Cycle mate

By winjo_h

7.4K 1.5K 147

ㅡ C Y C L E M A T E ; "Kisah mereka dimulai dari sepasang sepeda dan pencarian sebuah IDEAL" More

Prolog and cast
Rumah yang lama dingin perlahan hangat
Tertarik adalah bagian dari nyaman.
Tiap manusia punya titik didih
Ternyata sepi melaju sendiri
Epilog (Di akhir, kita jatuhnya berdua)

Hampa yang tiba-tiba

501 190 4
By winjo_h


Waktu diberitahu jika ayahnya sudah menghembuskan nafas terakhir, rasanya separuh waras Ailen lenyap, waktu itu pengumuman kelulusan untuk masuk universitas, di layar laptopnya ada tulisan 'LULUS' tapi tidak ada perayaan dan suka cita mengiringi itu semua.

"Padahal bapak yang dukung aku ngambil seni tari, padahal bapak yang bilang aku berbakat, bapak yang bilang Ibu bakal terima aku kalau aku berhasil!!! Tapi buat apa kalau enggak ada bapak!" Raungan serta tangisan mengiringi rentetan kalimat itu, lalu sisanya hampa, sehari, dua hari, seminggu hingga sebulan Ailen merasakan hampa itu.

Ia tidak menangis, tidak pula meraung lagi, ia hanya diam, lagi-lagi hanya diam, tidak mampu makan, tidak bisa tidur, barulah ia agak waras masnya datang memberinya tamparan.

Iya, tamparan. Pas di pipinya.

"Sadar! Bapak perjuangin mimpi kamu. Harusnya kamu senang bapak udah enggak ada. Kan kamu selalu bilang enggak pernah mau ikut bapak, setelah ini kamu bebas pergi Ibu, Ibu yang selalu mikirin dirinya sendiri kayak kamu ini. Kamu persis kayak Ibu sekarang, Ai!"

Ailen masih tidak bergeming, hingga Aidan mengusak rambutnya sendiri, memejamkan matanya rapat-rapat, ia putus asa.

"Makan Ai! Tidur! Sadar! Atau kamu mau mas tampar lagi?"

"MAS TUH MAUNYA APA?"

"MAS MAUNYA KAMU HIDUP KARENA MAS ENGGAK PUNYA SIAPA-SIAPA LAGI SELAIN KAMU AILEN!"

Setelah itu Ailen pecah, ia memeluk masnya kuat-kuat dan sama-sama menangis. Ia yang dari dulu selalu ingin ke Bali pulang ke Ibunya tiba-tiba kehilangan ingin itu. Benar kata Masnya, Aidan tidak punya siapa-siapa lagi selain Ailen, meski setelah kepergian sang Ayah hubungan mereka jadi dingin tapi tidak pernah sedikitpun terbersit ingin Ailen untuk meninggalkan masnya.

Hampa, hampa hanya akan datang di hatinya jika menerima kabar terburuk, sama seperti pagi itu saat tahu sepotong masa lalu dari seorang Arjuna.

"Fokus Ailen, fokus! Ah kamu ini, langkahnya salah terus!" Entah sudah berapa kali Ailen dibentak demikian selama latihan sebab lagi-lagi ia merasakan hampa itu di dadanya.

"Maaf kak."

Hampa ya? Jadi masa lalu Arjuna itu kabar buruk untuknya? Entalah yang pasti setelah ini Ailen tidak yakin dapat melihat Arjuna dengan cara pandang yang sama lagi.

"Ailen, istirahat dulu yuk? Elo sakit apa gimana? Hm?" Lula yang kemudian menyelamatkannya, mengajak Ailen menepi sejenak dan memberinya minum.

"Gue enggak bisa latihan deh kayaknya, La."

"Loh kenapa? Sakit?"

Ailen sontak menggeleng, mengusap dadanya dengan telapak tangan dan berucap dengan nada rendah,

"Kosong, La."

Arjunang : Ini elo enggak sepedaan? Langsung ke tempat latihan?
Arjunang : Ya udah semangat ya latihannya Ai yang cantik, manis, langsing. Hahaha.
read

Iya, Ai tidak bisa melihat Nanang dengan pandangan sama lagi.

***

Minggu sore setelah kemarin hari penuh hampa itu berlalu, Ailen teringat percakapannya dengan Arjuna.

