Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(35) Mimpi Buruk

1.2K 278 25
By dekmonika

Malam readers!

Author datang membawa part baru lagi. Lah, kok malah seminggu sekali update-nya, thor? Wkwk, iya nih kayaknya lagi susah banget ngumpulin mood buat nulis.

Selama membaca, teman-teman!

___________________________________

"Oma..." Bi Endang datang memanggil majikannya tersebut.

"Kenapa Endang?"

"Di luar ada Pak Lurah, katanya mau bertemu Oma."

"Ohh. Yasudah, sebentar lagi saya kesana."

"Iya, Oma. Punteun."

Sesaat setelah Bi Endang pergi, Oma Diana pun pamit meninggalkan Andin sebentar karena harus menemui tamu di teras depan. Tepat saat itu pula, Aldebaran datang dengan tersenyum tipis. Akan tetapi ekspresi pria itu berubah saat mendapati Andin masih melihat-lihat foto-foto lama yang ada di ruangan tersebut. Apakah Andin sudah mendengar semua hal yang berkaitan dengan orang-orang di foto itu dari Oma Diana?

"Andin..." Panggil Aldebaran, pelan. Andin menoleh dan mendapati Aldebaran yang tersenyum tak jauh di belakangnya. Gadis itu tampak diam beberapa saat, lalu berbalik badan menjadi berhadapan dengan pria itu.

"Kok sendirian? Oma mana?" Tanya Aldebaran.

"Oma baru saja keluar, ada tamu katanya."

"Ohh." Aldebaran terlihat gugup sambil meremas telapak tangannya yang keduanya tersembunyi di balik punggung, dan sepertinya sedang menggenggam sebuah benda juga yang tak begitu nampak.

"Andin..."

"Mas..." Keduanya saling memanggil secara bersamaan dan saling menatap lekat.

"Kenapa, Ndin?"

"Tadi aku ngobrol cukup banyak sama Oma. Aku mendengar cerita soal masa kecil kamu disini." Tutur Andin membuat reaksi Aldebaran sedikit kaget, namun pria itu selalu bisa mengendalikan ekspresinya agar tidak begitu kentara terlihat bagi lawan bicaranya.

Perlahan, pria itu melonggarkan tautan kedua tangannya di belakang punggung. Hingga kedua tautan itu terlepas, diam-diam ia menyimpan benda yang sedari tadi ia genggam ke dalam saku celananya dengan perasaan yang bimbang.

"Kamu nggak pernah cerita kalau kamu punya adik perempuan." Andin membeberkan membuat Aldebaran terpekur. Pria itu terdiam dengan tatapan setengah kosong.

"Kamu sengaja, Mas?" Andin menatapnya dengan perasaan kecewa. Aldebaran masih diam.

"Aku pikir kita sudah saling terbuka satu sama lain..."

"Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya mencari waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya sama kamu." Sahut Aldebaran, bingung.

"Kenapa? Apa selama ini bukan waktu yang tepat? Atau ternyata kamu belum yakin sama aku?" Andin bertanya membuat Aldebaran langsung mengelaknya.

"Tidak, Andin. Kamu jangan salah sangka."

"Waktu itu kamu sendiri yang pernah bilang ke aku kalau dalam sebuah hubungan, selain cinta juga harus ada rasa saling percaya. Tapi ternyata kamu belum memiliki rasa percaya itu sepenuhnya? Dan jangan-jangan masih banyak hal tentang kamu yang kamu sembunyikan dari aku, ya?" Andin menghela nafasnya, panjang, saat melihat Aldebaran terdiam tanpa suara.

"Sebelum kamu menanyakan soal bagaimana aku ke kamu, aku rasa lebih baik kamu yakinkan diri kamu sendiri dulu. Kamu tidak akan pernah bisa meyakinkan aku kalau kamu sendiri masih ragu, Mas." Ucap Andin dengan suara yang sedikit bergetar. Aldebaran menatapnya dengan rasa bersalah, namun ia tahu menjelaskan semuanya kepada Andin saat ini juga bukan sesuatu yang tepat.

