Cycle mate

By winjo_h

7.4K 1.5K 147

ㅡ C Y C L E M A T E ; "Kisah mereka dimulai dari sepasang sepeda dan pencarian sebuah IDEAL" More

Rumah yang lama dingin perlahan hangat
Tertarik adalah bagian dari nyaman.
Tiap manusia punya titik didih
Hampa yang tiba-tiba
Ternyata sepi melaju sendiri
Epilog (Di akhir, kita jatuhnya berdua)

Prolog and cast

3.3K 379 37
By winjo_h

Cast

Arjuna Danu Dharmawan, Arjuna Adiwangsa Reksa, Evan Dimas & Arjuna Wibisono Adikara.

Aidan

Panji Danu Dharmawan

And an female original character (OC)

***

Prolog

'Ideal' kata itu terus menghantui Ailen di tahun keduanya di bangku kuliah, dimanapun ia selalu diharuskan menggengam dan mengisap habis ideal itu agar tertanam di kepalanya.

Di rumah ia selalu dibilangi masnya, "idealnya itu perempuan bangun pagi, bebersih halaman, bantu mbak masak, baru berangkat ke kampus. Kamu ini dek kerjanya cuma keluyuran di luar, pulang hampir tengah malam, kalau libur makan, tidur, mendem di kamar kayak petapa. Enggak gitu loh idealnya perempuan."

Rasanya Ailen ingin berteriak, "Lo laki, jangan sok tahu!" Tapi mana berani ia pada bank berjalannya itu?

Ailen dituntut jadi ideal, bukan hanya di rumah bahkan di kampus sekalipun.

"Hem, badannya kurang ideal deh buat jadi penari utama. Berat kamu berapa Ai?"

"55 kilo kak."

"Tinggi?"

"160cm."

"Kegendutan, enggak ideal buat penari, sebulan ini kurangin jadi 45 atau paling 48 deh yah? Tuh lihat lengan kamu, nih, nih, nih lemmmaaak nih." Sang senior memijat-mijat kelenjar lemak di area lengannya hingga Ailen pada akhirnya mengganguk dan menyanggupi akan turun setidaknya sampai 48 kilo untuk pentas bulan depan.

Ideal, sesuatu yang harus seseorang penuhi demi menjadi standar. Padahal Ailen merasa beratnya wajar untuk tinggi badannya, hal itu juga tidak mempengaruhi gerakan menarinya, meskipun memang lekukan badan yang indah dimulai dengan tubuh ideal.

Ah, ideal mulu!

Juga standar ideal di rumah yang ditekankan masnya, aduh bagaimana Ai harus menjelaskan kalau ia harus begadang sebab tugas dan pulang tengah malam karena harus latihan.

Apa masnya lupa adiknya ini jurusan seni tari yang tidak seperti mahasiswa lain yang hanya bergelut dengan paper, makalah, dan tetek bengeknya? Ailen ini juga harus praktek, harus latihan, biar enggak malu-maluin kalau pentas.

Pagi kuliah, sore sampai malam latihan, bagus kalau latihannya cuma sejam, dua jam, kalau sampai larut? Masnya tidak akan paham betapa lelahnya jika harus mengerjakan pekerjaan babu lagi di rumah.

"Hhhhhh gue mulai diet dari mana ya? Stress banget gue, bisa enggak sih turun segitu banyaknya dalam sebulan? Apa gue enggak usah makan apa-apa aja selain salad sama air putih La? Atau makan apel doang kayak IU?"

Gulungan paper itu seketika menghantam kepala Ailen dengan rentetan ide bodohnya, sang pelaku adalah Lula salah seorang teman dekatnya yang sudah memicing ingin melemparkan umpatan pada Ailen.

"Itu sih elo cari mati bangsat! Ya jangan instan begitu, bukannya turun berat badan yang ada tipes terus mati. Mau?"

Ailen dengan polosnya menggeleng.

"Olahraga aja Ai, sama defisit kalori, lo liat deh di tiktok-tiktok gitu banyak yang berhasil. Tetep makan tapi kalorinya dikurangin sama olahraga, turun banyak anjir dan enggak nyiksa."

"Ahhhh masalahnya gue males banget olahraga, ada enggak ya olahraga menyenangkan dan enggak bikin terlalu capek?"

"Mana ada!" Sekali lagi paper Lula menghantam kepalanya, ia sudah kepalang ingin mencubit pipi Ailen keras-keras selain gemas, ia juga kesal. Mana ada olahraga enggak bikin capek? Itu sama aja mau diving tapi enggak mau basah. Ada-ada aja!

"Elo kardio dulu deh, jogging apa naik sepeda gitu ntar tambah lagi porsi latihannya."

