DEAR UMBRELLA

By ExpertClassProject

463 78 44

Dear Umbrella, Kepadamu kucurahkan segenap rasa Tentang dia yang menjadi cinta pertama Yang hilang ketika mus... More

PROLOG
BAB 1: SURAT UNTUK ZIDAN
BAB 2: BUKA GILING
BAB 3: DUA HUJAN
BAB 4: KENANGAN
BAB 5: CAHAYA YANG PADAM
BAB 6: TENTANG MEMILIKI
BAB 7: KEJUTAN DARI TUHAN
BAB 8: RENCANA IBU
BAB 9: SAMPAI JUMPA, MAGETAN
BAB 11: FIRST DAY
BAB 12: PART TIME JOB
BAB 13: DREAM'S WINDOW
BAB 14: MISS UMBRELLA DAN DETEKTOR GALAU
BAB 15: MATA YANG TERSENYUM
BAB 16: MIMPI

BAB 10: HELLO, JAKARTA!

10 4 0
By ExpertClassProject

Lima menit menuju pukul tujuh, bus memasuki terminal Lebak Bulus. Banyak angkot dan bus yang berhenti di bagian dalam teminal. Beberapa tampak baru saja menurunkan penumpang. Banyak pula yang akan memulai perjalanannya. Beberapa orang dengan kardus dan tas besar berjalan menyusuri tengah terminal. Tampak juga petugas bus yang tengah mencuci bus mereka.

Raline sudah bangun sejak subuh, ketika bus melaju kencang di jalan tol. Dia sempat melihat petugas pintu tol yang tampak lelah saat melayani kendaraan akan masuk gerbang tol.

Sebuah panggilan masuk ke handphone Raline.

"Halo, Raline!" sapa suara di seberang.

"Halo, Eyang...." Jawab Raline gugup. Muncul nama Eyang Utomo di layar handphone sebelum dia mengangkatnya tadi.

"Eyang tunggu kamu di dekat mushala. Di pojok terminal, ya."

Raline mengamati kondisi luar. Dia mencari-cari di mana mushala yang dimaksud Eyang Utomo. Akhirnya dia menemukan sebuah bangunan di dekat pintu keluar terminal di mana banyak orang sedang duduk di pelatarannya.

Setelah turun dari bus, Raline menenteng barang bawaanya menuju tempat yang diminta eyang. Raline kesulitan membawa ransel, tas, dan juga kardus oleh-olehnya.

Tiba-tiba matanya menangkap sesosok cowok yang baru saja turun dari buis. Cowok itu sangat mirip dengan sosok yang selama ini dinantinya, Zidan. Karena pandangannya fokus pada cowok itu, Raline tak sengaja menabrak sepeda yang terparkir di pinggiran trotoar. Dia terkapar di aspal bersama sepeda itu. Cowok yang tadi diamatinya sudah hilang. Dan hati Raline kecewa. Itu tadi hanya orang yang mirip Zidan.

Buru-buru Raline bangkit dan mencoba mendirikan sepeda yang ikut tumbang bersamanya tadi. Karena tangan kirinya masih menenteng tas, dia malah membuat sepeda yang hendak dia dirikan menyeret aspal.

"HEI!" terdengar suara teriakan tak jauh dari posisi Raline. Seorang cowok bertubuh cukup tinggi mendekatinya. "Lo nggak apa-apa, kan? Ada luka?" tanya cowok itu tanpa memandang Raline.

"Nggak," sahut Raline.

Cowok itu lalu memandang Raline dengan tatapan heran. "Gue nggak nanyain lo. Gue nanyain si Kaisar," jawabnya.

Dahi Raline mengernyit. Dia tak mengerti apa yang dimaksud cowok itu.

"Tuh, kan, lo luka parah. Goresannya lebar banget!" Cowok itu menunjuk bagian sepeda yang tergores aspal karena diseret Raline tadi. "Lo sadar, nggak, udah nyakitin Kaisar?" Cowok itu menatap Raline. Bukannya menatap dengan marah, cowok itu malah menatap Raline dengan tatapan putus asa.

Raline masih menggeleng, belum mengerti. Dia tak tahu siapa Kaisar itu.

"Sekarang lo musti minta maaf sama Kaisar," perintah cowok itu. "Minta maaf sama sepeda gue."

