Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(34) Oma Diana

1.5K 269 19
By dekmonika

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, mobil yang dikendarai oleh Aldebaran sampai di sebuah halaman cukup luas dimana disana berdiri sebuah rumah besar, bahkan hampir menyerupai villa yang berada di tengah-tengah bukit kecil yang di sekelilingnya terdapat hamparan kebun teh menghijau.

Aldebaran dan Andin lantas keluar dari mobil tersebut. Andin terlihat takjub memandangi suasanan di sekelilingnya. Kondisi setelah gerimis yang menyelimuti membuat terasa semakin dingin meski saat itu waktu masih menunjukkan siang hari. Andin memejamkan matanya, menghirup perlahan udara segar disana.

Ia mengenal tempat ini. Andin tidak pernah lupa udaranya, suasananya, sekaligus kehangatan yang tercipta. Dan rumah besar yang didominasi cat putih di hadapannya itu pun ia masih ingat. Keadaan itu membuat Andin deJavu. Tidak salah lagi, ini pasti udara yang sama seperti yang ada di dalam memori masa kecilnya.

Andin membuka matanya kembali dan ternyata Aldebaran telah berdiri di hadapannya dengan tersenyum manis. Andin menatapnya, lekat, seperti sedang berusaha mencari sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan teduh pria di hadapannya.

"Kenapa?" Aldebaran bertanya. Andin tidak menjawab. Ia masih menatap Aldebaran, kemudian kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Aa!" Seseorang terdengar berseru, membuat Aldebaran dan Andin menoleh secara bersamaan.

Aldebaran tersenyum lebar melihat seorang wanita yang berdiri di depan pintu mendapati kedatangan mereka. Wanita itu terlihat berumur kisaran empat puluh tahunan ke atas. Ia mengenakan baju daster biasa dan rambut yang dicepol, sedangkan satu tangannya memegang sapu.

"Ya ampun si Aa! Sudah lama pisan tidak kesini malah makin kasep." Wanita itu menghampiri mereka yang masih berdiri di halaman rumah tersebut.

"Bagaimana kabar Bibi? Baik?" Aldebaran menyapa.

"Damang, atuh. Eleuh-eleuh kenapa gak bilang kalau mau kesini? Kan biar bibi bisa buatkan makanan yang enak-enak." Timpal wanita itu dengan bahasa dan logatnya yang kental.

"Hehee, dadakan, bi."

"Si Aa, mah." Sahutnya sambil menepuk lengan Aldebaran. Pandangan wanita itu beralih pada sosok gadis yang berdiri di samping Aldebaran, yang juga tengah tersenyum padanya.

"Aa bawa siapa? Geulis pisan. Pacar?" Wanita itu mencoba memberikan ledekannya pada Aldebaran. Pria itu spontan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.

"Oma mana, ya, bi?" Aldebaran mengulum senyumnya, mencoba mengalihkan pembicaraan. Andin yang mengerti bahwa kekasihnya sedang salah tingkah hanya bisa terkekeh pelan.

"Ihh, dijawab dulu atuh pertanyaan bibi!"

"Pertanyaan yang mana?"

"Ini teh, siapa? Pacarnya Aa, ya?" Aldebaran melirik Andin, begitupun sebaliknya, saling melemparkan senyuman rahasia.

"Calon istri." Jawab Aldebaran membuat wanita itu membelalakkan matanya karena kaget. Sedangkan Aldebaran langsung menggandeng satu tangan Andin dan berlalu untuk memasuki rumah tersebut, meninggalkan wanita itu yang masih terlihat kaget.

"Aa tungguin!"

"Itu tadi siapa, Mas?" Tanya Andin penasaran.

"Namanya Bi Endang. Dia asisten rumah tangga disini. Dia yang dari dulu sampai sekarang menemani Oma. Disini Bi Endang sama suaminya juga yang bertugas jadi tukang kebun sekaligus supir kalau Oma mau kemana-mana." Jawab Aldebaran membuat Andin mengangguk paham.

