STRUGGLE

By IM_Vha

24.4K 1.4K 156

[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pu... More

Prolog
1. Kesalahan
2. Rasa Aman
3. Perbandingan
4. Just Wanna Sleep
5. Mama
7. Sebuah Alasan
8. Rindu
9. Not Okay
10. Katanya, Rumah Tempat Ternyaman
11. Liburan
12. Liburan (2)
13. Sebuah Apresiasi
14 ; Si Akar Masalah
15. Keduanya Terluka
16. Seorang Teman
17. Mencoba Terbuka

6. Mabuk

884 94 15
By IM_Vha

Masalah privasi, sejujurnya Rei tak jauh berbeda dengan Theo. Ia memiliki otoritas penuh terhadap kamarnya, dan berhak mengatur siapa saja yang bisa masuk. Akan tetapi, di lain sisi, Rei sering kali lupa untuk mengunci pintu. Akibatnya, siapa pun bisa bebas keluar-masuk kamarnya tanpa hambatan berarti.

Seperti saat ini, di mana pemuda itu nyaris saja lelap dalam tidurnya. Tiba-tiba sosok Theo sudah berdiri di tepi ranjang, tanpa berpikir panjang pun Rei tahu itu kakaknya. Sebab sang ayah tak pernah sekali pun masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu, karena Samuel adalah orang yang penuh etika dalam bersikap. 

Pencahayaan yang remang-remang membuat Rei tidak bisa melihat jelas, ekspresi macam apa yang Theo tampilkan saat ini.

"A–ada apa, Bang?" tegur Rei dengan suara bergetar.

Ini jelas bukan hal baik. Melihat Theo mendatangi kamarnya setelah mendapat amukan Samuel adalah situasi yang paling ditakuti Rei. Emosi Theo pasti kini tengah meluap-luap, dan tak ada yang bisa menjadi pelampiasan. Merusak seisi kamar pun sama sekali tak bisa membuat gejolak itu reda. Dan alternatif terakhir untuk meredam semua itu adalah melampiaskan sisa kemarahannya pada Rei.

"Bang, ki–kita bisa omongin ini baik-baik, 'kan? Tahan emosi lo, jangan bikin gaduh ini—"

Belum selesai Rei berucap, sebuah tinju melayang tepat mengenai kepala bocah itu. Membuat bocah itu limbung dan terhempas ke lantai begitu saja. Beruntung, Rei masih punya cukup tenaga untuk menahan bobot tubuhnya sehingga ia tidak benar-benar terjatuh.

Namun, bukan Theo jika hanya berhenti sampai di situ. Menyadari jika pukulannya tak membuat Rei jatuh, ia kembali melayangkan tendangan. Kali ini tepat mengenai betis sang adik hingga sosok yang tadinya berusaha berdiri kini benar-benar tersungkur.

Rei mengerang tertahan, sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara meski rasa sakit akibat tendangan Theo sungguh luar biasa. Belum hilang keterkejutan, sebuah pukulan lagi-lagi hinggap di wajah Rei. Membuat pandangan bocah itu sedikit mengabur dan pening. 

Tepat setelah mendapat bogem mentah dari Theo, Rei akhirnya menyadari sesuatu. Jika ternyata saat ini kakaknya tidak sedang dalam kondisi sadar. Ada aroma pekat yang menguar saat cowok itu menghela napas. Fakta bahwa Theo sedang dalam pengaruh alkohol menjadikan Rei semakin dihantam rasa panik.

"Astaga, sadar, Bang! Ini udah malem. Jangan sampai keributan kita, kedengeran lagi sama Papa. Lo tahu sendiri 'kan gimana reaksinya?" sergahnya dengan suara tertahan.

Ia ketakutan, tetapi jika tak melakukan pembelaan, maka sama saja dengan dia merelakan tubuhnya menjadi samsak untuk Theo yang sedang gelap mata. Perlahan ia beringsut, memangkas jarak antara keduanya. Kemudian, ketika dirasa sudah cukup jauh, Rei berdiri.

Dengan sedikit terhuyung remaja itu berjalan terseok ke arah pintu kamar mandi. Ya, dia akan bersembunyi di dalam kamar mandi hingga emosi Theo reda. Seperti yang biasa ia lakukan jika berada di situasi semacam ini. Sebab jika Rei berlari keluar kamar, itu sama saja dengan menyuguhkan Theo pada kemarahan sang ayah.