"Aku mau ke Bi Endang dulu." Andin memilih berlalu, meninggalkan Aldebaran yang masih berdiri di tempatnya.

Dalam diamnya, Aldebaran menatap nanar pada deretan foto lawas yang menyimpan banyak kenangan di hidup Aldebaran. Dari hal yang membahagiakan hingga menyedihkan ada di antara deretan foto itu. Namun kenangan di masa lalunya itu sudah membuatnya tetap hidup menjadi Aldebaran yang seperti saat ini. Aldebaran yang telah melampaui kepingan-kepingan memori pahit atas peristiwa yang kadangkala masih menghantuinya.


Tak ada sore dan udara menjadi segar

Tak ada gelap lalu mata enggan menatap

Tak ada bintang mati butiran pasir terabng ke langit

Tak ada fajar hanya remang malam

Semua tlah hilang terserah matahari

(Payung Teduh – Rahasia)

_________________________________

Pikiran Aldebaran melayang. Ia rasa sedang berada pada garis Tuhan yang tak pernah ia sangka. Bertemu wanita yang ternyata sudah mampu merengkuh separuh dari kehidupannya, sesuatu yang ia pikir mustahil, tapi kini nyata adanya. Selain mengambil separuh hidupnya dan seluruh perasaannya saat ini, wanita itu juga telah menumbuhkan sebuah ketakutan yang amat besar bagi seorang Aldebaran. Rasa takut akan kehilangan.

Sejak kejadian beberapa saat yang lalu, pria itu merasakan perubahan sikap Andin padanya. Saat di meja makan bersama Oma Diana sore tadi hingga mereka berpamitan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta. Bahkan sampai kini, saat mereka telah memasuki kawasan Jakarta. Suasana dingin malam sehabis hujan kota Jakarta itu tak mampu mengalahkan kebekuan di antara keduanya. Sesekali Aldebaran bertanya, berbasa-basi, namun Andin hanya memberikan respon seadanya.

"Kamu belum makan." Ujar Aldebaran, sambil sesekali terfokus pada jalanan padat di depan mereka.

"Saat di rumah Oma tadi juga saya lihat kamu hanya makan sedikit."

"Kita mampir beli makan dulu, ya."

"Aku nggak laper." Jawab Andin, akhirnya memberikan sahutan.

"Kalau Mas mau beli makan, beli buat kamu saja, Mas." Lanjutnya membuat Aldebaran terdiam memperhatikan wajah gadis itu yang terlihat sedikit berbeda.

"Muka kamu pucat. Makan, ya? Kamu mau apa, biar saya belikan." Ujar Aldebaran, cemas. Andin menghela nafasnya.

"Aku mau pulang. Aku capek." Jawab Andin dengan sedikit penekanan. Aldebaran mengangguk pasrah.

"Ya, kita langsung pulang."

Setelah perdebatan kecil itu, tak ada lagi pembicaraan yang keluar dari keduanya. Hingga mobil itu berhenti tepat di depan sebuah rumah berpagar putih yang tak lain adalah kediaman Andin. Hanya mengucapkan terima kasih, Andin lantas bergegas membuka pintu mobil tersebut dan keluar, tanpa menunggu jawaban dari Aldebaran yang hanya bisa termangu pasrah dengan sikap dingin gadis itu.

Tatapan pria itu terus mengiringi punggung Andin yang kian menjauh dari jangkauan matanya. Andin sama sekali tidak menoleh dan seolah tak ingin tahu apakah Aldebaran masih disana atau tidak. Andin terus melangkah hingga memasuki pintu rumahnya, lalu tubuhnya sirna dari pandangan Aldebaran.

"Saya memang pengecut, Ndin." Gumam Aldebaran, masih memandangi daun pintu rumah itu dari balik kaca mobilnya.