"Jadi, ini rumah masa kecil kamu?" Andin memperhatikan ruangan luas yang sedang mereka lewati. Di dinding-dindingnya terdapat berbagai macam foto keluarga jaman dulu hingga aneka lukisan.

"Iya." Jawabnya, singkat.

Mereka kini memasuki area outdoor rumah tersebut. Tanahnya ditumbuhi rerumputan hijau jepang yang menjalar dan beberapa sudutnya terdapat aneka tumbuhan hias serta pepohonan kecil yang menambah suasana asri. Terdapat beberapa gazebo kecil untuk bersantai yang mana di tengah-tengahnya ada kolam kecil yang berisi ikan-ikan hias.

"Itu Oma." Aldebaran mengarahkan pandangannya pada salah satu gazebo kecil itu yang mana terdapat seorang perempuan yang tengah duduk membelakangi mereka dan terlihat sedang mengerjakan sesuatu.

"Namanya Oma Diana."

"Ayo saya kenalkan." Andin tampak mengangguk, kikuk. Tiba-tiba perasannya menjadi gugup saat melihat sosok wanita tua yang sedang menyendiri itu. Namun Aldebaran terus menggandeng tangannya hingga mereka tiba di dekat sang Oma.

"Lagi sibuk banget, Oma?" Tegur Aldebaran membuat Andin melirik kekasihnya itu sesaat.

Wanita tua berkacamata yang sedang asik merajut itu pun menjeda aktivitasnya. Ia sedikit menoleh ke belakang dimana kedua sejoli itu tengah berdiri. Wanita itu sedikit menyipitkan matanya, berusaha memperjelas pandangannya pada sosok yang baru saja memanggilnya. Sedangkan Aldebaran masih berdiri dengan tersenyum lebar.

"Aa?" Sang Oma bertanya. Aldebaran terkekeh, kemudian mengangguk.

"Iya, Oma. Ini Aldebaran." Wanita yang dipanggil oma itu bergegas bangkit dari tempat duduknya, mengenakan kembali alas kaki yang dilepas dengan bantuan Aldebaran. Tanpa disadari, Andin tersenyum melihat perhatian kecil yang diberikan pria itu pada sang oma.

"Kenapa nggak bilang mau kesini?"

"Oma nggak mau peluk aku dulu?" Protes Aldebaran sambil membuka kedua tangannya agar dipeluk oleh omanya. Wanita itu tersenyum, lalu langsung memeluk cucunya tersebut.

"I miss you, Oma." Tutur Aldebaran. Mendengar ucapan Aldebaran, wanita tua itu lantas melepas pelukan mereka dan menepuk salah satu lengannya.

"Aduh!" Aldebaran meringis.

"Bohong kamu. Bilangnya kangen tapi nggak pernah nengokin oma disini." Omel wanita itu membuat Aldebaran melirik Andin sesaat.

"Loh, pas pulang dari Amerika kemarin aku kan kesini, Oma."

"Iya, setelah itu nggak pernah kesini lagi. Adik kamu juga. Mama papamu apalagi. Sesekali pas libur datang kesini dong. Oma kangen kumpul-kumpul sama kalian."

"Iya, Oma. Kita minta maaf ya. Nanti deh Al akan sampaikan ke yang lain biar kita bisa merencanakan liburan bareng kesini lagi."

"Harus!"

"Baik, Oma." Aldebaran menyahut sambil terkekeh.

Wanita tua berkacamata itu beralih menatap sosok perempuan yang datang bersama cucunya. Andin mengangguk sopan sebagai bentuk sapaannya sambil memamerkan senyuman hangat pada wanita itu.

"Pacar kamu, A?" Tanya sang oma, tanpa basa-basi. Masih sedikit salah tingkah, Aldebaran tetap mencoba memperkenalkan Andin pada Omanya.

"Namanya Andin, Oma." Ucap Aldebaran. Andin mengulurkan tangannya, bersalaman dengan wanita itu dengan penuh rasa hormat.

"Salam kenal, Oma." Ujar Andin. Sang oma masih tak beralih dari wajah gadis itu. Dengan senyuman tipisnya, ia mengangguk-angguk kecil.

