Dear Renza [TERBIT]

بواسطة moccamatha

275K 40.6K 2.6K

Mohon untuk tetap meninggalkan VOTE + KOMENTAR meski cerita sudah end. - DEAR RENZA - Hidup tidak berjalan me... المزيد

1 - Awal Mula
2 - Renza Juga Ingin
3 - Perlakuan Tak Sama
4 - Anak Berwajah Lumpur
5 - Latihan Berjalan
6 - Sakit, Yah...
7 - Matahari dan Sayap Pelindung
8 - Pantai
9 - Sekotak Martabak
10 - Namanya Zoya
11 - Lampu
12 - Pelukan Pertama Zoya
13 - Lukisan dan Keluarga Bahagia
14 - Sebuah Tempat yang Sedang Diperjuangkan
15 - Gadis Pertama
16 - Ceroboh
17 - Maaf, Kak
18 - Peri, Permen Kapas, dan Janji
19 - Bimbang
20 - Kekhawatiran
21 - Renza Nggak Salah, Yah...
22 - Fakta Menyakitkan
24 - Secuil Masa Lalu
25 - Senja, Doa, dan Zoya
26 - Pengumuman
27 - Rumah Kedua
28 - Seleksi
29 - Yah, Renza Rindu
30 - Acara Penting
31 - Sesak yang Kembali
32 - Pertemuan Pertama
33 - Tawa
34 - Sedikit Tentang Haidar
35 - Satu Dua Masalah
36 - Masih Sama
37 - Haidar Lagi
38 - Tuhan, Dengarkanlah Ketiganya
39 - Masih Ada Waktu
40 - Habis
41 - Terlambat
43 - Dear Renza
44 - END
Spin Off Dear Renza
OPEN PO!
Rose & Lose

42 - Perpisahan

6.7K 838 53
بواسطة moccamatha

Malam ini begitu sunyi seperti malam-malam sebelumnya. Bedanya adalah malam ini ada rasa yang begitu menyesakkan.

Juan baru saja ke luar dari kamar Riana membawa sepiring nasi yang tak berkurang sama sekali. Pria itu meletakkan lagi di meja makan. Ia berjalan menuju lemari pendingin untuk mengambil segelas air dingin. Saat menutup pintunya, Juan memandang ke arah wastafel.

Jam segini biasanya ia selalu melihat Renza mencuci piring di sana. Sekarang tidak lagi, tak ada yang sibuk dengan segala perkakas makan di malam yang melelahkan. Juan menghela napas, mencoba menetralisir rasa nyeri di hatinya.

Ia berjalan menaiki tangga, matanya melirik ke arah kamar Renza. Satu menit, dua menit berpikir ia akhirnya memberanikan diri untuk melangkah ke sana.

Tangannya perlahan memegang gagang pintu. Dengan hati yang berdebar kakinya melangkah masuk. Aroma vanila, itulah yang Juan cium pertama kali saat memasuki kamar adiknya. Sudah lama sekali ia tak masuk ke kamar tak berpenghuni ini.

Pria yang masih dengan pakaian hitamnya mendekati meja belajar di sudut kamar. Buku dan segala macam alat tulis masih tersimpan rapih di tempatnya. Juan lantas duduk di kursi dengan kaki beroda itu.

Matanya menelisik ke setiap jengkal styrofoam warna-warni dengan berbagai macam kalimat yang ditulis di sticky note. Ada berbagai tulisan, mulai dari quotes, daily list, beberapa target jangka pendek, bahkan menu-menu untuk sarapan setiap harinya.

Juan memejamkan matanya sesaat setelah melihat sebuah foto yang di tempel dan di hias dengan indah. Foto dua balita laki-laki yang tengah duduk di tepi pantai sambil tertawa karena ombak kecil menyentuhnya. Ia terisak, karena Renza begitu sayang padanya.

Pria itu berdiri lantas memandangi tempat tidur adiknya. Ia raba selimut tebal itu, dingin. Juan lantas berdiri, berniat meninggalkan kamar. Namun saat hendak melangkah, matanya menangkap sosok Renza yang tengah duduk di kursi belajarnya. Adiknya terlihat begitu tenang, senyumnya juga mengembang. Juan mengerjapkan mata beberapa kali hingga akhirnya sosok itu pergi.