"Kak kapan terakhir kali kakak diperhatiin Mama sama Papa?"

"Waktu gue sakit, enam bulan itu mereka rutin datang ketemu gue."

Jika ingin menghubungkan titik-titik yang kini bersarang tanpa sengaja di kepalanya, berarti waktu orang tua Arjuna rutin menjenguk anaknya adalah saat pemuda itu masuk rehabilitasi.

"Tapi mereka datang enggak cuma dengan khawatir tapi juga dengan kecewa, gue enggak mau lagi ngeliat mata mereka yang kayak gitu."

Ailen mengusak wajahnya kasar, ia melirik jam dinding di ruang tengah rumahnya, pukul lima tepat terpapang nyata, jam dimana seharusnya ia sudah ada di dekat pos kamling belakang minimarket untuk bersepeda.

Gadis itu mengigit bibirnya ragu, melirik sepedanya yang terparkir di depan dan jam dinding berdetak seolah benda mati itu andil dalam pacu jantung juga ragunya.

Tapi pada akhirnya Ailen melangkah mengambil helm dan memasang apple watchnya di pergelangan tangan.

"Mau kemana dek?"

"Sepedaan!"

"Sama 'dia' tah?"

Teriakan Aidan tidak dipedulikannya lagi, satu yang pasti saat Ailen sudah melajukan sepedanya... ia sangat ingin memeluk Nanang.

***

Hampa itu ternyata bentuknya berbeda-beda, tapi tetap saja ujungnya kekosongan.

Hampa itu juga tiba-tiba menyerang Arjuna saat kemarin Ailen tidak datang di regular rute sepeda mereka, Arjuna tahu hari itu jadwal latihan Ailen tapi biasanya meskipun ada latihan saat malam gadis itu selalu sempat untuk berolahraga dengannya terlebih dahulu.

Terasa ada yang hilang, padahal dari awal Arjuna memang bersiap untuk ditinggalkan, ia tidak pernah mengharapkan seseorang untuk tinggal, tapi kenapa tetap hampa? Padahal hanya sehari.

Sehari Ailen tidak bersepeda dengannya, sehari gadis itu tidak membalas seluruh pesannya, dan sehari ia tidak mendengar tawa dan suaranya.

Semalam Arjuna tidak dapat terpejam, ia sudah ketergantungan dengan telepon sebelum tidur mereka. Padahal jika mau ditarik pelajaran, harusnya Arjuna terlalu paham jika tidak ada ketergantungan yang baik, semuanya mendatangkan keburukan.

"Udah lewat 10 menit, ya udah deh gue jalan sendiri lagi." Putus Arjuna sebelum akhirnya senyum lebarnya merekah dan tangannya melambai akrab begitu melihat sepeda yang familiar melaju ke arahnya.

"Aiiiiiiii!!!" Arjuna berteriak antusias dan dibalas senyuman kecil dari Ailen yang menghentikan sepeda persis di dekatnya.

"Udah dari tadi kak?"

"Belum, baru berapa menit. Yuk langsung aja, keburu kesorean!"

Ajakan Arjuna berbuah cekalan di pergelangan tangannya.

"Kak, mau coba rute baru enggak?"

"Hem? Rute baru?"

Tawaran Ailen membuat alisnya bertaut bingung.

"Iya, jadi dulu pas awal sepedaan gue tuh nemu satu rute yang tembus ke pantai tapi enggak pernah lewat sana lagi soalnya ngelewatin lapangan takraw di perkampungan warga gitu terus gue dicat calling jadi takut sama males lewat sana padahal pantainnya bagus banget."

Arjuna terdiam sejenak lalu mengangguk semangat.

"Yuk lewat sana aja, tenang udah ada gue cycle mate lo, walaupun ya gue kurus begini tapi gue tetep cowok dan gue bakal lindungin elo Ai. Yuk, elo duluan kasi liat jalannya, gue kawal."

Laki-laki di belakangnya sebaik itu, sepeduli itu dan Ailen sudah tahu titik didih sebelum hangatnya, salahkah Ai jika ingin meminta sedikit hangat itu untuk dirinya juga?

Ia menyadari di titik ini, ia membutuhkan Nanang menghilangkan kosong itu, menghilangkan hampanya.

***

Benar kata Ai, pantai itu indah apalagi matahari sudah agak jingga.

