Cycle mate

By winjo_h

7.5K 1.5K 147

ㅡ C Y C L E M A T E ; "Kisah mereka dimulai dari sepasang sepeda dan pencarian sebuah IDEAL" More

Prolog and cast
Rumah yang lama dingin perlahan hangat
Tiap manusia punya titik didih
Hampa yang tiba-tiba
Ternyata sepi melaju sendiri
Epilog (Di akhir, kita jatuhnya berdua)

Tertarik adalah bagian dari nyaman.

665 192 16
By winjo_h


Sempat cuti perkuliahan satu semester akibat masalah kesehatan membuat pemuda itu hanya berinteraksi dengan orang yang itu-itu saja dan ada satu, dua masalah yang membuat Nanang malas berteman diluar Arjun, Juna serta Dimas hingga ia yang introvert makin introvert saja.

Namun akhir-akhir ini kemampuan berinteraksi Nanang perlahan membaik, entah itu sebab ia selalu meladeni betapa bawelnya Dimas membicarakan club bola ini dan itu, menemani Juna ngegym, atau membantu kegiatan amal Arjun tiap akhir minggu, yang pasti ia lebih punya banyak bahan obrolan dan juga kegiatan.

Nah mengikuti seminar yang diadakan auditorium kampus lain yang masih satu kota dengannya adalah  bentuk kemampuan interaksinya yang sudah tidak sepayah dulu.

Berteman dengan Ailen juga salah satu contoh Nanang berhasil keluar dari kekangan kepalanya sendiri 'aku tidak akan pernah bisa punya teman lagi' toh meski prolognya harus dimulai dengan ia yang nyusruk masuk ke sawah, ia dan Ailen berhasil jadi cycle mate.

"Pak Nanang pak Nanang yeah, Pak Nanang pak Nanang!" Dimas menyapanya riang dengan intro lagu Radja, band terkenal di awal 2000-an sembari memetik gitar 'halusinasi' di tangannya.

"Pak Dadang ga sih anjir?" Arjun menimpalinya.

Pemuda itu sebenarnya tidak ingin ikut seminar ini, namun sebab Juna berhalangan jadilah ia ikut saja, toh lumayan menambah ilmu dan dapat nasi kotak.

"Pak dadang pak dadang yeah! gitu. Lagu benci bilang cinta, dulu waktu SD gue nonton di inbox sama Dahsyat."

"Pak Dadang mah bapaknya Nanang!"

Sumpah nama Papanya Nanang itu Christ Danu Dharmawan, memang Dimas saja yang doyan merusak nama aesthetic seseorang.

"Inikan gue nyapa Nanangnya bukan bapaknya. Iya enggak pak Nanang pak Nanang yeah?!" Dimas merangkulnya akrab dan Nanang membalas merangkul Arjun di sebelahnya, berjalan beriringan seperti 3 bears.

"Berisik lu, kampus orang ini!" Tegurannya hanya dibalas hihihi oleh Dimas.

Lalu Nanang kemudian takjub sebab ada beberapa mahasiswa kampus ini  kenal dengan sahabatnya itu, terbukti mereka menyapa Evan Dimas dengan akrab, katanya sih teman-teman futsal dan nongkrongnya di warkop bu Imah.

Nanang can't relate.

Lihatlah mungkin Evan Dimas tidak memiliki rupa bak model majalah seperti Juna, tidak punya otak super pintar seperti Arjun, tapi ia punya kemampuan komunikasi yang baik, humoris, Dimas juga manis tidak hanya senyumnya tapi juga semua kalimat yang keluar dari mulutnya, Dimas pintar memuji, Dimas bisa membaca situasi, wajar bila temannya banyak sebab Dimas sendiri suka wara wiri.

"Kayaknya elo mau dilempar dimanapun bakal ada teman deh, Dim. Mau ke antartika gue yakin elo bakal bikin circle sama pingguin, ke laut selatan gue yakin elo bakal jadi bestie sama nyai Blorong." Celetuk Arjun.

"Tapi kalau lo nanti ada gebetan jangan sefriendly itu anjir Dim, entar dia enggak bisa bedain elo mau jadiin dia temen atau jadiin dia pacar?!"

"Lah pasti bisalah ngebedainnya, kan kalau mau gue jadiin gebetan langsung gue cipok. Kagak ada PDKT-PDKT, kita langsung ciuman aja biar enggak ribet." Jawaban itu membuat Arjun dan Nanang kompak melayangkan tamparan pelan ke kepala belakang Dimas hingga ia sedikit meringis namun tetap menyengir bangga akan jawabannya.

