Semua orang terlihat frustasi memikirkan nasib lelaki malang itu. Mereka semua tahu, bahwasannya Harvey dijebak oleh adik kakak itu, tapi kurangnya bukti apa yang bisa mereka lakukan demi membebaskan Harvey. Sampai-sampai mereka menggeleng heran karena memikirkan liciknya dua manusia itu, seperti Aksa yang sejak tadi hanya diam memijat keningnya.
"Yohanes udah kebangetan, kita ngga bisa diam aja! Cara mereka terlalu sampah untuk balas dendam!" gerutu Jaxen dengan sorot matanya yang menukik tajam.
Semua orang setuju dengan ucapan Jaxen, setelah sekian lama mereka tidak membuat keributan, kali ini mereka memancing dengan umpan yang salah. Bagaimanapun juga, Harvey masih bagian dandelion, dan itu adalah identitas mereka.
"Kita harus datangi markas Baewon, Gandhy dan para antek-anteknya pasti lagi party merayakan kehancuran kita," celetuk Jay penuh ambisi.
Bahkan lelaki seperti Jay yang tak terlalu suka dengan keributan, ikut andil menyuarakan pembalasan itu. Dia terlalu jera dengan tingkah laku lawan, yang tanpa habis pikir terus mengusik mereka.
"Kali ini gue setuju, sampai kapan pun mereka ngga akan pernah mau ngalah. Sebisa mungkin sebelum kita benar-benar hancur, mereka bakalan ganggu kita terus," celetuk Jeremy. Kedua tangannya mengepal kuat bersama matanya yang menyorot tajam.
"Harvey ngga salah, semua jelas ulahnya Yohan!" sungut Janu.
"Gue siap pasang badan paling depan, untuk ngebela Harvey," timpal Jake berwajah datar.
"Arggh! Bajingan itu pasti lagi ketakutan!" sergah Jaxen seraya menendang segala benda yang ada di depannya, emosinya benar-benar memuncak minta dilampiaskan.
Aksa menghela napas panjangnya, netranya memandang para anggotanya satu persatu, kemudian beranjak dari duduknya dan berdiri di tengah mereka. "Merah artinya berani, dan itu warna kita."
Mereka semua mengangguk setuju, dengan kompak berdiri membentuk lingkaran siap melakukan pertarungan besar. Semua orang kembali saling melempar pandangan, setidaknya balasan mereka bisa memaksa Yohanes supaya jujur dengan jebakannya kepada Harvey.
"Kalian ngga perlu nyerang kami, karena itu semua murni ulah Yohan," celetuk seseorang.
Mata itu kompak memalingkan wajahnya memandang pemilik suara itu, melihat wajahnya seketika membuat amarah mereka meningkat, tapi tertahan ketika salah seorang anggota organisasi ride and art turut hadir di belakangnya. Sonya, entah apa yang dia lakukan mendatangi markas Dandelion bersama Gandhy.
Melihat kedatangannya, berhasil memicu emosi Jaxen, dia menghampiri lelaki itu dengan iris matanya yang menukik tajam. Belum sampai di situ, penuh keberanian dia mencengkeram lengan Gandhy lalu mendorongnya ke dinding. Hal itu membuat Sonya menutup mulut dengan mata terbelalak kaget.
"MAU NGAPAIN LO KE SINI, ANJING!" teriaknya.
Melihat keributan itu, sebagai ketua Aksa langsung bergerak menghentikan emosi lelaki itu, bagaimanapun juga masalah ini harus di selesaikan tanpa pertumpahan darah.
"Jax, biarin dia jelasin tujuannya ke sini!" sergah Aksa menarik tubuh Jaxen supaya menjauh dari Gandhy.
Jaxen menyentak tangannya karena kesal, kemudian sedikit menjauh dengan matanya yang nyalang menatap Gandhy. "Halah, ngentot, taik! Cuma buang-buang waktu dengerin dia gonggong kayak anjing!"
"Heh, mulut!" tegur Jeremy, sebagai lelaki dewasa, dia tahu betul kalau ucapannya terlampau kasar.
Jaxen tidak peduli, dia hanya memutar bola matanya malas kemudian sedikit menjauh dari mereka, memerhatikan dari jauh dengan duduk santai di sofa panjang dalam markas mereka. Melihat Sonya yang turut hadir, kembali memanggil emosi Jaxen, tapi berusaha dia tahan.