"Salam kenal, Nak. Kamu cantik sekali." Puji wanita tua itu membuat Andin tersipu.

"Terima kasih, Oma."

"Pantas saja Al langsung kepincut." Gumam Oma namun masih didengar oleh Aldebaran dan Andin. Andin terkekeh sambil melirik kekasihnya itu dengan usil.

"Jadi, kapan kalian akan menikah?" Tanyanya, to the point. Aldebaran dan Andin saling melirik. Namun saat Aldebaran akan membuka suaranya kembali, bibi yang menyambut kedatangan mereka tadi tiba-tiba ikut menimbrung.

"Main tinggal saja sama bibi di depan. Kan bibi juga mau tahu sama calonnya Aa." Kata wanita itu, melirik cucu majikannya itu dengan usil.

"Nama neng siapa? Kalau bibi, panggil saja Bi Endang." Andin tersenyum manis, sambil mengangguk kecil.

"Salam kenal, Bi. Saya Andin." Balas Andin, ramah.

"Eleuh-eleuh, si kasep teh tahu juga sama yang geulis-geulis macam neng Andin. Bibi pikir Aa taunya kerja aja." Ungkap Bi Endang membuat Aldebaran melayangkan tatapan tajamnya, sedangkan Andin tertawa tanpa suara saat melihat reaksi kekasihnya.

"Iya dong, cucu Oma mah pinter milihnya." Balas Oma Diana.

"Tidak diragukan lagi, Oma. Dilihat sepintas begini saja mereka kelihatan cocok." Timpal Bi Endang membuat Andin tersenyum kikuk. Aldebaran menghela nafasnya mendengar dua wanita itu yang masih asik saling berkomentar.

"Sudah sudah. Daripada kamu terus berceloteh seperti ini, lebih baik siapkan makanan dan minuman untuk cucu-cucu Oma ini." Perintah Oma pada Bi Endang.

"Oiya, sampai lupa, hehe. Bibi bikinkan minum sama makanan dulu, ya, A."

"Makasih, Bi." Ucap Aldebaran dan Andin, bersamaan. Lalu wanita itu pun berlalu pergi.

"Yasudah, kita masuk ke teras saja, yuk. Disini sudah mau gerimis lagi, dingin." Ajak Oma Diana sembari menggandeng tangan sepasang sejoli itu.

"Ayo, Oma." Balas Aldebaran, menggenggam tangan keriput wanita tua yang tampak masih cantik itu.

"Sekalian kita melanjutkan obrolan kita." Lanjut wanita itu membuat Aldebaran dan Andin saling memandang.

Tak lama berselang, Bi Endang datang dengan membawa tiga gelas minuman hangat, sepiring ubi rebus yang telah dibalut dengan bumbu khasnya, dan sajian kudapan khas sunda yang terbalut daun pisang yang dikukus. Bi Endang menghampiri sesosok laki-laki yang berada di pinggiran kolam kecil pada taman rumah tersebut. laki-laki itu sepertinya tengah memberi makan ikan-ikan hias yang ada disana. Sementara Oma Diana dan sepasang sejoli tadi hanya duduk pada kursi rotan sembari memperhatikan aktivitas dua orang di depan sana.

"Ini apa, Oma?" Tanya Andin sebelum akan menyesap minuman pada mug yang sudah ada di genggamannya.

"Itu namanya bandrek, Nak. Minuman untuk menghangatkan badan saat cuaca dingin seperti ini."

"Ohh." Andin mengangguk, lalu mulai mencicipi minuman tersebut. Setelah meresapi rasanya, sepertinya Andin menyukainya.

"Bagaimana?" Tanya Oma saat melihat reaksi Andin yang tersenyum tipis.

"Enak, Oma. Hangat jahenya terasa banget." Jawab Andin.

"Bandrek memang kesukaan keluarga ini dari dulu kalau cuaca lagi sering hujan dan dingin. Apalagi resep nenek moyang Oma, nggak ada duanya."