"Kak Nanang?" Sapaan itu terdengar ragu, baru ketika Nanang berbalik suara ragu itu menjadi lebih tegas.

"Tuhkan kak Nanang! Kak tadi gue lihat dari jauh loh kayak kenal? Gue sampe lari-lari ke sini ninggalin temen gue Lula, ada di sana dia tuh yang dadah-dadah," Cerocosan gadis yang menghampiri mereka membuat dua teman Nanang terdiam sebentar mencerna situasi, sementara Nanang sendiri mengikuti gerakan sang gadis untuk melambai pada sahabatnya.

Tentu Nanang tahu Lula, ia sudah sering mendengar cerita tentangnya semingguan ini dari perempuan yang tingginya hanya sedadanya jika berdiri berhadapan begini.

Iyap, Ailenlah yang menghampiri dan kini menyapanya hingga membuat iri Nanang terhadap betapa banyaknya teman Dimas kini menguap berganti bangga sebab ia juga punya teman di kampus ini.

"Ih kaget, kak Nanang kok ada di sini?"

"Hahaha ada seminar Ai, ini udah mau ke audit. Gue tadi sempet mikir bakal ketemu lo enggak ya? Soalnya elo cerita elo kuliah di sini." Jawab Nanang sembari menggaruk pipinya dan memaksa bibirnya menyengir hingga mengundang tawa tertahan dari dua sahabatnya.

"Harusnya kak Nanang kemarin bilang mau ke sini, biar gue siapin karpet merah. Hehehe."

"Jiah, dikata kita ikut met gala kali ya, Jun?" Itu Dimas yang berbisik pada Arjun tapi telinga Nanang masih bisa menangkapnya.

Sejak tadi Nanang hanya memperhatikan Ailen mengoceh tentang banyak hal, tentang kantin dengan makanan super enak, fakultasnya yang dekat dari sini dan tentang ia harus menunggu satu mata kuliah lagi selama tiga jam karena terlalu jauh jika harus pulang.

Bibirnya bergerak lucu, tangannya seolah mengikuti nada suaranya, Ailen seperti menari tapi tetap diam di tempat. Nanang sulit menjabarkannya, yang pasti ia ingin mencubit bibir itu dan berkata 'uh bawel banget cih' dengan cara yang menggemaskan.

Sikutan dari Dimaslah menyadarkan Nanang dari imajinasi sekilasnya.

"Ah, Ai gue sampe lupa ini kenalin dulu Dimas sama Arjun, temen gue."

"Halo kak, gue Ailen."

"Arjun, salam kenal ya Ailen."

Lelaki yang lebih pendek dan berkulit putih mengajaknya berjabatan tangan singkat setelah menyebutkan namanya.

"Evan Dimas, bukan pemain timnas tapi nama gue emang gitu bahkan sebelum Evan dimas jadi atlet terkenal. Lo boleh panggil Evan atau Dimas tapi gue lebih suka dipanggil makan nasi padang sih hahaha."

Garing, tapi tetap saja Ailen tertawa ringan membalas Dimas.

"Ailen ini... siapa btw bro?" Dimas melirik Nanang dengan senyum jahil tapi dengan tatapan mengintrogasinya.

"Apakah pak Nanang pak Nanang yeah! ini mencari gebetan sampe kampus sebelah?" Alisnya naik turun dan jika tidak ada Ailen di sini sudah sejak tadi Nanang ingin menjitak sahabatnya itu.

"Ailen ini temen sepedaan gue kalau sore, satu komplek juga cuma beda blok jadi akrab."

"Iya kak, kita cycle mate kata kak Nanang." Ailen menambahkan dengan riangnya.

Ia tidak tahu mengapa perasaannya begitu bahagia begitu melihat Nanang dari jauh tadi, bahkan kemarin sore mereka baru bertemu hanya saja Ailen merasakan sesuatu yang berbeda saat ada Nanang...

Hatinya penuh dan bibirnya selalu ingin menarik sepotong senyum.

Entahlah akhir-akhir ini ia merasa Nanang banyak membantunya, dimulai dari makanan warteg untuk abangnya, mendengarkan ceritanya tanpa interupsi, membagi makanannya, berbagi playlist bersepeda bersamanya, jangan lupakan candaan Nanang yang selalu berhasil membuatnya tertawa.

Nanang juga berhasil membuatnya lebih percaya diri dengan selalu mengucapkan lemaknya sudah ada di tempat yang pas, ya Ailen anggap itu pujian baik.

"Eh sorry gue ngehalangin kalian ya?"

"Enggak kok, seminarnya belum mulai."

"Seminar nasional teknik sipil ya kak? Gue liat spanduknya gede banget tadi."

