Lost Like Tears in Rain [Move...

By gnauvville_

11.7K 152 1

Percayakah kamu dengan keluargamu? Apa mereka benar-benar menjamin keselamatan hidupmu? Apa mereka benar-bena... More

o n e
t w o
-announcement-

t h r e e

392 33 1
By gnauvville_

"Wilette."

Merasa namanya dipanggil, Wilette pun menjauhkan tatapan dari layar ponsel di tangannya, kemudian mendongak pada—Giselle, yang kini tampak heboh sendiri.

"Mm?"

Giselle menyatukan alis saat Wilette tampak tenang, sampai gadis berambut panjang itu menyandarkan punggung di bangkunya dan melipat kedua tangan di depan dadanya, angkuh seperti biasa, dingin seperti seharusnya.

"Kak Kaskal berdarah."

Wilette mendengus, lantas berdesis tajam, "Apa urusannya sama aku? Udah ditangani, kan? Aku harus apa emangnya?" Ya, berdarah untuk orang seusia Kaskal pasti bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan, termasuk Wilette sendiri yang berpikir demikian, sekalipun dia tahu kalau kakaknya memiliki kasus berbeda, "Aku sibuk, tau. Ngga liat apa?"

Kemudian Wilette kembali memusatkan atensinya pada layar ponsel itu; menyaksikan video-video violin ternama lain yang sudah lebih dulu menjadi bintang dari pada dirinya. Tapi Giselle masih tak habis pikir, dia harus berpuas diri lagi saat menghadapi sikap masa bodoh Wilette. Padahal maksudnya di sini baik, setidaknya seorang adik harus memiliki rasa sayang untuk kakaknya, kan?

"Kenapa kamu bisa benci kakakmu sendiri, sih?"

Karena pertanyaan tiba-tiba Giselle itu, Wilette jadi reflek melirik tak suka padanya, "Kamu mau tau? Coba aja masuk ke keluarga Tanata. Liat sendiri."

"Sebenci apapun kamu, Kak Kaskal itu kan selalu nomersatuin kamu, Wil."

Brak!

Gebrakan meja dari dua tangan Wilette disusul beranjaknya ia dari bangku yang tadi diduduki, turut mengundang keseluruhan atensi dan tatapan bingung dari teman-teman sekelasnya.

Terang saja Wilette jadi terpancing, emosinya seketika tersulut, nafasnya pun tersengal sebab ia jengkel bukan main ternyata Giselle berani seikut campur itu, "Aku bilang, coba—jadilah—bagian—keluarga—Tanata, kalo masih pengen tau."

Sepersekian detik itu, Wilette sengaja menyenggol bahu Giselle agar temannya itu mau menyingkir dari jalannya. Ia berjalan angkuh melenggang keluar kelas, menghentak sepasang sepatu mahalnya keras-keras, membuat kekesalannya jadi tampak kentara. Giselle masih tertegun di tempatnya berdiri, di samping bangku Wilette, ia bahkan sampai menghembuskan nafas berat berkali-kali, benar-benar heran dengan tabiat Wilette itu.

"So, now you're acting like a princess?"

***

"Aw! Pelan-pelan, dong. Bisa, kan?"

Xinera tidak peduli pada rengekan Kaskal disaat dia sedang berkonsentrasi melilitkan perban di lengan kanan yang terserempet anak panah ini—darahnya masih mengucur, jadi sebisa mungkin dia harus menghentikan pendarahannya.

"Perawat yang ini masih latihan, ya?" Karena permintaannya tak bersambut, Kaskal jadi melirik pada Dara, perawat asli ruang kesehatan sekolahnya ini, "Kenapa Kak Dara bolehin dia ambil alih, sih?"

Dara terkekeh, tapi Xinera berdesis, "Diem."

"Dih. Tadi darahku kececer dari lapangan sampe ke sini, ya? Kasihan Pak Yihan harus bersihin—"

"—bisa diem ngga, sih?" Xinera berhenti, dia berubah sengit sekarang, "Kalo kamu ngoceh terus, perban ini bisa pindah ke mulutmu, Kal."

