Rengkuh Sang Biru

Von Lalanaraya

81.9K 9.6K 3.6K

Renjana Sabiru harus menerima fakta tentang kepergian kedua orangtuanya yang membuatnya menjadi yatim piatu... Mehr

Awal || intro
Karakter tokoh
Bab.1 || Awal kisah, Di Balik Sebuah Janji
Bab.2 || Kembali Pulang, Bersama Segenggam Hangat
Bab.3 || Pengakuan Dan Harapan
Bab.4 || Harap Yang Patah
Bab.5 || Porak-Poranda Dalam Diam
Bab.6 || Dingin Yang Tidak Terbaca
Bab.7 || Setumpuk Amarah Dan Seberkas Iri.
Bab.9 || Perisai Dingin Yang Membentang
Bab.10 || Ketika kecewa dan patah mulai melebur
Bab.11 || Perihal Kecewa Dan Amarah
Bab.12 || Patah, Hancur Lebur, Tercerai Berai.
Bab.13 || Ketika Asa Tidak Lagi Tersisa.
Bab.14 || Bagaimana Pahit Terasa Manis.
Bab.15 ||Sederhana Yang Patut Disyukuri
Bab.16 ||Sudut-Sudut Ruang Hampa
Bab.17 || Dua Sisi Koin Yang Berbeda
Bab.18 || Tawa Yang Kembali Terenggut
Bab.19 || Yang Telah Putus Tidak Bisa Dibenahi.
Bab.20 || Ketika Hujan Kembali Menyamarkan Tangis.
Bab.21 || Jutaan Rasa Sakit Absolute.
Bab.22 || Sunyi Di Antara Riuh Semesta.
Bab.23 ||Secercah Harap Berselimut Fana
Bab.24 || Sepasang Binar yang Kembali Berpendar.
Bab.25 || Badai yang Belum sepenuhnya Usai
Bab.26 || Rengkuh Hangat Untuk Sang Biru
Cerita baru

Bab.8 || Langkah Pertama Menuju Petaka

2.6K 358 111
Von Lalanaraya


SPAM KOMEN DULU
NANTI DOBEL UP

.
.
.

....


Awalnya, Biru ingin menanyakan pada Galaksi perihal kedatangan sang kakak tadi malam. Biru ingin memastikan apakah kedatangan Galaksi tadi malam benar-benar nyata, atau hanya angan yang Biru ciptakan di alam mimpinya.

Namun, Biru tak mendapati presensi sang kakak ketika ia keluar dari kamarnya. Pun bagaimana meja makan di ruang sana begitu sunyi dan dingin dengan presensi Oma yang menjadi satu-satunya yang bisa Biru temukan.

Biru baru menyadarinya saat dirinya mendudukkan dirinya di kursi, sebab saat ia tiba di meja makan, hanya kursi milik Oma yang telah terisi, sedangkan kursi yang biasa di duduki oleh Reksa dan Galaksi masih kosong tanpa terisi sang empu.

Meski ingatan akan kata-kata dan perlakuan kasar Oma kemarin masih begitu segar di kepala Biru, bocah lima belas tahun itu tetap tak ingin menyalahi tata krama pada Oma yang jauh lebih tua.

Setidaknya, Biru harus berpamitan dengan sopan kendati Biru yakin hanya kecewa yang akan ia dapatkan.

"Pagi, Oma."

Sapa sang Biru secerah warnanya. Melupakan sakit yang kemarin Oma torehkan hingga Biru terjaga semalaman karena menahan sakit atas luka di tangannya, juga sakit yang membelenggu dadanya.

"Eum, tumben sepi banget. Kak Gala sama Reksa kemana, ya?" tanya itu Biru suarakan sekedar berbasa-basi, pun juga menuntaskan rasa penasaran dalam dirinya.

Hanya delikan sinis dengan wajah tanpa minat yang Biru terima sebagai balasan akan sapaan paginya.

"Kenapa? Kamu mengharap di antar sama Galaksi?" kalimat bernada ketus itu Oma suarakan setelah ia selesai mengoleskan selain pada selembar roti miliknya.

"Aku cuma nanya, Oma. Aku sama sekali enggak berharap di antar Mas Gala. Lagipula Mang Didin yang biasa antar jemput aku." bocah itu menyuarakan jawabnya kendati hanya sikap abai yang ia dapatkan.

