengan calon mantu emak.



'Saya ke ruangan Bapak sekarang, ya kalau gitu?' Aku basa-basi dulu.



'Iya, Nara ....'



Tuhan, kuatkan jantung hamba. Baru juga disebut nama sama Galen begini mau meleyot rasanya.



Aku memikirkan, apa perlu pakai penyegar mulut dan minyak wangi lagi untuk menemui Galen?



BAB 4 : Bedanya Dilan dengan Galen




Aku baru merencanakan hal yang manis untuk persiapan pertemuan dengan Galen, eh ... sudah ada WhatsApp dari Dilan.



'Sudah kamu kerjakan atau belum? Kalau sudah bawa ke ruangan saya!'



Setan Buntut Ijo! Aku yang baca pesan itu langsung bawa tablet bergegas pergi ke ruangan Galen. Gawat kalau Dilan keburu ngotot minta aku untuk langsung serahkan ini ke dia, aku bisa dibabat habis lagi tanpa bisa gunakan kesempatan ini untuk bisa bicara


dengan Galen.



Aku melangkah cepat. Bahkan setengah berlari waktu menuju ruangan Galen. Tiba di depan pintunya, napasku malah jadi satu dua begini.



Kipas kipas dulu ini muka biar enggak berkeringat. Sebentar aku cek aroma ketiak, takutnya bau. Endus sedalam mungkin, pastikan bau atau nggak. Kiri dan kanan semua diperiksa.



"Nara?"



Aku menoleh secepat kilat untuk memastikan siapa yang memanggil. Dengan posisi, tangan masih terangkat mirip burung yang mau mengelak, tampaklah sosok bertubuh tinggi, alis tebal, dan bibirnya yang kissable itu.



Galen!



Aku langsung berubah ke posisi wajar. Nara ... Nara, sudah tampang enggak seberapa kelakuan kamu juga minus!



"Oh, Pak."



"Sudah lama kamu tunggu saya?" tanya Galen.



"Nggak kok, Pak." Aku menyeringai. Harusnya jangan karena ini bikin tampangku jadi jelek.



Satu hal yang aku tahu dari Galen adalah dia sama sekali nggak pernah punya sikap mau mempermalukan karyawannya, siapa pun itu dan apa pun tingkah yang dia lakukan. Beda banget dengan Dilan yang hobi merundung setiap kali aku punya kesalahan kecil.



Coba bayangkan, kasus yang tadi kalau itu Dilan yang lihat. Aku yakin, dia bakal marah besar dan menganggap aku sebagai perempuan paling jorok nomor satu di dunia. Habis itu aku bakal diceramahi sampai pengang.



Galen tersenyum. "Sudah siap dengan konsep kerja kamu?"



"Sudah, Pak." Aku mengangguk sembari menunggu Galen membuka pintu. Setelah pintu dibuka, dia melangkah masuk, aku pun diajaknya.



Berhubung waktunya sudah semakin sempit karena kepikiran takut Dilan tiba-tiba memaksa supaya aku langsung ke ruangannya, setelah menempelkan bokong di kursi, langsung aku tunjukkan bagaimana hasil kerjaku beberapa jam yang lalu.



"Kalau boleh, saya minta pendapat Bapak."



Galen memperhatikan tablet milikku, tampak berpikir sejenak sebelum memberi jawaban.



Beberapa saat menunggu, dia memuji. "Ini bagus kok, sudah cocok. Nggak ada masalah."



"Serius, Pak?" Mataku berbinar-binar. Selain karena pujian yang baru diberikan, aku juga senang karena hasil kerja dihargai. Tahu dong, selain masalah gaji siapa pun orangnya pasti akan merasa bahagia kalau pekerjaan mereka tidak dijatuhkan.



Tapi, saat aku ingat dengan Dilan, kebahagiaan itu seperti hancur begitu saja. Membuatku ujungnya jadi insecure.



"Bapak enggak ada masukan yang lain? Soalnya saya yakin kalau ini kalau Pak Dilan yang lihat, nggak bisa langsung lolos segampang itu."



Kebetulan Galen dengan Dilan ini sebenarnya masih bersepupuan. Mereka juga lumayan akrab. Makanya aku nggak berani menceritakan hal aneh-aneh. Takutnya nanti disampaikan ke orangnya. Bahaya. Aku bisa dipecat, cari kerja susah dan yang paling nggak ingin aku lewati adalah menghabiskan waktu bersama Galen. Meskipun enggak tahu nanti ujungnya bakalan berjodoh atau enggak.



"Kalau Dilan sering protes, kamu nggak perlu ambil hati. Dia memang orangnya suka begitu." Galen menarik sudut bibirnya. "Kalau dari saya ini sih, sudah sangat bagus. Kamu kalau yakin ini bisa, harus pertahankan. Nggak peduli dia bos, manusia bisa aja salah."



"Baik, Pak."



Galen menyimpulkan senyum. "Kamu ingatkan lagi Dilan, kalau keputusan marketing ini ada di tanganku. Dia cuma control."



"Baik, Pak." Asli ini semangat dalam diri rasanya sudah membumbung tinggi. Nanti kalau Dilan itu masih banyak omong, masih ngoceh macam-macam, aku bakal sembur dia.



Mungkin aku bisa gebrak meja. Menunjuk-nunjuk wajahnya, terus bilang kalau dia enggak bisa seenaknya. Jangan mentang-mentang bos, bisa menindas karyawan semaunya. Dia harus contoh Galen yang baik dan sangat dermawan ini.



Semua sketsa itu sangat rapi di kepalaku. Sampai aku juga bisa membayangkan bagaimana kondisi Dilan nanti. Dia pasti bakal pucat wajahnya, lalu minta maaf.



Ponselku berdengung. Ampun, deh. Ini Dilan. Buat apa dia sampai harus telepon segala. Kenyataannya, segala rencana yang tadi bubar seketika setelah aku mendengar hardikan Dilan.



"Dua jam saya kasih kamu waktu untuk revisi, dan beneran kamu pakai dua jam itu untuk menyelesaikan!" Bos mah enak tinggal marah.



"Ini saya sudah selesai, Pak." Aku berusaha untuk tenang.



Dilan yang nggak punya perasaan semakin membebani hidupku. "Satu menit sudah harus saya terima datanya."



"Sabar, Pak." Aku sudah mirip cacing kepanasan gara-gara sambungan telepon dengan Dilan yang baru saat ini.



"Nggak ada sabar." Dilan sudah kayak tukang jagal yang mau membunuhku. "Mau saya yang ke ruangan kamu atau kamu yang ke ruangan saya sekarang!"



Fix! Aku harus buru-buru ke ruangan dia sebelum jadi dendeng Karena diomelin Kenapa kalian aku permisi



"Pak Galen makasih, ya untuk saran dan masukannya Bapak kasih tadi." Aku buru-buru membereskan mengambil tablet yang ada di meja Galen.



Menundukkan kepala. lanjut buru-buru ke ruangan Dilan sialan. Gara-gara dia nih, aku jadi kelihatan kayak orang linglung. Bahkan, hampir menabrak pintu saking takutnya dia menyusul ke meja kerja.