"Ngeri, dah. Selain ngga berpengalaman, perawat baru ini juga ngga ramah sama pasiennya, ya? Nanti ngga ada yang mau berobat—"

"—Kaskal!"

"Iya. Iya. Aku diem."

Dara malah gemas sendiri memperhatikan interaksi mereka, si langganan yang selalu datang ke mari; sebab setiap Kaskal terluka, Xinera selalu mengantarnya, membersihkan lukanya, mengobati lukanya, "Kan, kalo ada Xinera yang nanganin kamu gini, kerjaan aku jadi jauh lebih gampang, tau."

Kaskal mencebik, "Yah, glad to hear that."

Dara tahu ekspresi Kaskal menunjukkan kesebalikan dari kata-katanya barusan, tapi hanya dengan melihat ketelatenan Xinera merawat Kaskal seperti ini dan timbal balik Kaskal untuk Xinera pun, dia tahu kalau sebenarnya Kaskal sangat menyukai momen ini, "Aku udah siapin kantong es batunya, nanti tempelin di luka kamu."

Kaskal mengangguk pada Dara, lalu melirik Xinera yang masih membiarkan lengannya menggantung di udara, "Masih lama, ya, Neng? Aku udah pegel—"

"—diem," Xinera mendesis lagi, kali ini lebih tajam, "Kamu pilih diem atau aku aduin ke Kak Bramzie?"

"Okay. Aku pilih diem, jelas aja," Karena jika Bramzie tahu, kakaknya itu akan memaksanya untuk pergi ke Dokter, walaupun pendarahannya sudah berhenti, "Kamu telat masuk kelas nanti, Ra. Aku juga ada ulangan—"

"—diem," Xinera mengulang desisannya, "Bentar lagi selese, pokoknya harus terbalut rapet biar ngga ada celah kebuka."

Kaskal pun menurut, "Pantes kamu mau jadi Dokter."

"Nah, done," Xinera akhirnya meletakkan sisa perban di meja sebelum menggesekkan kedua tangannya sendiri, merasa kagum dengan karyanya, "Oh, Kak Dara, boleh pinjem senter kecil?"

Kaskal tahu setelah ini Xinera pasti memintanya untuk membuka mata lebar-lebar.

Jadi setelah menerima senter kecil dari tangan Dara, Xinera berujar, "Buka matamu lebar-lebar."

Kaskal tidak salah menebak, terkaannya selalu benar jika menyangkut Xinera.

Alhasil, Kaskal pun membiarkan Xinera memeriksa bola matanya, "Masih sedikit kuning, kan aku belom transfusi darah, masih minggu depan."

Xinera justru berdecak sambil mematikan senter itu, "Belom waktunya, kan? Tapi kenapa udah berubah warna?" Mendapat gelengan dari Kaskal, Xinera pun jadi frustasi, "Pusing? Sesek? Emangnya harus sesuai jadwal, ya? Oh, iya, obatmu udah rutin diminum semua, kan?"

Kaskal perlu mengesah sebelum beranjak dari duduknya di ranjang sini, lalu tersenyum pada Dara dan dengan sengaja mengabaikan Xinera, "Kak Dara, makasih, ya. Aku mau balik ke kelas dulu."

Xinera memberengut, tapi buru-buru mengejar langkah cepat Kaskal, yang memang sengaja menghindar dari desakannya, "Kaskal! Berenti!"

Kaskal tidak menoleh ke belakang lagi, jadi dia sudah melambai pada Xinera berharap dia mengerti kalau bel tanda pelajaran pertama sudah dimulai. Sayangnya, Kaskal masih saja ceroboh sebab tahu-tahu saja dia sudah bertabrakan dengan seseorang.

"Wi—Wilette."

Adiknya sendiri.

"Kakak bisa ati-ati, kan?!"

Sudah jelas Wilette akan mengamuk begini.