Raline melongo. Dia akhirnya tahu kalau Kaisar yang dimaksud cowok itu adalah sepeda bercat hitam usang yang ditabraknya tadi. Tapi, dia heran kenapa cowok itu malah menyuruhnya minta maaf pada sepeda. Dia curiga kalau cowok itu agak stres.

"Kamu waras?" tanya Raline polos.

Cowok itu terperanjat mendengar pertanyaan Raline. "Apa gue kelihatan kayak orang sinting?" Dia tanya balik. "Lo udah bikin makhluk lain terluka. Jadi, lo musti minta maaf."

"Oh, maaf. Aku nggak sengaja."

Cowok itu menggeleng. "Jangan minta maaf ke gue. Minta maaf sama Kaisar." Dia menunjuk sepedanya.

Raline ikut menggeleng. Dia merasa tak waras jika harus menuruti apa yang diminta cowok itu. Raline pun membalikkan badan, meninggalkan cowok itu. Dia yakin cowok itu memang sinting.

"Hei, lo mau ke mana?"

Raline sempat menoleh. Tapi dia tak berhenti, malah berjalan semakin cepat. Dia takut berurusan dengan orang asing yang agak sinting itu.

Raline mencoba menghubungi Eyang Utomo. Nada sambung masih terdengar saat seorang pria tua berjalan tak jauh darinya. Handphone pria itu berbunyi keras. Tepat saat pria itu mengangkat telepon, Raline mendengar sapaan dari seberang handphone-nya.

"Raline?" pria tua yang berdiri tak jauh darinya memastikan. Pria yang ada di hadapannya memang tak jauh beda dengan bayangan Raline sebelumnya. Tentang pria tua bijak, berambut putih dan bibirnya selalu dihiasi senyum.

"Eyang Utomo," sapa Raline. Perasaannya menjadi lebih tenang. Dia menoleh ke segala arah, mencari cowok sinting tadi. Tapi, dia tak lagi melihat keberadaan cowok itu maupun sepedanya. Raline bernapas lega. "Eyang Utomo, kan?" ulang Raline memastikan.

Pria itu mengangguk. Raline langsung mencium tangan pria tua itu. Selanjutnya Eyang Utomo memanggil supirnya agar mengangkat barang bawaan Raline ke mobil Chevrolet Bel Air warna merah.

"Eyang Putri menunggumu di rumah, Lin. Dia sangat ingin ketemu kamu." Eyang Utomo menyebut istrinya.

Mereka segera masuk ke mobil. Kemudian mobil berjalan meninggalkan terminal Lebak Bulus yang semakin ramai pagi itu.

Setengah jam kemudian Raline sudah merasakan pengalaman pertamanya terjebak macet Jakarta. Mobil yang akan menuju rumah Eyang Utomo sedang merayap mengikuti kendaraan lainnya.

Di dalam mobil itu Raline kembali teringat cowok sinting yang ditemuinya tadi. Dia merasa mengalami kejadian sangat aneh pada hari kedatangannya di Jakarta. Raline bersyukur cowok sinting tadi tidak mengejarnya.

"Yah, seperti inilah Jakarta, Raline," ujar Eyang Utomo dari kursi depan, samping supir. "Kamu akan terbiasa dengan kondisi seperti ini nanti."

Raline memandang tumpukan sampah yang tak karuan di bantaran sungai. Ironis, di depan gedung-gedung bertingkat berdiri mewah, di sini sampah mulai menggunung tanpa ada yang peduli. Raline berpikir, kalau banyak orang masih membiarkan sampah seperti itu, banjir tak akan pernah usai menyambangi Jakarta. Tapi di sisi lain Raline merasa bersalah juga. Bukankah selama ini dia juga kurang peduli pada keadaan sekitar? Percuma menuntut banjir ditanggulangi, jika orang-orang tak ikut serta memperbaiki lingkungan.

"Kalau masih capek, tidur saja," saran Eyang Utomo.

Raline menggeleng. Dia masih ingin mengamati keadaan kota yang baru pertama kali dikunjunginya ini. Kota yang akan menjadi rumah barunya sampai waktu yang belum ditentukan.

"Tadi Subuh ibumu nelepon. Tanya, kamu sudah nyampe apa belum." Eyang Utomo mengabarkan. "Pas kamu nyampe terminal tadi, Eyang sudah kabarin ibumu."

Raline bernapas lega karena dia sempat lupa memberi kabar pada Ibu. Setidaknya ibu tak khawatir menunggu kabar darinya. Tapi, kabar darinya pasti akan membuat ibu lebih lega. Sejenak dia mengetikkan pesan singkat lalu mengirimnya pada ibu.