"No probs, wajar Jaxen marah sama gue, karena Harvey sahabatnya dari kecil," celetuk Gandhy, kemudian merapikan bajunya.
"Apa tujuan lo datang ke sini?" tanya Aksa berusaha ramah.
Gandhy diam sejenak, kemudian memutar kepalanya memandang Sonya. Rupanya kode kecil itu langsung membuat tubuh itu maju beberapa langkah di hadapan Aksa, sebelum bicara dia menghela napas panjangnya dahulu. Bagaimanapun juga, perbincangan selanjutnya sangat beresiko.
"It's okay kalau kalian mau benci gue, tapi tolong jangan benci Kak Gandhy, karena dia ngga salah."
Ucapan Sonya yang belum selesai itu, sontak menimbulkan amarah bagi lainnya.
"Maksudnya apa?" tanya Jeremy heran.
Sonya menelan salivanya susah payah, suasana dalam ruangan ini kembali memanas karena ucapannya. "Gue punya bukti percakapan Juliette dan Yohan, beberapa ada rekaman video. Selama ini Juliette sering ke markas Baewon ngebahas rencana mereka, maaf karena gue ngga langsung bertindak. Sejak awal tujuan gue ikut organisasi Kak Aksa, memang karena Juliette, tapi begitu tahu rencana licik mereka, gue takut sesuatu yang buruk terjadi ke Harvey."
Setelah mendengar penjelasan dari Sonya, kini mereka paham kalau kehancuran Harvey bukan sepenuhnya karena Baewon melainkan karena Yohanes.
"Lo bisa gunain rekaman ini untuk nebus Harvey, gue minta maaf atas nama Yohanes yang udah mempermalukan Baewon." Gandhy berusaha tersenyum ramah, meski sebenarnya sangat sulit. Tidak pernah terbayang dia akan meminta maaf pada kesalahan anggotanya, meski bermusuhan tapi bukan berarti Gandhy senang dengan cara Yohanes yang terbilang sangat licik.
Gandhy memang licik tapi dia bisa bermain peran dalam sikapnya sebagai seorang pemimpin.
"Ganja yang ditanam Yohanes awalnya ditanam di halaman belakang rumahnya, gue juga kaget bajingan itu sampai rela mindahin semua tanamannya ke markas lama kita." Gandhy melanjutkan, kemudian menyerahkan sebuah tap recorder yang berisi rekaman suara dan video tentang percakapan mereka ke Aksa.
"Lo bebas gunain rekaman ini, mulai sekarang Yohanes bukan bagian Baewon, dia bukan tanggung jawab gue lagi," lanjutnya kemudian bertolak dari ruangan itu seraya menarik tangan Sonya.
•••
Tanpa berpamitan, kaki itu melangkah keluar dari asrama Yohanes. Begitu kakinya di ambang pintu, sesuatu yang mengejutkan berhasil membuat pupil matanya terbuka lebar.
"Jangan terlalu cepat merayakan kemenangan," celetuk seseorang dengan sorot dinginnya.
Dalam sesaat tubuh Juliette membatu melihat sekumpulan lelaki itu, bibirnya kelu sekedar untuk berteriak hingga pada akhirnya Yohanes keluar setelah merasakan sesuatu yang aneh. Betapa terkejutnya dia, ketika melihat anak-anak Dandelion berada di depan asramanya.
Terlalu takut, Yohanes menarik tangan Adiknya masuk tapi gagal ketika dengan gerak cepat berhasil dihalau oleh Jaxen yang menjegal kakinya. Karena perbuatannya, dua manusia itu jatuh tersungkur dengan wajah yang mendarat lebih dulu ke lantai.
"Aw!" lirih Juliette kemudian berusaha berdiri.
"Lihat!" cemooh Jaxen dengan sudut bibirnya yang tertarik menyamping. "Keong 'kan gue bilang, terlalu berani mengambil resiko cari masalah tanpa bantuan teman-temannya."
Yohanes diam dengan tubuh bergetar, sebenarnya dia takut berhadapan dengan Dandelion tanpa anggotanya. Maka dari itu, setiap kali terlibat perkelahian dia memilih menyaksikan atau adu argumen bersama Aksa. Hal itu karena Yohanes memang tidak sekuat lainnya dalam berkelahi.
