Cycle mate

By winjo_h

7.4K 1.5K 147

ㅡ C Y C L E M A T E ; "Kisah mereka dimulai dari sepasang sepeda dan pencarian sebuah IDEAL" More

Prolog and cast
Rumah yang lama dingin perlahan hangat
Tertarik adalah bagian dari nyaman.
Tiap manusia punya titik didih
Hampa yang tiba-tiba
Ternyata sepi melaju sendiri

Epilog (Di akhir, kita jatuhnya berdua)

927 213 38
By winjo_h


Sebulan lebih Arjuna mengenal Ailen, terhitung 10 hari mereka tidak berjumpa, hari-hari yang dilewati di atas sepeda saat sore terasa sudah siap tersimpan di file memori Arjuna, tanda bahwa kalau peristiwa-peristiwa manis dan singkat itu mungkin tidak akan terjadi lagi di masa depan.

Namun demikian Arjuna tetap datang setiap sore, menunggu di tempat yang sama, melaju di rute yang sama, pergi ke pantai yang sama. Sayangnya Ailen tidak pernah ada lagi.

Satu kali pernah Arjuna iseng lewat di depan rumahnya, namun kosong, mobil masnya juga tidak ada, lampu terasnya menyala padahal itu siang hari yang artinya lampu tersebut lupa dimatikan atau memang sengaja terus dinyalakan sebab sang pemilik tidak di tempat.

"Lo bego!" Nanang baru buka mulut tapi sudah dikatai Arjun hingga batagor yang sudah ada di depan mulutnya diletakkan lagi.

"Lokan punya nomor teleponnya! Teleponlah Nang, sok romantis amat nunggu dia dateng ke tempat sepedaan lo." Batagor yang tadinya milik Nanang sudah ada mulut Arjun hingga ia hanya menelan ludah sebab itu batagor yang terakhir di piring mereka.

"Nih ya, ibaratnya kurir aja tuh ngehubungin customernya dulu baru dateng bawa paketnya. Belajar tuh dari perumpaan itu." Arjun melanjutkan ocehannya, berbeda dengan Dimas dan Juna yang cuma menyumbang tawa sebab diomeli Arjun tuh mirip-mirip diomeli tante yang paling tua di keluarga, filosofis iya, nyelekit iya, pedes iya, pokoknya komplit.

"Enggak gitu Arjun, bukan sok romantis atau apa. Elo enggak akan paham deh, pokoknya gue cuma butuh dia dateng, udah, beres, selesai, done."

"Enggak ada lanjutannya? Pacaran gitu? Bilang aku selama ini suka kamu dan sejenisnya? Masa ceritanya selesai pas Ailen dateng?" Kali ini Juna yang menyahut.

"Enggak perlu kata-kata enggak sih? Maksudnya kalau Ailen dateng, sok atuh cium, jadian, udah, beres, selesai, done." Dimas menirukan kalimat akhir Nanang tadi sembari memberikan pendapat ampasnya dan berbuah helaan nafas dari tiga Arjuna di hadapannya.

"Tapi... ada benernya sih kata si Dimas, kadang action said louder than a word." Nanang sedikit terpengaruh.

"Yeee si ceking! Yang ada lo digampar kalau enggak ada mukaddimah terus langsung kokop. Mikirlah, jangan biarin ideologi Dimsbret bersarang di kepala lo!"

Hahaha Nanang tertawa mendengar panggilan si Ceking itu sebab sungguh badannya naik beberapa kilo sebulanan ini, ototnya mulai sedikit membentuk juga, kalau kata Dimas itu hasil semedi di gym tiap hari bareng Juna tapi Nanang merasa senang tiap kali bercermin, untuk pertama kalinya ia merasa IDEAL.

Percaya dirinya naik drastis, ia merasa menjadi lebih baik berkat usahanya dan idealnya akan sempurna jika perempuan yang ia selalu nantikan di jalur sepeda mereka hadir kembali... tapi entah kapan.

Pikirnya akan lama, pikirnya Ai tidak akan pernah datang tapi ternyata hari itu tiba...

Sepeda biru serta helm berwarna senada itu muncul dari kejauhan sore itu, dikendarai oleh pemilik senyum yang sangat familiar dan sangat dirinduinya.

Dan setelahnya yang Arjuna ingat jantungnya berdegup amat kencang sampai ia bisa mendengar dentumnya sendiri, pergelangan kakinya terkunci, ia dihampiri dengan pelan sosok Ailen yang sudah lama tidak dipandang.

Lalu saat selesai mengucapkan, "akhirnya kamu datang?" mereka saling mendekap.

Ternyata benar jika tidak ada pembuka, tidak cerita penjelasan panjang lebar, ternyata gadis dalam dekapannya ini buncahnya sama, ternyata semuanya tidak dapat dijelaskan dengan sepotong kata jadi ia hanya menerjang kala Arjuna buka lengannya.

Ailen... juga rindu sama besarnya.