Harum mawar membunuh bulan

Rahasia tetap diam tak terucap

Untuk itu semua aku mencarimu

Barikan tanganmu jabat jemariku

Yang kau tinggalkan hanya harum tubuhmu

Berikan suaramu balas semua bisikanku

Memanggil namamu...

(Payung Teduh – Rahasia)

_______________________________________

"Pa, kata teman-teman di sekolah, papa itu hebat. Papa sudah menangkap penjahat-penjahat. Papa kayak superhero dong." Ucap seorang bocah laki-laki saat mereka di dalam perjalanan ke suatu tempat. Sesekali, ia mengambilkan mainan adik kecilnya yang terjatuh.

"Oh ya? Itu sudah menjadi tugas papa, nak. Suatu saat, Darren pasti bisa lebih hebat dari papa." Balas seorang pria dewasa yang sedang menyetir mobilnya. Bocah itu tampak berpikir sejenak, mencerna perkataan orang tuanya.

"Tapi aku nggak mau jadi polisi kayak papa." Ujarnya membuat pria itu terhenyak. Ia menatap sang istri yang duduk di sampingnya sambil mengasuh putri kecil mereka. Begitu pun dengan wanita itu yang balas menatapnya.

"Kenapa memangnya?"

"Aku nggak mau buat mama ketakutan, Pa. Setiap papa nggak pulang atau terlambat sampai rumah, aku sedih melihat mama yang mikirin papa." Ucapnya membuat sang mama terenyuh.

"Aku nggak papa nggak jadi superhero kayak papa, yang penting aku nggak bikin mama sedih." Lanjutnya. Pria itu merasa tersindir, namun hanya bisa terkekeh mendengar ucapan putranya itu yang terdengar begitu polos dan sangat mencintai sang mama.

"So sweet-nya anak mama ini. Thank you, my boy." Ucap wanita itu sambil mengusap puncak kepala bocah tersebut.

"Oke! Papa dan mama akan mendukung apapun pilihan Darren nanti. Entah mau jadi polisi, jadi tentara kayak opa, atau mau jadi orang hebat lainnya, terserah kamu. Yang penting dari seorang laki-laki itu adalah harus bertanggung jawab, punya prinsip, berani menerima akibat dari setiap pilihan yang sudah diambil. Dan satu lagi, harus sayang sama mama, adik, dan pasangan kamu nantinya." Balas sang papa yang seketika membuat istrinya mencolek lengan pria itu dengan tatapan tajam.

"Masih kecil, Pa. Dia mana ngerti." Desis wanita itu membuat suaminya terkekeh, pelan saat menatap putranya yang tampak sedang berpikir.

"Papa yakin anak papa ini adalah anak yang cerdas." Ucapnya sambil melirik putranya yang duduk di jok belakang, kemudian beralih menatap sang istri yang tersenyum padanya.

Mobil itu terus melaju mengarungi jalanan panjang nan sunyi yang setiap sisinya didereti oleh pohon-pohon cemara. Sekian detik, mobil itu melaju dengan kecepatan semakin tinggi, seolah tak terkendali.

//BRAAKKK!!//

Mobil itu menabrak kencang besi pembatas jalan, lalu terguling-guling pada turunan jalan yang sedikit berbukit. Awaknya remuk, melebur, diiringi dengan aliran cairan yang keluar semakin banyak. Tangisan anak kecil membuat para manusia yang melintas semakin kalang kabut.

//DUAARRR!!//

Mobil yang remuk itu dalam hitungan menit langsung meledak, menciptakan kobaran api yang mencengangkan, mengikis udara segar puncak menjadi polusi yang memilukan, mengubah tetesan embun yang dingin menjadi asap hitam yang mengantarkan duka.

"HAHH!"

