Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(39) Pasti Kembali

1.3K 258 11
By dekmonika

Tak memerlukan waktu yang lama, esok harinya Andin sudah diperkenankan untuk pulang sekaligus menjalani proses penyembuhan di rumah saja dengan catatan ia tidak boleh melakukan aktivitas-aktivitas yang berat dan harus cukup istirahat. Selebihnya, saat dirasa kondisinya sudah semakin membaik Andin mulai kembali ke rutinitasnya, yakni kuliah dan bekerja.

Dua minggu pasca operasi dan pulang dari rumah sakit, hari ini adalah hari pertama Andin kembali beraktivitas. Rutinitas pertama yang ia jalani pagi ini adalah kembali bekerja di kantor desain milik Darwin. Pun juga tak lama lagi tugas observasinya di kantor tersebut akan selesai, dan ia akan mulai fokus ke pengerjaan skripsinya. Hampir dua minggu ia menjalani pemulihan di rumah, ia menjalankan segala pekerjaannya di rumah saja.

"Andin, kamu punya kontak Pak Anton?" Darwin bertanya saat tiba-tiba muncul di hadapan Andin yang sedang mengerjakan sesuatu di meja kerjanya.

"Pak Anton manager Horizon hotel yang pernah datang waktu itu, Pak?"

"Iya. Ada kontaknya?"

"Ada, Pak." Jawab Andin.

"Oke. Kalau begitu, tolong kamu hubungi dia, ya. Kamu bilang kalau saya akan berkunjung ke hotel mereka besok. Saya akan menemui Pak Anton." Darwin memberikan instruksi kepada Andin yang masih berstatus sebagai asisten pribadi sementaranya.

"Baik, Pak."

"Yasudah, itu saja. Setelah pekerjaan kamu itu selesai, kamu bisa pulang lebih awal hari ini. Kamu masih perlu banyak istirahat, kan. Saya juga harus pulang sekarang karena saya sudah janji untuk makan siang bersama keluarga besar di rumah." Ujar Darwin sambil menyandang tas kecil miliknya di pundak.

"Iya, Pak. Setelah semua pekerjaan saya selesai, saya akan pulang."

"Oke, kalau begitu saya duluan, ya."

"Ya, hati-hati di jalan, Pak."

"Thank you."

Sepeninggal atasannya itu, Andin langsung mencari kontak seseorang yang diminta Darwin untuk dihubungi. Setelah berhasil menghubungi orang yang dimaksud, ia kembali berkutat pada pekerjaannya sebelumnya.

"Hai Ndin, sudah masuk aja?" Seorang wanita datang menyapa Andin dan duduk pada kursi meja kerjanya yang berseberangan dengan meja kerja Andin.

"Hai, Mbak. Iya nih, bosen lama-lama di rumah." Sahut Andin.

"Memang sudah sembuh?"

"Sudah kok, Mbak." Jawab Andin, terkekeh.

"Diperhatiin ayang terus, ya?" Goda wanita itu yang sudah duduk pada kursi kerjanya sambil melirik jahil rekan kerjanya tersebut.

"Apa sih, mbak. Jangan gosip, ya." Wajah Andin tiba-tiba bersemu merah.

"Ihh, masa gosip, sih. Kamu pacaran sama Pak Al, kan?" Seru wanita itu membuat Andin sontak menoleh ke kanan dan ke kiri, waspada jika didengar oleh orang lain.

"Ssstt! Mbak Windy jangan kenceng-kenceng." Peringat Andin.

"Ya ampun, Ndin. Satu kantor ini sudah tahu soal kamu sama Pak Aldebaran. Jadi nggak perlu ditutup-tutupi." Andin mengerut, bingung.

"Kok bisa?"

"Inget nggak yang pas kamu dapat buket waktu itu? Nah, hari itu kan kalian pulang bareng, mana gandengan lagi. Anak-anak kantor banyak yang lihat, terus gosipnya tersebar dengan cepat deh." Jelas Windy membuat Andin berusaha mengingat hari yang dimaksud oleh Windy. Begitu mengingatnya, Andin reflek menepuk jidatnya, pelan.

"Astaga." Keluh Andin.