Datang ke ruangannya dengan napas tersengal-sengal, lupa dengan adab dan sopan santun untuk masuk ke ruang atasan. Aku langsung duduk di depan dia, menyerahkan hasil kerja.



Eh si Sompret sialan satu itu malah menyuruhku untuk keluar lagi, mengulang cara masuk karena dianggapnya tidak sesuai dengan protokol yang ada.



Benar ya, kalau bukan bos, aku maki-maki habis-habisan!



Hal buruk kalau ini adalah skenario aku rancang sebelumnya, di mana aku bisa marah pada dia menunjukkan ketegasan bahwa desain promo ini sudah bagus ternyata enggak bisa diwujudkan di depan Dilan.



Aku malah jadi orang yang banyak diam, cuma bisa memili jari ketika dia memperhatikan asing di selingkuh dengan saksama.



Setelah berada dalam ruangan yang cukup menegangkan itu, akhirnya Dilan berkata, "Yang ini, saya terima. Silakan kamu posting."



Ya ampun, lega banget bisa dapat kata-kata itu dari dia. Hampir aku mau siap-siap buat surat pengunduran diri karena merasa sangat ditindas.



Baru juga merasa senang sedikit, eh Dilan lontarkan kata-kata yang menyakitkan hati. "Skill marketing kamu nggak berkembang, ya?" ejeknya. "Sebenarnya kamu selama 3 bulan di sini saya angkat jadi karyawan magang banyak belajar nggak, sih, dari senior?"



"Belajar kok, Pak." Aku membela diri. "Tapi, 'kan, nggak mungkin juga setiap saat saya harus tanya ke Mbak Titi atau senior yang lain. Setelah mempelajari konsep gimana, biasanya saya improve dengan kemampuan sendiri."



"Masalahnya, kemampuan kamu masih standar. Kurang dari yang saya harapkan."



Itu sih, harapan kamu yang ketinggian!



Seandainya aku bisa bilang begitu. Tapi, sebagai karyawan malah menjawab, "Baik, Pak. Saya akan belajar lagi untuk bisa lebih baik."



Dilan mendesah berat" Siang ini, di jam makan siang kamu ikut dengan saya."



"Ikut Bapak? Ikut ke mana?"



Jangan bilang mau dijagal!



"Saya bakal ada pertemuan dengan marketer yang profesional. Nanti kamu bisa diskusi.



"Siang ini, Pak?" tanyaku lagi.



"Iya, siang ini."



"Sebelum makan siang?' Aku masih banyak omong.



"Astaga, kamu ini ya!" Dilan sudah mau keluar bola matanya. "Jangan khawatir. Nanti kita bakal makan siang sekalian!"



Demi langit dan bumi kenapa aku harus makan siang dengan orang ini.





BAB 5: Dapat Mantra Cinta




Aku tarik napas dalam-dalam, embuskan perlahan dari hidung. Bukan bokong. Masih sopan aku di kantor enggak kentut.



"Iya, Pak, Saya bakal ikut Bapak nanti."



Aku pikir ini sudah selesai. Dilan malah memperhatikanku dari ujung kepala sampai batas di mana badanku enggak ketutupan meja. Aku merasa dikuliti dengan tingkahnya ini.



"Bapak ngapain lihat saya kayak gitu?"



"Kamu yang mikir apa karena saya lihatin begini!" Dilan meninggi nada bicaranya.



Aku punya jawaban yang sangat diplomatis. "Bapak jijik dengan saya?'



Dilan tertawa. "Saya nggak mikir kayak gitu."



"Oh." Ya habisnya kalau aku bilang kalau Dilan mau macam-macam denganku, takut disuruh ngaca.



"Kamu rapikan lagi tampilan kamu. Saya nggak nayaman banget itu lihat muka kamu sudah kayak donat." Body shaming-nya Dilan enak banget ya. "Nggak mau tahu saya, siang nanti kalau saya ajak keluar kamu sudah harus kelihatan agak enakan sedikit."



"Umh, gimana kalau Bapak, ajak Mbak Titi aja? Nanti transfer ilmu, Pak. Ketimbang Bapak malu jalan sama saya, 'kan?" Aku kasih solusi lain.



"Titi itu udah ahli, kamu yang masih kacangan." Lagi-lagi akulah yang diejek.



Okelah, pasrah. "Iya deh, Pak."



"Sana keluar."



Istighfar aku dalam hati diusir begini. Dengan senang hati aku keluar. Tapi, enggak bisa bohong juga kalau aku merasa insecure dengan omongan Dilan barusan.



Kembali ke ruang kerja, sibuk dengan urusan sendiri, tidak terasa sudah hampir jam makan siang.



Berhubung si Bos tadi sudah bilang kalau mau mengajakku pergi, aku jadi ke kamar mandi dulu untuk mengecek tampilan.



Perasaan, mukaku ini nggak kucel amat. Aku bukan tipe perempuan yang total abai dengan kesehatan kulit wajah. Timbang toner sama serum masih pakai. Ini, kenapa aku dikatain kayak donat? Apa pipiku gemuk?



Putar kiri, putar kanan. Aku cek lagi wajah. Asli, aku malah merasa semakin mengagumi kecantikanku yang enggak seberapa ini. Semua biasa saja, enggak seburuk yang Dilan bilang.



Tapi, sebagai pertolongan, aku memutuskan untuk touch up. Walau hanya pakai suns creen dan juga loose powder. Jangan lupa semprotkan minyak wangi ke sekujur tubuh supaya Dilan nanti enggak protes, menghina kalau badanku ini bau. Perhatikan lagi pakaian. Lihat dari segala sisi.



Setelah semuanya sudah sempurna, aku keluar dari kamar mandi. Mbak Titi sampai kaget.



"Seger amat. Habis ngapain?" tanyanya.



"Bedakan," jawabku jujur.



"Tumben-tumbenan, mau makan siang doang pakai bedakan. Memangnya mau ketemu dengan siapa?" Mbak Titi semakin penasaran.



Aku menggoyangkan jari telunjuk dengan mata menyipit di depan rekan sejawatku ini. "Bukannya mau ketemu dengan siapa-siapa, Mbak. Tapi, aku bakal pergi dengan seseorang."



"Siapa?" Mata Mbak Titi sudah berbinar-binar. "Pacar kamu, ya?"



Pacar dari Hongkong?



Statusku saat ini belum punya gandengan Laki-laki yang aku suka adalah atasan sendiri yaitu Galen. Tapi, semakin menyadari perasaanku begitu besar padanya, semakin aku tahu pula kalau harapan nanti bisa bersamanya bisa dibilang cuma ada dua persen.



"Aku mau pergi dengan Pak Dilan."



"Loh, mau pergi dengan Pak Dilan?" Kaget, 'kan, dia.



"Iya, katanya aku harus ikut dia untuk ketemu dengan marketer profesional, yang bisa ngajarin aku. Biar skill untuk bikin konten promo enggak itu-itu aja." Aku becermin lagi, mengecek muka takut masih kayak donat.