Sepedaan ya? Ailen pikir itu akan cukup menyenangkan, ia memang suka kegiatan outdoor tapi selama kuliah ia jarang untuk sekedar tracking menikmati alam. Mungkin sepedaan bisa mengobati rindunya jalan-jalan di alam, sekalian olahrga dan sekalian sarana me time. Perfect.

***

Lalu hanya perempuan yang dituntut jadi Ideal di dunia ini?

Oh tentu tidak, mari bertemu Arjuna yang dilanda minder sebab nilainya tidak ideal hingga tidak bisa mencoret skripsi di KRSnya untuk semester ini karena SKS yang tidak mencukupi.

Lihat dua sahabat baiknya, si pintar yang sat set sat set dan minggu depan sudah ujian proposal. Dan si ganteng yang ya Tuhannnn boleh enggak sih yang satu ini tidak usah dekat-dekat dengannya? Karena Arjuna minder dengan bahu lebar, tegap, rahang tegas, otot dimana-mana dan jangan lupa rupanya yang bak model sampul majalah vogue, sungguh ideal!

Arjuna ini kuyu, tikus, tinggi kurus, bahunya ya gitu... menurutnya kurang lebar, kekar dan jantan, mana otaknya pas-pasan. Ya setidaknya jika tidak mampak seperti si ganteng, dia harus sepintar sabahat yang satunya.

Bukannya Arjuna malas menyebutkan nama mereka, tapi ini point yang paling membuatnya minder sebab nama mereka semuanya sama, fakultas sama, jurusan sama, dan agar orang-orang tidak dilanda bingung 'Arjuna yang mana?' akhirnya Evan Dimas salah satu teman satu circle mereka yang membuatkan nama panggilan.

Arjuna yang pintar, berwajah imut, lucu, meski omongannya seperti bakso mercon (gurih di luar, pedas di dalam) dipanggil Arjun.

Arjuna yang ganteng bak Arjuna dari cerita Mahabarata kurang bawa panah aja itu dipanggil Juna.

Arjun dan Juna.

Lalu ia dipanggil apa? Nama itu sudah dibagi dua.

"Nang"

"Oi, Jun!"

"Lo jadikan ngambil sepeda entar ke kosan gue?"

Nah yang merangkulnya ini si Juna, dia memang ada sedikit bisnis. Bukan jual beli saham sih cuma sepeda bekas Juna dijual murah dan dialah yang mengadopsinya. Lumayan hemat jutaan.

Ia merasa harus olahraga, tidak cuma untuk kesehatan tapi juga demi tubuh ideal. Lohkan dia kekurusan? Wah ternyata biar nambah berat badan juga kudu olahraga dan makan lebih dari kalori harian. Tentu Juna yang memberitahunya, ya Juna itu bukan cuma merangkap sahabat, tapi juga pelatih fisik bagi dia, Arjun dan Dimas.

"Jadi! Gue ngikut lo pulang aja, gue sengaja enggak bawa motor, ntar gue naik sepeda pulangnya. Kata si Dimas bisa lewat belakang, ada jalur tikus, entar tembusnya ke perumahan dekat rumah gue."

"Rumah lo hampir 8 kilo nyet dari tempat gue! Sanggup lo ngayuh? Enggak terbang lo kebawa angin?"

"Berak!"

"Juna, Nanang!" Si choco ball itu berlari riang dan menerjang dua bahu sahabatnya, ya Juna sih bisa menahannya tapi yang dipanggil Nanang? Yang bertubuh ringkih itu?

Gubrak! Keduanya lantas terjatuh, rubuh bak jembatan bambu dilewati mobil alat berat. Dih gitu-gitu Dimas montok, setidaknya begitu kata Dimas sendiri karena ia tidak mau dipanggil ndut.

"Anj lo Dim, udah tahu pondasi gue kagak kuat main loncat aja lo. Enggak sadar apa elo segede truk molen?"

"Elo aja yang payah. Haduh pinggang gue," definisi playing victim, dia yang salah main terjang aja tapi dia juga yang merasa paling tersakiti. "Padahal si Arjun tadi gue lompatin juga bisa nahan gue, padahalkan kecilan Arjun dari elo Nang?"

Iya, yang dipanggil Nanang itu adalah Arjuna yang ketiga.

Kalau yang pintar dipanggil Arjun, yang ganteng dipanggil Juna, maka ia kebagian nama Nanang.

Emang Evan Dimas itu anj!

"Enggak usah membandingkan kekuatan gue sama tuh bakso mercon, beda! Dia mah doyan nyemilin aspal sisa praktikum." Kalau Arjun dengar, pasti satu tamparan di belakang kepalanya Nanang sudah dirasakannya sekarang.