Kedua mata Aldebaran seketika terbuka kaget dengan nafas yang memburu. Keringat dingin tampak gemerlapan di permukaan keningnya. Ia tampak berusaha mengendalikan deru nafasnya serta detak jantungnya yang saling berlomba cepat. Sesekali ia meneguk ludahnya dengan resah, kemudian memijat pelan keningnya.

Mimpi buruk itu lagi. Mimpi yang selalu berulang kali datang dalam bunga tidur Aldebaran. Mimpi yang masih menghantui hidupnya yang kadangkala membuat kepalanya pusing.

Pria itu bangkit dari posisi tidurnya menjadi bersandar pada pangkal ranjang. Ia melihat ke arah jam dinding di kamar itu yang baru menunjukkan pukul 2 dini hari. Matanya melirik pada sebuah benda mungil yang terletak pada nakas di samping tempat tidurnya. Benda seperti squishy yang memiliki warna perpaduan hijau dan ungu itu terlihat mirip dengan satu tokoh kartun anak-anak.

"Kamu pasti kecewa sama saya ya, Ndin?" Gumam Aldebaran saat membuka ponselnya dan melihat ruang chattingnya bersama Andin, yang mana gadis itu tidak memberikan balasan sama sekali sejak beberapa jam yang lalu. Aldebaran hanya ingin memastikan bahwa Andin baik-baik saja.

"Saya bingung harus memulai menceritakan semuanya dari mana. Terlalu banyak hal menyakitkan yang membuat lidah saya kelu saat ingin membuka cerita ini ke kamu. Bahkan kalau bisa, saya ingin mengubur cerita masa lalu ini dalam-dalam, tanpa orang lain harus tahu, termasuk kamu." Aldebaran mengusap wajahnya kasar dengan kedua telapak tangannya. Aura kecemasannya seolah memenuhi ruangan kamar itu yang terasa sunyi.

____________________________

Matahari kembali menampakkan dirinya, kali ini dengan cahayanya yang cerah. Namun cuaca cerah di pagi itu tak seperti kondisi Andin yang terlihat mengkhawatirkan. Ia masih bergelut dengan selimutnya, tetapi dengan rasa gelisah. Sudah berjam-jam ia terus memegangi perutnya yang kian lama kian terasa sakit. Wajahnya masih pucat seperti yang Aldebaran katakan semalam.

Saat ia sampai di rumah tadi malam, kondisi rumahnya kosong. Sang mama dan Baskara rupanya masih di luar. Sementara asisten rumah tangga mereka, Andin tidak tahu keberadaannya. Alhasil, selepas bersih-bersih dengan kondisi yang sudah agak lemas, Andin langsung tertidur dan melewatkan makan malamnya.

"Kamu masih sekolah, tidak seharusnya kamu bekerja seperti itu!"

Meski sambil menahan sakitnya, Andin mendengar samar-samar suara sang mama yang menggema dari luar. Ia mencoba untuk bangkit pelan-pelan, mencoba untuik berjalan dengan susah payah.

"Mama tidak mau kamu terlihat seperti orang yang kesusahan. Tugas kamu hanya belajar, cukup!"

"Ma, aku bukan anak kecil lagi yang harus selalu bergantung ke mama atau ke Kak Andin. Aku juga mau memilih kemauan aku sendiri." Sahut Baskara yang menjadi lawan bicara wanita itu di ruang makan tersebut.

"Iya, mama tahu, Bas. Silahkan kamu pilih jalan kamu sendiri. Tapi itu nanti, saat kamu sudah lulus sekolah. Sekarang tugas kamu adalah belajar yang baik, bukan cari uang. Kamu pikir mama nggak bisa memenuhi kebutuhan kamu?"

"Mama hanya mau kamu jadi orang yang benar, orang sukses. Bukan jadi orang yang tidak jelas mengambil kerjaan sembarangan. Apa kata orang nanti kalau tahu kamu bekerja saat status kamu masih seorang siswa sekolah? Mau ditaruh dimana muka mama? Orang-orang akan mengira kalau mama nggak bisa memberikan kamu jaminan hidup yang layak."