Mbak Titi heran. Sembari menyedot es boba miliknya, dia bilang, "Kok bisa, ya? Padahal desain promo kamu itu lumayan bagus, loh. Kata-katanya juga menarik."



Nah, ada yang sepahm denganku rupanya. "Itulah. Kayaknya si bos agak sensi, deh. Makanya apa aja yang aku kerjain salah."



"Sabar, namanya juga cuma karyawan. Kita cuma bisa nurut."



Benar banget itu apa yang dibilang sama Mbak Titi.



Obrolan kami harus terputus karena Dilan bilang 10 menit lagi aku harus turun, tunggu dia di parkiran supaya bisa langsung berangkat ke tempat pertemuan dengan marketer nanti.



Aku enggak tahu apa yang ada di pikirannya. Menurutku ini ribet. Tapi, ya sudahlah. Ikut saja apa kata dia.



Sepuluh menit akhirnya tiba juga, aku bergegas turun menunggu Dilan-da Masalah tepat di dekat mobilnya.



Biasanya ada seorang sopir menunggu. Tapi, ini tumben sepi-sepi saja.



Lima menit kemudian dia muncul. "Bagus kamu nggak telat. Hampir saya mau marah kalau sampai kamu belum muncul."



Aku tersenyum getir. Sebagai orang yang sudah tahu bagaimana karakter dia, enggak mungkin dong aku cari masalah.



Dilan bukakan pintu depan.



"Loh?" Aku kaget. "Saya duduk di sini, Pak?"



"Mau duduk di mana? Masa mau duduk di belakang? Kamu Kira saya sopir kamu, apa!"



"Bukan begitu, tapi 'kan. biasanya Bapak ke mana-mana diantar sama sopir. Saya kira, Bapak duduk di belakang."



"Saya lagi males pakai sopir. Kamu buruan masuk!"



"Ini beneran, Pak, saya nggak masalah duduk di sini?" Aku ragu, soalnya Range Rover ini kelihatan terlalu bagus untuk ditempelkan bokongku.



"Ya sudah, kalau kamu nggak mau duduk di sini, silakan duduk di atap mobil!"



Sialan. Aku nggak tahu dia bercanda atau serius. Karena ekspresinya selalu sama.



"Iya, Pak, saya duduk sini." Akhirnya masuk juga aku dalam mobil itu, lalu duduk pasang sabuk pengaman. Diam, enggak mau ngomong apa-apa karena takut nanti salah lagi.



Pergi kami ke restoran dengan konsep ruangan private. Baru duduk, pramusaji di sana langsung tahu menu apa yang harus disiapkan. Menunggu sebentar, makanan datang.



Dilan suruh aku juga menikmatinya.



"Pak, katanya kita mau ketemu dengan marketer profesional itu?" Wajar dong kalau aku tanya.



"Ya udah, nanti dong. Sambil nunggu makan dulu. Kebetulan saya lapar dan nggak mau dilihat orang sebagai Bos kejam," ujar Dilan dengan garpu mengacung di depan hidungku. "Kalau saya enak-enakan makan, kamu cuma bengong!"



Aku lihat menu yang terjadi di depan mata, dengan tampilan yang sangat eksotik, sampai aku enggak tahu ini namanya apa. Tapi, bisa ditebak sih, harganya sudah pasti mahal.



"Ini gratis, 'kan, Pak?" tanyaku. 'Nggak bakal potong gaji atau bonus saya?"



"Kamu, beneran ya! Makan kayak begini saja masih ditanya." Dilan kelihatan pening. "Ini gratis."



Kalau memang gratis sih, enggak apa-apa. Aku bakal makan dengan senang hati.



Di sini keanehan kembali terjadi. Setelah makanan habis pun orang yang dimaksud enggak datang. Dilan melihat jam kemudian sebentar dia seperti berbalas pesan dengan seseorang.



Aku juga akhirnya jadi ikutan lihat jam. Ternyata, kami berdua di sini sudah sekitar 50 menit alias hampir 1 jam, orang yang ditunggu itu belum juga datang.



"Pak, ini gimana?" Wajar dong kalau sebagai anak buah aku harus tahu nasibku.



"Pertemuan kali ini batal. Kayaknya memang nasib kamu yang kurang hoki. Padahal, saya sudah atur jadwal." Dilan membuka serbet kemudian membayar bill makanan dengan Black card miliknya. "Ya sudah, kita kembali ke kantor. Besok atur lagi pertemuannya."



Idih! Jelas-jelas orang yang diajak ketemuan itu yang enggak profesional, kenapa harus aku yang diejek punya hoki selalu kurang beruntung.



Dengan bersungut-sungut aku mengikuti Dilan keluar dari restoran. Tiba-tiba ada seseorang yang mencegah.



"Kak, tolong beli buku ini!"



Aku kaget. Dilan main jalan terus. Padahal, aku mau memanggil untuk minta pertolongan. Takutnya, yang datang ini psikopat.



"Maaf, saya nggak mau beli bukunya. Lain kali aja." Aku menolak baik-baik.



"Tolong, Kak, beli." Dia sampai memegang tanganku.



Aduh, ini Dilan enak banget sih, main jalan. Bahkan aku enggak bisa lagi melihat sosoknya.



"Kakak harus beli buku ini, aku bakal kasih diskon besar-besaran."



"Ya sudah, deh." Dilihat dari tampilannya yang mungkin masih berusia 18-20 tahun membuatku akhirnya nggak tega. "Berapa harga buku ini?"



"Harusnya, harganya sangat mahal. Tapi, karena Kakak orangnya baik, aku kasih 50 ribu aja."



Aku menyeringai. Aku beli karena terpaksa juga. Biar enggak terlalu mengganggu.



Selembar uang 50 ribu aku berikan padanya. Kemudian buku tadi aku ambil.



Ini mungkin sebuah novel, dengan sampul berwarna merah muda dan ada banyak gambar hati. Tapi, karya siapa, aku enggak kenal. Juga dari penerbit mana pun aku enggak tahu.



Perempuan muda yang menawarkan buku tadi meraih tanganku lalu menggenggam jemariku dengan lembut. "Kak, di dalam buku ini ada kisah romansa dari beberapa orang yang punya pengalaman. Juga ada satu hal yang penting." Serius banget, nih, dia ngomongnya. "Di dalamnya, ada sebuah mantra yang bisa membantu untuk mendapatkan laki-laki yang Kakak cintai."



Aku cuma tertawa dalam hati. Ini sih, strategi marketing yang bagus banget. Tahu aku jomlo dan juga punya perawakan enggak secantik perempuan lain, dia pakai bilang segala ada mantra cinta.



Aku menghargainya. Jadi, aku terima saja. Tapi dia kembali memegang tanganku.



"Ingat, Kak, ikuti panduan yang ada di kertas itu. Ketika Kakak mau menggunakan mantra cinta untuk mendapatkan pasangan." Dia menatapku dengan serius. Di titik itu juga aku seperti terhipnotis bahwa yang dikatakannya adalah sungguhan.