"Nggak apa-apa kali, Ndin. Kalian kan sama-sama single, nggak ada masalah dong."

"Iya, sih, mbak. Tapi aku nggak mau jadi bahan gosip banyak orang."

"Bener juga sih. Apalagi dengan posisi Pak Al sebagai bos ternama, pasti jadi gosip yang meleber kemana-mana. Belum lagi entar pasti ada saja asumsi-asumsi aneh dari orang-orang."

"Makanyaaa..."

"Yaudahlah, nggak usah diambil pusing. Selama kalian bahagia, ngapain mikirin komentar orang. Kalau kata pepatah sih, kita nggak bisa menutup mulut semua orang, tapi kita bisa menutup dua telinga kita." Komentar Windy. Andin tersenyum tipis dengan perasaan resah.

//TRIIING TRIINGG!//

Andin reflek melihat pada ponselnya yang tiba-tiba berdering. Disana tertera nama sang kekasih yang sedang memanggilnya. Ia melirik Windy yang tampak berusaha ikut melirik pada ponselnya dengan tatapan penasaran.

"Ayang, ya?" Windy bertanya, usil. Andin mengulum senyumnya. Tanpa menjawab pertanyaan dari rekan kerjanya, Andin langsung menyambut panggilan telepon tersebut.

"Halo, Mas."

"Andin, kamu jadi masuk kerja hari ini?"

"Iya. Ini aku masih di kantor, Mas."

"Ohh. Terus, hari ini jadi mau ngajak saya belanja?"

"Jadi. Kenapa? Kamu sibuk, ya?"

"Oh, nggak. Saya hanya memastikan saja. Takutnya kamu masih sakit dan harus banyak istirahat. Belanja kan harus banyak jalan, kalau kamu kecapekan nanti bahaya."

"Aku baik-baik saja, Mas. Percaya deh. Lagian aku mau bantuin kamu menyiapkan keperluan untuk keberangkatan kamu nanti." Mendengar suara kekasihnya yang antusias membuat Aldebaran menyunggingkan senyumannya.

"Yasudah, kalau memang kamu mau seperti itu. Tapi ingat, kalau merasa sakit atau capek bilang, ya."

"Iyaa."

"Pas jam makan siang nanti, sayang jemput kamu di kantor, ya."

"Oke, Mas." Sahut Andin sambil melirik jam tangannya.

__________________________________

Dua sejoli sedang menikmati makan siang mereka di sebuah resto Jepang di salah satu mall besar di pusat kota Jakarta. Mereka menikmati sajian menu khas Jepang seperti aneka sushi dan sashimi sesuai dengan pilihan Andin. Sementara Aldebaran hanya mengikut saja.

"Aku sudah lama nggak mampir kesini." Tukas Andin di tengah-tengah makan mereka.

"Kamu sering kesini?"

"Lumayan."

"Suka makanan-makanan jepang begini?"

"Sushi dan sashimi aku suka. Tapi makanan jepang yang lainnya kurang suka sih."

"Sering kesini sama siapa?" Tanya Aldebaran, mulai kepo.

"Paling sering sama Baskara. Tapi terakhir waktu itu makan siang disini sama Daniel." Jawab Andin, yang tampaknya dengan sengaja ingin memancing reaksi Aldebaran. Benar saja. Raut muka pria itu berubah menjadi tak bersahabat begitu mendengar nama yang baru saja Andin sebut.

"Kapan?" Tanya Aldebaran.

"Kapan, ya? Lupa, sih. Sudah lumayan lama juga."

"OH." Respon Aldebaran berusaha terlihat santai.

Andin tersenyum usil begitu mengetahui bumbu-bumbu cemburu itu tengah mengusik mood pria tersebut. Andin pun mengambil satu potongan sushi miliknya dengan sepasang sumpit lalu menyodorkannya ke dekat mulut pria itu. Aldebaran mengerutkan keningnya namun dibalas dengan senyuman manis kekasihnya.

"Aaa..." Andin meminta Aldebaran untuk membuka mulutnya. Tanpa menunggu lama, pria itu pun menerima suapan tersebut, kemudian terkekeh.