"Yohan, bangun!" gertak Juliette seraya menarik tubuh abangnya untuk menghadapi mereka.
Namun, yang Juliette harapkan justru berbeda, lelaki itu hanya diam dengan mulut bergetar dan lirikan matanya terlihat tidak fokus menandakan kalau Yohanes sedang menahan ketakutannya. Hal itu berhasil membuat Juliette jera hingga menghela napas beratnya.
Juliette berkacak pinggang dengan sorot matanya yang nyalang menatap mereka. "Apa maksud kalian?"
Beberapa di antaranya diam dengan sorot mata yang datar, ada pun yang menyeringai tajam.
"Saran gue kalian berhenti dan nyerahin diri ke kantor Polisi," celetuk Jay dengan seringai tajamnya.
Juliette mendelik kaget, dan juga bingung. "Atas dasar apa gue harus nyerahin diri, kalian bodoh?"
"Emang batu!" Jay tak habis pikir mendengar jawabannya, senyuman sinis itu kembali terukir bersama decakannya yang menahan amarah.
"Yohan, gue rasa lo tahu tujuan kami datang ke sini," ucap Aksa dengan matanya yang fokus memandang lelaki itu. "Sebaiknya lo nyerahin diri sebelum Polisi datang nyeret kalian secara paksa," lanjutnya.
"Kalian semua ngga waras! Untuk apa kita nyerahin diri ke polisi? ... Karena gue pemakai?" bantah Juliette.
"Bangsat! Masih ngga sadar diri juga!" sungut Jaxen.
Juliette memalingkan wajahnya dengan cepat memandang pemilik suara itu, ingin membalasnya tapi segera dihalau oleh Aksa yang menunjukkan bukti rekaman itu. Spontan, mereka berdua membatu seketika memperhatikan rekaman itu.
"Ganja itu punya lo, 'kan?" intimidasi Aksa kepada Yohanes.
Lelaki pemilik tanaman ganja itu hanya diam dengan wajah yang tertunduk takut, sementara Aksa mulai bergerak mendekati Yohanes lalu mencengkeram kuat sisi bahunya sampai membuat tubuh itu berlutut di hadapan Aksa. Untuk ke sekian kalinya, Juliette sangat kaget melihat Abangnya yang terlihat lemah di hadapan mereka.
"Gue udah pernah bilang, Bokap lo yang jahat sampai ngebuat Nyokap Harvey stres dan bunuh diri. Jangan lo pikir gue ngga tahu, karena ulah Bokap lo yang biadab, tante Lena bunuh diri. Jangan lo putar balikan fakta cerita itu, karena Bokap lo Harvey selalu mengecam dirinya sebagai penyebab Nyokapnya bunuh diri." Aksa melepas cengkeramannya, kemudian beralih memandang Juliette.
"Yang seharusnya balas dendam itu Harvey, bukan kalian!" lanjutnya.
Bukan hanya dua manusia licik itu yang kaget mendengar ucapan Aksa, kelima manusia di belakang Aksa sama kagetnya karena baru mengetahui cerita tersebut.
"Sa, lo tahu cerita itu dari siapa?" tanya Jeremy penasaran.
Lelaki berwajah datar itu memalingkan wajahnya sejenak, kemudian menghela napas kasar, merasa bersalah telah menceritakan kisah lama yang seharusnya ia jaga. "Lalita ... Sebagai calon Kakak ipar, dia pernah nyeritain kisah itu sebagai rasa percayanya ke gue untuk jagain Harvey."
"Hah! Lo pacaran sama Lalita?" tanya Jaxen kaget.
"Bukan bodoh, kalau calon Kakak Ipar, berarti ya pacarnya Bang Yovie!" tegas Jay.
Suasana hening itu tiba-tiba menjadi ramai dengan bunyi sirine mobil Polisi yang terlihat masuk ke pelataran asrama. Sebagai pelaku utamanya, dua manusia itu terlihat takut dan khawatir berusaha melarikan diri. Tapi naas, sebab ke enam lelaki tampan itu dengan sengaja mengepung mereka.
Aksa tersenyum dengan seringai tipisnya, memandang semua orang secara bergantian, kemudian beralih memandang dua manusia itu dengan seksama. "The party it's over."
"Fuck!" pekik Juliette.