Apa iya, ini benar ada mantra cinta? Kira-kira, boleh enggak ya kalau aku pakai ke Galen?




BAB 6. Jika Dia Bukan Bos




Setelah urusanku dengan penjual buku dadakan tadi selesai, aku menyusun Dilan yang sudah asyik-asyikkan duduk di mobil dengan sabuk pengaman terpasang. Dia tuh memang enggak punya perasaan banget, ya! Tahu, aku ini bawahannya yang jelas-jelas seorang wanita ketinggalan jauh di belakang, nggak ada niat gitu untuk kembali. Minimal tengoklah aku lagi apa. Entah-entah aku ini digondol sama orang jahat. Beneran deh, kalau nggak ingat dia itu atasan, sudah pasti begitu duduk di mobil aku bakal marah-marah.



"Kamu ngapain sih, lama amat!" Tuh kan apa kataku. Boro-boro dia peduli anak buahnya ketinggalan di belakang. Masih untung tadi cuma ketemu penjual buku yang agak maksa bukan penjahat.



Untuk menjawab pertanyaan Dilan, aku menjelaskan secara singkat padat dan jelas kenapa baru di mobil. "Lagian Bapak juga sih, main nyelonong aja!" Tanpa sadar aku berani marah kayak gitu ke dia.



Dilan matanya kayak mau lompat keluar, aku langsung palingkan wajah fokus lurus ke depan. Kalau saat ini dimarahi terus diusir dari mobilnya alamat bangkrut aku naik ojek ke kantor.



Untuk beberapa menit tidak ada percakapan di antara kami. Biar perjalanan aman, aku pasang sabuk pengaman.



Selagi sibuk-sibuknya dengan urusan sendiri Dilan tiba-tiba memperhatikan sesuatu yang ada di pangkuanku. "Itu apa?"



"Novel, Pak," kataku yang baru selesai mengklik sabuk pengaman. "Barusan beli sama orang yang kebetulan jual."



Dilan memegang setir lalu alisnya berkerut. "Ditawarin kayak gitu langsung beli?"



"Murah, Pak. Cuma 50 ribu."



Pria itu menggeleng mendengar jawabanku. "Kayaknya kamu tuh orang yang gampang dibodohin ya. Dibujuk segitu aja langsung bisa."



Aku nggak tahu apa yang ada di pikiran Dilan. Kenapa segala hal yang aku lakukan di mata dia itu nggak ada yang benar?



Terserahlah dengan kata-katanya. Lama-lama kupingku juga sudah biasa kok, semakin terlatih.



Tapi, setelah beberapa menit tidak perjalanan, omongan Dilan barusan ternyata masuk juga ke otak. Aku jadi berpikir sendiri itu benar. Soal aku jadi gampang banget dibujuk. Padahal uang di dompetku juga nggak banyak-banyak amat. Cuma ada 300.000, itu pun untuk jatah selama 10 hari ke depan. Kebayang, nggak sih, hidup di kota dengan uang segitu cukup apa coba?



Kenapa aku sok baik ke orang?



Mungkin inilah alasan kenapa aku nggak berani protes atau marah-marah secara langsung ke Dilan ketika dia menyindir. Soalnya lama-lama apa yang diomongin itu benar juga.



Kembali ke kantor, sebelum turun dari mobil Dilan sempat melirik lagi pada buku yang aku beli barusan lalu kupingku menangkap secara jelas-walaupun dia hanya menggumam-dia bilang, "Norak," begitu katanya.



Sakit banget hatiku mendengar kata-kata itu. Sampai sore pulang kerja pun masih terngiang-ngiang.



Jam 05.00 sore keluar dari kantor, aku langsung menuju tempat di mana tadi siang sudah janjian dengan Saras untuk makan seblak bersama. Kebetulan lokasinya tengah-tengah, enggak terlalu jauh dari kosanku atau kosan Saras. Ini tempat makan langganan kami.



Seblak versi lengkap dengan bumbu extra pedas, aku pesan ukuran jumbo.



"Gila! Makan kamu banyak banget!" Saras kaget melihat ukuran makanan yang aku pesan.



"Diam, deh!" Aku melipat tangan dengan wajah bersungut-sungut. "Ini tuh karena aku lagi emosi kesal dengan atasanku."



Saras langsung bisa menebak. "Dilan itu?"



Aku menggumam. Siapa lagi kalau bukan dia. Di sore itu, orang-orang di mana-mana kalau mau makan berdoa dulu biar berkah, aku malah habis-habisan menggunjing atasanku. Mulai dari kelakuannya yang ane, nggak menyenangkan, juga sikap dia yang sok cool.



Kalau bukan karena Galen ada di kantor itu, sudah pasti aku akan mengundurkan diri cari pekerjaan lain. Aku pintar, juga punya beberapa keterampilan yang dibutuhkan perusahaan. Yakin deh, masih ada tempat lain yang mau menerima aku kerja. Tapi, 'kan, cintaku ada di dalam kantor itu. Apalagi Galen juga masih single. Ada harapan buatku untuk cari perhatian.



Seblak datang, Saras menyuruhku untuk makan dulu, berhenti mengoceh karena nanti kalau tersedak cabai tenggorokan bisa panas.



Satu dua suap aku masih bisa fokus makan. Tapi, terbayang lagi dengan tingkah Dilan akhirnya kembali ngomel. Banyak banget yang aku ceritakan sampai Saras cuma pasang kuping nggak ada respon apa-apa.



"Coba ya, kamu bayangin kalau jadi aku. Setiap hari harus ketemu orang kayak gitu. apa nggak mati berdiri coba?"



Saras langsung menggebrak meja. "Jangan mati berdiri dong. Kalau matinya kamu kayak gitu nanti repot orang-orang mau makaminnya."



Aku tahu kok, saras cuma bercanda. Ya sebodohnya dia nggak mungkin punya IQ nol, sampai nggak tahu kalau 'mati berdiri' itu cuma istilah.



"Kamu tuh, nggak bisa ngerti gimana perasaanku sih, Ras," keluhku sembari mengaduk-aduk kuah seblak.



Dia tertawa. "Ya udah sih, daripada ngomel terus." Dia tusukan bakso lalu di jalan ke mulutku. Pada mulanya, aku mau melotot karena kelakuannya itu bisa bikin aku mati gara-gara tersedak bakso. "Mending makan. 'Kan enak tuh bakso ayam kesukaanmu."



Tadinya mau marah, tapi karena gigiku secara otomatis nunggunya bakso tadi ujung-ujungnya malah lanjut makan, enggak bisa marah.



"kamu nggak coba cari tahu dulu sebab musababnya atasan kamu itu selalu kesal ke kamu?" Beberapa menit kemudian obrolan kami lanjut, tapi kali ini dengan suasana yang lebih tenang emosiku sudah nggak terlalu menggebu-gebu seperti tadi



"Aku nggak tahu. Soalnya waktu awal direkrut ketemunya dengan Pak Galen, dia yang langsung terima. Aku ketemu Dilan setelah aku tanda tangan kontrak dan 'dipasung' di kantor itu baru deh jadi kejebak terus dengan dia." Kalau ingat ke situ kadang-kadang aku merasa masuk ke perusahaan Dilan bagaikan kena jebakan Batman. Belum lagi masalah kontrak kerja minimal setahun."Tapi, 'kan," sambungku lagi untuk membela diri, "apa yang aku kerjain selama ini sebenarnya nggak ada yang salah. Semua sudah benar cuma dianya aja yang keterlaluan. Hobi cari-cari kesalahan orang."