"Elo enggak tahu aja kekuatan tersembunyi lelaki kurus tuh." Akhirnya Nanang bangkit, menaik-naikkan sebelah alisnya seolah menyembunyikan kekuatan super besar yang Juna dan Dimas tidak yakin itu apa.

"Ada emang? Apa?"

Nanang merangkul keduanya mendekat.

"Emang lo pada enggak tahu kalau cowok kurus tuh..."

Kalimat Nanang terpotong, rasanya tawanya ingin meledak melihat Juna dan Dimas begitu penasaran dengan lanjutan kalimatnya.

"Tititnya gede. Mau liat enggak punya gue?"

"BERAKKKKKK!!!"

***

Nanang betulan semangat mengayuh sepeda dari kosan Juna untuk pulang ke rumahnya, ia memakai helm khusus sepeda, kaca mata hitam, meski pakaiannya masih baju ngampus tadi, kaos hitam dan celana senada.

Tapi emang manusia itu harus diajarkan agar tidak sombong dan beromong besar. Buktinya Nanang yang tadinya menganggap remeh jarak 8 KM kini sudah berhenti untuk ketiga kalinya, turun dari sepeda dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Adehhhh, uhukk uhukk! Gila, mau muntah gue! Mana nih sepeda kudu nunduk banget, punggung gue mohon ampun."

Ia mengeluh sendiri sembari mencoba mencari jalan keluar sebab di pinggir jalan yang dilaluinya hanya ada sawah, kebun, dan di depan sana ada banyak tanaman bambu. Kan enggak lucu kalau Nanang diumpetin kolong wewe?! Mana udah mau magrib!

Tapi sialan, ponselnya mati total.

Jalanan di sini bukannya sesepi itu, ada beberapa motor juga yang lalu lalang tapi bagaimana menghentikannya? Nanang kini melirik jam tangannya menyadari sudah hampir sejam ia dan sepeda ini bertualang mencari jalan pulang.

"Kayuh aja deh, ngikut aja kemana angin akan membawaku, anjay."

Di depan sana ada persimpangan, ke kiri dan ke kanan, tanpa keraguan Nanang hendak berbelok ke kiri sebelum sebuah panggilan membuatnya menekan rem.

"Kak! Kak! Mau kemana?"

"Eh?" Pemuda itu nampak kebingungan begitu mendapati seorang pesepeda lain yang terengah-engah menyusulnya.

"Mau pulang." Nanang tahu itu jawaban bodoh tapi ia cukup gagap jika terlibat obrolan dengan lawab jenis, nah yang nyusulin dia tadi ini perempuan dan kayaknya juga lagi olahraga. Sebab itu Nanang kikuk bukan main, ia tidak pernah punya kepercayaan diri di depan perempuan.

Sekali lagi... ia tidak ideal.

"Iya pulang kemana? Kakak mau ke jalanan gede?"

"Iya."

"Belok kanan kak, kalau ke kiri itu sungai, jalannya buntu. Baru ya lewat sini?"

"Iya."

Sungguh bukan bersikap dingin, demi Tuhan Nanang bingung mau jawab apa selain iya, tidak atau bisa jadi kayak kuis di SCTV jaman dulu.

"Ikutin saya aja kak lewat jalan yang bener, saya sering kok sepedaan sekitaran sini." Perempuan itu mengulas senyum tipis dan ramah, ada lesung di pipi sebelah kanan hingga ia tampak manis meski wajah dan tubuhnya basah oleh peluh.

Anjir... sexy. Batin Nanang.

Tidak ingin gadis itu salah paham akan sikapnya yang kikuk dan hanya berucap singkat disetiap jawaban, Nanang memberanikan diri menyusul dengan mempercepat kayuhan sepedannya.

"Makasih, gue udah keliling-keliling cari jalan tapi enggak nemu. Untung elo panggil tadi, hampir aja gue hanyut." Akhirnya kalimat panjang berhasil ia keluarkan setelah menjejerkan laju sepedannya dengan si gadis.

"Haha sama-sama, gue tadi di belakang lo kok kak ngeliat "kok kayak bingung nih orang" buruan gue susul deh."

"Sering sepedaan di sini?"

Nanang ingin memuji dirinya sendiri, ia biasanya selalu kehabisan topik di hadapan gadis-gadis tapi kali ini obrolannya seakan mengalir. Mungkin sebab lawan bicaranya juga ramah, ia tidak memandang Nanang dengan pandangan 'tidak ideal' hingga Nanang menemukan kenyamanan.