"A—aku kan ngga sengaja. Kamu mau ke mana? Kenapa ngga ke kelas? Kelasmu bukan ke arah sana, kan?"

Wilette mengangguk culas sebelum menunjukkan raut terganggunya, "Apa Kakak perlu ngatur semua soal aku? Ngga, kan?" Selanjutnya, Wilette bergegas pergi dari hadapan Kaskal, ia sempat berhenti sebentar saat berpapasan dengan Xinera dan berbisik dengan intonasi lembut di telinga calon tunangan Bramzie ini, "Kalau Kak Xinera sering-sering deketan sama Kak Kaskal, kira-kira gimana perasaan Kak Bramzie, ya?"

Saat itu juga, badan Xinera menegang.

***

"Aku penasaran gimana hidup anak dan cucu-cucuku di tanganmu selama ini."

Jiza seketika berhenti memotong wortelnya saat Sawei, ibu mertuanya, sampai di dapur sini. Ia sempat mengedip para pelayan, meminta mereka untuk menyingkir agar tak perlu lagi membantunya memasak makan malam hari ini. Selebih itu, Jiza hanya sedang mengantisipasi supaya mereka tidak perlu tahu kalau-kalau setelah ini ia dan Sawei akan terlibat pembicaraan sengit.

"Aku masakin makanan yang mereka suka, Bu."

"Mereka suka? Tapi apa bagus buat kesehatan mereka?"

Jiza diam, ia bahkan bisa merasakan tatapan tajam Sawei yang seakan sedang melubangi punggungnya sampai kemudian wanita beruban itu berdiri di dekatnya, "Iya, Bu. Aku perhatiin soal gizinya juga, kok."

Sawei mencibir, tapi helaan nafasnya terdengar memuakkan bagi Jiza, "Pas Hardam bareng Florence dulu, dia keliatan lebih segar dan bugar, ngga sekurus dan setirus sekarang, sih. Apa itu berarti kamu ngurus dia dengan baik?"

Jiza hampir menyahut, tapi harus ia urungkan sebab Bramzie tiba-tiba muncul di depan mereka berdua.

"Nai, Ma. Mumpung hari ini aku ngga ada kelas, aku mau bantu masak, deh."

Jiza pun mengulas senyum terbaiknya, dia harus tampak baik-baik saja di depan anaknya, walaupun hatinya sedang tersinggung bukan main.

"Ngga usah, Sayang. Mama hampir selese, kok."

Sawei setuju, "Kamu istirahat aja, Bramzie, biar Nai dan Mamamu yang ngurus ini, ya? Kamu juga pasti capek, kan udah belajar terus-terusan," Sekejap itu, Sawei sudah mengambil alih pisau dan talenan dari hadapan Jiza, dia pun dengan cekatan menyelesaikan potongan-potongan wortel tadi, "Nanti Nai anter makanannya ke kamarmu, ya, Bram."

Sebelum Bramzie menurut, ia perlu memikirkan berbagai kemungkinan kalau dia pergi dari sini, ibunya mungkin tidak akan aman, ibunya mungkin akan ditekan sedemikian rupa, dia hafal betul soal itu.

"Iya, Bram, pergi sana," Jiza tahu tentang apa yang sedang dipikirkan anaknya, jadi dia memberi isyarat dengan sebuah anggukan mantap untuk mengusir Bramzie, "Mama ngga apa-apa."

"Okay. Aku tidur bentar, deh. Dah, Nai. Dah, Ma."

Sepeninggal Bramzie, Sawei masih asik memotong wortel-wortel itu, meski dia akhirnya bergumam, "Kamu inget kalau Shevin dan Bramzie bukan anak kandungmu, kan? Jadi, jangan berusaha terlalu keras untuk terlihat menjadi seperti Ibu mereka."

Sepersekian detik itu, Jiza tertegun dalam bisu.

***

Sore ini, Hardam menikmati secangkir kopi di halaman belakang rumahnya, yang dipenuhi pepohonan rindang dan rerumputan hijau, bersama Suwan. Mereka tidak banyak bertukar obrolan, masing-masing hanya fokus menatap lurus ke depan.