Benar juga kata Ai jika lewat rute itu mereka akan melewati lapangan takraw di tengah pemukiman warga tapi untungnya tidak ada satupun dari mereka yang memberikan siulan atau panggilan pada Ai saat tahu ada satu pria ikut bersamanya.

Arjuna merasa berguna dan Ailen merasa dilindungi sepenuhnya.

"Wahhhhhhh!"

Ban sepeda mereka sudah tidak melaju di aspal lagi melainkan di pasir pantai, Ailen memberikan kode pada Arjuna yang berada di belakangnya untuk maju ke sampingnya.

Gadis itu lalu menyodorkan tinjunya untuk dibalas Arjuna, kebiasan mereka sebelum makan bersama.

"Ini kita mau makan pasir?"

"Hahaha enggak, ini tanda aja."

"Tanda apa?"

"Tanda kita berdua hebat."

Dan Arjuna tanpa ragu membalas tinju itu dan ikut tertawa bersama angin yang menerbangkan rambut Ailen yang tidak terjangkau helm.

Wah, terlalu indah gambaran ini untuk jadi kenyataan bagi Arjuna.

***

Sepeda sudah terpakir dan bokong keduanya telah duduk di atas pasir, memeluk lutut masing-masing setelah menegak satu botol air mineral dibagi dua karena sang penjual terdekat hanya punya itu yang tersisa.

Setelah puas menikmati senja yang menjelang, Arjuna hendak mengajak gadis itu pulang, takut keburu gelap namun sepertinya Ailen betah hingga Arjuna tidak berani beranjak, ia menunggu Ailen puas.

"Kak?"

"Hm? Udah mau pulang?"

Ailen menggeleng sebagai jawaban.

"Terus kenapa Ai?" Tanpa ragu tangan Arjuna terjulur membawa anak rambut Ailen ke belakang telinga lalu menarik garis senyum yang seketika berganti bingung saat Ailen meminta sesuatu darinya.

"Ai boleh minta peluk enggak?"

"Ah? Oh... boleh."

Mungkin Ailen terlalu lelah dengan hidup, begitu pikirnya hingga Arjuna sigap melebarkan lengan.

"Gue bau keringat enggak apa-apa?"

Ailen tidak menjawab melainkan segera merapatkan dirinya pada Arjuna, memeluk tubuh yang semakin lama semakin ideal saja menurutnya itu. Siapa menduga dada itu bidang dan rengkuhan itu adalah definisi nyaman.

"Masku kenal kak Nanang tahu."

"Oh ya?"

Mereka masih tidak lepas satu sama lain, mereka berbincang di dalam peluk, entah itu sarana bersembunyi yang baik atau bagaimana? Yang pasti Ailen tidak mampu menatap Arjuna sekarang.

"Aku pikir..."

Senyuman Arjuna merekah mendengar 'aku' dari bibir Ai.

"Aku pikir mungkin Masku pernah ketemu kak Nanang di kampus karena kak Nanang sama Masku almamaternya sama. Tapi kayaknya enggak mungkin soalnya kalau sama Masku berarti kak Nanang beda empat atau lima tahun, jauh."

"Hahaha mungkin ketemu di minimarket depan kompleks atau pas tukar gas di warung?"

Arjuna merasakan pergerakan Ailen di dadanya sebab terkekeh.

"Enggak bukan. Masku ketemu kak Nanang di tempat kerjanya dan Masku kenal sama kak Nanang, tapi waktu kak Nanang anter aku, dia enggak nggeh karena kak Nanang berubah katanya... dalam artian lebih baik."

Perasaan aneh tiba-tiba menjalari dada Arjuna, apalagi ketika Ailen menepuk-nepuk punggungnya.

"Tetap hangat begini ya, kak. Kalau mau mendidih jangan menyakiti diri. Janji?"

Arjuna tidak tahu apa maksudnya tapi pemuda itu sontak mengangguk.

"Jadi mas kamu kenal kakak dimana? Eh siapa sih nama masmu? Kerjanya dimana?"

"Aidan, kerjanya PNS, penyuluh... di BNN."

Arjuna sontak menjauh, ia merasa ditelanjangi tiba-tiba, matanya bergerak gelisah dan yang ia tahu akhirnya seluruh kelemahannya diketahui Ailen.

