Jendela Joshua (End)

By meynadd

4.9K 1.1K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 30 - Pulang
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut

60 16 0
By meynadd

Esok harinya, pukul delapan pagi lewat tiga puluh menit. Di kantor penerbit Magnet Group. Lantai dua bagian staf editorial.

"Syukurlah, kamu kemari lagi, Josh!"

Wanita muda itu berseru gemas selayaknya pasangan yang baru saja digantung selama tiga bulan dan rasanya dia ingin sekali meremukkan wajah oriental pemuda yang selama ini terbayang-bayang dalam benaknya.

Sedangkan pemuda putih pucat itu terpaku di tempat usai memasuki bilik meja kerja Kartika. Terlihat wanita itu sibuk membereskan beberapa naskah yang menumpuk.

Ketika disapa begitu, Joshua bergestur seperti orang yang baru kedapatan berselingkuh.

"Kamu tahu nggak, Josh?"

Kartika lantas mengambil setumpuk kertas HVS lalu merapikannya.

"Tiga bulan lalu, Saya datang ke kedai itu ingin menemuimu," ujarnya.

Setumpuk kertas tadi terhentak sangat keras di atas meja. Membuat Joshua tersentak dalam waktu bersamaan.

"Rupanya kedai itu dijual karena jatuh bankrut. Untungnya, saya nggak sengaja ketemu sama rekanmu, Hendra. Dia bilang kamu sudah pulang lebih dulu ke korea!"

"Ha?" Joshua ternganga.

Kartika menghentakkan setumpuk kertas lainnya ke atas meja. Lalu menatap Joshua sesaat kemudian menghela napas panjang.

"Astaga, Josh! Pekalah!" tegas Kartika sambil mengeluarkan kedua telapak tangan ke arah pemuda di hadapannya.

Sepersekian detik, Joshua ber-oh cukup panjang. Dia lantas menggaruk-garuk kepala.

"Maaf, Mba. Ada hal mendesak waktu itu, jadi mohon maaf."

Kartika lantas memijat kening tak karuan.

Maksudnya bukan begitu, dia hanya ingin menekankan kembali dari perkataan sebelumnya. Bahkan dia tak pernah menuntut seseorang untuk meminta maaf.
Malah akan terlihat kekanak-kanakan bila direspon begitu oleh Joshua.

Pemuda itu memang tipikal orang yang sulit sekali dikasih paham.

"Bukan. Saya tahu itu. Jadi nggak perlu minta maaf, Josh. Cuma agak kesal aja kamu lambat konek yang saya bilang."

Joshua lantas terkekeh-kekeh. Dia kemudian mendekat, lalu duduk di kursi satunya.

"Mba Tika, saya mau nanya soal naskah puisi itu. Apa ada kabar dari tim redaksi?" Joshua bertanya dengan tatapan yang berseri-seri.

Sementara Kartika terhenyak sekejap, menghentikan merapikan kertas.

Dia menatap Joshua lamat-lamat kemudian akhirnya berkata, "Rencananya saat itu saya ingin memberitahumu kalau naskah-naskah lolos akan diberitahukan lima hari lagi setelah pengecekan tiga bulan."

Joshua lantas mengernyit. "Maksud Mba, saya harus nunggu lima hari lagi dari sekarang?"

Wanita muda itu menangguk pelan. "Coba saja kamu nggak pulang ke korea dulu, Josh. Yang ada dapat berita mendadak begini."

"Tapi ... Kok bisa?"

Kartika mengusap wajah gusar. Lalu menggeleng-geleng.

"Detilnya saya kurang tahu. Mungkin atasan mengganti skedulnya, mengingat banyak pula naskah yang masuk akhir-akhir ini."

Kepala pemuda itu tertunduk lesu. Kalau seperti ini caranya dia tidak punya banyak waktu lagi di Jogja.

Sebelumnya, Joshua sudah mengabari sang ibu di Busan melalui telepon rumah Umar, ibunya sempat berpesan untuk segera pulang dalam waktu seminggu ini.

Jika dia perlu lima hari untuk menunggu tentu akan ada kemungkinan bahwa dia menunggu konfirmasi sehari setelahnya tapi besar harapan akan ada kepastian dari sananya.

Entah kenapa semakin mengulur waktu justru hati pemuda itu semakin cemas.

Usai membereskan sisa kertas yang tersisa, Kartika kembali ke obrolan.

"Ngomong-ngomong, Josh. Kamu ke sini ditemani?"

"Nggak, Mba. Saya pergi sendirian."

"Loh? Saya lihat Pak Tirto Koesno ada di ruang pemimpin redaksi barusan, lagi berbincang sama atasan. Saya kira kamu pergi bareng beliau."

Hal itu sukses membuat Joshua semakin terperangah.

Di lubuk hati terdalam, tak ada secuil niat pun untuk menemui Evans apalagi berangkat bersama ke kantor penerbitan yang jelas-jelas adalah saingan dari penerbitan Evans itu sendiri.

Lantas, ada apa gerangan Evans datang untuk menemui pemimpin redaksi Magnet Group? Bekerja sama? Berkolaborasi? Yang jelas semua kembali kepada orang yang dimaksud.

Joshua sendiri tidak ingin ambil pusing. Biarlah itu jadi urusan ayahnya. Kini, dia tak peduli lagi.

"Anehnya ...," gumam Kartika memangku wajah dengan salah satu tangannya di atas meja.

"Ketika sempat bertanya padanya, Pak Tirto mengaku kalau beliau nggak kenal denganmu."