Di H-3 lomba penting yang harus diikutinya, ia jatuh sakit, dilarikan ke UGD sebab asam lambung yang parah dan dibiarkan saja oleh pemilik tubuh yang selalu bilang ia tidak apa-apa.

"Kok kamu kurusan pulang lomba, Ai? Makannya teratur?"

"Kurusannya karena asam lambung, btw aku enggak jadi ikut lombanya kak, aku masuk rumah sakit semingguan, tapi tetep ke Bali soalnya dijemput Ibu."

"Loh... rumah sakit? Jadi selama... ini?

"Sakit," Ailen lengkungkan bibirnya mengekspresikan sedih dan kecewanya tapi tidak lama ia tersenyum amat lebar.

"Tapi ada hikmahnya, termasuk aku kurusan tanpa olahraga. Hehehe!"

"Hehhhh! Mending kamu ndut tapi sehat dari pada kurus tapi masuk rumah sakit. Tapi sekarang udah okay? Udah sehat? Udah sanggup sepedaan."

Bibir Nanang dicubit gemas oleh sang gadis sebab pertanyaan bertubi-tubinya.

"Udah kak Nanang, fisikku sehat, mentalku juga. Aku di Bali tiga hari ini ketemu Ibu, ngomong dari hati ke hati, kasi tahu perfektifku dan dengerin perfektifnya terus rasanya damai aja."

Kata Ibu, menari membuat dia yang selama ini dikekang menjadi bebas. Sejak kecil ia hanya dicekoki kalau tujuan hidupnya adalah untuk jadi seniman. Ibu memang suka menari tapi jika sebuah kesenangan dipaksa, maka akan terasa menyesakkan sebab tidak bisa ditinggalkan, tapi juga akan jadi beban sendiri jika dijalani.

Ia tidak diperkenankan punya mimpi sendiri, untuk jadi istri ataupun jadi ibu meski sangat ingin. Lalu sang Ayah hadir, hanya dengan sayang, tanpa ada tuntutan ikatan, ia bersedia untuk menjadikannya perempuan yang utuh dengan melahirkan Aidan dan Ailen, dan Ibu bahagia dengan itu.

Sampai ia merindukan tariannya, tarian yang tidak diperkenankan lagi oleh Ayah, semua sayang itu berubah jadi posesif, berubah jadi tuntutan akan ikatan, ibu mulai tidak nyaman sebab Ayah berubah bak keluarga yang ditinggalkannya, penuh dengan kekang sedangkan Ibu ingin bebas,

Ibu pulang ke rumah keluarga sebab ingin menari, mewarisi sanggar artinya tidak ada paksaan lagi untuk tariannya, Ibu memang labil, ia masih 26 waktu melahirkan Ailen, 20 saat melahirkan Aidan, dan 19 saat pergi dari rumah. Ia belum tahu apapun, ia masih sangat muda, di bawah umur dan mudah terbuai dengan konsep sayang.

Dalam pertemuan mereka sang Ibu meluapkan rindu, khawatir juga nasehat yang banyak, ia bahkan meninggalkan lomba yang harusnya dihandle penuh demi Ailen, sang Anak yang punya ambisi ingin diakui keluarga seniman besar di Bali itu.

"Ilen, menarilah sebab bebas. Jangan menari jika itu menyiksa, jangan menari jika itu melelahkan, jangan menari sebab pembuktian, menarilah untuk dirimu baru menari untuk orang lain. Idealnya penari bukan ia yang ada di tengah, bukan ia yang paling menghafal gerakan, bukan ia yang menguasai panggung, bukan ia yang kurus dan cantik tapi penari yang ideal adalah ia yang menari dengan hatinya."

Ah, berarti ideal yang selama ini diyakininnya salah?

"Masih banyak panggung lain nak dan kamu tidak perlu membuktikan apa-apa, kamu penari yang baik selama kamu mencintai tarian itu."

Nanang kemudian bertepuk tangan setelah kisah itu usai diceritakan, baru selang beberapa minggu nampaknya Ailen banyak belajar, ia menaiki tangga kedewasaan beberapa tingkat, rasanya bangga sebab teman sepedanya yang mati-matian menurunkan berat badan karena ingin jadi penari ideal seperti kata seniornya itu ternyata merubah kategori ideal orang lain dan membuat idealnya sendiri.

"Kak?"

"Hem."

"Aku pengen tutup gym deh rasanya." Ucap gadis itu tiba-tiba setelah menulusuri punggung Nanang dengan matanya. Terakhir perasaan enggak selebar itu deh, belum lagi lengannya, aduh bagian tangan baju kaos lengan pendek pemuda itu kelihatan ketat dari biasanya, tanda bahwa bisepnya membesar.

PETISI TUTUP GYM SEBELUM PRIA DI DEPANNYA INI MAKIN HOT!

"Kenapa? Kamu udah males olahraga?"

"Eng? Ah, enggak. Hehehe." Ailen kelagapan sendiri atas pertanyaannya tadi, ah mulutnya tidak bisa direm, Arjuna makin lama tidak dipandang malah makin menawan saja, SINTING!