"Sabar." Cuma itu yang bisa Saras katakan. Dia memang pintar kalau menasihati orang dan aku juga tipe yang tidak pilih-pilih untuk menerima nasihat. Sekalipun tahu kalau kejadian ini menimpa Saras sudah pasti dia akan menangis-nangis minta aku bantu, tetap aku bisa terima apa nasihatnya.



Aku diam. Karena memang enggak ada yang bisa kulakukan selain sabar menghadapi Dilan.



Saras punya pertanyaa. "Kalau dia marah-marah terus, ada kemungkinan nggak sih dia itu sebenarnya lagi cari perhatian alias naksir kamu?"



Padahal posisinya aku lagi baik-baik saja makan, tiba-tiba tersedak dengan omongan Saras.



Dilan naksir aku?



Nope!




BAB 7: Video Call dari Dilan




Aku kembali ke kosan setelah mengantar Saras pulang. Perut kenyang ditambah lelah yang melanda sebenarnya aku ingin cepat-cepat melompat ke tempat tidur membaringkan tubuh tanpa memikirkan beban lagi. Tapi, jelas nggak bisa harus mandi dulu melunturkan kuman dan juga kotoran yang seharian ini menempel di kulit.



Hal pertama yang aku lakukan ketika sudah tiba di kosan adalah menyalakan dispenser dulu supaya nanti bisa menyeduh susu hangat. Kemudian memasak air hangat di kompor elektrik.



Kalau ada yang berpikir aku Ini kebanyakan duit sampai harus beli kompor listrik segala itu salah besar. Ini Kepepet lantaran aku yang statusnya cuma anak kos di kamar sepetak ini nggak mungkin bisa menyimpan perlengkapan kompor secara lengkap, mulai dari kompornya sendiri, selang sampai tabung gas. Makanya aku ganti dengan kompor listrik yang ukurannya lebih kecil dan lumayan portable.



Walau menurutku fungsinya agak kurang maksimal dibandingkan dengan konvensional, lumayanlah dipakai kalau kepepet mau masak mie instan malam-malam atau mau mandi air hangat begini. Minimal enggak kelimpungan banget gimana caranya manasin air. Paling-paling biaya listrik yang naik.



Untung gaji kerja di Golden group itu gajinya lumayan besar. Jadi, aku nggak engapa-engapan amat lah, harus bagi uang listrik dan kebutuhan lainnya. Ditambah lagi betapa beruntungnya aku juga punya orang tua yang mandiri secara finansial.



Mereka memang tinggal di kota kecil, berbisnis toko kelontongan. Tapi, lumayan menghasilkan. Kalau untuk kebutuhan sehari-hari cukup. Makanya aku meskii selalu menyisihkan uang untuk keluarga tetap punya tabungan sendiri. Bahkan, kadang-kadang ibuku juga menolak kalau keseringan aku kirimin uang. Takut anaknya di sini malah kelaparan.



Dibandingkan dengan Saras, jauh banget. Kelihatannya saja anak itu bisa hidup hedon di sini. Aslinya dia juga banyak tekanan. Apalagi statusnya sebagai generasi sandwich. Itu loh, yang baik ke atas ataupun ke bawah sama-sama dia harus menanggung biaya hidupnya.



Baiklah, waktunya persiapan tidur. Aku menanggalkan pakaian satu per satu sampai tidak tersisa, lalu mengambil handuk membelitkan ke tubuh. Kemungkinan 10 menit lagi air panas bisa digunakan untuk mandi.



Sembari menunggu, aku yang cuman pakai handuk duduk di pinggir tempat tidur. Kemudian membuka media sosial. Ada status akun yang harus aku stalking setiap malam setelah kepenatan yang melanda sepanjang hari. Bisa dibilang dia inilah penyemangat hidupku. Siapa lagi kalau bukan gila Galen.



Astaga. Dia kok bisa cakep banget ya? Masih muda, selalu punya ide yang cemerlang, ramah, hidung bangir bola mata yang indah juga bentuk tubuh yang atletis. Jarang-jarang loh ada orang yang masih peduli dengan kesehatannya terutama laki-laki kayak gini.



Salah satu postingan Galen yang terbaru adalah dia menggunakan piyama, dengan sebuah 'caption ingin datang ke dalam mimpimu'.



Aku berjingkrak-jingkrak sendiri.



"Galen, Galen. Nggak usah ditanya. Otomatis aku bakal persilakan kamu untuk masuk dalam mimpiku." Aku sudah persis kayak orang gila ngomong sama handphone.



Detik berikutnya aku malah semakin menjadi-jadi. Tahu, 'kan, posisinya saat ini aku sedang tidak pakai apa-apa kecuali handuk kemudian melihat foto Galen yang pakai piyama.



Bayangkan, seumpama aku menikah dengan dia nanti, terus laki-laki itu melihatku dalam kondisi seperti ini, kira-kira apa yang akan kami lakukan?



Apa mungkin aku dan dia mulai dari ciuman dulu? Setelah ciuman lantas apa?



Otaku semakin ngeres dengan memikirkan hal-hal lain, sampai pipiku rasanya jadi panas sendiri. Untung pikiran jorok dalam diriku bisa diputus dengan bunyi teko stainless karena air yang dimasak sudah mendidih.



Aku bergidi sendiri. Mimpiku terlalu jauh. menyatakan cinta pada Galen saja belum, sudah sampai ke arah situ.



Biar nggak keterlaluan halusinasinya, aku menepuk kepala. Langsung bangun mengisi air di bak dengan air hangat, mandi.



Ketika paduan sabun dan juga uap uap air hangat menembus pori-pori kulit, di saat itu juga otot-otot yang tegang terasa mengendur. Seandainya saja aku punya bathtub di kosan, pasti lebih enak berbaring di dalam bak dengan air hangat begini. Sayangnya, aku cuma punya bak kecil dan juga gayung. Walau rasanya perawatan kurang maksimal, aku tetap bersyukur.



Setelah bersih dan juga setelah tubuh bersih, aku bergegas keluar. Tentu setelah membalut tubuh dengan handuk bonus ada handuk lain juga yang melilit di kepala.



Sebelum pakai baju, biasanya aku menyeduh susu coklat hangat dulu. 'Kan lumayan, sembari pakai baju nanti hangatnya pas. Bisa langsung teguk sampai habis.



Malam ini kelihatannya aku mau pakai baju motif sapi. Lucu lho, di badanku yang tinggi sekitar 160 cm dengan berat 58 kg. Baju dengan motif kayak gitu kelihatan seksi. Ini sih menurut otakku, nggak tahu kalau orang lain yang lihat.