"Mama mau peduli apa sih soal kata orang? Bukannya selama ini mama sudah membiarkan Kak Andin bekerja siang malam untuk bisa menutupi kekurangan kita? Mama sendiri kan yang meminta Kak Andin untuk giat mencari uang bahkan sejak Kak Andin masih sekolah dulu? Kenapa giliran Baskara sekarang malah dilarang? Baskara anak laki-laki, Ma. Tanggung jawab Baskara seharusnya lebih besar daripada Kak Andin." Sahut Baskara, membuat sang mama tiba-tiba terpekur menatap putranya.

Dengan berjalan susah payah, Andin berhasil keluar dari kamarnya dan mencoba untuk menghampiri obrolan dua orang tersebut, sebab Andin rasa keduanya sedang mengalami perdebatan.

"Andin itu kakak kamu, wajar dia bertanggung jawab terhadap adiknya. Itu tugasnya sebagai seorang kakak. Kamu dan Andin itu berbeda, Bas!"

"Kalau Kak Andin selama ini menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang kakak, maka aku rasa bukan sesuatu yang salah kalau giliran baskara yang menjalankan tanggung jawab sebagai seorang adik dan satu-satunya sosok laki-laki di rumah ini. Aku tidak mau terus membiarkan Kak Andin menanggung beban itu sendirian, Ma. Terlalu banyak hal berat yang sudah Kak Andin lalui sendirian selama ini."

"Beban? Beban apa maksud kamu?" Wanita itu bertanya, memprotes.

"Aku yakin mama tahu maksudku. Selama ini Kak Andin selalu menanggung rasa sakitnya sendirian, dia bekerja bertahun-tahun untuk membantu keuangan kita tanpa pernah mama tanya perasaannya, tanpa pernah mama pedulikan rasa lelahnya. Mama hanya terfokus pada Baskara dan semua rasa sakit yang mama miliki. Mama lupa kalau yang menderita di rumah ini bukan hanya mama atau Baskara, tapi ada Kak Andin yang harus menelan semuanya sendirian." Terang Baskara dengan wajahnya yang memerah, seperti sedang menahan airmata untuk tidak merembas jatuh.

Wanita itu terhenyak mendengar penjelasan putranya yang penuh dengan emosional. Ia seperti telah ditampar bolak-balik, yang membuat matanya diam-diam malah berkaca-kaca. Benarkah seperti itu adanya selama ini? Sejahat itu kah dirinya selama ini?

"Maafkan aku, Ma. Sebenarnya Baskara sangat ingin meluapkan semua ini sejak lama, tapi Kak Andin selalu memintaku untuk tidak melakukannya. Kak Andin selalu memikirkan kondisi mama. Bagi dia ketenangan dan kebahagiaan mama yang utama."

"Tapi mulai sekarang, aku tidak mau lagi membiarkan kakakku berjuang sendirian, Ma. Sebagai laki-laki, aku yang harus ikut bertarung." Lanjut Baskara, lalu menyandangkan kembali satu tali tas sekolahnya. Tanpa menunggu respon atau ucapan dari sang mama, Baskara memilih untuk segera berangkat, meninggalkan meja makan tersebut.

//BRUUKK!!//

Susan tersentak kaget saat mendengar bunyi sesuatu. Ia menoleh ke arah sumber suara yang seketika membuat kedua matanya terbelalak.

"ANDIN!!"

____________Bersambung_____________

Jangan lupa vote dan comment, guys!

Luvv you, all!

Continue Reading

You'll Also Like

75.7K 3.3K 49
Almeera Azzahra Alfatunnisa Ghozali seorang dokter muda yang tiba-tiba bertemu jodohnya untuk pertama kali di klinik tempatnya bekerja. Latar belakan...
314K 23.8K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
245K 36.7K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
38.4K 4.9K 43
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...