Arjuna ingin lari.

"Kak?"

"Pulang yuk, keburu malam."

"Kamu enggak mau cerita soal itu sama aku kak?"

"Pulang, Ailen!"

Nada suara Arjuna meningkat.

"Ayo pulang atau aku tinggal?"

Ceroboh, Ailen menganggap dirinya begitu. Harusnya ia menunggu Arjuna terbuka, bukan malah menodongnya dengan fakta tiba-tiba, tapi sungguh Ailen hanya ingin jadi Arjuna pada Panji.

Jadi hangat dimasa dinginnya tanpa pernah Ailen pertimbangkan masa itu sudah lewat, masa itu ingin ditutup dan disimpan rapat, masa itu... melukai Arjuna dalam segala hal.

Ceroboh!

***

Empat kilo meter perjalanan pulang tidak seriuh empat kilo meter perjalanan pergi mereka, sepanjang jalan keduanya terdiam, mereka dihampiri gelap secara nyata juga secara tak kasat mata.

Nuansanya dingin, tidak ada acara mampir minimarket untuk sebotol air atau ajakan makan di warteg.

"Duluan."

"Kak, tapi—"

Sepeda Arjuna melaju cepat, tidak membiarkan pamitnya berbalas atau mendengarkan sedikit kata dari Ailen yang kini mematung menatap punggung pemuda itu.

"Ah, kak Nanang pasti tersinggung. Aduh bego banget sih!!!!" Ailen frustasi sendiri, langkahnya makin gontai menuju pulang sembari menyusun permintaan maafnya lewat pesan singkat nanti.

Tapi sayang maaf itu tidak pernah sampai sebab kolom chatnya dengan Nanang hanya ada centang satu, centang satu, dan foto profil yang hilang.

***

Arjuna selalu terbiasa menyimpan semuanya sendiri, ia tidak pernah tahu berbagi, dari dulu pemuda itu hanya punya Dimas sebagai yang terdekat. Lalu semakin dewasa, Dimas yang memang ramah dan suka berteman punya kawan lain selain dirinya.

Nanang jujur tidak suka saat antara persahabatannya dengan Dimas, pemuda itu menarik Arjun dan Juna di awal perkuliahan untuk ikut ke dalamnya. Nanang sudah nyaman berdua dan ia tidak terlalu suka orang baru. Ia selalu hanya punya Dimas dan itu cukup.

Cukup sampai Dimas menyematkan nama terjelek 'menurutnya', namanya Arjuna pun dengan kedua teman lainnya, tapi mengapa ia dipanggil Nanang?

Duluuuu sekali, ia tidak suka panggilan itu, tapi sekarang ia sudah paham jika dua Arjuna lainnya dulu adalah out sider antara ia dengan Dimas dan rasanya tidak mungkin Dimas menyematkan nama panggilan itu pada dua orang asing yang baru berteman dengannya.

Nah, karena menganggap ia lah yang paling dekat, Dimas lalu sematkan panggilan Nanang meski akhirnya berbuah perang dingin.

"Lo jangan kasar-kasar gitulah sama Arjun sama Juna Nang! Mereka cuma mau temenan sama lo."

"Gue enggak."

"Dan tetep jadi penyendiri gini dan teman lo cuma gue? Gitu?"

"Dim kalau elo emang udah bosen temenan sama gue ya bilang! Lagian gue bisa temenan sama orang lain selain elo, elo enggak segitu pentingnya Dim."

Bohong, Evan Dimas (meski sejahil itu) adalah salah satu manusia yang ingin Nanang simpan baik-baik di hidupnya.

Bohong, Nanang tidak bisa berteman dengan orang lain sebab begitu ia coba, ia malah salah langkah, ia terjebak dan salah pergaulan hanya karena mulai terbuka dan bercerita tentang hal kecil dalam hidupnya.

"Gue susah tidur, kayak... pikiran gue enggak tenang aja tiap gue tutup mata."

"Na, lo coba deh nih obat, gue jamin lo bakal lebih rileks dan tenang malam ini. Kalau kurang, nanti besok atau lusa gue tambahi."

Ia kira mereka akan sebaik Dimas padanya, ternyata salah, jalan yang dipilih Arjuna salah, hingga akhirnya ia terperosok dalam candu, bertahun-tahun, sejak mahasiswa baru hingga awal semester lima, dan yang menyadari itu semua bukan Arjun, Juna bahkan Dimas... melainkan Mamanya sendiri.