Sedang sibuk-sibuknya pilih baju, belum sempat pakai, baru celana dalam, ponselku yang ada di meja rias berdengung. Periksa dari siapa, ternyata Dilan!"



Alisku langsung menukik.



Ini orang enggak ada kerjaan apa. Sampai malam pun masih ada waktu untuk ganggu kehidupan orang.



Panggilannya aku abaikan. Pengennya sih, langsung tekan tombol tolak. Tapi, pasti besok bakal jadi masalah besar. Kalau begini, 'kan, aku bisa alasan ketiduran atau apalah. Lagi pula kalau malam begini, aku punya hak bebas. Sekarang sudah di luar jam kantor.



Baru juga merasa tenang karena berhasil menolak panggilan Dilan, tiba-tiba sebuah pesan masuk.



'NARA SAKURA! Kamu jangan nggak angkat telepon saya ya, apalagi berpikir mau cari alasan ketiduran atau lagi nggak pegang HP. Saya baru lihat kamu nge-like fotonya Galen.'



Ya Tuhan. Demi apa, kok bosku ini lama-lama kayak psikopat ya, sampai hal kecil bin sepele aku lakukan dia langsung tahu.



Aku mau bilang ke Dilan baru saja selesai mandi, tapi lihat kelakuan bosku yang begini takut nanti otaknya jadi nakal.



'Maaf, Pak. Tadi saya lagi cabut colokan kompor listrik, terus gulung-gulung dulu kabelnya yang nyangkut.' Pintar banget aku cari alasan.



Dilan balas lagi. 'Saya butuh bantuan kamu. Mama saya minggu depan ulang tahun, mau kasih kejutan dengan membelikan dia tas. Bantu saya pilih tas mana yang bagus.'



Aku menghela napas lega. Cuma tanya soal tas, toh. Kirain ada masalah kerjaan lagi yang mau bikin dia marah-marah.



Berhubung urusannya dengan orang tua terutama ibu, aku pasti bakal bantu karena mereka itu adalah sumber kebahagiaan para anak di dunia ini. 'Oke, Pak, kirim aja gambarnya. Nanti saya bantu pilih.'



'Saya nggak puas kalau nggak lihat ekspresi kamu waktu pilih tas, takutnya kamu malah ngerjain saya. Kita video call aku langsung.' Dilan membuat handphone yang aku pegang nyaris saja jatuh karena aku kaget.



Video call dengan posisi aku hanya pakai handuk begini?



Dilan bisa berpikiran macam-macam. Selain aku rugi bandar mempertontonkan tubuh, dia juga pasti akan mengkritik macam-macam. Aku tertutup saja bisa kena body shaming, apalagi begini.



Aku lari buru-buru menyambar baju asal. Tapi keburu panggilan video call dari Dilan masuk. Foto profil dia langsung memenuhi layar ponsel, seketika aku merasa seperti ditatap dalam posisi telanjang.



Mampus aku!





Bab 8. Unboxing Mantra




"Lama banget angkat teleponnya! Kamu udah tidur?" Dilan menggerutu setelah akhirnya aku berhasil menjawab panggilan video call darinya. Ini kalau bukan di depan atasan sudah pasti napasku megap-megap.



Gimana, nggak?



Habis lari-lari. Walaupun jarak kamar kosn ini enggak lebar-lebar amat, lumayan juga capek. Habis itu buru-buru pakai baju terus rapikan sedikit bagian 'background' alias tempat tidur, di mana cangcutku berserakan tadi. Supaya nanti aman kalau angkat telepon dari Dillan.



Aku belum sempat jawab apa-apa, dia sudah menyimpulkan sendiri. "Kayaknya nggak mungkin kamu udah tidur. Ini masih di bawah jam sembilan. Kamu bukan anak-anak yang harus tidur lebih awal."



Iya, terus masalahnya apa buat dia? Lagi pula kenapa masih ditanya. Jelas-jelas tadi sebelum video call juga dia sempat chatting denganku. Pakai stalking segala kalau aku habis nge-like fotonya Galen.



"Ya sudah, Pak. Bapak video call dengan saya gini mau nanyain apa?" Saking nggak maunya aku panjang lebar diomeli langsung aja tanyakan intinya.



Dilan memperhatikan tampilanku. Posisinya layar ponsel hanya menampilkan setengah bagian tubuh, yaitu dari batas kepala sampai perut. Siisanya sudah ketutupan meja karena aku duduk di depan meja rias dan posisi ponsel ada di cermin bersandar di sana tanpa dipegang.



"Kamu malam-malam gini masih pakai kemeja?"



Jangan anggap kalau aku ini orang bodoh yang cuma demi video call dengan bos sampai harus repot pakai kemeja. Gara-gara panik dan juga takut sama dia tuh, aku asal ambil baju. Mau cari yang lain otak udah telanjur buntu. Padahal baju berkancing kayak gini nih yang bikin lama. Harusnya tadi aku tinggal lempar, terus cari kaus yang bisa lebih ringkas untuk dipakai.



"Iya, Pak." Cuma bisa jawab itu. Mau apa lagi.



"Oh, kamu kelihatannya siap banget ya kalau saya telepon sampai-sampai harus formal segala pakai kemeja." Aku melihat seringai nakal di wajah Dilan. "Kayaknya, besok-besok kalau ada lembur di rumah lebih gampang untuk saya video call kayak gini."



Mampus. Aku harap kalau Dilan ada niat untuk menelepon lebih dari ini besok-besok hanya untuk membahas pekerjaan yang harus bisa diselesaikan di kantor, nggak bermaksud jahat, tapi aku berharap dia mencret mencret setiap kali mau telepon.



"Ya udah, Pak. Katanya tadi mau minta bantuan untuk pilihkan tas buat ibunya. Mana biar langsung saya lihat."



"Oke, tunggu." Dilan mengambil sesuatu yang ada di bawahnya. Sebuah katalog dari salah satu merek internasional. Dia membuka pada bagian tas dengan tali rantai berukuran kecil-mungkin hanya muat smartphone dan dompet. Kira-kira kalau mereknya Lois Vuitton, tas sekecil itu berapa juta ya?



"Coba pilih antara warna krem dengan merah, bagusan yang mana?"



Aku mengamati dulu kemudian menimbang-nimbang kira-kira ibunya Dilan itu orang yang seperti apa. Meskipun tidak kenal secara karakter pribadi, tapi kan bisa diamati dari strata sosialnya dan kemungkinan dengan siapa saja dia bergaul.



"Merah, Pak." Pilihanku jatuh pada itu.



Dilan berjengit. "Yakin kamu?" Dia kemudian melihat katalog ragu dengan jawabanku. "Memangnya yang merah ini kamu suka?"



"Sebenarnya kalau selera saya sih, yang warna krem. Tapi, pas saya bayangin lagi ibunya Pak Dilan kan biasanya gaul dengan sosialita kalangan atas, terus pasti punya banyak baju yang warnanya cocok dengan tas itu. Barang mahal kalau nggak mencolok dipakai kayaknya kurang menarik, Pak. Nah warna merah itu yang mencolok, tapi bagus banget."