"Ini yang bikin saya makin gak suka sama kamu," ujar sang Oma setelah sedikit membanting sendok dan pisau di meja. Tajam tatap itu kembali menguliti Biru hingga Biru enggan membalas tatapan Oma. "Kamu sama Galaksi itu beda jauh sekali. Dari kecil Galaksi di ajarin disiplin dan tanggungjawab. Di usianya yang masih muda dia mengambil tanggungjawab sebagai wali dari anak yang sudah menghancurkan rumah tangga orangtuanya."

"Galaksi harus kerja keras tanpa istirahat buat menghidupi satu parasit yang dia bawa. Tapi kamu sebagai parasit nggak pernah sadar diri dan cuma bisa menyusahkan Galaksi. Galaksi selalu ambil jatah lembur dan setelah pulang dia bahkan masih harus kerja lagi sebelum tidur."

Panjang kalimat itu Oma perdengarkan dengan suara meninggi seiring emosi yang tertuang dalam bait-bait perkata yang Oma ucap.

"Sedangkan kamu!" Oma tudingkan jemari telunjuknya tepat di hadapan Biru yang mematung di tempatnya. "Kamu hanya menerima bersih apa yang Galaksi berikan tanpa mau membalas budi. Kerjaan kamu hanya sekolah gak jelas, makan dan tidur. Sekolah di antar jemput tiap hari, uang jajan, makan yang tanggung ya Galaksi sendiri. Kamu itu benar-benar nggak berguna sama sekali. Bagi saya kamu nggak lebih dari parasit di hidup Galaksi."

Biru tundukkan kepala dalam, sepasang cokelat madu miliknya menatap sepatu baru pemberian Galaksi saat mendapati sepatu usang yang masih kerap Biru kenakan.

Apakah benar, dirinya menyusahkan?

Jika semalam Biru masih mampu mengutarakan satu hingga dua penggal kalimat di hadapan Oma, kali ini Biru benar-benar di buat bungkam oleh seluruh kalimat Oma.

Oma memang benar. Selama ini Biru hanya menerima dari apa yang Galaksi berikan padanya. Biru memang selalu berusaha menghibur sang kakak di kala penat seusai bekerja, namun Galaksi tak ubahnya laksana bongkah es yang sulit Biru cairkan.

Galaksi selalu menyimpan keluh dan kesahnya untuk dirinya sendiri tanpa memberikan kesempatan pada Biru untuk mendekat.

Lantas, apa arti kehadiran Biru untuk Galaksi?

"Mulai sekarang kamu berangkat dan pulang sekolah tanpa Mang Didin. Pagi ini saya sudah suruh Mang Didin mengantar Reksa. Dan saya nggak akan ngizinin kamu nerima uang jajan sepeser pun dari Galaksi. Jadi jangan coba-coba memanfaatkan kebaikan Galaksi."

Tajam kalimat yang Oma suarakan kembali memecah lamunan Biru. Sekembar manik cokelat madu itu mendongkak menatap kelereng hitam sang Oma yang memancarkan ketidaksukaan pada Biru.

"Aku nggak pernah ada niat sedikitpun buat manfaatin Kak Galaksi. Tapi Oma bener, selama ini aku emang cuma bisa nyusahin Kak Gala. Makasih karna udah ingetin. Mulai hari ini aku bakal berusaha buat nggak menyusahkan Oma ataupun kak Gala."

"Aku berangkat dulu, Oma. Assalamu'alaikum."

Pagi itu, pertama kalinya Biru berangkat menuju sekolah tanpa uang jajan dan tanpa kendaraan. Biru bawa luka atas kalimat-kalimat tajam Oma bersama langkah demi langkah yang ia ambil hingga tiba di sekolah. Hingga bocah itu tiba sepuluh menit setelah bel sekolah berbunyi nyaring.

°°°°°

Menjadi karyawan dengan kedudukan tertinggi yang bahkan menjadi kepercayaan sang pemilik perusahaan tak membuat Galaksi serta merta memanfaatkan kedudukannya untuk mencapai keinginannya.

Pendapatannya sebagai general manager di sebuah perusahaan perhotelan terbesar di tanah air, nyatanya masih tak mampu menutupi sisa-sisa hutang milik mendiang sang ayah yang masih tertinggal banyak saat beliau tiada.

Kebangkrutan perusahaan milik sang ayah membuat sang ayah terlilit hutang begitu banyak kendati hampir seluruh asetnya telah di tangguhkan untuk hutang.

"Saya sudah bilang, kamu bisa pakai saya kapanpun kamu butuh, Galaksi."