Mamanya meski jarang ada, ia tahu betul anak lelakinya berbeda, semakin berubah, bola matanya bak masuk ke dalam, pupilnya membesar, kulitnya lebih pucat, dan kurus kering.

Arjuna memang dimanjakan dengan materi tapi anehnya selalu kurang padahal sudah diberi lebih setiap bulannya, tapi Arjuna tidak punya kendaraan mahal, gadget mahal dan sejenisnya hingga sang Mama bingung lari kemana uang-uang itu?

Sampai Mamanya pernah mendapati Arjuna hampir overdosis dan saat itulah ia berani mengadu.

Ya, orang yang melaporkan Arjuna adalah orang tuanya sendiri dan tentulah itu bentuk kasih.

Tapi sekali lagi, Arjuna tipe penyimpan perasaan, ia tidak meledak, ia tidak menangis tidak pula bersimpuh pada Mamanya saat beliau memeluknya erat-erat dan meminta maaf serta menyesali ketidak hadirannya di masa lalu, lalu ketika Mamanya berjanji akan selalu ada, Arjuna malah menggeleng...

"Aku udah terbiasa tanpa Mama sama Papa, begini aja terus, kalau kalian tiba-tiba ada rasanya akan beda."

Padahal ia senang orang tuanya rutin datang, ia senang Papanya bertanya kabar dan ia senang memakan masakan Mamanya setiap mereka berkunjung tapi Arjuna selalu hanya diam.

Bukan sebab bisnis dan toko yang lebih penting hingga Mama dan Papanya jarang di rumah tapi semuanya sebab Arjuna yang sudah bilang terbiasa dan orang tuanya hanya ingin sulung mereka merasa nyaman.

Padahal jika mau duduk bersama dan berbicara dari hati ke hati semuanya akan mendapat jalan keluar.

***

"NANANG, SAHABATMU YANG TAMPAN DATANG!" Teriakan itu membuyarkan pikirannya yang melalang, Evan Dimas dan sekresek ice cream rasa jagung datang dengan cengiran lebarnya begitu Arjuna mengirimkan pesan kalau ia butuh didengarkan.

Ah entah apa jadinya hidup Nanang tanpa Dimas? Entah bagaimana jalan cerita hidupnya jika Dimas tidak merangkul untuk membantunya keluar dari jurang candu ekstasi dulu?

"Paijo mana?"

"Adek gue namanya Panji! Udah bapak gue lo panggil Dadang, gue Nanang, adek gue Paijo. Ck, ck, ck!"

Dimas hanya terkikik dan membuang tubuhnya ke sofa di dekat Nanang, memakan sendiri ice cream bawaannya tanpa menawari orang di sebelahnya... si paling butuh didengarkan.

"Oke cerita, gue udah siap, udah stabil."

Tapi Nanang hanya menghela nafas dan hening beberapa saat.

"Waktu lo tahu gue pecandu dulu... lo kasihan enggak sama gue? Apa ilfeel? Atau jijik?"

"Ya enggaklah, gue kasi lo kata-kata terbaik, gue peduli, bukan kasihan. Gue meluk lo Nang, gimana lo ngira gue jijik?" Dimas yang tadinya bertingkah selengean kini serius menatap sahabatnya yang kini memperlihatkan kalut.

"Kenapa lo tiba-tiba nanya gini? Hm? Ketringger apa lo Nang?"

"Dia juga meluk gue, dia ngasih kata-kata terbaik, tapi masalahnya di gue Dim... gue malu karena gue mungkin enggak sebaik yang dia pikir, gue malu karena berani naro perasaan lebih dan gue malu sama semua lemah yang ada pada gue."

Nanang yang tadi menunduk kini perlahan mendongkak, menatap mata Dimas lurus-lurus dan bertanya...

"Kehidupan gue memalukan? Iyakan?"

-To be continued-

Continue Reading

You'll Also Like

69.4K 3.3K 8
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
562 115 6
Aruni merasakan bahwa tempat ternyaman di dunia adalah di balik selimut alias di dalam kamarnya. Ia merasakan dunia sangat berbahaya di luar sana seh...
1.6M 147K 74
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
937K 77K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...