Dilan nggak banyak ngomong langsung setuju dengan pilihanku. Lebih ajaibnya lagi dia malah berterima kasih.



Sumpah, aku sampai nggak bisa berkata-kata. Terasa seperti mimpi gitu loh, Seorang Ibrahim Dillan Waldetra yang biasanya sebal denganku, malam ini sedikit baik.



"Oke, kalau gitu besok pagi saya tunggu di kantor. Jangan sampai terlambat." Dilan memutus panggilan.



Aku cuma mengerutkan alis. Pelipisku tiba-tiba terasa berdenyut. Apalah, Dilan ini. Benar-benar kurang kerjaan.



Susu coklat yang sudah diseduh dari tadi akhirnya malah dingin. Untung, masih enak diminum.



Setelahnya bergegas aku ganti baju tidur Kemudian keringkan rambut lebih dulu hair dryer baru setelah itu santai merebahkan tubuh. Maunya sih nonton drama.



Tapi, kadang-kadang sebuah drama itu terlalu mengasyikkan. Niatnya satu episode sebagai teman pengantar tidur, kalau sudah mulai kadang-kadang malah kelabasan. Maraton sampai ending. Kalau sudah kayak gitu besok aku di kantor bisa mengantuk akhirnya.



Tidak ada drama kecuali akhir pekan. Malam ini sebagai teman pengantar tidur aku kembali melihat-lihat sosial media Galen. Walaupun ujung-ujungnya cuma foto lama karena sebelumnya sudah aku lihat.



Beberapa menit berselancar di dunia maya, baru ingat kalau aku punya buku novel. Tiba-tiba jadi penasaran apa isinya.



Ambil dari dalam tas, pembungkus plastik yang menyelimuti kusobek. Aroma buku tercium. Baca dulu bagian belakang.



Umh, kalau untuk cerita sih, biasa saja. Standard. Belum menemukan hal yang menarik. Dimulai dari bab pertama. Ini adalah kisah percintaan antara dua orang yang dijodohkan. Biasalah kisahnya nggak jauh-jauh dari awal mula menolak dulu benci kemudian ujung-ujungnya cinta. Bagian kedua adalah kisah yang paling trending beberapa bulan belakangan ini-aku rasa-yaitu kisah paman dan keponakan yang jatuh cinta terhalang restu, tapi ujung-ujungnya bisa bersatu karena mereka bukan paman dan keponakan sedarah.



Lumayan bagus-bagus, meski kadang-kadang ada beberapa cerita yang terlalu berlebihan yang membuatku harus menyipitkan mata.



Omong-omong, baru ingat juga dalam buku ini ada sebuah catatan mantra yang bisa membuatku dekat dengan laki-laki yang aku cinta. Asli sih, mau ketawa kalau ingat. Tapi, aku penasaran sama catatan itu.



Membuka halaman secara cepat,.aku menemukan sebuah amplop putih tertutup rapat. Belum buka, baru pegang ada sesuatu yang keras di dalam. Sepertinya mirip kartu ucapan.



Aku masih mengamati. Itu benar-benar kecil. Mungkin kalau diukur cuma 3 cm * 3 cm. Jadi, terbayang tulisannya bakal sekecil apa.



Penasaran, langsung aku buka dan ternyata benar saja tulisan di dalamnya kecil-kecil banget. Kayak anak semut lagi upacara bendera. Mataku kalau sudah lihat tulisan sekecil ini nggak bisa baca. Apalagi lampu di kamar kosan juga kurang terang.



Hemh, kayaknya beneran deh aku tuh cuma dikerjain sama si Penjual Novel tadi. Bukan bermaksud berharap aku benar-benar dapat mantra supaya bisa mendekati Galen, nggak begitu kok. Tapi, tulisannya kecil. Ini kayaknya buat ngerjain orang. Beneran kecil, loh. Aku nggak ngarang. Bacanya gimana coba?



Ya sudahlah. Nggak boleh disesali, walaupun 50 ribu itu juga uang. Lagi pula aku nggak boleh pamrih, niatku tadi menolong bukan karena kepincut mantra kayak ginian. Daripada sia-sia akhirnya aku milih selotip kemudian menempelkan memo tadi di bagian belakang sampul buku. Biar jangan hilang. Mana tahu nanti bisa aku tunjukkan pada Saras soal kelakuanku yang lumayan absurd.



Anyway kalau itu beneran mantra, manjur nggak ya, aku pakai ke Galen?




Bab 9 : Memperkosa Dillan




Entah sejak kapan terlelap, yang jelas tahu-tahu aku merasa sudah cukup panjang waktu yang terlewati. Mataku terpejam, tapi pikiran terjaga. Ada sesuatu yang seperti terasa hangat berada di dekatku. Hawa yang keluar lebih mirip seperti kehangatan tubuh manusia. Tapi, siapa?



Seingatku tadi tidur sendiri. Nggak ada siapa pun yang masuk ke kamar ini. Perlahan aku membuka mata dan betapa terkejutnya menyaksikan ada sosok laki-laki bertelanjang dada tengah tidur memunggungi. Kaget setelah mati. Jangan-jangan, itu maling atau pembunuh bayaran. Bisa juga orang gila.



Pikiranku sudah macam-macam, tapi badanku yang masih belum terkendali sepenuhnya karena baru bangun tidur nggak bisa banyak respon. Hal pertama yang aku lakukan adalah memeriksa tubuh yang tertutup selimut.



Hyuh. Betapa bersyukurnya karena semua masih utuh, nggak ada satu pun yang berubah. Berarti sampai batas malam ini aku masih perawan.



Aku penasaran, siapa dia. Mau mengintip wajahnya, barusan hidungku bisa memahami aroma feromon yang menguar. Ini persis seperti aroma tubuh Galen. Seketika otakku langsung memutar memori beberapa jam sebelumnya. Apa, jangan-jangan mantra itu sudah bekerja dengan sangat efektif, sampai-sampai meskipun belum aku baca isinya seperti apa malam ini aku langsung bisa dapat jatah tidur seranjang dengan Galen?



Ya, walaupun makna tidur seranjang itu benar-benar tidur. Tapi, 'kan, lumayan. Paling nggak, aku bisa merasakan sedekat ini dengan Galen.



Ketika selimut tersibak, nggak sengaja aku melihat bagian bawah. Celana piyama yang dipakai laki-laki yang tengah tidur tersebut, sama persis dengan celana yang dipakai Galen dalam akun media sosialnya. Bedanya, tadi satu setel kalau ini cuma celananya saja.



Wow! Mataku berbinar-binar, jiwa nafsu dalam diriku langsung menggebu. Ada laki-laki yang punya otot-otot bagus kayak gini terpampang jelas kulitnya tanpa penghalang apa pun berbaring di sampingku, cewek normal mana coba yang nggak akan berubah jadi nafsu. Apalagi aku memang lagi kesengsem parah dengan Galen.