Jantungnya berpacu cepat, apa yang baru saja ia lihat?

Setelah memastikan bahwa tidak ada siapapun selain dirinya, Juan lantas ke luar dan menutup rapat pintu kamar Renza. Ia kembali ke kamar dan mengistirahatkan tubuhnya.

Malam semakin larut, Riana sudah tidur sepuluh menit yang lalu karena kelelahan. Dion masih belum bisa tidur, pria itu hanya duduk di sofa seraya memandangi wajah istrinya yang bengkak karena terlalu banyak menangis.

Merasa butuh udara segar, Dion lantas menuju teras. Ia duduk sebentar di sana, tapi kembali berdiri karena lupa belum memasukkan mobil ke garasi.

Setelah menutup pintu garasi, mata Dion seperti melihat seseorang berjalan menuju halaman belakang rumah. Waspada jika itu making, Dion mengendap-endap mengikuti ke mana perginya orang itu.

Sial, Dion kehilangan jejak. Orang itu tak ia temukan. Kemana perginya?

Saat hendak berbalik Dion mendengar suara air. Pria itu lantas berjalan menuju sumber suara. Keran dengan selang air itu menyala. Saat hendak mematikan keran, matanya menangkap sosok Renza yang sedang duduk di bangku.

Anak itu tersenyum pada Dion. Wajahnya juga tak sepucat sebelumnya. Itu benar-benar Renza.

Mata Dion memanas menjatuhkan selang air yang sebelumnya ia pegang. Ia berjalan mendekati sang anak, tapi semakin didekati Renza justru memudar menjadi bayangan.

Pria itu berjalan cepat seolah ingin merengkuh tubuh anaknya, tapi saat hampir tersentuh bayangan Renza menghilang. Dion terjatuh di rumput yang basah karena hujan tadi sore.

Dion memukul-mukul bangku di hadapannya. Memori tentang kekejamannya saat menghukum Renza berputar begitu saja. Di tempat ini, di jam seperti saat ini, Dion menyiksa Renza dengan air dan pukulan.

Ia menangis hebat mengingat bagaimana kejam dirinya saat meninggalkan Renza kesakitan di tempat ini. Begitu bodoh dan egois Dion saat itu membuat anak bungsunya menjadi korban kekerasan tanpa alasan yang jelas.

Cukup lama ia meredakan tangisnya, Dion lantas masuk ke dalam rumah. Ia melewati ruang tamu, tempat di mana ia pernah menghukum Renza hingga anak itu berdarah. Pria itu mempercepat langkahnya saat ingatan itu muncul.

Dion menuju kamar Juan ingin memastikan bahwa anak sulungnya baik-baik saja. Setelah melihat Juan tidur dengan lelap, laki-laki dengan kemeja hitam itu menatap nanar lorong di dekat kamar bungsunya.

Kakinya melangkah gontai ke arah sana seolah seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia membuka perlahan pintu kamar Renza. Dalamnya masih sama persis seperti sebelum pemiliknya pergi.

Dion mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Banyak sekali lukisan indah yang dipajang. Bahkan ada satu sisi dinding yang sengaja di lukis oleh Renza.

Pria itu mendekat ke arah lemari yang di sampingnya terdapat sebuah jaket yang digantung. Tangannya meraih jaket yang Renza pakai sebelum meninggalkan rumah. Tak ada debu, bahkan wangi Renza masih tercium dengan jelas.

Dion terduduk memeluk erat jaket anaknya. Bahunya naik turun, dadanya kembali sesak, pria itu terisak hebat. Saat mengangkat kepala, matanya menangkap sepasang crutch yang tersandar di samping tempat tidur.

Pria itu berjalan lantas dengan gemetar mengambil tongkat yang biasa Renza pakai sewaktu masih ada di rumah ini. Tongkat yang sudah bertahun-tahun tidak minta untuk diganti. Tongkat yang sudah menjadi saksi bisu setiap luka yang Renza terima. Tangis Dion semakin pecah, tapi berusaha untuk ia tahan.

Bayang-bayang sikapnya kepada Renza selama ini memenuhi kepala, semua penyesalan itu kini hadir seolah menusuk setiap sendi yang Dion punya. Pria itu masih terus memeluk sepasang tongkat milik Renza hingga tangisnya mulai mereda.