Lalu keduanya sama-sama terlibat hening lagi, sepedanya tidak dikayuh, hanya diparkirkan begitu saja sementara pemiliknya duduk berdua di bangku pinggir jalan di bawah pohon asam sambil menebak isi kepala masing-masing.

"Aku selalu nunggu kamu!" / "Sebelum sakit, aku selalu datang!"

Ungkap keduanya bersamaan hingga menghasilkan kekehan yang tertahan.

"Tapi kamu enggak dateng!" / "Tapi kakak enggak dateng!"

Serius, mereka nyaris bersamaan lagi mengucapnya hingga Ailen buru-buru mencubit lengan Arjuna.

"Aduh, kok dicubit!?"

"Kata temenku kalau ngomongnya barengan terus, nanti nikahnya barengan."

"Ya enggak apa-apa barengan aja, emang enggak mau barengan di pelaminannya sama kakak?"

Lalu ada semu tanpa sengaja di pipi Ailen sebab kalimat itu.

"Kak... terlalu cepat enggak sih kalau aku sayang kamu? Kamu soalnya tipe ideal aku banget! Sumpah deh!"

Bergantian merah itu pindah ke pipi Nanang. Aduh, dia yang serba kurang ini malah dijadikan sebuah tipe ideal oleh gadis yang tanpa kurang di matanya? Rasanya ia ingin berteriak betapa ia bahagia.

"Aku kurangnya banyak, kamu tahu semuanya. Enggak apa-apa?"

"Aku juga kurangnya banyak. Saling melengkapi mau enggak? Kayak aku yang ngurangin makanan karena mau turunin berat badan dan kamu yang menerima kurang itu untuk lebihin berat badan?"

Senyuman lebar kian terulas baik di bibir Nanang maupun di bibir Ailen, lucunya mereka tidak membahas 'dulu kenapa kamu menghilang?' rasanya jawaban itu tidak perlukan lagi setelah pelukan pembukaan dan kini pengungkapan perasaan itu.

Yang mereka tahu jarak itu tercipta alami untuk saling rindu, untuk saling paham perasaan, untuk menghargai sebuah 'ada' dan agar pelukan selamat datangnya lebih erat.

"Mau Ai, dan kamu mau enggak membangun sebuah hubungan ideal sama aku?"

"Mau!"

Kisah ini memang diawali dengan Arjuna yang jatuh sendiri (maksudnya nyungsep) tapi kisah ini diakhiri dengan mereka jatuh berdua, bukan di sawah seperti prolog, di epilog ini mereka jatuh ke hati masing-masing.

Dan ideal hanyalah konsep yang diciptakan Plato, konsep kesempurnaan, standar yang dipaksakan sebab sempurna nyatanya relatif pada setiap manusia, lingkungan dan hubungan.

Ideal tidak bisa dipaksakan seperti menyusun lego city pada lego dots sebab mereka tidak akan pernah melengkapi.

Arjuna, ia yang awalnya malu dipanggil Nanang, merasa terbuang oleh orang tua, terjebak dalam obat-obatan terlarang, merasa insecure sebab fisik, otak dan kemampuan sosialnya pas-pasan bahkan ngepas banget ternyata sempurna di mata Ailen yang melihatnya sebagai sosok mengayomi, peduli, penyayang, lucu, pekerja keras dan tampan.

Ailen, ia yang awalnya punya masalah dengan keluarganya sebab kehilangan bertubi-tubi, disakiti ambisi, merasa tidak pernah cukup, selalu fokus pada kekurangannya ternyata dibuat Nanang bisa melihat kelebihannya, bisa mengembalikan hangat di tengah dingin antara ia dengan masnya, bisa membuat Ailen merasa cantik hanya dengan tatapnya dan bisa membuat Ailen menginginkan sebuah hubungan ideal.

"I love you my cycle mate."

"I love you too, my mate."

-THE END-

Note: Terima kasih sudah membaca, works ini hanya ide kecil yang tiba-tiba terlintas dari gue yang hobbynya sepedaan, niatnya buat kurus malah jadi bolang dan dapat inspirasi. Semoga kalian suka dan kalau ada pelajaran yang bisa diambil, ambil aja, gratis.

So let me know if u like it.

Last, Nanang in prolog VS Nanang in epilog

Dari dada jadi DADA!!

Continue Reading

You'll Also Like

6.5K 1.6K 20
Katanya, menetapkan cinta sejati pada orang yang ditemui saat SMA adalah hal ternaif di dunia ini. Mario dan Naura mungkin contoh kecil dari kenaifan...
1.6M 144K 73
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
533K 54.4K 29
[ T E L A H T E R B I T ] Jika bukan karena hubungan Diplomatik antara dua negara, Laksadeka tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya di kota ya...
3.2K 280 28
Biodata singkat dari Mi Casa. Siapa aja mereka? Ayo kepoin! © @inthe_micasa