"Iya, Oma, ini enak banget. Dulu saat masih kecil aku sering liburan ke puncak bogor ini juga, ke rumah nenek, tapi tidak pernah mencicipi bandrek ini." Jawaban Andin itu membuat Aldebaran teringat akan sesuatu. Pria itu meletakkan mug-nya kembali ke atas meja.

"Nenek kamu tinggal di puncak Bogor ini juga?" Oma bertanya penasaran.

"Iya, Oma. Seingatku tidak jauh dari sini sih. Tapi aku sedikit lupa karena mungkin rumahnya sudah direnovasi oleh pemilik barunya, dan nenek juga sudah lama meninggal." Andin bercerita singkat yang tampaknya disimak serius oleh Oma Diana.

"Oma, Andin, aku ke mobil dulu, ya. Kelupaan sesuatu." Aldebaran menengahi obrolan mereka.

"Iya, A." Balas Oma.

"Iya, Mas." Sahut Andin juga.

Sepeninggal Aldebaran, Oma Diana mencetuskan ide untuk mengajak Andin menelusuri beberapa area rumah tersebut sambil melanjutkan cerita mereka. Ajakan itu pun disambut Andin dengan senang hati. Dua wanita yang terpaut usia hampir setengah abad itu pun berjalan berdampingan memasuki rumah tersebut.

"Al dan Roy menghabiskan masa kecil mereka disini, di rumah ini. Jadi, cukup banyak rekam jejak mereka yang tersimpan di rumah ini." Kata Oma.

"Oma asli orang Bogor sini?" Tanya Andin.

"Iya, Oma asli dari sini. Cuma memang pernah beberapa kali merantau waktu muda dulu. Pernah tinggal di Jakarta, di Papua, bahkan di Singapura pun pernah."

"Serius, Oma?"

"Iya. Kalau di Singapura dulu pernah sekolah disana. Kalau di Jakarta dan Papua, mengikuti tugas Opanya Al yang kebetulan adalah bagian dari TNI angkatan darat. Saat opanya memutuskan pensiun dini karena sakit, kami akhirnya kembali ke Bogor sampai sekarang."

Andin tampak terpesona dengan cerita yang dipaparkan oleh Oma Diana.

Mereka melambatkan langkah saat tiba di sebuah area ruang tengah yang memajang cukup banyak foto klasik dan beberapa di antaranya hanya berwarna hitam putih, khas foto-foto jadul.

Pandangan Andin berhenti pada sebuah binkai foto yang berukuran cukup besar yang memperlihatkan tiga orang dengan dua orang yang Andin kenal. Dua orang itu tampaknya adalah Oma Diana sendiri dan Rossa, ibu dari Aldebaran. Tapi sosok laki-laki di antara mereka Andin tidak pernah melihatnya. Apakah dia putra Oma Diana juga? Tanya Andin dalam hati.

"Ini tante Rossa kan, Oma?" Andin mulai bertanya. Oma Diana melihat ke arah foto yang dimaksud Andin.

"Iya, Nak. Itu foto Oma dan kedua anak Oma. Salah satunya adalah Rossa, mamanya Aldebaran."

"Ohh."

"Nah, kalau laki-laki itu anak sulung Oma, namanya Pram. Tapi dia sudah lama meninggal karena mengalami kecelakaan tragis." Mendengar hal itu Andin baru ingat bahwa ia pernah mendengar cerita tersebut dari Rossa. Jadi pria itu yang bernama Pram? Sahabat lama mamanya. Tapi entah mengapa, wajah pria di foto itu mengingatkannya akan seseorang.

"Dulu, Aldebaran itu anak yang pendiam sekali. Dia sulit berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan mama papanya sendiri. Dia suka menyendiri. Dia bahkan tidak punya teman selain Roy. Saat mama papanya mengajaknya pindah ke Jakarta pun awalnya dia tidak mau, tapi entah apa yang kemudian membuatnya berubah pikiran."

"Dan kalau melihat Aldebaran yang sekarang, Oma sangat senang dengan perubahannya. Terlebih saat kamu hadir di kehidupannya, Oma mendengar banyak cerita dari Rossa soal kamu. Rossa bilang Al menjadi jauh lebih hangat setelah dekat dengan kamu. Al jadi lebih terbuka banyak hal pada keluarganya sendiri." Lanjut Oma.