Galaksi arahkan manik sekelam arang miliknya menatap sepasang kelereng tajam Prasetya, atasannya sekaligus satu-satunya sahabat mendiang ayahnya yang masih sudi mengingat jasa ayahnya.

"Saya di sini sebagai karyawan, Om. Bukan anak dari sahabat atau keluarga Om Pras. Selama ini saya bisa mengatasi permasalahan finansial saya. Jadi saya yakin kali ini saya juga bisa mengatasinya," Jawab Galaksi setelahnya.

Pembicaraan antara dua orang yang sama-sama kaki dan tegas itu terkesan alot karna keduanya yang sama-sama memiliki watak dan pembawaan yang serius.

"Oke, saya nggak akan ikut campur." Pras mengangkat satu tangannya pertanda dari kalimat yang baru saja ia serukan, "Tapi saya penasaran sama anak itu, Galaksi. Anak yang kamu bawa dan kamu akui sebagai adik itu, Sabiru."

"Saya rasa adik saya nggak ada hubungannya dengan Om ataupun hidup Om." Galaksi menyahut cepat, melupakan keramah-tamahannya kala nama sang adik terucap.

Alis tegas milik Pras tampak bertaut tertarik. Pria pertengahan empat puluh itu terlihat tertarik akan kalimat provokasi yang ia suarakan mampu membuat sisi lain Galaksi terlihat. Sisi protektif sebagai seorang kakak.

"Kamu tenang saja, saya bukan om-om pedofil. Saya cuma tertarik karena kamu satu-satunya yang mau nerima dia. Oma kamu saja dari dulu gak menerima anak haram itu."

Manik setajam belati milik Galaksi nampak bertaut tak terima dengan wajah mengeras yang begitu kentara menahan api di dadanya.

"Lebih baik Om diam karena Om gak tau apapun tentang keluarga saya."

Pemuda itu untuk pertama kalinya menaikan dagunya di hadapan pimpinan perusahaan yang begitu ia segani dan hormati. Saat manik sehitam arang milik Galaksi bertubrukan dengan kelereng tegas Pras, pria itu bisa melihat api kemurkaan yang begitu kentara dalam tatapan Galaksi.

"Di luar urusan pekerjaan, saya harap Om bisa menjaga kata-kata Om. Bagaimana kondisi keluarga saya, itu urusan saya. Om gak berhak sama sekali ikut campur urusan keluarga saya apalagi berpendapat dengan opini Om."

"Dan anak haram yang Om sebut tadi itu adik saya, dia punya nama, namanya Sabiru. Saya harap Om berhenti membahas tentang adik saya, atau Om akan berhadapan sendiri dengan saya."

Tepat setalah lantang kalimat itu Galaksi perdengarkan dengan tegas nada dingin penuh dominasi, langkah besar Galaksi ambil meninggalkan ruang kerjanya tanpa memperdulikan pekerjaannya yang belum sepenuhnya rampung. Yang Galaksi pedulikan hanya bagaimana cara untuk meredakan emosinya.

Sebab panas di dadanya bahkan belum mereda meski ia telah memberi kalimat peringatan pada orang yang telah memandang rendah adiknya.

Dering ponsel dari saku celana Galaksi membuat langkah tegas pemuda tersebut terhenti.

Nama Reksa terpampang di layar ponselnya, sebelum dengan cepat ia bawa jemarinya bergerak mengangkat panggilan tersebut.

"Halo."

"Bang, bisa jemput gue di rumah sakit gak? Mang Didin pulang buat jemput Biru dari tadi gak balik. Gue sendirian di depan rumah sakit."

Garis rahang Galaksi mengeras mendengar lirih kalimat serta tarikan napas tak teratur. Ia berusaha mengatur suaranya sebiasa mungkin.

"Kamu tunggu di sana sampai saya datang. Jangan kemana-mana."

Setelahnya, Galaksi ambil langkah tegas lebar-lebar meninggalkan gedung hotel begitu saja. Sebab ada yang lebih penting dari pekerjaan nya saat ini.

°°°°

Siang tadi cuaca jauh lebih terik dari hari-hari sebelumnya yang lebih sering di sapa hujan. Biru pikir cuaca akan terus cerah hingga petang menjelang, namun nyatanya begitu senja tenggelam di peraduannya, hujan deras datang bersama petir yang saling bersahutan saat hari telah sepenuhnya menggelap.

Biru tidak akan mengatakan dirinya hiperbolis ketika merasa dirinya lah yang paling sering di rugikan saat semesta menumpahkan dukanya.