"Gimana rasanya jadi komisaris di bank negeri?"

Namun ternyata, Suwan sudah gatal membuka topik sehingga Hardam perlu menyilangkan kaki dan menyatukan jemarinya sebelum membalas, "Yah, cukup nyenengin, Yah. Kalau soal uang, jelas sebanding sama kerja kerasku untuk sampai di jabatan ini."

"Jangan lupain anak-anak perusahaan kita juga."

Hardam mengangguk sekilas, lantas menyeruput kafein hitam itu dalam diam.

"Oh, ya. Shevin masih belum inget? Kamu udah siapin apa kalo suatu hari Shevin inget tentang kecelakaan itu?"

Karena topik tiba-tiba diganti, Hardam jadi kepayahan menelan ludah, "Ngga ada hal khusus yang aku persiapkan, Yah. Kalau Shevin ingat, aku tinggal berkelakar dan cari alasan biar dia ngga perlu inget soal itu. Aku masih ngga tega."

Suwan berdecak sekali, tapi tetap setuju dengan keputusan Hardam, baru kemudian menyambung dengan kesahan, "Okay. Terus, gimana kabar Cegrav sama Jaidan? Ya ampun, udah berapa lama Ayah ngga ketemu cucu-cucu kesayangan Ayah itu, mm?"

Hardam diam sebentar, ia sedang menyatukan keping-keping pikirannya yang tercecer sebelum menanggapi ayahnya, "Bicara soal mereka, lusa aku minta mereka balik ke sini."

Suwan reflek menoleh pada Hardam—dia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa senangnya setelah kalimat barusan, "Serius? Akhirnya mereka mau pulang. Ah, jangan-jangan karna kamu maksa mereka? Ya, kamu pasti maksa mereka, Dam. Bukannya mereka bersikeras pengen tinggal jauh dari istrimu ini karena ngga mau teringat mendiang Ibunya—Florence? Kasian mereka berdua, tau."

Hardam membalas tatapan Suwan sebelum tersenyum sumringah, "Aku ngga maksa mereka, aku cuman bilang kalo ini sudah saatnya mereka jadi pewaris."

Suwan jadi memiringkan kepalanya, "Pewaris? Cegrav ngga mungkin ngelangkahin Shevin, kan? Shevin lebih tua setahun darinya. Kamu tau itu."

"Aku tau. Tapi boleh kan, aku ngasih kesempatan buat anak-anak kandungku juga, Yah?"

Kemudian, tatapan penuh ambiguitas di antara ayah dan anak ini pun tertukar.

***

Gerdiz segera membukakan pintu untuk Kaskal begitu mobilnya sudah terparkir di garasi.

"Kan udah aku bilang, aku bisa buka pintu mobil sendiri, lagian luka segini ngga akan bikin aku susah buka pintu mobil."

Tapi, Gerdiz hanya tetap menyunggingkan senyum penuh hormat pada omelan Kaskal itu. Lantas dia mempersilahkan tuan mudanya ini untuk berjalan di depannya, memasuki pelataran rumah megah ini, sedang dia berjalan di belakangnya, dengan membawakan ransel Kaskal.

"Nanti jangan lupa jemput Wilette jam enam."

"Ya, Mas—"

"—Kaskal."

"Ya, Mas—"

"—arghh, Kaskal aja aku bilang—"

"—kamu pulang lebih cepet dari biasanya?"

Kaskal dan Gerdiz kompak menghentikan langkah mereka saat mendapati sosok Bramzie menyambut di ambang pintu.

"Uh, Wilette katanya ada les—"

"—tunggu, ini kenapa?" Bramzie menyerobot penjelasan Kaskal tepat saat mata sipitnya menangkap lebih dulu lilitan perban di lengan kanan adiknya, "Kamu berdarah? Kal, ya ampun, kamu emang ceroboh. Terus, pendarahannya bisa berhenti?"

