Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(38) Menjagamu

1.3K 286 17
By dekmonika

Petang telah berganti menjadi malam. Di ruang perawatannya, Andin baru saja diantarkan asupan makan malam oleh seorang perawat setelah beberapa saat yang lalu dokter memeriksa kondisinya yang semakin membaik sehingga ia telah diperbolehkan untuk mengonsumsi makanan.

Aldebaran tak pernah meninggalkan kekasihnya di ruang perawatan itu, kecuali saat dokter memeriksa kondisi Andin yang memaksanya untuk tinggal di luar ruangan tersebut. Begitu perawat datang membawakan makan malam, pria itu dengan telaten menyiapkan makanan tersebut.

"Waktunya makan..." Ujar Aldebaran sambil membuka plastik yang menutupi piring dan mangkok di atas meja khusus itu yang berisi makanan.

"Akhirnya..." Gumam Andin tersenyum sumringah.

"Laper banget ya?"

"Iyalah, Mas." Jawab Andin membuat Aldebaran terkekeh.

"Harus dihabisin, ya."

"Iya. Sini." Andin meminta piring yang berisi nasi itu kepada Aldebaran, namun pria itu segera menepisnya.

"Biar saya suapin." Timpal Aldebaran membuat Andin menarik kembali tangannya. Diam-diam ia mengulum senyumannya mendapat perlakuan manis dari sang kekasih.

"Pakai ayam, mau?" Andin mengangguk dengan tatapan lembutnya pada pria tampan di hadapannya.

"Sudah berdoa?" Tanya Aldebaran membuat Andin segera memejamkan matanya sesaat.

"Sudah."

"Aaa..." Aldebaran memberikan suapan pertamanya dan Andin langsung menyambutnya dengan senang hati. Pria itu tersenyum lebar mendapati kekasihnya yang bisa makan dengan lahap setelah seharian belum makan apa-apa.

"Saya senang melihat kondisi kamu yang sudah membaik." Tutur Aldebaran dengan tersenyum lembut.

"Cepat sembuh, ya." Lanjutnya sembari mengusap rambut Andin dengan penuh kasih.

"Aamiin. Aku juga berharap begitu, Mas." Keduanya saling melempar senyuman. Lalu Aldebaran pun kembali menyuapkan sesendok nasi beserta lauknya kepada Andin.

Hal itu terus berlanjut hingga makanan yang tertinggal di piring tersebut tersisa sedikit. Andin pun sudah mulai malas-malasan menerima suapan tersebut karena perutnya sudah mulai terasa kenyang. Dan lagi, pikirannya kembali mengingat soal siapa yang menghubungi Aldebaran tadi sehingga pria itu langsung mematikannya. Pria itu sudah berjanji untuk menjelaskan padanya.

"Lagii..." Aldebaran bersiap menyuapi untuk yang kesekian kali, namun kali ini Andin menggelengkan kepalanya.

"Aku sudah kenyang, Mas."

"Sisa dikit lagi."

"Kenyang." Balas Andin dengan wajah sedikit memelas. Aldebaran terkekeh pelan.

"Yasudah kalau begitu." Aldebaran meletakkan piring tersebut ke atas meja dorong yang dibawa oleh perawat tadi, kemudian menyingkirkannya dari hadapan Andin.

"Mas..." Panggil Andin. Aldebaran segera menoleh.

"Iya?"

"Kamu sudah janji kan mau menjelaskan soal tadi?" Aldebaran tertegun, lalu menarik kursinya untuk kembali duduk di sisi bangkar tempat tidur Andin.

"Iya." Balas Aldebaran.

Beberapa saat keduanya sama-sama terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. Andin tampak menunggu kekasihnya itu untuk memberikan penjelasan jujur padanya, sedangkan Aldebaran sedang mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan kepada Andin soal apa yang sedang berusaha ia tutupi belakangan ini dari kekasihnya itu.

"Tadi yang telepon itu... Pak Ferdinand." Ungkap Aldebaran, jujur. Andin mengerutkan keningnya bingung. Gadis itu tahu persis siapa pemilik nama itu yang dimaksudkan Aldebaran.

"Papa aku maksud kamu?" Andin bertanya, memastikan. Aldebaran pun mengangguk pelan.

"Kamu ada urusan apa dengannya?" Andin bertanya tampak tidak suka.