Di sisi lain, seorang pria dengan kaos hitam dan sarung terdiam di kursi teras sendirian. Matanya memandang ke arah pohon mangga di halamannya. Pikirannya melayang entah sampai mana hingga ia melihat sosok yang tak asing sedang berdiri di tengah-tengah halamannya.

Haidar menegakkan punggung, mencoba untuk melihat lebih jelas. Jantungnya seperti berhenti mendadak, ia melihat sahabatnya yang baru tadi pagi dimakamkan. Haidar masih diam memperhatikan bayangan Renza yang semakin mengabur.

Ia melihat Renza begitu bahagia, tergambar jelas dari senyum lebar yang menjadi favoritnya. Bayangan pria itu seperti menganggukkan kepala, seolah memberitahu Haidar bahwa dirinya baik-baik saja.

Mata Haidar memanas, sesuatu yang sangat nyeri menjalar di dadanya. Pria itu mencoba mendekat ke arah Renza. Bayangan itu masih dengan senyuman yang menenangkan.

Kini jarak mereka hanya dua meter, mata mereka juga sudah bertemu. Tangan Haidar mencoba untuk memegang bahu seseorang di hadapannya. Namun, bayangan itu mulai pudar. Hingga pada saat Haidar berhasil menyentuhnya, bayangan Renza menghilang seketika.

Dirinya lantas tersadar bahwa itu bukanlah Renza, ia pasti hanya berhalusinasi. Pria itu terisak, dirinya menangis seorang diri.

Semua laki-laki yang paling berjasa pada hidupnya sudah Renza datangi. Percayalah, bayangan yang Juan, Dion, dan Haidar lihat memanglah diri Renza. Ia ingin berpamitan pada mereka, ia ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah bahagia sekarang.

Di tengah malam, seorang gadis yang bersikeras meminta papanya untu diantar ke taman kota kini sudah duduk di sebuah bangku. Ia hanya sendiri, papanya diminta untuk menunggu di dalam mobil. Gadis itu mencoba untuk menghirup banyak udara malam.

Ia menatap langit yang begitu gelap di atas sana. Matanya mulai basah saat wajah orang yang paling dicintainya muncul begitu saja. Zoya tahu bahwa itu adalah halusinasinya, tapi dia tak ingin hal itu berakhir.

Di sini, tempat di mana Zoya untuk pertama kalinya melihat kerapuhan seorang Renza. Tempat di mana ia memeluk Renza untuk pertama kali saat pria itu hampir putus asa karena ketidakadilan semesta.

Semua memori kebersamaannya dengan Renza berputar bak sebuah film. Tawa Renza yang khas, senyumnya yang menenangkan, tatapan mata yang meneduhkan, segala perhatian yang pria itu berikan, seluruh penderitaan dan luka yang coba Renza sembuhkan. Semua itu sangat jelas diingat oleh Zoya. Gadis itu lantas terisak, kedua tangannya menutup wajahnya yang sempit.

Usapan lembut begitu terasa di pucuk kepalanya. Zoya masih diam, mungkin itu papa. Tak bersuara apapun, akhirnya Zoya menurunkan tangan dari wajahnya. Tangisnya lantas semakin hebat saat manik matanya melihat sosok yang sangat ia rindukan.

"Jangan menangis lagi ya. Besok aku sudah tidak bisa lagi menghapus air matamu."

Renza duduk di samping Zoya, menyelipkan rambut ke belakang telinga karena menutupi wajah gadisnya. Pria itu menangkupkan kedua tangannya ke wajah perempuan itu. Ibu jarinya dengan perlahan menghapus jejak air mata yang ada.

Zoya menatap Renza begitu sendu, sedangkan prianya masih dengan senyum yang tak luntur sedikitpun.

"Nona Tinkerbell nya Renza masih cantik sekali. Aku suka. Tapi, jangan nangis terus ya nanti aku sedih juga. Aku udah gapapa kok, aku baik-baik aja dan bahagia. Jadi, kamu juga harus bahagia. Oke?"

"Aku mungkin udah nggak ada di sisi kamu lagi, tapi percayalah aku akan selalu jaga kamu dari atas sana. Aku akan bilang sama Tuhan supaya Dia selalu lindungi kamu."