"Oma jangan memujiku berlebihan."

"No. Oma berkata sebenarnya. Kamu memberikan dampak yang sangat baik bagi cucu kesayangan Oma. Jarang sekali Oma melihatnya bisa tersenyum lebar bahkan tertawa seperti tadi." Tutur Oma Diana dengan jujur. Andin hanya bisa tersenyum simpul.

"Tapi... kamu masih ragu dengan Al?" Oma Diana kemudian melayangkan pertanyaan yang membuat Andin tertegun. Ia menatap wanita tua itu dengan perasaan tidak enak. Akan tetapi tidak ada raut kekecewaan di wajah itu. Sang oma malah tersenyum simpul.

"Oma mengerti. Keputusan untuk menikah adalah keputusan yang besar. Makanya, tidak mudah untuk meyakinkan diri sendiri. Oma tahu kamu perlu waktu untuk itu. Dan oma juga yakin cucu oma adalah laki-laki yang sabar kalau sekedar menunggu keputusan dari kamu, perempuan yang sudah membuatnya jatuh cinta."

Mendengar kalimat terakhir yang Oma ucapkan membuat pipi gadis itu bersemu merah. Saat sedikit menunduk, Andin tak sengaja mendapati sebuah bingkai foto yang terpajang di salah satu sudut meja kayu yang memanjang di hadapan mereka. Keningnya mengerut. Foto itu persis seperti foto yang terpajang di meja ruang rahasia milik Aldebaran yang pernah ia lihat tempo hari.

Sebuah foto yang menampakkan dua anak laki-laki yang berbeda usia sedang menghimpit seorang gadis kecil yang terlihat baru berumur setahunan. Sejak pertama melihatnya Andin sebenarnya penasaran, namun saat itu ia tidak sempat bertanya lebih lanjut kepada Rossa.

"Ini Mas Al waktu kecil, Oma?" Andin bertanya sambil menunjuk foto yang dimaksud.

"Iya. Itu kalau tidak salah saat Al baru berumur tujuh tahun atau kurang, Oma agak lupa."

"Terus yang ini Roy?"

"Kamu kenal juga sama Roy?"

"Kenal, Oma. Aku sama Roy kuliah di jurusan yang sama. Kadang kami sering satu kelas juga."

"Owalah, dunia sempit sekali." Oma terkekeh dan Andin pun ikut tertawa.

"Kalau anak kecil perempuan yang di tengah ini siapa, Oma?" Andin melanjutkan pertanyaannya demi menuntaskan rasa penasarannya.

"Kalau itu...." Oma menggantungkan kalimatnya, membuat Andin sedikit menunggu. Ekspresi wanita tua itu pun agak berubah.

"Dia adik mereka juga." Jawab Oma membuat dahi Andin mengerut.

"Oh ya, Oma?" Andin cukup kaget mendengarnya, sebab ia baru tahu kalau Aldebaran masih memiliki seorang adik selain Roy. Wanita tua itu mengangguk sambil tersenyum simpul.

"Namanya Elya. Al dan Roy sering memanggilnya dengan El saja."

"Tapi, Tuhan memberikannya hidup yang singkat. Tidak lama dari foto ini tercetak, El pergi meninggalkan kami, meninggalkan Al dan Roy di saat mereka sedang sayang-sayangnya pada gadis kecil itu."

Andin tampak terpekur mendengarcerita masa lalu dari foto tersebut. Aldebaran tidak pernah sekalipun berceritasoal itu padanya. Padahal menurut Andin cerita tersebut sangat penting untukdiketahui oleh orang terdekatnya, apalagi dengan status mereka sekarang. Tapi bagaimanamungkin Aldebaran selama ini tidak pernah menyinggung salah satu kejadian pahititu sama sekali? Sementara Andin sudah cukup terbuka pada lelaki itu.

___________Bersambung_____________

Continue Reading

You'll Also Like

313K 23.8K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
476K 5K 86
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
49K 3.5K 50
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
244K 36.6K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...