Dari luar kaca tampak bus Transjakarta melintas di jalurnya. Raline mengamati bus yang selama ini menjadi angkutan umum andalan ibukota. Saat yang bersamaan pesan balasan dari ibu masuk. Ada ucapan syukur dan sepenggal doa agar Raline betah tinggal di Jakarta dalam pesan itu.

Mobil yang ditumpangi Raline menuju gerbang tol. Dia bisa melihat seorang pengemudi yang membuang karcis tolnya sembarangan. Lebih parahnya di tempat yang sama karcis tol serupa banyak berserakan. Kota ini benar-benar dipenuhi orang-orang yang kurang peduli terhadap hal-hal sepele.

Setelah melaju kencang di jalan tol, mobil kembali menurunkan kecepatannya ketika memasuki jalan masuk perumahan.

"Sudah dekat, kok," kata Eyang Utomo sambil menoleh pada Raline.

Benar saja, tak lama kemudian mobil memasuki halaman sebuah rumah yang tak terlalu besar namun tampak indah. Nuansa rumahnya tampak teduh, dengan banyak tanaman di depan rumah. Pot-pot bunga berjajar rapi di teras rumah.

Begitu Raline turun dari mobil, seorang wanita tua keluar dari rumah, langsung menyongsongnya. "Kamu sudah jadi gadis cantik sekarang, Raline!" Wanita itu ingat, pernah melihat Raline waktu masih bayi.

"Ini Eyang Putri. Bisa juga kamu panggil Eyang Norma," ujar Eyang Utomo sambil menepuk pundak istrinya.

"Ayo, masuk!" ajak Eyang Norma. "Langsung ke kamarmu dulu."

Mereka mengajak Raline melewati ruang tamu menuju ruang tengah. Sebuah ruang berdaun pintu warna biru muda menjadi tujuan mereka. Eyang Utomo mendorong pintu yang tak terkunci itu.

"Ini kamarmu. Sekarang kamu sudah jadi anggota keluarga ini. Anggap saja Eyang sebagai orangtuamu selama di Jakarta."

Raline menengok kamar yang disiapkan untuknya. Warna putih mendominasi ruangan berukuran sedang itu. Ada kasur yang diselimuti sprei bergambar tokoh kartun. Meja kecil tepat di sisi ranjang, dengan lampu tidur di atasnya. Sebuah meja belajar dari kayu mengkilat berdiri di samping meja kecil. Di sisi lain, sebuah lemari pakaian dengan cermin di salah satu pintunya berada. Sebagian dari lantai kamar itu dilapisi karpet tebal. Cahaya dari luar bisa masuk dengan bebas melewati jendela kaca.

Raline meletakkan semua barang bawaanya di lantai, di samping lemari pakaian.

Eyang Utomo mengernyitkan dahi saat Raline meletakkan payung kesayangannya di atas meja. Dia seakan meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilihatnya tidak salah. Tapi dia berusaha mengabaikan itu.

"Sekarang mending sarapan dulu, baru istirahat," sahut Eyang Norma.

Wanita itu langsung membimbing Raline ke ruang makan. Dia sudah memasak spesial untuk menyambut kedatangan Raline. Satu kursi ditariknya untuk Raline.

Melihat makanan di atas meja, Raline teringat oleh-oleh yang dibawanya. Dia lupa belum menyerahkan itu pada Eyang. Semua oleh-oleh ikut ditaruhnya di kamar barusan. "Sebentar, Eyang." Raline kembali ke kamar.

Sesampai di kamar, Raline langsung menenteng kardus dan kantong yang ibu telah siapkan dari rumah. Dia kembali ke ruang makan saat Eyang Norma sedang mengisi piring untuknya dengan nasi putih.

"Ini titipan dari ibu dan bapak di rumah, Eyang." Raline menyerahkan oleh-oleh.

"Wah, kok, malah repot." Eyang Norma tersenyum gembira. "Ayo, kamu makan dulu."

Raline segera duduk di depan piringnya yang sudah berisi nasi putih cukup banyak. Dia mengamati aneka masakan yang ada di meja. Satu mangkok besar sup dengan irisan jamur berada paling tengah. Sepiring bakwan jagung dan tempe goreng ada di sampingnya. Ada sepiring ikan laut yang dimasak dengan kuah asam manis juga di atas meja itu. Setoples krupuk melinjo tak ketinggalan.