"Suka nggak?" Aldebaran mengangguk dengan tatapan lembutnya.

"Kamu itu nggak usah cemburu sama Daniel. Dia itu sahabat aku yang dari dulu sudah sering nemenin aku. Kami cuma sahabat yang bener-bener sahabat. Nggak pernah lebih dari itu." Andin mencoba meluruskan keresahan yang dirasakan Aldebaran.

"Saya tidak cemburu." Elak Aldebaran membuat Andin tertawa kecil.

"Masih saja nggak mau ngaku." Ejek Andin sambil kembali menyuap potongan sushinya.

"Bagaimana kalau ternyata Daniel suka sama kamu?" Tanya Aldebaran, lagi. Andin yang sedang menyeruput minuman segarnya seketika melirik pada pria itu, lalu berpura-pura berpikir sejenak.

"Ya nggak gimana-gimana. Itu kan hak dia untuk suka sama siapapun." Jawab Andin, namun tampaknya jawaban itu tidak cukup memuaskan bagi Aldebaran.

"Yang penting aku sukanya sama kamu, Mas." Lanjut Andin, mengulum senyumannya. Aldebaran memberikan tatapan tajam dengan menahan sebuah senyuman. Hingga tatapan keduanya bertemu, seolah saling memuja satu sama lain.

Hampir satu jam berlalu, Aldebaran dan Andin sudah mengunjungi beberapa toko di mall besar tersebut, dari toko sepatu, aksesoris, dan yang sedang mereka sambangi kini adalah sebuah toko brand pakaian khusus pria. Aldebaran pun tampak sudah menenteng beberapa barang belanjaan yang secara khusus dipilihkan oleh sang kekasih.

"Mantelnya bagus-bagus." Ucap Andin saat di pinggiran mereka berjejer macam-macam mantel longcoat pria.

"Saya sudah punya beberapa di rumah." Ujar Aldebaran yang berjalan mengiringi gadisnya.

"Kamu nggak mau aku pilihin?" Tanya Andin, mengerut. Aldebaran mengerti maksud Andin, sehingga ia pun tersenyum lebar.

"Iya, mau." Jawabnya.

"Kamu harus punya banyak persediaan mantel, jaket, dan juga switer. Karena disana kan sudah mulai musim gugur, pasti udaranya dingin." Tutur Andin sambil memilah-milih mantel untuk kekasihnya itu. Sementara Aldebaran hanya memandangi Andin dengan senyum simpulnya, terlebih mendengar ucapan gadis itu yang sangat memperhatikannya.

"Ini bagus, deh. Suka yang item atau yang abu-abu?"

"Kalau kamu suka, beli dua-duanya saja." Jawab Aldebaran dengan enteng.

"Ihh, jangan. Pilih salah satu saja. Nanti cari model yang beda lagi."

"Yaudah, yang item saja." Pilih Aldebaran.

"Emm, padahal abu-abu lebih manis deh kayaknya." Komentar Andin.

"Yaudah, abu-abu kalau gitu." Ralat Aldebaran.

"Yakin abu-abu?"

"Iya." Jawab Aldebaran, manut.

"Oke, abu-abu."

Andin mengambil mantel panjang tersebut kemudian menyodorkannya kepada Aldebaran sebagai isyarat agar pria itu mencobanya terlebih dahulu. Aldebaran meletakkan beberapa paper bag belanjaannya ke sebuah kursi di dekatnya, lalu menerima mantel tersebut. Andin tak tinggal diam, ia membantu Aldebaran mengenakan mantel yang sudah mereka pilih tadi, lalu merapikan rambut pria itu.

"Pas nggak?" Tanya Aldebaran saat sudah siap dengan mantelnya. Andin terpaku saat melihat penampilan pria tampan di hadapannya. Pria itu terlihat lebih gagah dengan mantel khusus musim dingin itu. Ia sedang terpesona. Dan pria itu adalah kekasihnya, benar-benar kekasihnya.

"Hei!" Aldebaran menjentikkan jarinya tepat di depan mata Andin. Hal itu membuat Andin tersadar.

"Eh?"

