#part 75
#R.D.Lestari.
Pov Indah.
"Ibu akan buktikan padamu, jika Bapak masih hidup!"
"Dan, yang harus Kau tau, Indah. Kau tak perlu menikah dengan Rahmat sialan itu, karena bapakmu akan buat perhitungan pada bandot tua itu,"
Aku terdiam. Bagaimana Ibu tau apa yang selama ini menjadi beban pikiranku? apakah mungkin Ibu ...
"Ibu tau semua yang terjadi padamu, Indah ... Bapak yang cerita semuanya dengan Ibu ...,"
Lagi-lagi Bapak. Ingin rasanya Aku teriak pada Ibu. Ibu jangan terus menghalu! Bapak itu sudah meninggal!
Namun, Ibu tetaplah Ibu. Yang terus bersikukuh pada pendirian dan kepercayaannya jika Bapak itu masih hidup!
Walau batin ini menolak kehadiran Bapak, karena Bapakku bukan zombie, bukan mayat hidup. Bapakku tam mungkin hidup kembali, apalagi jelas saat itu melihat Bapak sudah masuk ke liang kubur.
Wajah itu ... tubuh itu ... meski separuh gosong tetap terlihat itu wajah bapakku. Berbalut kain putih yang diikat dari ujung kepala hingga ujung kaki, dibaringkan perlahan menghadap kiblat dengan posisi dimiringkan.
Aku sempat menangis dan luruh di tanah berpasir bercampur tanah merah dan batu.
Tak menghiraukan pakaianku yang kotor dan kaki yang sakit terkena batu saat tubuh ini jatuh begitu saja, melihat orang yang amat Aku sayang, cinta pertamaku itu terbaring tak berdaya di bawah sana dan di timbun tanah.
Hatiku hancur. Duniaku runtuh. Meski Aku akui ingin Bapak hidup kembali, tapi itu tak mungkin. Bapak pasti sudah bahagia di sana.
"Kau tak percaya Ibu, 'kan?" kulihat Ibu mendengus kesal saat Aku menggeleng perlahan.
Sudahlah! sudah cukup Ibu yang membuat ulah dengan menjadi pocong palsu. Aku tak mau menambah pikiranku lagi dengan pocong Bapak. Cukuplah sudah. Hidupku sudah teramat rumit kurasa.
"Kalau begitu, ikut Ibu. Ibu bawa Kau ke kuburan Bapak nanti malam," ujar Ibu begitu saja.
"Sudahlah, Bu. Ibu fokus pada kesehatan Ibu. Itu kita bicarakan nanti saja, Indah ingin istirahat,"
Aku mengakhiri percakapan aneh dengan Ibu. Beruntung Ibu mengerti dan tak memaksaku. Akupun memutuskan untuk tidur. Tubuh ini rasanya sakit-sakit dan lelah.
Terlebih lagi memikirkan ulah Kang Rahmat yang ingin menjadikanku istri. Benar-benar menguji nyali!
***
Kriet-kriet!
Terdengar suara pintu yang terbuka dan tertutup dari arah belakang rumah.
Jamillah yang sudah beberapa hari tak bertegur sapa dengan suaminya itu memilih melanjutkan tidur.
Pikirnya, biarkan saja Rahmat yang memeriksa dibagian belakang. Jika itu ulah maling, biar Rahmat di bacok duluan dan mati. Itu lebih bisa diterima daripada laki-laki itu menikah lagi. Rasa sakitnya berkali-kali lipat.
Sayangnya, Rahmat yang tidur di kamar tamu itu telah terlelap, tak ada harapan laki-laki itu bangun dan beranjak dari kamarnya.
Kesal karena bunyi pintu itu terus menggangu rungunya, terlebih angin di luar pun kencang, hingga membuat pintu itu terhempas begitu kuat, membuat Jamillah terpaksa beranjak dari tempat tidur.
Ia meraih gagang baseball punya anaknya, dan melangkah awas keluar dari kamarnya.
Sengaja tidak membangunkan suaminya. Rasa kesal masih menyelusup batinnya saat ini. Jangankan berbicara, melihat wajahnya saja Ia enggan.
Dengan menenteng tongkat itu, Jamillah berjalan dengan waspada, menyusuri ruangan demi ruangan rumahnya yang cukup besar.
Sempat menahan napas sejenak saat kakinya mulai memasuki lorong sekitar tujuh meter menuju dapurnya yang gelap tanpa penerangan, karena sinar biasa masuk dari dapur, sedang di dapur lampu sengaja dimatikan.