Beberapa detik kemudian, hati Joshua mulai meraung. Kepalan tangan semakin kuat. Nyaris saja wajah nan putih itu memerah. Kursi yang Joshua duduki seperti ada rajam yang menusuk-nusuk dari bawah. Reaksi tersebut dia tutupi sedemikian rupa sampai Kartika tidak menyadarinya.

Dia menarik napas dalam, berkata dengan tenang. "Serius, Mba?"

"Iya serius. Pak Tirto juga bilang kedatangannya kemari ternyata ingin menerbitkan buku barunya!"

Tiba-tiba saja pandangan Kartika tertuju pada satu titik, dua orang pria paruh baya keluar dari ruangan pemimpin redaksi yang tak jauh dari bilik para staf editorial. Mereka berjalan mengitari bilik lalu berhenti tepat di seberang bilik kerja Kartika. Keduanya tampak masih berbincang.

"Josh ... beliau ada di belakangmu," desisnya.

Joshua lantas memutar badan tanpa beranjak dari kursi. Dia melihat sebidang punggung yang amat dikenalinya selama ini sedang membelakanginya.

"Terima kasih sudah mampir ke kantor kami, Pak Tirto. Kami pun berkenan menerima naskah anda bila anda bersedia bekerja sama."

Begitulah penggalan percakapan yang dapat Joshua dengar dari mereka.

Usai dua tangan itu saling menjabat, Jantung Joshua sontak berdebar-debar minta ampun pada saat presensi itu lekas menoleh ke arahnya.

Joshua terperangah bukan main. Hati yang diisi rasa benci berangsur melunak. Rasa amarah kian pupus bersamaan terbitnya senyuman ramah dari pria itu sekilas.

Lalu perlahan pria itu berjalan sambil meninggalkan kesan yang tak disangka-sangka.

Mata Joshua masih menatap kepergian presensi tersebut sampai mulutnya dengan lepas berceletuk.

"Mba Tika, maaf sebelumnya kalau saya salah ngomong. Tirto Koesno yang Mba kagumi bukan Tirto Koesno yang selama ini saya kenal."

Kartika seketika mengernyit. "Maksudmu, Tirto Koesno itu bukanlah ayahmu?"

Joshua lantas menoleh kembali ke hadapan wanita tersebut sambil mengangguk yakin. "Mungkin karena nama mereka mirip-mirip. Sampai saya berpikir Mba Tika mengagumi ayah saya juga."


***

***

Sesampai di rumah Umar tepat pukul sepuluh lewat lima menit, Joshua memutuskan untuk bertanya barangkali pemuda dingin itu mengetahui sesuatu tentang penulis yang namanya selalu disebut itu.

Walaupun Joshua bisa bertanya langsung pada Kartika tadinya, akan tetapi wanita muda itu tampak sangat sibuk mengurus naskah setelah pemimpin redaksi menghampiri dan meminta untuk kembali bertugas.

Sesaat kemudian, Umar teringat satu hal lalu mencari-cari sesuatu dari dalam kamar dan menemukan sebuah majalah yang kertasnya mengusam dan sedikit berdebu.

"Aku punya banyak, mungkin yang satu ini bisa membantu," ujarnya frontal setelah kembali ke ruang tengah lalu mengulurkan majalah itu kepada Joshua.

Joshua lekas menggapai uluran tersebut.

Terlihat ada sebuah potret seorang pria paruh baya tersenyum ramah dengan sebuah headline yang dimuat di bagian sampul depan majalah yang bertuliskan, Tirto Koesno, Yang Namanya Selalu Disebut.

Dia kian bergulir ke halaman berikutnya, membaca setiap tulisan yang membahas tentang pria tersebut.

Seperti yang kebanyakan orang tahu, Tirto Koesno merupakan sesosok penulis yang berpengaruh sekaligus penyair yang melegenda.

Segala puisi yang beliau rancang adalah hasil manifestasi dari pemikiran-pemikiran mengenai apa yang terjadi di masyarakat umum dari masalah sosial yang sering terjadi bahkan masalah politik yang tak luput disorot oleh media massa.

Hingga di satu poin, Joshua tidak kunjung menemukan alasan konkrit yang membuat Evans mengklaim bahwa dirinya adalah Tirto Koesno, teman dekatnya sendiri.

Di majalah, tidak pula tertulis skandal penjiplakan naskah apalagi kasus plagiarisme dengan membawa-bawa nama sang penulis.

Buat apa Ayah bohong kayak gitu padaku? Apa yang sebenarnya Ayah sembunyikan selama ini?

Joshua menghempaskan majalah di genggaman ke sembarang arah.




Hlm 36 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

638 79 4
Bagi Cakra, dunia ini palsu. Kehidupan hanya berpihak pada hal yang dicintai oleh semesta, dan hal itu bukan Cakra. Ada banyak manusia yang terasa se...
The Cure By Zhanshi04

General Fiction

1.5K 322 59
Giyanta dihadapkan dengan masa lalunya yang belum selesai. Ia pikir luka bisa sembuh seiring waktu berjalan. Sayangnya, ia juga lupa kalau luka dalam...
5.9K 763 31
[Rom-Com] Cerita klasik, picisan, dan cheesy tentang Chanyeol dan Wendy. Jane merupakan mahasiswi yang hobi ngegas sana-sini dan prinsipnya adalah se...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

134K 18.5K 48
hanya fiksi! baca aja kalo mau