"Kenapa? Terpesona begitu." Ledek Aldebaran membuat Andin sedikit salah tingkah.

"Sudah pas kok." Komentar Andin, mengalihkan ledekan kekasihnya.

"Oke."

Andin tak melepas pandangannya pada Aldebaran sedikit pun. Bahkan saat pria itu sudah melepaskan mantel yang ia coba, tatapan Andin kian lekat dan perlahan menjadi sendu. Aldebaran merasa heran dengan Andin yang memberikan tatapan tak seperti biasanya.

"Kenapa?" Tanya Aldebaran. Andin terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.

"Kok sedih?" Aldebaran mendadak panik saat ia mendapati kedua bola mata gadis itu ternyata berkaca-kaca.

"Kenapa?" Aldebaran menyentuh dagu gadis itu, meminta agar Andin menatapnya. Andin lantas tersenyum sembari menyentuh tangan pria itu yang menempel pada salah satu pipinya.

"Nggak papa." Jawab Andin, merasakan sentuhan lembut pria itu pada pipinya.

"Tell me..."

"Nggak tahu kenapa, aku tiba-tiba sedih saja kepikiran kamu yang bakal pergi jauh, mana lama lagi." Ungkap Andin dengan suara yang sedikit bergetar. Aldebaran tersenyum lembut, mengerti keresahan kekasihnya.

"Kamu pasti balik kan, Mas?"

"Kok nanya begitu? Saya pasti balik." Jawab Aldebaran, sambil menyeka anak rambut Andin yang jatuh pada wajah cantik gadis itu.

Tanpa aba-aba, Andin memeluk Aldebaran dengan cukup erat sekaligus menyembunyikan wajah sedihnya di balik dada pria itu. Aldebaran membalasnya sambil mengelus rambut belakang Andin dengan lembut.

"Makasih ya, Mas, kamu sudah nemenin aku, sudah banyak bantuin aku, dan selalu ada buat aku." Tutur Andin.

"Iya. Itu memang yang saya mau, Andin."

"Kalau kamu pergi, pasti aku kesepian lagi. Aku pasti akan merasa kehilangan karena nggak ada kamu lagi yang bantuin aku, yang gangguin aku." Timpalnya tanpa sadar bahwa airmatanya sudah membekas di kemeja Aldebaran.

"Meskipun saya nanti nggak ada di sisi kamu saat kamu butuh saya, kamu harus ingat kalau kamu tidak pernah sendirian. Kamu punya mama kamu yang sekarang sudah mengakui kesalahannya. Kamu punya Baskara, kamu punya teman-teman kamu, dan jangan lupa juga, kamu punya mama papa saya yang sudah sangat menyayangi kamu. Kamu bisa datang ke rumah kapanpun kamu mau." Balas Aldebaran sambil terus mengelus rambut gadis itu.

"Kamu nggak keberatan kan menunggu saya?" Tanya Aldebaran. Andin terdiam, lalu melepaskan pelukannya, memandangi Aldebaran kemudian mengangguk.

"Saya janji akan segera menyelesaikan semuanya dengan baik." Ikrar Aldebaran dengan tekad yang bulat.

"Harus." Sahut Andin, tersenyum.

"Begitu saya kembali, kita akan menikah." Lanjut pria itu membuat Andin tiba-tiba terpekur. Aneh. Semacam ada sekelompok kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Namun di saat yang bersamaan, rasanya darahnya seperti berdesir kencang, menciptakan kecemasan yang Andin sendiripun tidak mengerti.

Andin merenung memikirkan perkataan kekasihnya tadi siang. Saat ini ia sedang menyendiri di kamarnya di waktu yang sudah larut malam. Beberapa jam lalu ia usai makan malam bersama sang mama, tanpa Baskara. Ya, Baskara masih di tempat kerjanya. Andin pun kini tahu bahwa alasan main yang seringkali dipakai oleh adiknya itu selama ini hanya untuk menutupi kebohongannya yang nyatanya sedang bekerja.

Andin dan sang mama beberapa kali sudah meminta Baskara untuk berhenti bekerja dan fokus pada sekolahanya, akan tetapi pria itu tetap bersikukuh pada pendiriannya. Ia meyakinkan dua wanita itu bahwa pekerjaannya tidak akan mengganggu kewajiban sekolahnya.