"Haha iya, diajakin Dimas. Eh Arjun juga ikut jadi ramean ke sini."

"Kak Nanang, kotakan seminar teknik tuh enak tahu! Di base kampus gue selalu muji kotakan kue tiap acara teknik di audit, cobain deh entar."

Percakapan itu menjadikan Dimas dan Arjun bak angin lalu, seolah mereka tidak ada di sana, mereka hanya figuran melihat bukan hanya kalimat Nanang dan Ailen yang bertukar akrab juga binar mata mereka berbicara seolah mereka senang bertemu satu sama lain.

"Kak, gue duluan kalau gitu ini udah dichat Lula dia sendirian katanya di depan fakultas," Ailen berpamitan. "Kak Dim, kak Arjun duluan ya. Kak Nanang sampai ketemu nanti sore~"

"Iya, sampe ketemu Ai." Nanang balas melambaian tangan gadis itu dengan senyuman paling lebar yang ia punya hingga Dimas berkomentar dengan nada yang sengaja dibuat keras...

"CYCLE MATE BISA JADI SOULMATE INI ROMAN-ROMANNYA!"

Meski dibalas cubitan keras di lengannya oleh Nanang, tapi ada perasaan tergelitik di dada Nanang begitu Dimas melayangkan ledekan semacam itu.

Apakah Nanang memang tertarik pada cycle matenya itu?

Lalu Ailen yang sudah berjalan menjauh juga mendengar ledekan Dimas di balik punggungnya, pipinya tidak sadar merona tapi buru-buru ia tepis.

"Mungkin karena diledekin kak Dimas jadinya deg-degan gini."

Ah apa iya? Kalau memang benar harusnya setelah itu Ailen biasa saja namun gadis itu malah sibuk dengan pikirannya, nanti sore pas sepedaan mau pakai baju apa ya? Pakai liptint enggak ya biar enggak pucat? Entar ajakin kak Nanang makan dulu kayak biasanya atau langsung pulang ya?

Lalu pikirannya makin kacau, jantungnya makin ribut dan pipinya kian merah saat Nanang tiba-tiba menghampirinya di depan fakultas ditengah seminar yang masih berlangsung di auditorium.

"Gue pikir elo udah masuk kelas, gue sengaja nyariin depan fakultas seni soalnya elo bilang elo sama Lula nunggu kelas di sini. Lulanya mana?"

"Ke toilet kak. Kak Nanang ngapain nyamperin? Kan masih seminar."

"Nih!" Nanang menyulurkan dua kotak putih di hadapan Ailen yang berhasil membuat gadis itu mengejap bingung.

"Kata lo kotakannya enak, nih buat lo. Gue enggak begitu suka kue sus buah, risol mayo sama donat kentang. Lagian nanti dikasi nasi kotak makanan berat jadi kuenya buat lo aja, ada dua nih soalnya Arjun juga enggak makan, bagi dua sama Lula. Gue balik audit dulu, bye Ai."

Puncak kepalanya ditepuk sekilas, meninggalkan Ailen dan detaknya yang bertalu-talu menatap punggung Nanang yang sudah berlalu.

***

Sudah minggu ketiga bagi Ailen dan baru minggu kedua bagi Nanang untuk berolahraga, memang baru awal tapi tubuh Ailen sudah menujukkan tanda-tanda diet yang berhasil, buktinya baju lama sudah muat kembali di tubuhnya, celanannya yang terasa kian longgar, juga tubuhnya yang serasa begitu ringan saat menari.

Bagaimana tidak, usaha Ai benar-benar kuat demi menjadi penari inti. Kardio dengan bersepeda, defisit kalori lalu pilates dengan Lula, kadang ia juga jogging jika sempat saat pagi.

Nanang juga ada progres meski tidak banyak, bobotnya naik 1,5 kilo, lengannya sudah terlihat lebih besar dari sebelumnya sebab rajin angkat beban di gym.

Biasanya setelah bersepeda saat sore, ia langsung ke gym bersama juga untuk latihan setidaknya satu jam agar kalori, protein, lemak dan karbo yang ia pupuk tidak jadi penyakit melainkan jadi otot.

Keduanya pikir mengubah pola hidup ini akan berat, ternyata memang... meski tidak seberat itu sebab ada saja satu alasan yang membuatnya ringan, sesimple ia punya teman untuk itu semua.

Bersepeda bersama selalu saja menjadi kegiatan favorit baik Ai maupun Nanang di sore hari, ditutup dengan melepaskan dahaga di pos kamling dan makan di warteg sebelum pulang sesekali. Keduanya kian akrab, keduanya tidak mungkiri jika mereka juga saling nyaman.