"Hem semingguan ini sih, soalnya di sini sepi, pemandangannya kalau sore juga bagus. Emang kakaknya selalu sepedaan di mana?"

"Ini gue baru hari pertama mau mulai sepedaan. Baru juga mau cari-cari rute, kayaknya di sini oke, sama yang kayak lo bilang pemandangannya bagus, sepi juga enggak banyak kendaraan. Elo biasanya sepedaan jam berapa?"

"Sorean sih, pokoknya kalau sinar mataharinya udah enggak nakal."

Nanang hendak tertawa, imut sekali kalimat itu.

"Gue Arjuna, biasanya dipanggil Nanang sih."

"Hahaha kak jangan bercanda ah. Namanya bagus Arjuna, masa dipanggil Nanang sih?"

Ini ketawa apa popcorn salt XXI? Kok gurih?

"Beneran, gue Nanang panggilannya. Nama lo siapa?

"Ailen."

"Hah? Alien?"

"Ailen kak, AI-LEN. Panggil Ai aja."

"Ah, oke Ai."

Laju sepeda keduanya tidak cepat, tidak pula terlalu pelan, hanya pas dengan semilir angin dan juga wangi sore yang sejuk dengan langit jingga di atas kepala.

"Besok mau lewat sini lagi, Ai?"

"Kayaknya iya deh kak Nanang."

Tiap menyebutkan nama Nanang serius deh Ailen sebenarnya ingin tertawa karena merasa lucu dengan nama panggilan itu. Jauh banget dari Arjuna ke Nanang? Kenapa tidak Arjun atau Juna? Begitu isi kepala Ailen tanpa tahu dua nama panggilan itu sudah disandang sahabat Nanang yang lain.

Lagian ini mama papa ketiganya apa janjian ngasih anaknya nama yang sama?

"Bareng yuk besok, biar gue enggak nyasar lagi. Biar lo juga ada temennya, di sini sepi, elokan cewek. Ya meskipun kurus ceking gini, gue tetep laki, gue bisa jaga lo. Gimana? Kita jadi cycle mate?"

Cycle mate?

Ailen cuma pernah dengan school mate, room mate, class mate, soul mate, baru kali ini ia mendengar cycle mate. Gadis itu sejenak melirik Nanang yang masih mengambil tempat sejajar dengannya, dalam sekali lihat sepertinya pemuda ini baik, meski di awal nampak kaku tapi kini ia banyak bicara juga tersenyum pada akhirnya, dan harus Ailen akui senyuman Nanang itu salah satu senyuman paling manis yang pernah ia lihat sebelumnya.

"Boleh."

"Hem?" Nanang hendak mengkonfirmasi 'boleh' apa yang dibicarakan Ailen ini.

"Jadi cycle mate kak Nanang, boleh, Ai mau."

Ailen dengan ramahnya menawarkan jabatan tangan yang tentu langsung disambut Nanang. Pemuda itu lupa kalau ia di atas sepeda yang lebih berat dari pada sepeda umumnya, maka saat ia meraih jabatan tangan Ai saat itu pula Nanang kehilangan keseimbangannya dan....

nyusruk ke sawah.

Memalukan.

Padahal ini baru awal, siapa yang menyangka di dalam diri Ai pada akhirnya Nanang menemukan ideal. Bukan ideal yang menyiksa, tapi entah bagaimana Ailen membuatnya merasa utuh, membuatnya hilang ragu serta membuatnya bangkit dari jatuh.

Dan Ailen, Nanang membuatnya belajar kalau ideal tidak harus mengikuti standar umum, ideal bisa dibuat sendiri dan ideal nyatanya sebuah kecocokan.

Kalau Ai ditanya tipe idealnya seperti apa? Maka ia akan menjawab ARJUNA NANANG.

Kisah mereka dimulai dari sepasang sepeda dan pencarian sebuah 'ideal'.

— To be continued —

Note : Aduh aku udah lama banget enggak aktif di wattpad, kebetulan aku upload cerita ini di twitter aku @bukanwinjo karena isinya pendek dan narasi semua jadi aku upload lagi di wattpad siapa tahu ada dari kalian yang enggak main twitter atau tidak suka tampilannya jadi bisa baca dengan nyaman di sini aja. Hehehe happy reading, love - Winjo.




This is Evan Dimas habis dibisikin Nanang:

Continue Reading

You'll Also Like

6K 1K 9
"And in the back of my mind I always thought I would end up with you." Sore itu, dada Tami seperti letupan kembang api di setiap malam pergantian tah...
232K 19K 93
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
193K 29.9K 20
in which Acha pretends to like The Smiths, Asa's favorite band to get his attention.
937K 77K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...