Renungannya terbuyar saat samar-samar ia mendengar deru suara mobil yang beberapa detik kemudian disusul dengan suara seperti pintu mobil yang tertutup. Ia pun berjalan ke arah jendela kamarnya untuk melihat ke sumber suara tersebut.

"Mobil siapa?" Tanya Andin pada dirinya sendiri saat melihat sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Beberapa detik kemudian ia menyadari bahwa ada seseorang disana. Seseorang tersebut terlihat sedang membuka kotak pos yang berada di depan rumahnya.

"Dia kan....?" Andin tercenung.

Seorang pria dengan pakaian formalnya terlihat membuka sebuah kotak pos yang ada di halaman sebuah rumah. Pria itu mengenakan sebuah topi hitam untuk menyamarkan identitas dirinya. Ia terlihat meletakkan dua buah kotak berukuran kecil serta tampak sebuah amplop putih di atasnya.

Setelah meletakkan benda tersebut, ia mendongak memandangi rumah itu dengan tatapan kerinduan. Rumah itu terlihat senyap membuatnya mengira bahwa orang-orang di rumah itu pasti sudah tertidur lelap. Tanpa berlama-lama, ia kembali berjalan ke arah mobilnya. Namun sesaat sebelum ia membuka pintu mobil itu, suara seseorang mengagetkannya.

"Mau apa lagi kamu kemari?" Pria itu menghentikan pergerakannya, seperti mengenal suara itu.

"Belum kapok kamu menerima penolakan kami?" Lanjut wanita yang baru keluar dari ruamh tersebut. Dia adalah Susan.

"Aku ada sedikit oleh-oleh untuk anak-anak. Tolong kali ini terima pemberianku, ya." Jawab pria bertopi itu, yaitu Ferdinand.

"Mereka tidak perlu apa-apa dari kamu. Ambil hadiah itu dan bawa pergi, atau aku yang akan membuangnya." Balas Susan, dingin. Ferdinand terdiam. Entah itu sudah penolakan yang ke berapa kali, ia pun tidak ingat.

"Ma..." Susan kaget mendengar suara seseorang memanggilnya dari belakang.

"Andin? Kok belum tidur?" Wanita itu terlihat panik saat mendapati putrinya itu memergoki kedatangan seseorang yang telah lama menghilang dari kehidupan mereka.

"Nak." Ferdinand menggumam pelan dengan tersenyum saat melihat putrinya hadir di depan matanya.

"Dia mau apa, Ma?" Andin bertanya pada sang mama, namun bisa didengar oleh Ferdinand. Dari nada bicaranya, Ferdinand tahu bahwa putrinya itu merasa terganggu dengan kedatangannya.

"Ada urusan apa Anda kesini?" Karena tak ada jawaban dari Susan, Andin bertanya langsung pada pria itu yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri. Meski terdengar dingin, Ferdinand merasa senang saat Andin mau bicara padanya.

"Papa ada hadiah untuk kalian. Hadiahnya ada di kotak pos itu, Nak." Beritahu Ferdinand dengan suara bergetar karena terharu. Ia bahkan sempat mengusap matanya yang terlanjur memerah demi menahan airmata kerinduan yang tiba-tiba menyergap perasaannya.

//TIN TINN!//

Suara klakson motor menggema membuat ketiganya mengalihkan perhatian mereka kepada seseorang yang baru saja datang. Baskara melepas helmnya dan turun dari motor tersebut. Tatapannya begitu tajam pada pria yang berdiri tidak begitu jauh di depannya. Sebuah tatapan penuh amarah dan kebencian yang tersimpan selama bertahun-tahun.

"Ngapain anda kemari?" Tanyanya sengit.

"Bas, Papa hanya ingin memberikan hadiah..." Belum sempat Ferdinand menyelesaikan ucapannya, Baskara langsung memotongnya.

"Buang kata-kata itu dari mulut anda. Anda bukan papa saya." Sahut Baskara, penuh penekanan. Tak hanya Ferdinand yang kaget dengan ucapan itu, Andin dan Susan pun tak menyangka bahwa kemarahan Baskara benar-benar bisa membuat pria itu berbicara begitu berani.