Meski baik Nanang maupun Ai belum menyadari itu ketertarikan secara romantis, mereka hanya menganggap menemukan teman yang cocok secara kebetulan.

"Semalam enggak tidur lagi nih kayaknya?" Sindir Ai begitu melihat lingkaran hitam di bawah mata Nanang yang kini menyengir bodoh padanya.

"Bablas mabar sama Dimas sampe jam satu, eh habis itu udah enggak bisa tidur. Mau telepon tapi takut ganggu lo." Cicitnya.

"Padahal telepon aja, gue nugas sampe jam 2 kak. Soalnya kalau ada temen cerita guenya enggak ngantuk, terus kak Nanang malah ngantuk kalau diajakin cerita, yah saling membantulah. Hehehe."

Tidak tahu dimulai sejak kapan telepon tengah malam itu menjadi rutinitas, awalnya hanya Ai yang ingin ditemani nugas dan berujung kantuk yang sangat berat melanda Nanang sebab katanya suara keyboard Ai featuring kebawelannya membuat telinganya nyaman.

"Masa tadi mas gue protes lagi kak, kopi susu yang gue bikinin enggak enak, kemanisan. Masih syukur tuh kopi gue kasi gula bukan deterjen bubuk!"

"Huss, masa tega sama sodara sendiri?!" Teguran Nanang bukannya menakuti Ai malah membuat gadis itu terkekeh.

"Habisnya ih! Diprotes mulu kopi bikinan gue."

"Mau gue ajarin enggak bikin kopinya? Gini-gini gue pernah ikut pelatihan barista, ada sertifikatnya. Biar mas lo, lo bikinin kopi ala cafe by Arjuna Nanang." Nanang menepuk dadanya bangga memamerkan salah satu skillnya yang tidak banyak orang ketahui itu.

"Beneran kak Nanang ada sertifkat barista?"

"Beneran! Kopi bikinan gue tuh enggak ada yang gagal, tanya aja Dimas yang jadi pelanggan pribadi gue. Gue sempat part time barista juga tahu waktu cuti kuliah."

"Wah, ajarin dong kak. Tapi gue enggak ada alatnya, gimana?"

"Yeeee kopi tuh enggak harus pakai alat canggih, sederhana aja. Gue ada kok."

Sepeda mereka sudah tidak ditunggangi lagi tapi dituntun namun tetap saling beriringan, biasanya Ai akan belok kanan begitu masuk gerbang perumahan dan Nanang akan berjalan terus ke dalam sebab rumahnya berada di blok paling ujung, tapi kini sebelum masuk perumahan Nanang menghentikan langkahnya.

"Kalau mau belajar ikut aja ke rumah gue sekarang, mumpung cuma ada adek gue di rumah. Gimana?"

Mati-matian Nanang mengumpulkan keberanian, jujur ia masih ingin waktu yang lebih lama dengan Ailen namun bingung bagaimana mengatakannya jadi ketika gadis itu bilang hendak belajar membuat kopi, Nanang merasa inilah kesempatannya.

"Eng...enggak ganggu kak? Sekarang banget? Gue enggak usah pulang mandi dulu?"

"Ye enggak usah, gue juga bau habis sepedaan. Baunya biar bareng. Haha."

Ailen menatap Nanang dan tangannya yang meremat erat stang sepeda bergantian, pemuda itu menanti jawabannya dengan resah sedangkan Ailen sebenarnya sudah akan menjawab IYA begitu ditawari Nanang hanya saja ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu ingin.

"Gi..gimana Ai, mau enggak?"

Ailen mengangguk pelan.

"Mau. Hehe penasaran juga rumahnya kak Nanang gimana... pasti hangat."

Sehangat kak Nanang di matanya.

Tapi Ai lupa sebelum air itu menjadi hangat, mereka dingin terlebih dahulu, lalu panas dalam waktu lama, baru hangat. Ailen tidak pernah tahu sisi dingin dan panas Nanang sebab pemuda itu sendiri membenci sisi itu.

-To be continued-

Continue Reading

You'll Also Like

1M 83.6K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
27.7K 4.6K 22
❝ocean separates lands, not souls.❞ [SEQUEL] read OCEAN OF PAIN first. © fallforten, 2020
48.3K 8.8K 18
"Damn, they just said her name and i'm shaking af." Jaenandra masih berusaha keras untuk mengobati luka hatinya. Semenjak ia berpisah dari Diana, ia...
5.8K 601 18
Masnya itu kaya dispenser. Kadang anget, kadang panas banget, kadang sejuk, kadang dingin banget. Tapi kita tetep butuh kalo aus. Aus kasih sayang ma...