Cukup sekali bagi Rei yang mengadukan tentang perlakuan Theo padanya. Karena jika sampai ada kali ke dua Samuel melihat Theo menghajar Rei, mungkin cowok bule itu tidak akan bisa melihat hari esok. Menjadi sosok yang diprioritaskan bagi Rei bukan hal yang bisa dibanggakan. Apalagi oleh Samuel, yang jelas-jelas memiliki Theo sebagai anak kandungnya, tetapi malah memilih Rei.

"Open the door, you fu*ker! Jangan cuma beraninya sembunyi di kamar mandi! Lo pikir hebat setelah berhasil jadi anak kebanggaan, hah?! Bahkan gue sampai nggak terlihat di mata bokap sendiri," geram Theo sembari terus menggedor pintu kamar mandi yang sudah terkunci rapat.

Theo tertawa serak. "Lo pikir gue nggak bisa jadi sepinter lo? Nilai sempurna, multitalenta, bahkan lulus sekolah dua tahun kemarin juga gue bisa. Tapi buat apa gue lakuin itu semua, kalo mata orang tua itu cuma fokus ke lo, bangsat?!"

"Sialan, gara-gara lo, gue jadi orang asing di sini. Padahal harusnya lo yang bukan siapa-siapa itu tetep bukan siapa-siapa. Tapi Papa malah terhasut sama muka sok polos lo. Shit, I f*uking hate you!"

Masih banyak lagi umpatan-umpatan yang Theo layangkan. Bahkan dari balik pintu kusen yang cukup tebal, Rei bisa merasakan, seberapa besar amarah Theo yang tumpah ruah. Semua kemarahan serta kebencian itu tak lain adalah tertuju padanya. Rei tak bisa berbuat apa-apa selain bersimpuh di atas dinginnya lantai kamar mandi sembari menahan air mata yang bisa tumpah kapan saja.

Sakit ... sangat sakit, sampai-sampai Rei merasa ada puluhan bilah belati menghujam dadanya. Sudah tidak terhitung berapa banyak Theo mencaci-maki, tetapi kadar sakitnya tak kunjung pudar. Bahkan justru semakin sakit, tak hanya batin, tapi juga fisik.

Pemuda itu mengusap air yang nyaris lolos dari pelupuk mata. Lantas, senyum tipis terulas. Bodoh, mungkin itulah kata yang cocok untuk mendeskripsikan dirinya. Si bodoh yang berjuang untuk kebahagiaan orang-orang, padahal sendirinya pun tahu bahwa dia juga butuh bahagia.

🍬🍬🍬

Menjelang tengah malam, Rei baru benar-benar berani membuka pintu dan melangkah keluar. Meski amukan Theo sudah tak lagi terdengar sejak dua jam lalu, ia tak mau ambil risiko. Karena terkadang Theo akan tetap menunggunya di depan pintu hingga Rei keluar.

Saat ini pun Rei sudah mempersiapkan diri jika saja Theo akan menyerangnya. Sebab dia sudah tidak kuat lagi menahan kantuk. Sedangkan tidur di dalam kamar mandi adalah pilihan yang buruk.

Namun, apa yang tersaji di depannya saat pertama kali membuka pintu adalah pemandangan yang membuat bocah itu ternganga. Rei merasa sama sekali belum tidur, tapi apakah sekarang ia sudah bermimpi? Bagaimana bisa, seorang Theo kini tengah tertidur di atas kasurnya?

Bukan hanya tidur biasa, tetapi cowok jangkung itu bahkan tampak begitu pulas. Dengkuran halus terdengar seirama dengan deru napasnya. Dari sudut pandang manapun, posisi tidur seperti itu pertanda bahwa si empunya tidur dengan nyaman.

"Aw! Sakit, tuh."

Masih tak percaya dengan apa yang dilihat, Rei mencubit lengannya sendiri. Jika ini mimpi, sekeras apa pun cubitan itu sama sekali tidak sakit. Namun, sakit yang ia rasakan sekarang begitu nyata. Bahkan lengannya tampak memerah. Yang berarti semua ini nyata. Dan Theo benar-benar tertidur di kamar Rei!

