SPRING

By frylkq

2.7K 425 29

when love is not about who are you and where are you from. it's a love story between Zayn Malik the heirs of... More

Prolog
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35

Chapter 1

281 37 7
By frylkq

(POV: AUTHOR)

                "Spring! Spring Foster!" seorang wanita paruh baya dengan berbalut jaket tebal berjalan pelan pelan menyusuri taman dengan sedikit tertatih tatih sambil masih terus meneriakkan nama itu.

                "Spring! Oh demi Tuhan, kemana saja kau? Aku mencarimu di tempat kerja, tapi pegawai lain bilang kalau kau sudah pulang. Oh astaga, apa yang kau lakukan di sini? Kau juga tidak memakai jaket. Kau bisa mati kedinginan." wanita itu mengomel ke arah seorang gadis berambut brunnette yang sedang duduk di salah satu bangku taman.

                Gadis itu hanya mengembangkan senyum manisnya. "Aku hanya duduk duduk di sini saja Bi. Kau tidak usah terlalu khawatir seperti itu. Aku sudah 17 tahun. Aku bisa mengurus diriku sendiri."

                Bibi Caroline menghela nafas panjang. "Alright, alright. Aku hanya mengkhawatirkanmu karena ini sudah larut dan kau belum pulang. Ayo, kita pulang. Ini jaketmu."

                Bibi Caroline menyodorkan jaket tebal hitam ke arah Spring. Spring segera mengenakannya. "Terima kasih, Bi. Lain kali kau tidak perlu mencariku. Kau bisa jatuh sakit jika keluar saat cuaca dingin."

                Bibi Caroline hanya tersenyum miring. "Aku tidak terlalu tua kalau hanya sekedar mencarimu."

                Spring merangkul bibinya. "Baiklah. Sebagai permintaan maaf karena telah membuatmu khawatir, maka aku akan membuatkanmu sup. Kau mau kan?"

                Wanita itu meengangguk ngangguk. "Tentu saja, Spring sayang. Aku sangat menyukai sup buatanmu."

                Spring tersenyum bahagia. "Aku akan membuatkan sup untuk Ryan kalau dia mau pulang ke Wisconsin. Sayangnya dia terlalu betah tinggal di New York. Dia tidak akan mau kembali ke kota kecil seperti Wisconsin. Dia benar benar beruntung."

                Bibi Caroline hanya bisa tersenyum pasrah. "Aku percaya suatu hari kau pasti akan bisa tinggal di New York seperti impianmmu ketika masih kecil."

                Spring terkekeh. "Kalau aku ke New York, siapa yang akan merawatmu? Tidak Bi, aku akan tetap di Wisconsin menemanimu. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian."

                Bibi Caroline tertawa kecil. "Kau yakin tidak akan meninggalkanku walaupun kau punya kesempatan untuk pergi ke New York?"

                Spring mengangguk dan mengacungkan jari kelingkingnya. "Aku janji."

                Bibi Caroline mengaitkan jari kelingkingnya dan tersenyum. 


(POV: SPRING)

                Aku mengaduk sup yang barusan saja kubuat dan meniupnya perlahan, kemudian mencicipinya sedikit. Hmm, rasanya suda pas. Bibi Caroline akan sangat menyukainya. Aku membawa sup itu ke ruang makan. Bibi Caroline tersenyum sumringah ketika meliat sup yang kuletakkan di atas meja makan.

                "Seperti janjiku. Cepat, cobalah. Aku buatkan yang spesial untukmu." aku tersenyum ke arahnya.

                Bibi Caroline mengangguk lalu menyendok supnya perlahan lahan sambil meniupnya. "Oh astaga. Sup buatanmu ini selalu berhasil membuatku terlena dengan aromanya. Aku tidak tahu darimana kau belajar membuat semua sup ini. Tapi aku percaya kalau orang yang makan sup ini pasti akan memuji muji."

                Aku tersenyum bahagia. Kebahagiaanku adalah ketika melihat bibi Caroline tersenyum. Bagiku dia seperti seorang malaikat. "Oh ya Tuhan, kau sangat berlebihan. Kalau begitu, habiskan. Aku akan membuatkan sup lagi kalau kau mau tambah."

                Bibi Caroline terkekeh. "Memangnya kau mau bibimu ini memiliki tubuh segendut nyonya Breta?"

                Aku tertawa. "Tidak, tidak. Kau tidak boleh gendut. Alright, aku ke kamar dulu. Aku sudah mengantuk."

                Bibi Caroline mengangguk. "Tidurlah. Kau harus banyak istirahat. Besok kau pergi ke sekolah kan? Kau juga harus pergi bekerja di sore hari. Kau harus jaga kesehatan."

                Aku mengangguk ngangguk dan segera beranjak dari kursi. "Well, goodnight bi. Have a nice deram." aku mengecup pipi tirusnya.

                Bibi Caroline tersenyum dan mengecup pipiku. "Goodnight, Spring Foster. Have a beautiful dream, honey."