"Anda pergi dari sini sekarang. Dan jangan pernah muncul dalam kehidupan kami lagi."

Usai memperingati pria setengah tua itu, Baskara kembali ke motornya untuk mendorong motor tersebut masuk ke dalam pekarangan rumah itu. Tanpa mau menoleh lagi, Baskara menghampiri sang mama dan kakaknya yang masih berdiri di tempatnya.

"Ma, Kak, ayo kita masuk." Ajak Baskara sambil merangkul kedua perempuan itu. Dan baik Andin maupun Susan langsung menuruti ucapan Baskara untuk masuk ke rumah, meninggalkan Ferdinand yang masih berdiri disana dengan rasa sedih.

Begitu mereka sudah memasuki rumah, Baskara langsung duduk pada sofa di ruang tengah itu disusul oleh sang mama. Pria itu terlihat berusaha mengontrol emosinya sebab beberapa saat yang lalu, ia benar-benar berada di puncak kemarahannya begitu melihat sosok sang papa. Melihat sikap putranya itu membuat Susan berinisiatif mengusap pundak Baskara, berusaha menenangkannya.

"Tenang, sayang." Ucap Susan. Baskara mengusap kasar wajahnya, lalu menatap sang mama dan kakanya secara bergiliran.

"Ma, lain kali kalau dia datang lagi, jangan diladeni, ya. Aku tidak mau dia menghancurkan hidup kita lagi." Ujar Baskara dengan airmata yang tumpah secara tiba-tiba. Wajahnya masih memerah menahan amarah sekaligus kesedihan yang dalam. Susan langsung memeluk putranya. Sementara Andin hanya tetap berdiri, diam-diam ikut menangis merasakan kepedihan sang adik.

"Ke kamar, ya? Ayo mama antar ke kamar." Ajak Susan.

"Andin, kamu juga segera tidur, ya. Ini sudah larut malam, sayang." Ucap Susan pada Andin sebelum kedua orang itu meninggalkan ruang tengah rumah tersebut, menyisakan hanya Andin seorang.

Beberapa saat setelah Susan dan Baskara pergi, Andin menghapus airmatanya. Ia berjalan pelan ke arah jendela di dekat pintu, lalu sedikit menyeka tirainya. Ferdinand masih berdiri disana, memandangi rumah itu dengan sedih. Meski jaraknya cukup jauh, Andin bisa melihat saat pria itu menyeka airmatanya.

"Pa..." Lirihnya dengan mata berkaca-kaca.

Ferdinand masuk ke dalam mobilnya dan mobil itu pun melesat pergi meninggalkan rumah tersebut. Begitu sang papa pergi, Andin membuka pintu rumah itu kembali. Ia berjalan menuju kotak pos berwarna merah, tempat dimana Ferdinand meletakkan hadiahnya tadi. Ia mengambil dua buah kotak itu yang disertai sebuah amplop.

-untuk Andin & Baskara-

Begitulah tulisan yang tertera di luar amplop itu. Andin menatap kedua kotak berwarna ungu dan abu-abu itu dengan nanar. Ungu adalah warna kesukaannya, dan abu-abu adalah warna kesukaan Baskara. Papanya tidak lupa itu.

Andin menimbang-nimbang sesuatu sambil menatap dingin pada kedua kotak itu. Untuk luka dalam yang mungkin sudah tak bisa diobati lagi, dua kotak itu terasa berat di tangannya. Ia berjalan gontai menuju pintu sambil terus memandangi dua kotak itu.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia menatap kotak itu sekali lagi sebelum akhirnya membuang membuangnya ke dalam kotak sampah yang berada di teras rumah tersebut. Meski sedikit sulit, Andin berjalan memasuki rumahnya kembali, meninggalkan dua hadiah dan satu surat yang sudah bergabung di antara tumpukan sampah.

____________to be continued______________

Continue Reading

You'll Also Like

37.6K 4.9K 43
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...
242K 36.3K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
47.8K 6.4K 39
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
49.6K 10K 12
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...