Prang!
Suara pecahan kaca dari arah dapur semakin menguatkan dugaannya jika yang berada di belakang itu adalah maling. Ia semakin mempererat genggamannya pada gagang baseball dan bersiap mengarahkan benda keras itu ke arah depan.
Gelap. Ruangan mendadak sunyi, dan ...
Brakk!
Pintu yang semula terbuka, tertutup tiba-tiba dengan keras, hingga membuat Jamillah terjingkat.
Tangannya mulai merambat di dinding mencari saklar, tapi ketika itu ia merasakan benda lunak dan berlendir menyentuh jemari tangannya.
Bau anyir menyeruak begitu saja, membuat Jamillah mual. Ia ingin menarik tangannya, tapi lendir itu begitu lengket hingga Ia cukup kewalahan untuk bisa lepas.
Jamillah mundur beberapa langkah hingga tubuhnya membentur tembok. Gelap yang menyelimuti membuat matanya sulit untuk menyesuaikan bias cahaya yang masuk dari arah ventilasi diatas pintu dapur.
Cukup lama Ia termenung, sebelum akhirnya samar-samar Ia melihat sesuatu berdiri di depan pintu.
Sosok yang perlahan semakin jelas be bentuknya itu menggeram marah, suaranya begitu berat dan menakutkan, hingga membuat tubuh Jamillah bergetar kencang.
Brukk!
Tubuh itu tiba-tiba ambruk berikut benda tumpul yang ada di genggaman tangannya. Suara dentuman sampai di telinga Rahmat yang sedang tertidur pulas.
Ia langsung terjaga dan menatap sekitar ruangannya. Matanya mengerjap berulang kali, gelap. Ruangan kamar itu tiba-tiba gelap. Mati lampu.
"Papa! Papa!"
Rahmat terjingkat saat mendengar teriakan dari kamar anaknya. Terhuyung, karena kesadaran yang belum penuh, Rahmat berjalan hendak ke kamar anaknya.
Tangannya menyelusur di pintu kamar, memutar kunci dan menekan gagang hingga pintu kayu itu perlahan terbuka.
"Papa! Mama! hu-hu-hu!"
Tangis anaknya memecah keheningan malam. Di luar, hujan deras disertai angin kencang. Ruangan itu gelap, yang ada hanya kilatan cahaya petir di luar disertai gemuruh yang bersahut-sahutan.
Rahmat berlarian mengikuti kata hatinya. Jerit tangis kedua anaknya membuatnya panik. Pikirannya hanya ingin cepat sampai dan melihat keadaan kedua anaknya di dalam kamar.
Tiba-tiba ...
Bught!
Tubuh Rahmat terpental kebelakang. Ia menyentuh pelipisnya yang terasa sakit. Susah payah Ia terduduk dan berusaha mencari sesuatu untuk membantunya bangkit setelah tadi seperti tertabrak sesuatu.
Tap!
Tangannya meraih sesuatu. Ia tertegun sejenak. Matanya yang mulai menyesuaikan pada kegelapan seperti menangkap sesuatu di hadapannya saat itu.
Tangannya mulai meraba. Seperti menyentuh kain tapi ada sesuatu yang lengket. Hordenkah? tapi kenapa berada di tengah-tengah ruangan? dan seperti ada sesuatu yang keras di baliknya.
Perlahan, Ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk. Suara tangis anaknya semakin kencang membuat Ia ingin segera bangkit dan berlarian ke arah suara.
Tes-tes!
Sesuatu jatuh tepat di atas wajahnya. Rahmat menarik tangannya dengan cepat. Ia menyentuh cairan itu dan menciumnya.
Bau anyir bercampur bangkai yang membuatnya mual seketika.
"Huekkk!"
"Apa ini? sialan!" makinya.
Kembali, Ia mendongakkan kepalanya. Matanya seketika membeliak saat samar-samar di kegelapan Ia melihat sesosok mengerikan sedang menunduk dan menatap ke arahnya.
Tubuh itu gemetar. Sosok yang pernah Ia lihat itu kini begitu dekat dengan jarak hanya beberapa sentimeter saja. Bau anyir dan bangkai bercampur jadi satu.
Menatapnya dengan bola mata yang hampir terlontar keluar dengan darah yang menetes dari sela-sela dagingnya yang terkoyak-koyak.
Sosok yang kepalanya terikat itu menyunggingkan senyum lebar dengan suara yang berdesis berbisik padanya.
"Jangan ganggu keluargaku!"
***