Bocah itu meringis sembari menggaruk tengkuknya. Entah sekarang ia harus bahagia atau apa, karena Theo yang mabuk kini tertidur di kamar yang katanya paling dibenci. Rei tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Theo besok jika sadar bahwa ia tidur di kamar yang salah.

"Bodo amatlah. Besok tinggal bangun duluan sebelum dia bangun. Kalo gitu 'kan gue aman," celetuknya setelah beberapa saat memandangi Theo dengan penuh keheranan.

Lagipula, membangunkan Theo agar pindah ke kamarnya sendiri juga bukan ide yang tepat. Cowok itu pasti akan semakin murka karena diganggu saat tidur.

Alhasil Rei memilih menjauh, berjalan ke salah satu dari tiga lemari dan mengambil sebuah selimut. Beruntung, karena Calvin sering menginap di rumah, maka Rei juga memiliki sebuah selimut cadangan. Ia pun memutuskan untuk tidur di sofa, dan enggan mengusik ketenangan sosok yang tampak begitu lelap itu.

Satu, dua ... bahkan dua puluh menit berlalu, Rei tidak bisa memejamkan mata barang satu detik pun. Kantuk yang semula menyergap kini menguap. Digantikan dengan isi kepala yang mulai berisik.

Bocah itu mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk, lantas mendengkus cukup keras.

"Sial!" desisnya frustrasi. Ia kemudian terduduk di tepi sofa sembari memijit pelipisnya.

Selalu saja seperti ini. Ketika tubuhnya meronta meminta diistirahatkan, kepala dan matanya justru bertolak belakang. Selalu ingin terbuka, dan selalu mengeluarkan suara yang hanya bisa didengar oleh Rei sendiri. 

Rei tahu, mengonsumsi obat tidur terlalu sering itu memiliki risiko yang berbahaya. Bahkan meski itu atas resep dokter, tetap saja dengan segala hal yang berlebihan memang tidak baik. Namun, sering sekali Rei terpaksa menelannya demi meredam kebisingan di kepala dan menutup kedua kelopak mata.

Mengambil botol kapsul kecil dari laci nakas, netra remaja itu mencuri pandang ke arah kakaknya. Bahkan saat ia menutup laci dengan cukup keras, sosok itu masih bergeming. Sama sekali tak terganggu dengan kegaduhan kecil yang Rei ciptakan.

Mungkin itu efek dari mabuk, tetapi Bi Salma juga pernah mengatakan jika Theo adalah tipikal yang mudah terlelap dan cukup sulit jika dibangunkan. Mendengar penuturan itu, entah kenapa Rei sedikit iri. Rasanya pasti menyenangkan ketika seseorang bisa dengan mudah tertidur. Tidak seperti dirinya yang sering dihantam insomnia padahal usianya belum genap tujuh belas.

Namun, pantaskah Rei merasa iri? Sementara ia sendiri tahu, Theo bisa tidur nyenyak bukan berarti hidupnya bahagia. Dan sejak awal, Rei harusnya sadar, bahwa dirinya tidak berhak untuk iri.

–STRUGGLE–

Hallo~
U

pdate lagi, yaa. Seperti biasa, untuk yg mau baca duluan bisa ke Karyakarsa. Link ada di bio.


Sekian and enjoy ~

Salam

Vha

Continue Reading

You'll Also Like

144K 13K 21
- Darah lebih kental dari pada Air - ⚠️ENDING ADA DI KARYAKARSA⚠️ Awal: 7 Februari 2023 Akhir: 18 Maret 2023 No.1 #sickstory 21 februari 2023 No.1 #s...
4K 315 23
WARNING❗ CERITA INI MURNI DARI PIKIRAN AUTHOR. TIDAK ADA KATA KATA YANG MENGCOPY SAMA SEKALI. NAMUN JIKA ADA YANG SAMA MAKA MUNGKIN HANYA KEBETULAN S...
SAHASIKA By kuninggg

Teen Fiction

25.5K 1.4K 53
"Tempatmu pulang adalah tempat dimana ada orang yang merindukanmu" Entah mengapa, Rido selalu mengingat kata- kata itu. Kata yang didengarnya dari fi...
1K 104 8
"Dia memang lelaki cacat, tapi dia adalah sosok yang sempurna untuk Ibunya." Arbian Kavidra, seorang pemuda cacat yang hanya memiliki satu mata saja...