"Karna ngga terlalu parah, jelas aja bisa berhenti. Jadi ngga perlu ke Dokter—"

"—kalo ngga bisa berhenti, gimana? Emangnya perawat di sekolahmu tau cara nanganin ini? Ngga, kan?" Bramzie hanya akan terus mengoceh dan membiarkan telinga Kaskal kepanasan, tapi Gerdiz di sini merasa tertinggal jadi penonton, "Oh, tapi ada Xinera, ya?"

Kaskal mengerjap sedetik, lalu mengangguk ragu, "Ta—tadi dia yang nolongin aku, sih, Kak."

"Bagus, deh," Bramzie akhirnya bisa mengesah lega, tapi Kaskal masih heran bagaimana bisa kakaknya ini sangat jeli mendapati perban di lengan yang sudah ia tutupi dengan jaket? "Kalo mau nyembunyiin luka, coba bersihin juga sisa darah di tempat sekitarnya biar ngga nyetak di seragam gini, dong, Kal. Ngga pinter amat kamu."

Kaskal pun reflek mengecek seragamnya—benar, ternyata. Ada bercak-bercak kemerahan tercetak di sana, bekas darah-darahnya yang mengucur deras tadi.

"Ayo, masuk."

Setelah Bramzie menggandeng Kaskal, Gerdiz akhirnya bisa meloloskan diri untuk pergi ke ruangan lain, tentu setelah meletakkan ransel Kaskal di kamarnya. Namun, Bramzie justru terkejut saat membawa Kaskal ke sini, malah ke kandang singa, sebab seluruh keluarganya sedang berkumpul di ruang tengah sekarang—termasuk kakek dan neneknya.

Kaskal jadi panik, tatapan merendahkan itu selalu membuat nyalinya ciut.

"Pa, Ma. Kaskal tadi berdarah."

Pemberitahuan Bramzie barusan justru membuat Hardam dan Jiza reflek beranjak dari sofa beludru itu, lalu bersamaan mendekat pada anak nomor tiganya di keluarga ini. Hardam lebih dulu melepaskan jaket Kaskal, sementara Jiza sudah sibuk memeriksa bagian tubuh lain Kaskal.

"Kena apa ini?"

Kaskal sempat tergelagap sebelum menjawab pertanyaan Hardam, "Mm, anak panah."

"Hah? Kenapa bisa ada yang nyasar sampe lengan kamu?"

Kaskal cukup terkejut dengan reaksi Jiza barusan, tapi dia sigap membasahi bibir dan menyambungnya dengan cengiran. "Ya namanya anak panah, Ma, kalau ngga dilayangin, mana bisa sampe target?"

"Masalahnya, ngapain kamu main-main di deket anak panah?" Kali ini, Bramzie menyambar dengan kekhawatiran di atas rata-rata, "Baru sampe lengan, kalo sampe dada kirimu, terus nusuk jantungmu? Siapa mau tanggung jawab?"

Kaskal lelah harus berhadapan dengan hal-hal sepele seperti ini, "Ya takdir, Kak, yang tanggung jawab."

"Lagian, harusnya yang kaya gitu ditindak lanjut ngga, sih? Bisa bahaya, bisa ngasih dampak fatal, tau. Ya, kan, Ma? Ya, kan, Pa?"

Bramzie meminta pendapat dan kedua orang tuanya setuju. Namun, dehaman dari Suwan dan Sawei mendadak memberi atmosfer berbeda, jadi Hardam dan Jiza urung memarahi kecerobohan Kaskal sekalian menghentikan protesan Bramzie terhadap pihak sekolah. Entah ada apa, tapi keempatnya sedang menunggu salah satu manula itu untuk berbicara.

"Lagian, punya penyakit maruk banget, hm?"

Sawei ternyata mendului suaminya, ia berujar demikian sambil masih memusatkan tatapan pada majalah bacaannya, tanpa perlu menoleh kepada Kaskal sebagai tujuan dari ungkapannya barusan.