Kalau orang tuaku tahu mereka pasti sedih karena anaknya punya pikiran kotor banget. Tapi, gimana ya, sudah lama aku naksir dia nggak pernah ada kesempatan untuk bisa dekat selain cuma bahas pekerjaan. Seandainya mantra itu hanya berlaku satu malam ini, aku mau menghabiskan lebih lama dengan Galen dan lebih dekat dia. Walaupun, nggak akan berani aku sampai tahapan intim ketika dalam kondisi sadar. Konsep hidupku adalah harus tetap virgin sampai menikah.



Aku menempelkan pipi ke punggung Galen. Kulit dan kulit bertemu, rasanya sangat hangat. Secara responsif tubuhku kepalaku bergerak perlahan mirip kucing yang menggesekkan kepalanya di kaki majikan ketika dia sedang ingin disayang.



Galen tidur sangat lelap sampai dia tidak ada respon apa-apa selain membiarkanku menuntaskan hasrat yang terpendam. Tanganku kemudian merambat ke bagian perut. Sumpah, abs-nya Galen langsung terasa. Benar-benar kuat deh otot perutnya. Aku sampai iseng menekan-nekan.



Indah banget ya mimpi ini. Selain dapat kesempatan bisa elus-elus, aku juga bisa tahu gimana rasanya pegang perut cowok berotot.



Ada pergerakan. Aku terkejut, tapi tanganku malah membeku tepat di bagian pusar agak ke bawah sebelum sampai area terlarang laki-laki.



Pria yang aku grepek-grepekin dari tadi akhirnya bangun, membalikan badan.



Aku sudah berharap kalau itu adalah Galen. Sekalipun ini hanya mimpi. Nyatanya yang muncul adalah wajah orang lain.



"Pak Dilan!" Aku kaget setengah mati. Kayaknya roh-ku mau lepas dari tubuh



Dilan menggeram, wajahnya juga memerah. "Nara, kamu memperkosa saya!"



"Enggak!" Aku berteriak.



*



Mimpi sialan. Sampai bangun, mandi, sarapan, lanjut berangkat ke kantor dengan perjalanan lumayan lama menggunakan motor, tetap saja tangiang-ngiang di kepala. Sumpah aku nggak nyangka loh, kalau semalam itu di dalam mimpi pun aku sampai harus berurusan lagi dengan Dilan. Malah nafsu banget lagi. Untung bukan kenyataan.



Tapi untuk dengar teriakan dia juga bagaimana ekspresi marahnya itu, persis banget dengan apa yang selalu aku hadapi sehari-hari. Gara-gara ini juga, aku nggak konsentrasi. Sampai beberapa kali menjatuhkan barang ketika di kantor.



Teman kerja yang lain bolak-balik tanya aku kenapa. Bukan ada apa-apa karena nggak mungkin juga aku bilang habis mimpi memperkosa Dilan.



Seharian benar-benar aku mencoba untuk menghindar dari atasanku itu. Pokoknya, seumpama papasan pun aku bakal langsung balik badan cari aman. Takut kalau dia juga mimpi hal yang sama, aku bakal dijadikan tersangka.



Saat jam makan siang,.aku yang masih punya waktu sekitar 30 menit pergi ke kantin untuk membeli Thai tea rasa green tea dengan es batu yang banyak. Oakku rasanya panas. Harus berpikir tentang pekerjaan sekaligus menyingkirkan mimpi yang mesum itu.



Duduk sendiri, memainkan ponsel aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang. Dia duduk di depanku dengan pancaran keramahan yang membuat kaki-kakiku terasa seperti jelly, lalu hatiku mirip mozarella yang dilelehkan.



"Nara, kamu sakit?"



Aku tergagap. Itu Galen. Laki-laki yang aku suka ada di depanku menatap penuh perhatian sekaligus kelihatan khawatir dengan keadaanku. Secara refleks,.aku memegang wajah mengira-ngira kenapa sampai dibilang sedang sakit. Tapi, dirasa-rasa aku baik-baik saja.



"Nggak apa-apa, Pak. Saya sehat," kataku berusaha senormal mungkin saat menjawab.



Galen menarik kursi kemudian duduk di depanku. Dia menghela napas. "Titi dan juga beberapa orang yang lain bilang kayaknya hari ini kamu banyak diam. Terus, saya juga lihat kamu nggak seceria biasanya."



Aku cuma bisa tersenyum. Gimana nggak banyak diam, kalau sampai detik ini masih terngiang-ngiang mimpi mesum dengan Dilan.



"Saya baik-baik aja, Pak." Bibirku nggak bisa ditahan, melengkung ke atas sendiri secara alami. Mungkin karena aku bahagia bisa dapat perhatian dari Galen.



"Syukur deh kalau begitu. Saya jadi lega kalau kamu baik-baik aja." Baik banget Galen memperhatikanku tidak pakai tedeng aling-aling kalau aku ini harus bekerja di sini menghasilkan keuntungan karena sudah digaji. Beda dengan Dilan.



"Yang jelas kalau kamu sakit," sambungnya, "izin aja. Istirahat di rumah jangan dipaksain. Masih bisa WFH. Lumayan kan dapat jatah untuk tidur, meski nggak bisa maksimal."



Aku menggeleng. "Saya baik-baik, Pak. Ini buktinya bisa minum es dan makan keripik kentang." Maksudku kalau orang sakit nggak mungkin nafsu makan kayak beginian.



Detik berikutnya dia memperhatikan sesuatu di bibirku. "Kayaknya enak banget, makannya sampai berantakan di mulut."



Aku kaget. Mau mengambil tisu lupa kalau tas ditinggal di meja kerja.



"Sini saya bantu bersihkan." Galen sudah mengulurkan tangan. Pada saat itu juga waktu terasa melambat, detak jantungku tidak beraturan, napas pun tersengal. Sekarang itu, betapa bodohnya setiap hal yang terjadi dalam diriku seakan-akan selalu berkaitan dengan mantra yang aku miliki. Padahal, 'kan, nggak mungkin.



Perasaan semakin tidak terkendali, rasanya di dalam dada seperti ada yang meletup-letup ketika tinggal sedikit lagi Galen bisa menyentuh bibirku dengan ujung jarinya.



"NARA!" Gagal total adegan romantis antara aku dengan Galen ketika tiba-tiba Dillan muncul berteriak keras. Dia sudah mirip banteng yang mau menyeruduk. Sialnya aku. Jangan-jangan, dia mau protes soal mimpi mesum semalam.



"Ke ruangan saya, sekarang!"


Panduan menemukan kelanjutan cerita ini:

1. Download aplikasi Gooddreamer di play store.

2. Masuk

3. Cari judul mantra cinta untuk Dilan
















Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

501K 16.2K 21
aku marah karna aku cemburu,aku posesif karna aku takut kehilanganmu kau adalah milikku Ken yomour percayalah padaku kau adalah satu satunya pria yan...
3.5M 51.1K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
559 243 44
hanya quotes singkat tentang kehidupan sehari-hari atau curhatan author Cerita pertama aku jadi masih rada gak jelas hehehe Baca yukkk Vote comen and...