Biru berpikir, bagaimana cara menyanggah ucapan oma tadi pagi adalah dengan mencari pekerjaan agar dirinya tidak lagi di anggap parasit dalam hidup sang kakak.

"Capek, laper, dingin." keluhan bernada mengiba itu Biru gumamkan untuk dirinya sendiri.

Nyatanya, mencari pekerjaan tidak semudah yang Biru pikirkan. Sepulang sekolah tadi Biru langsung bergerak dari satu toko atau kedai makanan hingga toko pakaian, namun tidak satupun yang bersedia menerima anak di bawah umur untuk di pekerjakan.

"Perasaan waktu sama ibu sama bapak, aku bisa dapet uang sendiri. Tinggal jualin kuenya Ibu atau bantuin bapak." Si kecil kembali bergumam pada dirinya sendiri.

"Kenapa sekarang gaada yang nerima anak di bawah umur? Emang aku sekecil apa sih? Tahun depan aku lulus SMP!"

Biru tidak membawa uang jajan selain uang yang ia gunakan untuk berangkat sekolah pagi tadi. Untuk makan pun Biru harus bersyukur karna Arai menjajakannya begitu banyak makanan.

Namun untuk Biru yang terus bergerak tanpa henti, tentu saja menguras banyak tenaga hingga membutuhkan suntikan energi.

Lama terduduk di depan toko terakhir yang ia datangi, Biru edarkan sepasang cokelat madu miliknya menyusuri jalanan, hingga arah pandang nya terhenti saat tanpa sengaja menemukan presensi tantenya yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.

Biru bisa melihat bagaimana tante Mayang yang terlihat sibuk menghitung uang dengan dua orang berbadan kejar yang mendampingi sisi kanan dan kirinya.

Biru tidak berpikir dua kali saat dirinya beranjak menghampiri tante Mayang dengan secercah harap dari kedua manik cokelat madunya.

"Tante Mayang!"

Wanita berpakaian minim dengan perawakan tinggi dan kurus itu menoleh saat namanya di serukan dengan lantang. Alisnya menukik tajam kala mendapati keponakannya yang telah lama tidak ia lihat hadirnya gini berada di hadapannya.

Saat dua pengawalnya hendak menghadang bocah tersebut, ia memberi isyarat pada pengawalnya untuk membiarkan Biru mendekat.

"Biru? ngapain kamu di sini?" tanya itu Mayang suarakan dengan maniknya yang menatap Biru dari atas hingga kebawah.

Bocah yang masih mengenakan seragam biru putih itu memilin tali tas sekolahnya sebelum memberanikan diri untuk mendongak.

"Aku habis nyari kerja, Tante." Biru ucap kalimatnya serupa cicitan lirih. Mengingat bagaimana tantenya yang menolak untuk merawatnya saat bapak dan ibu meninggal dulu masih membekas di hati Biru.

"Tapi gaada yang mau nerima aku karena masih anak-anak." Bocah itu kembali bersuara sembari menatap tantenya gugup.

"Tante ... bisa bantu cariin aku pekerjaan gak?"

Wanita itu sedikit tersentak sebelum mengatur raut wajahnya sedatar mungkin. Wajah ayunya kembali menatap Biru dari atas hingga bawah, hingga sepasang kelereng wanita tersebut terpaku pada wajah manis keponakannya yang terlihat memancarkan kepolosan nya.

Hingga sebuah senyum miring tersemat setelah menatap lamat wajah manis Biru setelahnya.

"Kalau kamu mau, kamu bisa ikut tante. Kamu bisa hasilin uang banyak dalam satu malam dengan wajah kamu."

Sayangnya, Biru terlalu lugu untuk memahami makna di balik kalimat yang Mayang suarakan.

to be continued.

Adek biyu kambek nih, mbak-mbak.
Hayuk di ramein biar semangat nulisku menggebu-gebu.

kata kata buat tante mayang
.
.

si gemes biyuuu
.
.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

4.4K 188 39
cerita pendek tentang enam anak asgardo cuma untuk seru seruan aja ya, but vote sama komen tetap harus jalan hehe
240K 36K 65
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
27.3K 3.6K 28
[ H I A T U S ] ⚠️ WARNING !!! ⚠️ Bahasa kasar & Non-Baku Homophobic menjauh !!! Hanya cerita khayalan saya :) Slow Update ~ ________________________...
302K 23.5K 71
Aksa bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Hidupnya hanya di isi dengan luka,kecewa dan air mata. Dirinya terombang-ambing bak sebuah kayu yang be...