"Papa kamu adalah salah satu pemegang saham di ARTMedia Grup." Jawab Aldebaran sekenanya.

"Hanya itu?" Aldebaran menghela nafasnya dengan agak berat, menatap kekasih di hadapannya.

"Dia mencemaskan kondisi kamu." Jawab Aldebaran setelah menimbang-nimbang untuk berkata jujur.

"Cemas soal apa? Dia tahu kalau aku lagi sakit? Kamu yang memberitahunya, Mas?" Andin memberikan pertanyaan beruntun itu membuat Aldebaran menatapnya dengan sedikit rasa bersalah.

"Sebelumnya, saya ada janji bertemu dengan beliau hari ini. Tapi karena mendadak saya tahu kamu masuk rumah sakit, saya akhirnya buru-buru kesini sampai lupa mengabari beliau. Saat beliau menghubungi saya, saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi yang membuat saya membatalkan pertemuan kami hari ini." Terang Aldebaran, pasrah.

"Lalu, kamu memberitahunya kalau aku dirawat disini?"

"Iya." Mendapat jawaban itu, Andin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan rasa kecewa.

"Saya hanya mencoba memposisikan diri saya menjadi beliau. Dia pasti sangat merindukan putrinya. Apalagi setelah dia tahu kondisi kamu saat ini, dia pasti sangat khawatir." Aldebaran memberikan alibinya.

"Aku tidak mau berurusan dengannya lagi, Mas." Ucap Andin, tegas.

"Andin, walau bagaimana pun kamu membencinya, dia tetap papa kamu, kan. Kenapa kamu tidak mencoba untuk memberikannya kesempatan?"

"Kesempatan? Buat apa?" Andin mengernyit, tak terima.

"Bertahun-tahun aku menunggunya untuk bisa mengambil kesempatan itu, Mas, tapi dia tidak pernah datang. Bahkan dia tidak pernah meminta kesempatan itu langsung sama aku. Lalu sekarang setelah semua pengkhianatan yang dia lakukan, justru kamu yang meminta kesempatan itu untuknya?" Nada bicara Andin mulai meninggi membuat Aldebaran tersadar bahwa kekasihnya itu telah salah paham dengan maksudnya.

"Nggak begitu, Andin. Saya tidak bermaksud seperti itu..."

"Kamu sebenarnya ngerti perasaan aku nggak sih, Mas? Kamu bisa memposisikan diri kamu sebagai Papa, tapi kamu nggak bisa memposisikan diri kamu sebagai aku, atau ya minimal Baskara. Kamu pikir ini mudah buat aku, Mas?"

Melihat kedua bola mata kekasihnya yang memerah dan tampak berkaca-kaca membuat Aldebaran menyesal. Ia menjadi bingung dan tergagap ingin berbicara apa. Andin benar. Semua yang sudah terjadi dalam kehidupan gadis itu memang tidak mudah ia jalani selama ini. Wajar jika luka itu masih sangat membekas di hati Andin. Ia seharusnya bisa lebih sabar untuk tidak dulu membahas perihal itu pada Andin.

"Saya minta maaf, Andin. Saya salah." Ucap Aldebaran, menyesal.

Andin tampak menghela nafasnya dengan berat, menahan emosi kekecewaan di dalam hatinya. Gadis itu lalu merebahkan tubuhnya kembali, namun dengan wajah yang ia palingkan dari kekasihnya itu.

"Aku mau istirahat." Tukas Andin, kemudian memejamkan matanya.

Aldebaran mengerti maksud ucapan Andin. Pasti gadis itu menginginkannya untuk keluar dari ruangan tersebut. Untuk amarah yang sudah ia sulut, mungkin Andin memerlukan ruang untuk sendiri dulu. Mungkin Andin memerlukan waktu sejenak untuk menjernihkan pikiran dan hatinya kembali.

"Baiklah. Saya keluar sebentar. Kamu istirahat, ya." Balas Aldebaran saat berdiri sambil mengelus rambut kekasihnya tersebut. Ia tersenyum lembut melihat Andin yang berpura-pura memejamkan matanya. Pria itu meraih satu tangan gadis itu yang terbebas dari selang infus, kemudian mengecupnya singkat.

"Maaf, sudah membuat kamu sedih lagi." Lirihnya, sebelum akhirnya meninggalkan ruangan tersebut dengan berat hati.

Selain dengan kebencian, tatapan Andin juga selalu sarat akan kekecewaan setiap kali ia berbicara persoalan ayahnya. Aldebaran baru sadar bahwa tak semua orang bisa dengan mudah berdamai dengan masa lalunya, dengan egonya. Begitu juga dengan Andin, meskipun ia juga bisa melihat bahwa ada kerinduan yang masih terpatri di dalam relung hati kekasihnya.

//Kleekk//

Aldebaran menutup rapat pintu ruang perawatan itu dengan menunduk murung. Pandangannya berubah saat ia mendongak dan melihat seseorang yang menatapnya dari jauh sambil berjalan menuju ke arahnya.

"Bagaimana keadaan Andin, Al?" Seseorang itu adalah Ferdinand yang datang ke hadapan Aldebaran dengan wajah kalutnya.

Aldebaran terlihat sedikit panik sambil melirik kaca kecil pada pintu ruang perawatan yang baru saja ia tutup untuk memastikan Andin tidak melihatnya saat ini. Lantas ia mengajak pria setengah tua itu untuk sedikit menjauh dari pintu tersebut.

"Bapak kenapa kesini?"

"Saya ingin melihat kondisi Andin."

"Pak, tapi saya sudah bilang kan kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk anda bisa menemui Andin. Andin baru tadi siang dioperasi, dia perlu banyak istirahat. Kalau dia sampai tahu bapak kesini untuk menemuinya, apa bapak tidak memikirkan risiko yang akan terjadi?" Peringat Aldebaran.

"Tapi saya tidak tenang, Al. Saya ingin memastikan kondisi putri saya." Ferdinand berusaha tetap kekeh.

"Saya mengerti perasaan anda, Pak. Tapi bisakah anda sedikit menekan ego itu demi kesembuhan Andin?" Sahut Aldebaran membuat Ferdinand terdiam, merenungi.

"Saya baru saja berbicara dengan Andin, membahas soal Anda. Dan Anda tahu? Andin marah. Saya bisa melihat kekecewaannya masih begitu besar. Akhirnya dia meminta saya untuk meninggalkannya sendiri dulu. Dengan keadaan yang seperti itu, apa anda yakin mau tetap menemuinya?" Lanjut Aldebaran membuat pria yang memiliki tinggi hampir sepantaran dengan Aldebaran itu memandangnya dengan nanar.

"Lagipula sebentar lagi tante Susan dan Baskara pasti akan datang kembali kesini. Itu akan semakin menyulitkan anda, Pak."

"Ya, saya mengerti." Ferdinand menghela nafasnya sambil mengusap kasar wajahnya dengan perasaan kecewa terhadap dirinya sendiri. Matanya yang terlihat memerah membuat Aldebaran menjadi iba.

"Maafkan saya harus berbicara seperti ini dengan Anda, Pak." Tutur Aldebaran.

"Yeah, tidak apa-apa. Kamu benar, saya harus menahan diri saya. Kehadiran saya disini kemungkinan besar pasti akan membuat keadaan menjadi buruk. Dan itu tentu tidak baik untuk proses penyembuhan Andin." Jawab Ferdinand, berusaha untuk berbesar hati dengan keadaan yang belum berada di pihaknya.

"Tapi saya ingin melihat Andin sebentar di pintu itu. Setelah itu, saya akan pergi dari sini." Timpalnya sambil melirik pada pintu yang memiliki jendela kaca kecil di bagian atasnya. Aldebaran mengangguk, memperbolehkan.

Kerinduan yang sudah tertabung bertahun-tahun terhadap putri semata wayangnya masih hanya bisa tertabung lagi dan lagi. Enam tahun yang berat yang sudah ia jalani mungkin tidak sebanding dengan terjalnya jalan yang juga dilalui putrinya. Tatapan mata kosong seorang gadis dengan seragam biru rumah sakit yang sedang memandang ke luar jendela itu membuat sepasang mata pria itu kembali memanas.

"Nak, masih ada kah jalan untuk Papa bisa kembali memiliki ruang kecil di hatimu? Atau selamanya Papa akan tenggelam dalam kerinduan yang terpendam dan rasa penyesalan ini?" Ferdinand membatin dengan getir, hingga tak sadar meneteskan airmata.

_________________________________

//Tok Tokk!//

Andin yang baru saja meletakkan gelasnya sehabis minum, memandang ke arah pintu yang baru saja diketuk oleh seseorang. Keningnya tampak mengerut. Apa itu Aldebaran?

"Siapa?!" Tanya Andin, berseru.

"Indah!"

"Ohh. Masuk, Ndah!"

Pintu itu pun terbuka, menampakkan seorang perempuan yang membawa sebuah parsel buah-buahan untuk sahabatnya. Andin tersenyum simpul menyambut kedatangan perempuan itu yang juga tersenyum lebar menghampirinya.

"Lo bikin panik tahu, nggak! Kenapa nggak ngasih kabar kalau lo sakit?" Celetuk perempuan bernama Indah itu sambil meletakkan bingkisan yang ia bawa ke atas nakas di samping bangkar Andin.

"Maaf, ya. Gue benar-benar belum pegang hp sama sekali, jadi mana sempat ngasih kabar." Jawab Andin. Indah sedikit menarik kursi untuk bisa duduk di samping sahabatnya.

"Terus, ini lo tahu dari mana kalau gue ada disini?" Tanya Andin, heran.

"Dari Roy."

"Roy?" Kening gadis itu semakin mengerut.

"Jadi gini, kita tadi kan ada kuliah sore tuh. Pas di kelas gue ketemu dong sama si Roy, dan dia nanya soal kondisi lo. Ya gue yang nggak tahu apa-apa cuma planga-plongo lah." Jelas Indah.

"Kok Roy bisa tahu?"

"Tadi sih dia bilang tahu dari mamanya. Terus katanya juga mamanya mau jenguk lo malam ini." Terang Indah, lagi membuat Andin mencerna penjelasan sahabatnya itu. Astaga! Ia baru ingat kalau Roy adalah adiknya Aldebaran. Ada-ada saja kamu, Andin.

"Memangnya lo ada hubungan apa sih sama keluarganya Roy? Kalian dekat banget, ya?" Andin terlihat bingung menjelaskannya kepada sahabatnya itu. Sebab memang Indah sama sekali belum mengetahu bahwa sosok kekasihnya itu merupakan kakak dari Roy.

"Lo nggak ada hubungan aneh-aneh sama Roy, kan?" Tanya Indah, curiga. Andin terkekeh, pelan, memahami kecurigaan sahabatnya.

"Menurut lo gimana? Apa mungkin gue sama Roy?" Indah tampak berpikir sesaat, lalu menggeleng.

"Nah, itu tahu."

"Terus?" Indah masih penasaran.

"Jadi begini, sebenarnya Roy itu..."

//Tok Tokk!!//

Belum sempat Andin meneruskan perkataannya, pintu itu kembali diketuk, menyadarkan keduanya. Andin berseru mempersilahkan orang tersebut untuk masuk. Andin mengira mungkin itu mamanya, Baskara, atau bisa jadi juga Aldebaran. Namun rupanya semua dugaannya salah.

"Selamat malam, Andin."

"Tante?" Gumam Andin saat melihat siapa yang datang.

Dia adalah Rossa yang datang membawa satu buket bunga dan sebuah bag paper coklat yang entah berisi apa. Dan rupanya Rossa datang tidak sendiri. Ia datang bersama sang suami yang membawakan bingkisan buah-buahan. Indah lantas beranjak dari duduknya, menyambut kedatangan sepasang suami istri itu.

"Maaf ya, sayang, tante sama Om baru sempat menjenguk kamu malam ini." Ucap Rossa setelah meletakkan buket bunga tersebut, disusul dengan bingkisan buah-buahan.

"Nggak apa-apa, tante. Harusnya nggak usah repot-repot."

"No. Tante nggak repot sama sekali. Tante sama Om justru senang bisa menjenguk kamu kesini."

"Terima kasih banyak, kalau begitu, tante, om." Ucap Andin, tersenyum senang.

"With my pleasure." Sahut Rossa.

"Bagaimana kondisi kamu sekarang, Ndin?" Kali ini Damar ikut buka suara.

"Sudah lebih baik, Om. Tadi sudah bisa makan juga."

"Syukurlah. Om sangat kaget saat mendengar kabar kamu yang masuk rumah sakit."

"Iya. Tante juga tahunya dari asisten rumah tangga di rumah kalian. Saking paniknya tante langsung ngabarin Al.

Andin hanya tersenyum kikuk dengan segala perhatian dari kedua orang tua kekasihnya itu. Sementara Indah sesekali melirik Andin dengan tatapan bertanya, sebab ia tidak mengenal dua sosok orang tua yang berada di ruangan tersebut.

"Ini teman kamu?" Tanya Rossa, tersenyum ramah sambil menatap Indah.

"Oh, iya, tante. Ini sahabat aku, namanya Indah. Kita sering sekelas juga sama Roy." Andin memperkanalkan. Indah pun tersenyum hangat sambil menganggukkan kepalanya kepada sepasang suami istri itu.

"Dan Ndah, ini namanya tante Rossa, dan di sebelahnya ada Om Damar, suami tante Rossa."

"Salam kenal, Indah." Ucap Rossa.

"Salam kenal juga, tante, Om."

"Jadi Indah, kami berdua ini adalah orang tuanya Roy. Sekaligus juga orang tua dari pacarnya Andin." Ungkap Rossa. Hal itu membuat Andin melirik ke arah sahabatnya yang tampak bingung.

"Pacar, tante?" Indah mengerut, bingung.

"Iya, pacarnya Andin, Aldebaran."

Indah melirik sengit ke arah sahabatnya itu yang hanya bisa menyengir, dengan sedikit rasa bersalah karena sudah berhutang banyak penjelasan kepadanya.

"Al lagi ganti baju, soalnya sudah hampir seharian pakai kemeja. Pasti dia tidak betah." Beritahu Rossa.

"Paling sebentar lagi." Timpal Damar.

"Mama kamu mana, sayang?"

"Mama sama Baskara tadi sore pulang dulu ke rumah, tante, disuruh juga sama Mas Al biar bisa mandi sama ganti baju. Mungkin sebentar lagi balik kesini." Jawab Andin membuat Rossa dan Damar saling menatap sesaat.

"Ohh, begitu. Sudah pintar ya dia mencuri-curi kesempatan supaya bisa berduaan sama kamu." Respon Damar membuat Rossa tertawa kecil, sedangkan Andin sedikit menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.

"Permisi..."

Semua pasang mata di ruangan itu langsung tertuju pada pria yang baru saja masuk bergabung dengan mereka. Aldebaran sudah mengganti pakaiannya dengan celana joger panjang yang dipadu dengan polo-shirt abu-abu. Penampilannya tampak lebih segar dari sebelumnya.

"Wah, rame." Ucap Aldebaran.

"Ini dia orangnya." Damar menepuk pundak putranya itu.

Indah menatap lekat pria itu sambil mengingat-ingat apakah ia pernah melihatnya sebelumnya. Ah, iya! Indah beberapa kali pernah melihatnya di Coffeeshop tempat Andin bekerja. Dan pernah juga sekali melihat penampakan pria bernama Aldebaran itu di kampus mereka. Jadi, lelaki ini yang menjadi kekasih sahabatnya?

"Kenapa, Pa?" Aldebaran mengernyit, bingung.

"Nggak. Papa hanya mau tanya, seharian jaga di rumah sakit, capek nggak?"

"Kenapa Papa tanya begitu?"

"Nggak apa-apa."

"Nggak, Pa. Aku nggak capek, kok. Aku senang bisa menemani Andin disini." Jawab Aldebaran membuat senyuman lebar terpampang pada wajah kedua orang tuanya.

"Tuh kan, Ma, Ndin. Dia itu sebenarnya hanya modus menyuruh mama dan adikmu pulang sebentar, karena dia mau berduaan sama kamu, biar bisa pacaran di rumah sakit."

"Papa apaan, sih. Orang Andin lagi sakit juga." Protes Aldebaran sembari menyembunyikan rona malu di wajahnya.

"Papa juga tahu kalau Andin lagi sakit."

"Sudah, Pa, anaknya jangan diledekin terus." Tegur Rossa, menengahi.

"Tahu nih si Papa, Ma." Adu Aldebaran, membuat sang mama hanya menggelengkan kepalanya, maklum.

______________Bersambung________________

Thanks for read, vote, and comment, guys!!

Continue Reading

You'll Also Like

244K 36.7K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
49K 3.5K 50
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
329K 27.3K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
53.3K 10.9K 13
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...