"Aku nggak maksa kamu buat lupain aku dengan cepat, karena aku tahu pasti itu sulit. Aku cuma minta kamu untuk terus melanjutkan hidup sebagaimana kamu hidup sebelum ketemu sama aku."

"Dunia akan baik-baik aja tanpa aku. Pun dengan kamu. Carilah pria lain untuk menggantikan aku. Pria yang lebih baik dalam menjaga kamu. Sampai detik terakhirku melihat dunia, kamu masih menjadi perempuan pertama dan terakhir yang aku cinta. Bahkan sampai saat ini."

Renza melihat ke arah belakangnya, Zoya melihat ada bayangan seorang pria dan wanita di sana. Mereka seperti memanggil Renza. Zoya menggenggam erat tangan laki-laki di depannya.

"Jangan pergi.." Lirih Zoya dengan suara bergetar.

"Aku harus pergi, ayah dan bundaku sudah menunggu. Jaga diri kamu baik-baik. Aku sangat mencintaimu, Zoya." Final Renza lantas melepas genggaman tangan Zoya.

Pria itu menyunggingkan senyum sangat indah yang belum pernah Zoya lihat selama bersama Renza. Zoya berusaha meraih kembali tangan itu, tapi Renza sudah lebih dulu berbalik dan berlari menuju dua bayangan di ujung sana.

Ya, Renza berlari. Berlari seolah kakinya baik-baik saja.

Renza benar-benar sudah sembuh.

Pria itu memeluk kedua orang tuanya dengan erat. Setelahnya mereka menghadap ke arah Zoya dan melambaikan tangan seolah berkata mereka akan pergi untuk selama-lamanya. Ketiganya tersenyum bahagia pada gadis yang seluruh dunianya seakan-akan hampir berhenti berputar.

Bayangan itu kemudian lenyap begitu saja. Zoya praktis menangis dengan hebat. Gadis itu terjatuh tanpa ada seorang pun yang membantunya.

Beberapa saat kemudian seorang pria paruh baya lari tergopoh-gopoh menghampiri putrinya. Ia peluk Zoya dengan erat lantas membawanya masuk ke mobil.

Di dalam perjalanan pulang Zoya hanya diam. Matanya menatap ke arah jendela samping memandangi jalanan yang sangat sepi. Ia melihat ke arah langit di mana ada bulan sabit dengan cahaya yang temaram. Di sampingnya ada tiga bintang yang bersinar lebih terang dibanding bintang-bintang yang lain.

"Itu pasti mereka." Batin Zoya.

___________________
___________________

"Kebahagiaan yang ada di dunia itu sifatnya sementara, karena yang kekal adanya hanya di surga. Jangan terlalu lelah mengejar dunia yang fana, tapi berusahalah untuk selalu menebar kebaikan di bumi agar nanti mendapat tempat yang paling tinggi.

Kamu boleh terluka, kamu boleh menangis, kamu juga boleh berteriak. Yang tidak boleh adalah menyerah, apalagi membalas semesta dengan kejahatan yang sama.

Percayalah, Tuhan punya cara sendiri untuk membuat setiap makhluknya bahagia. Mungkin tidak akan sama satu dengan yang lainnya, tapi setiap orang punya naskah terbaik yang sudah Tuhan tulis hingga akhir hidupnya.

Tuhan itu baik, tidak akan membuat hambanya sengsara. Kita saja yang terlalu jauh dari-Nya sehingga menjadi terlalu lemah karena tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi dunia.

Untukmu setiap insan yang sedang terluka, bangkitlah. Jika sudah waktunya, aku tunggu kamu di depan pintu surga."

- Fahrenza Radiata Sagara -

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

6.4K 857 22
"Jika bisa, saya ingin memberikan segalanya yang saya punya untuknya. Sekalipun itu nyawa." Hanya kisah picisan seorang lelaki yang bercita-cita meng...
651 315 41
Bagaimana jika dirimu mengalami krisis identitas? dimana dirimu harus dituntut untuk percaya atau tidak percaya dengan takdirmu yang sangat rumit. Be...
465K 4.9K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
Destiny بواسطة taya >>

قصص الهواة

7.2K 1K 33
Dua kepribadian yang berbeda dengan takdir yang sama, kehilangan. "Karena dalam hidup gue. Cukup gue kehilangan satu kali, yaitu bunda. Gue gaakan sa...