                Aku tersenyum dan segera berjalan menuju kamarku. Well, biar kuceritakan sedikit tentang hidupku. Namaku Spring Foster. Nama yang aneh bukan? Yeah memang. Disinilah aku sekarang, di sebuah daerah kecil di Wisconsin, tinggal bersama bibi Caroline, bibiku satu satunya. Kakakku pergi merantau ke New York. Entah apa yang dilakukannya di sana. Tapi dia selalu mengirim sejumlah uang kepadaku setiap bulannya. Kedua orang tuaku? Mom meninggal saat aku masih berumur 10 tahun karena sakit parah. Dad bangkrut karena uangnya habis untuk biaya perawatan mom, keluargaku jatuh miskin dan dad meninggal dalam kecelakaan saat aku berumur 14 tahun. Sangat tragis. Aku merasa bahwa hidupku tidak adil. Aku harus kehilangan kedua orangtuaku saat aku masih belum dewasa. Tapi aku masih sangat bersyukur karena ada bibi Caroline yang mau merawatku hingga seperti sekarang ini. Bibi Caroline seorang janda. Suaminya sudah meninggal cukup lama. Bibi Caroline tidak dikarunai anak. Mungkin itulah kenapa dia sangat sangat menyayangiku dan menganggapku seperti anaknya sendiri. Aku harus bekerja keras setiap hari karena penghasilan dari kebun bibi Caroline juga tidak akan cukup untuk membiayai sekolahku. Aku melakukan banyak kerja part time, menjadi tukang cuci piring di sebuah perusahaan, menjadi pelayan sebuah kafe dan menjadi pelayan di restoran cepat saji. Well, mungkin hanya itu yang bisa kuceritakan.

                Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur dan menatap langit langit kamarku. Di sana aku memasang gambar kota New York dan patung Liberty yang selalu kuimpikan sejak kecil. Aku berharap bisa melihatnya secara langsung. Tapi sayangnya semua harapanku pupus dan New York sekarang hanya menjadi khayalan belaka untuk kudatangi. Mungkin aku tidak akan pernah bisa kesana.

(In the other side, in New York) (POV: AUTHOR)

                "Pukul dia! Ayo! Pukul terus!" suara teriakan anak anak remaja memenuhi ruang aula sekolah.

                Seorang laki laki berambut ikal berwarna cokelat berdiri dengan senyuman licik di wajahnya. Di hadapannya tersungkur seorang laki laki berkacamata dengan wajah yang penuh luka. Sudut bibirnya mengeluarkan darah segar dan hidungnya mengeluarkan banyak darah. Pandangannya mulai kabur ketika laki laki berambut ikal itu menarik kerah bajunya. Dia hanya bisa pasrah dan mencoba untuk melawan walaupun sampai mati pun dia tidak akan bisa melakukannya.

                "Kau mau apa bayi manis? Oh, kau mau melawanku?" laki laki keriting itu terkekeh keras.

                Laki laki tidak berdaya yang ada dihadapannya menatapnya tajam. "Aku tidak akan pernah menyerah!"

                Bentakan darinya justru membuat laki laki keriting itu tertawa lebih keras. "Itu bagus. Aku menghargai usahamu."

                Dan dengan begitu dia melepaskan kerah baju laki laki berkacamata itu dan mendorongnya hingga tersungkur ke lantai. Kemudian dia tersenyum sarkas. "Dasar pecundang.

                "Harry!" teriak seseorang laki laki pirang dari arah pintu aula.

                "Ck. Sialan. Dia menggangguku." keluhnya kesal. Lelaki yang dipanggil Harry itu segera menoleh ke arah temannya yang sedang berdiri di ambang pintu.

                "Ada apa? Aku masih asyik dengan bayiku!" gertaknya dengan suara yang berat.

                "Ada guru yang sedang berpatroli. Kalau kau mau selamat, lebih baik cepat pergi dari sini." lelaki pirang itu bicara dengan suara yang sedikit ngos ngosan.

                "Berengsek. Padahal aku masih punya banyak urusan denganmu. Alright, alright. Kelihatannya hari ini kau lumayan beruntung, tapi mungkin lain kali tidak. Well, have a nice day Zac Johnson. May god bless u, dude." Harry tersenyum licik ke arah Zac, laki laki yang barusan disiksa habis habisan.

                Zac hanya bisa pasrah dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Sudah cukup baginya selama ini selalu disiksa oleh Harry Styles. Keputusannya sudah bulat, dia akan segera pindah. Harry berjalan meninggalkan aula dengan Niall Horan, teman pirangnya yang tadi. Zac meremas tissue yang ada di tangannya dan melemparkannya sekuat tenaga. Dia benar benar marah kepada Harry, tapi dia tidak punya kekuatan untuk melawan Harry. Melawannya hanya akan membuat dia tewas di tempat. Harry siswa yang sangat berkuasa di sekolah. Dia bisa melakukan apapun yang dia mau. Dia bisa menyiksa siapapun sesuka hatinya tanpa harus mendapatkan perlawanan dari orang yang disiksa. Dia punya segalanya dalam hidupnya dan dia bisa mendapatkan apapun yang diinginkannya.


a/n: Hi guys! Wdyt about my story? Okay fix, awalnya masih absurd banget ya. Jadi sebenarnya cerita ini gue terinspirasi dari drama korea yang judulnya The Heirs itulooo. Menurut gue kyknya keren kalo drama itu gue buat versi gue sendiri hehe. Well, thanks for reading. Don't forget to vomments! xx -yaal

Continue Reading

You'll Also Like

69.9K 6.4K 74
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
47.1K 8K 12
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
709K 55.7K 40
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
84.4K 6.5K 47
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote