Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(36) Fine Today

1.3K 271 15
By dekmonika

Riuh tepuk tangan menggema di sebuah aula rapat di dalam gedung besar bertingkat tinggi. Hari itu telah diadakan rapat komisaris dan direksi dalam pembahasan kandidat CEO perusahaan besar tersebut, yang mana juga dihadiri oleh seluruh pemegang saham ARTMedia Grup.

Aldebaran terlihat berdiri di antara dua orang laki-laki lainnya yang resmi terpilih menjadi kandidat CEO perusahaan tersebut. Menurut hasil rapat tersebut, mereka bertiga akan segera menjalani diklat CEO bersama kandidat-kandidat CEO ARTMedia Grup di beberapa cabang negara lain yang akan dilaksanakan di New York City, Amerika Serikat.

"Excellent!" Puji sang papa yang berjalan mendekat ke arah Aldebaran, beberapa saat setelah rapat resmi dibubarkan. Para peserta rapat yang lain pun secara bergantian memberikan ucapan selamat bagi ketiganya.

"Kamu memang luar biasa, Al. I'm proud to be your dad." Timpal Damar seraya merangkul pundak putranya itu. Aldebaran terkekeh.

"Siapa dulu dong papanya." Sahut Aldebaran, balik memuji.

"Of course, sesuai. Papanya juga luar biasa soalnya." Ucap Damar dengan percaya diri, hingga keduanya tertawa bersamaan.

"Aldebaran..." Ferdinand tiba-tiba bergabung seraya bertepuk tangan dengan tersenyum sumringah.

"Saya seharusnya sudah tidak perlu kaget dengan kecerdasan yang kamu miliki. Namun hari ini saya tidak hanya terkesan, tapi juga saya semakin yakin bahwa kursi kekuasaan ARTMedia memang hanya pantas diduduki oleh seorang yang memiliki pola pikir seperti kamu." Puji Ferdinand membuat Aldebaran tersenyum simpul. Damar pun ikut tersenyum lebar.

"Saya juga semakin yakin kalau suatu saat kamu bisa melampaui papa kamu lebih jauh." Lanjutnya sambil melirik Damar yang terkekeh saat mendengarnya.

"Bukankah impian setiap orang tua memang seperti itu, Fer? Selalu berharap supaya anak-anaknya jauh lebih hebat dari mereka..." Balas Damar, namun terdengar sedikit menyelekit bagi Ferdinand yang mengingat bagaimana ia menyia-nyiakan anak-anaknya.

"Untuk urusan bisnis dan kecerdasan otak, Al memang lebih unggul dari saya. Tapi ada satu hal yang mungkin tidak bisa dia lampaui dari papanya." Aldebaran mengerutkan keningnya saat mendengar pernyataan dari papanya tersebut.

"Apa itu, Pak?" Tanya Ferdinand, penasaran.

"Sifat romantis. Aldebaran sangat kaku dengan perempuan, sedangkan papanya ini semua orang juga tahu bagaimana romantisnya." Terang Damar membuat Ferdinand tertawa geli. Sedangkan Aldebaran hanya bisa menghela nafasnya, pasrah, melihat tingkah sang papa yang mulai menjadi.

"Astaga, Papa." Decak Aldebaran.

"Itu kenyataan yang harus kamu terima, Al." Sahutnya lagi, sambil tertawa.

"Anda yakin, Pak?" Ferdinand bertanya balik dengan mengulum senyumnya sambil melirik ke arah Aldebaran.

"Tidak perlu diragukan lagi, Fer."

"Tapi sepertinya saya melihat Aldebaran yang berbeda saat berinteraksi dengan putri saya." Jelas Ferdinand membuat Damar bingung.

"Putrimu? Siapa?" Damar bertanya membuat Aldebaran menatap Ferdinand dengan perasaan tak enak, karena ia belum menceritakan apapun soal latar belakang Andin pada sang papa.

"Andin. Dia adalah putriku."

"Ah, masa?" Damar seakan tak percaya, lalu beralih menatap putranya seolah mempertanyakan.

"Iya, Pa. Pak Ferdinand ini adalah papanya Andin." Ujar Aldebaran membuat Ferdinand tersenyum seolah berterima kasih atas keterangan yang diberi Aldebaran.

"Tapi kok...?"

"Ceritanya agak panjang, Pak Damar." Sahut Ferdinand, memahami akan kebingungan yang dirasakan oleh Damar.

"Tell me. Saya akan mendengarkan cerita itu. Cepat atau lambat Andin akan menjadi bagian dari keluarga kami. Dan saya akan selalu punya banyak waktu untuk keluarga saya." Balas Damar, serius. Ferdinand tersenyum haru mendengar pernyataan Damar itu yang terdengar begitu menyayangi putrinya.

//DRRTT.DRRTT!!//

Ponsel Aldebaran terdengar bergetar dari dalam saku jas coklat yang ia kenakan. Aldebaran mengambil benda itu dan melihat nama sang mama yang tertera pada panggilan. Damar dan Ferdinand beralih melihat Aldebaran.

"Siapa, Al?" Tanya Damar.

"Mama, Pa. Papa sama Pak Ferdinand silahkan lanjut mengobrol saja dulu. Saya izin angkat telepon sebentar."

"Iya, Al." Jawab Ferdinand.

"Yasudah, sana angkat, sebelum mama kamu mengomel nanti." Timpal Damar.

Aldebaran berjalan sedikit menjauh dari Damar dan Ferdinand, serta dari kerumunan anggota rapat dewan tersebut untuk menerima telepon dari sang mama.

"Halo, Ma, ada apa?"

"Rapat kamu sudah selesai, Al?" Tanya sang mama di seberang telepon.

"Iya, sudah, Ma. Kenapa?"

"Mama mau mengabari kamu soal Andin." Kening Aldebaran seketika mengerut saat mendengar nama Andin disebut-sebut oleh sang mama.

"Kenapa Andin?"

"Pagi tadi Andin dibawa ke rumah sakit. Kata asisten rumah mereka, Andin sempat jatuh pingsan." Beritahu Rossa membuat putranya tertegun beberapa saat. Astaga Andin!

"Al? Kamu masih dengar mama?"

"I..iya, Ma. Terus mama tahu nggak Andin dibawa ke rumah sakit mana?" Raut wajahnya mulai terlihat cemas.

"Mama tidak tahu karena tadi hanya sempat bertemu dengan asisten rumah tangga mereka saja. Tapi mama yakin kemungkinan besar Andin dibawa ke rumah sakit terdekat. Coba kamu telepon tante Susan."

"Iya, Ma. Aku segera kesana. Terima kasih karena mama sudah mengabariku."

"Iya, sayang. Hati-hati, ya. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya."

"Ya, Ma."

Setelah menutup sambungan dari sang mama, Aldebaran langsung berjalan cepat meninggalkan aula rapat tersebut, menuju basement gedung untuk mengambil mobilnya. Saat dalam perjalanan, ia baru teringat bahwa ia lupa berpamitan dengan sang papa juga pada Ferdinand karena saking paniknya. Itu bisa ia jelaskan nanti, pikir Aldebaran.

Setibanya di rumah sakit yang dituju, pria itu berjalan cepat menelusuri koridor rumah sakit sambil sesekali berlari kecil. Beberapa saat yang lalu, ia juga sudah menghubungi Baskara untuk menanyakan rumah sakit dan ruangan tempat Andin dibawa, sehingga ia tidak perlu lagi mengira-ngira atau pun bertanya-tanya pada resepsionis rumah sakit.

"Bas..." Aldebaran bertemu dengan Baskara tepat saat Baskara baru saja keluar dari sebuah ruangan.

"Kak Al..."

"Andin bagaimana? Apa yang terjadi?"

"Kak Andin baru saja selesai menjalani operasi." Ujar Baskara membuat Aldebaran terperangah.

"Operasi? Andin sakit apa memangnya?"

"Dari hasil pemeriksaan dokter tadi, Kak Andin terkena radang usus buntu."

"Ya Allah." Desis Aldebaran, khawatir.

"Satu-satunya cara terbaik untuk usus buntu itu kata dokter adalah melalui operasi."

"Kalau Kak Al mau menemuinya, silahkan. Hanya ada mama di dalam. Dia belum siuman karena mungkin masih ada efek obat bius. Aku mau ke kantin rumah sakit dulu untuk membeli makanan." Timpal Baskara membuat Aldebaran mengangguk.

"Ya, thank you, Bas."

Baskara mengangguk lalu berlalu pergi. Aldebaran terdiam sesaat pada posisinya. Kemudian ia mendekat ke pintu ruangan yang tertutup itu. Pada pintu yang memiliki sedikit bagian kaca transparan di atasnya, ia bisa melihat kekasihnya yang terbaring lemah di atas bangkar rumah sakit. Dilihatnya pula Susan yang duduk menemani putrinya sambil menggenggam tangan gadis itu yang belum sadarkan diri.

"Kamu baik-baik saja kan, Ndin?" Aldebaran menatap nanar kekasihnya melalui kaca tersebut.

Di dalam ruang perawatan itu, sambil terisak dalam tangisnya, Susan terus menggenggam satu tangan putrinya yang bebas dari selang infus. Sesekali ia terlihat menciumnya dan menempelkan punggung tangan Andin pada keningnya. Ada raut penyesalan yang besar di wajah wanita itu terhadap putrinya.

"Maafkan mama, sayang. Mama terlalu egois selama ini." Tuturnya dengan pandangan yang tak lepas dari wajah putrinya.

"Mama begitu jahat membiarkan kamu terabaikan selama ini. Hati mama sudah tertutupi oleh sakit hati pada papa kamu, yang dimana kamu sendiri tidak salah apa-apa." Susan mengusap lembut punggung tangan itu.

"Mama menyesal, Ndin. Mama sudah membuat kamu tersisihkan di rumah selama bertahun-tahun. Mama selalu menutup mata akan kehadiran kamu yang mungkin sangat merindukan mama."

"Cepat bangun ya, Nak. Mama tidak sabar ingin memeluk kamu. Mama tidak sabar ingin mengobrol lagi denganmu. Kasih mama kesempatan, ya?" Susan mengusap airmatanya sambil tersenyum pedih.

Melihat pemandangan itu meski dari jauh dan tak dapat mendengar apa-apa, Aldebaran tersenyum haru. Ia tahu bagaimana hubungan Andin dan sang mama yang selama ini begitu buruk. Ia tahu Andin yang terabaikan oleh mamanya akibat kesalahan sang papa di masa lalu. Aldebaran tahu semuanya karena Andin sudah membuka semua ceritanya.

"Seandainya kamu sudah bangun, Ndin, pasti kamu bahagia sekali melihat mama kamu yang menangisi kondisi kamu sekarang. Dia terlihat sangat mencemaskan kamu. Itu berarti jauh di dalam lubuk hatinya, mama kamu masih menyayangi kamu, dan pasti akan selamanya menyayangimu. Cepat bangun, ya, Ndin. Saya tidak sabar ingin melihat senyum kamu lagi." Tutur Aldebaran dalam hatinya dengan masih berdiri dan melihat melalui kaca persegi di pintu ruang perawatan tersebut.


We will fine a way

To be honest make no mistake

Sometimes I pray

Tell me how to make you stay

And you always going to be the one for me

(Fine Today - Ardhito Pramono)

________________________

Tak lama waktu berselang, pintu ruang rawat berwarna biru itu terbuka menampakkan Susan yang keluar dari sana. Ia sedikit kaget saat melihat sosok pria yang duduk tertunduk pada salah satu deretan kursi tunggu di depan ruangan tersebut. Setelah ia perhatikan lagi, ia baru menyadari bahwa pria itu adalah Aldebaran, putra sulung Rossa, sahabatnya.

"Al..." Tegur Susan, refleks membuat pria itu mendongak dan tersadar.

"Tante..." Aldebaran segera bangkit dari duduknya sambil tersenyum kikuk.

"Kamu ngapain disini?" Tanya Susan membuat Aldebaran menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Mau melihat Andin? Kenapa nggak masuk?"

"Boleh, tante?"

"Ya bolehlah, masa nggak boleh sih." Susan terkekeh pelan membuat Aldebaran tersenyum salah tingkah.

"Masuk saja, Al. Sekalian tante titip Andin, tante mau menemui dokter sebentar." Ujar Susan. Aldebaran mengangguk dengan pasti.

"Iya, tante."

Aldebaran membuka pintu ruangan itu dengan perlahan lalu menutupnya kembali saat sudah masuk. Pria itu sedikit kaget saat melihat Andin yang rupanya sudah membuka matanya. Aldebaran berjalan mendekat sambil tersenyum manis melihat Andin yang memandang ke arahnya dengan tatapan yang masih lemas.

"Hei, sudah bangun?" Aldebaran berdiri tepat di samping bangkar Andin. Gadis itu membalas dengan tersenyum simpul.

"Kamu ngapain disini?" Andin bertanya dengan suara yang lemah.

"Pakai ditanya. Saya cemas sama kamu." Jawab Aldebaran.

"Bukannya kamu ada rapat penting?"

"Tadi mama nelpon saya, mengabari soal kamu. Saya langsung berangkat kesini." Ujar Aldebaran membuat Andin menyunggingkan senyumannya namun seperti menahan sakit.

"Sakit?" Tanya Aldebaran, nampak khawatir. Andin mengangguk sambil menyentuh pelan area perut sebelah kanannya.

"Hei, jangan ditekan. Kamu baru saja selesai operasi, Andin." Tegur Aldebaran.

"Huffftt!" Andin menghela nafasnya dengan berat, melampiaskan rasa nyeri yang sewaktu-waktu menyerang area bekas operasi tersebut.

Aldebaran terkekeh pelan sembari menarik kursi di samping bangkar tempat tidur Andin untuk ia duduki. Pria itu menatap kekasihnya dengan tatapan teduh. Andin balik memandang Aldebaran dengan sedikit bingung karena pria itu hanya memandanginya tanpa bicara.

"Jangan ngeliatin terus." Ujar Andin. Aldebaran kembali terkekeh.

"Maafkan saya, ya." Ucap Aldebaran, kemudian.

"Buat apa?" Bukannya menjawab, Aldebaran hanya menggelengkan kepalanya.

Ada banyak hal yang ingin Aldebaran tumpahkan pada kekasihnya itu. Segala isi kepalanya seolah tidak sabar ingin ia curahkan pada wanita yang ia cintai. Tapi berbagai pertanyaan selalu mencuat di dalam kepalanya dan menjadi sebuah keraguan untuk berterus terang.

Apakah akan baik untuk Andin jika ia menceritakan semuanya? Apakah Andin akan baik-baik saja? Apakah Andin akan tetap menerimanya? Atau Andin akan semakin ragu jika mengetahui kenyataan tentang dirinya?

"Ada yang mau kamu bicarakan, Mas?" Tanya Andin yang tampaknya melihat semburat kegelisahan pada wajah Aldebaran. Aldebaran tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.

Tiba-tiba pintu ruangan itu kembali terbuka. Baskara dan sang mama kembali dengan membawa sebuah paper bag kecil yang sepertinya berisi makanan yang mereka beli di kantin rumah sakit. Keduanya tersenyum bahagia saat melihat Andin yang sudah siuman. Melihat kedatangan dua orang tersebut, Aldebaran bergegas bangkit dari tempat duduknya.

"Kamu sudah bangun, sayang?" Susan tersenyum haru saat mendekat pada putrinya. Andin terpaku untuk beberapa saat begitu mendengar sapaan hangat sang mama yang terdengar begitu manis di telinganya.

"Bagaimana kondisi kamu sekarang? Masih terasa sakit?" Tanya Susan, lagi.

Masih. Andin kadang masih merasa ada yang sakit. Tapi tutur lembut sang mama padanya membuat rasa sakit itu seolah tak berarti apa-apa. Andin tidak sedang bermimpi. Andin menyadari itu dan perlahan membuatnya tersenyum dengan pandangan yang tak lepas dari sang mama yang kini mengusap kepalanya.

Andin tak mampu mengeluarkan kata-kata. Ia hanya mampu menggelengkan kepalanya diiringi dengan tetesan airmata yang jatuh tanpa aba-aba. Susan mengerti perasaan putrinya yang begitu lembut. Ia mengusap airmata Andin yang jatuh sambil memberikan senyuman paling tulus yang ia miliki.

"Maafkan kesalahan mama selama ini ya, sayang. Mama menyesal. Mama pikir, mama bisa melampiaskan kemarahan mama sama kamu. Tapi ternyata tidak, mama tidak mendapatkan apa-apa selain kesedihan yang mama ciptakan sendiri dengan menyakiti darah daging mama." Ucap Susan dengan berkaca-kaca.

"Bertahun-tahun mama menyimpan kerinduan mama sama kamu yang selalu berhasil dikalahkan oleh keegoisan mama sendiri. Sampai puncaknya hari ini, mama akhirnya sadar, kalau ketakutan terbesar mama ada pada kamu dan Baskara. Ketakutan mama adalah takut kehilangan kalian. Dan ketakutan itulah yang mampu mengalahkan keegoisan mama selama ini." Ungkap Susan membuat Andin kembali berurai airmata. Ada rasa haru bercampur bahagia yang tidak pernah ia kira akan datang secepat ini.

"Jadi, kasih mama kesempatan ya, untuk jadi mama yang baik lagi buat kamu, buat kalian berdua?" Tanpa ada keraguan, Andin menganggukkan kepalanya meski masih tak mampu mengucapkan apa-apa.

Melihat pemandangan mengharukan itu, kedua mata Baskara pun tampak memerah dan berkaca-kaca. Sudah lama sekali ia tidak melihat interaksi yang baik dan manis dari sang mama dan kakaknya, meskipun harus adanya perdebatannya dengan sang mama pagi tadi. Meskipun harus dengan menunggu sang kakak yang jatuh sakit. Namun semua kejadian memang memiliki hikmahnya.

Melihat Baskara yang berdiri tepat di sampingnya, Aldebaran tersenyum dan merangkul pundak pria itu. Baskara buru-buru menghilangkan jejak bola matanya yang berkaca-kaca, lalu baru melihat ke arah Aldebaran.

"Nggak usah segan kalau mau nangis." Ledek Aldebaran dengan volume suara yang kecil.

"Aku nggak nangis." Sangkal Baskara dengan kening yang mengerut. Aldebaran hanya terkekeh mendengarnya.

"Tidak ada yang salah dengan laki-laki yang menangis." Ujar Aldebaran, kemudian.

"Tidak hanya Andin yang hebat yang sudah mampu melalui semuanya selama ini, tapi dia juga mempunyai adik yang hebat yang tidak pernah meninggalkannya selama ini." Timpalnya, tersenyum bangga.

Baskaramembalas senyuman itu dengan senyuman yang mengisyaratkan sebuah kelegaan.Akhirnya, ia bisa melihat mama dan kakaknya harmonis kembali. Baskara memilikikeyakinan yang besar bahwa apa yang sedang terjadi hari ini adalah sebuah awalyang baik menuju hari-hari baik berikutnya dalam kehidupan mereka.

There were times when it rains

Just the thing kept me sane

It's too much for a little time of fame

But you saved the day

Yes you saved the day

(Fine Today - Ardhito Pramono)

_____________Bersambung___________

Continue Reading

You'll Also Like

241K 36.2K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
48.4K 3.5K 50
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
195K 9.6K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
66.9K 5K 24
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB ⚠️ M...