"Satu aja udah ngerepotin, ini malah dua."

Ketika Sawei masih meneruskan, Jiza hampir berpikiran untuk menjambak rambut mertuanya itu, tapi tentu hanya akan menjadi rencana dalam kepalanya, ia gagal melangkah sebab Kaskal sudah menahannya lebih dulu.

"Bu, udah berapa kali aku bilang? Bukan Kaskal yang mau punya penyakit—"

"—Hardam, Hardam. Kamu ini kelewat bego atau picik, sih? Udah jelas anak itu punya kelainan darah, yang ngga kita semua punya. Bukannya thalasemia sama hemofilia itu kelainan yang disebabkan oleh garis keturunan? Jadi, apa kamu ngga bertanya-tanya, istrimu ini hamil sama siapa? Jadi, apa kamu ngga sangsi, anak penyakitan ini anak siapa?"

"NAI!" Bramzie ternyata sudah lebih dulu menyetop sikap keterlaluan Sawei sebelum Hardam sempat meloloskan bentakannya, "BERTAHUN-TAHUN NAI DAN YEYE BILANG GITU, TAPI APA ADA BUKTINYA?! LAGIAN, KELAINAN KASKAL ITU NGGA SELALU KARNA GARIS KETURUNAN, KOK!"

Bramzie sampai ngos-ngosan, begitu pula dengan tangan-tangan Jiza yang sudah terkepal, tapi Hardam dan Kaskal masih diam; Hardam mungkin sedang tersudut, sengaja dipojokkan, dan merasa serba salah, sementara Kaskal mungkin sedang membenarkan omongan neneknya, ia sedikit banyak meragu.

"Jangan terlalu belain dia, Bram. Kamu sebagai orang terpandang nantinya, ngga boleh berkaitan sama hal-hal yang bakal ngejatuhin kamu."

Tatapan bengis Bramzie pun berpindah pada Suwan, yang baru saja menoleh padanya dengan seringai meremehkan.

"Hal-hal? Kaskal ini Yeye sebut sebagai hal-hal?" Bramzie mengembuskan nafasnya kasar, lalu memalingkan wajah, tidak percaya, "Whoa. Aku baru tau ternyata berhadapan sama orang-orang berpikiran cekak bisa senyebelin ini. Gitu nyebut diri kalian Kakek sama Nenek?"

"Kak, stop it. Ke kamar aja, ya?"

Kaskal sudah menarik-narik ujung piyama Bramzie, sehingga dengan isyarat Hardam dan Jiza, ia akhirnya menuruti Kaskal untuk pergi ke kamar mereka di lantai dua. Tersisa Hardam dan Jiza di sini; gamang dan kaku, keduanya melebur jadi satu.

"Ayah, Ibu, aku mohon jangan sakiti keluargaku dengan kata-kata kejam kaya gitu. Jiza ini istriku, Kaskal ini anakku. Gimana bisa kalian benci keluargaku sampe sebegitunya? Tolong, jangan pancing dengan kalimat kaya gitu lagi, di saat kalian udah tau siapa sebenernya Kaskal, karna Bramzie bisa aja semakin terluka. Kita semua masih mau Bramzie baik-baik aja, kan? Jadi, keep semua tentang Kaskal dari dia, ya?"

Jiza diam saat Hardam merangkulnya, tapi kepalanya tetap tertunduk, tapi tatapannya tetap ke bawah, sampai kemudian dia dengar kedua mertuanya itu menggumam asal kata 'ya', tanpa benar-benar tulus menuruti permintaan suaminya. 

***

TO BE CONTINUED

HAI!

SISA CHAPTERS PINDAH LAPAK KE

CABACA

DENGAN USN DAN JUDUL YANG SAMA, YA!

LOST LIKE TEARS IN RAIN by GNAUVVILLE

MAKASEHHH ^^

Continue Reading

You'll Also Like

549K 64.6K 8
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
3.5M 285K 48
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.9M 99.7K 55
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
540K 37.1K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...