"Ayo, dimakan. Jangan malu-malu!" kata Eyang Norma sambil mendekatkan piring berisi olahan ikan laut. Raline menyambutnya dengan mengambil sepotong kecil.

"Gimana perjalanannya tadi. Nggak ada kendala, kan?" Eyang Utomo yang sempat menghilang setelah dari kamar Raline, baru datang dari ruang tengah.

Raline mengangguk sambil menyuap sesendok makanan.

"Keadaan bapak sudah membaik?" tanya Eyang lagi.

"Bapak sudah mencoba latihan jalan lagi."

"Syukurlah. Semoga kesehatan bapakmu segera pulih kembali."

Sambil menikmati sarapan pertamanya di Jakarta, Raline mengamati foto-foto yang terpajang di dinding warna cokelat ruang makan. Ada beberapa foto anak kecil dan remaja yang dia temukan.

"Itu Mas Senna. Dia sudah menikah dan punya dua anak sekarang. Dia tinggal di Bandung bersama istri dan anaknya." Eyang Utomo dapat membaca arah pandangan Raline saat makan. "Mas Senna adalah putra pertama Eyang." Eyang Utomo menunjuk foto di ujung kiri. Seorang pria dengan kaos olahraga berdiri sambil memegang bola sepak.

"Yang itu juga Mas Senna. Itu fotonya saat masih kecil." Kali ini foto yang dimaksud adalah foto bocah lelaki bersepeda di atas rerumputan. Bocah itu kira-kira berumur enam tahun.

Raline mengangguk-angguk setelah menggigit bakwan jagung. Pandangannya beralih pada foto selanjutnya. Ada seorang gadis yang tampaknya berusia belasan tahun dalam foto itu. Gadis itu mengenakan gaun lengan panjang berwarna biru muda. Rambut hitamnya kurang lebih sama panjang dengan Raline, sampai setengah perut.

"Kalau itu adik Mas Senna." Eyang Utomo menunjuk gadis cantik dalam foto yang dilihat Raline. "Itu foto lamanya, waktu masih SMP. Sekarang dia sudah selesai kuliah." Ada nada kurang bahagia saat Eyang Utomo menjelaskan yang satu tadi.

Tanpa dijelaskan, Raline bisa menebak kalau foto terakhir adalah foto adik Mas Sena juga. Senyuman gadis kecil pada foto ujung kanan sama dengan senyuman gadis pada foto sebelumnya. Hanya saja foto terakhir diambil beberapa tahun lebih awal dari foto yang ditunjuk Eyang Utomo sebelum itu. Raline merasa ada satu hal yang sepertinya terlupakan, tapi dia tak tahu apa itu.

"Ayo, nambah lagi makannya!" Eyang Norma menyorongkan nasi putih. Raline menolaknya dengan halus. Dia merasa cukup kenyang dengan sarapan ini.

"Kalau sudah, kamu istirahat saja dulu." Eyang Utomo mempersilakan.

Setelah pamit, Raline melangkah menuju kamar yang ditunjukkan padanya tadi. Sampai di kamar Raline mengamati sekeliling ruang itu sekali lagi. Ruang itu akan menjadi tempat dia belajar hingga tidur selama dia di Jakarta. Diam-diam Raline sudah mulai merindukan kamar lamanya di desa.

Raline merebahkan dirinya di atas ranjang. Kasurnya jauh lebih empuk daripada kasur di kamarnya. Sepreinya lebih halus daripada seprei kasurnya. Ada dua bantal dan satu guling di sampingnya. Di kamarnya yang dulu hanya ada satu bantal tipis yang bila dipakai tak terlalu terasa sedang memakai bantal. Kenyamanan membuatnya cepat terlelap.

***

Malam pertama Raline di Jakarta dihiasi hujan deras. Sejam yang lalu dia menikmati makan malam bersama eyang di meja makan. Eyang mengatakan kalau besok akan mengantarnya ke sekolah baru. Eyang juga mengajak ngobrol tentang Magetan. Obrolan malam itu mengalir cukup lancar. Raline mulai menemukan sosok Eyang Utomo sebagai pribadi yang humoris. Bahkan Eyang tetap terus mengajaknya bicara meski Raline hanya menjawab sepotong-sepotong. Orang lain sebelumnya banyak yang menyerah jika ngobrol dengan Raline.

Seusai makan malam tadi Raline pamit ke kamarnya. Dia ingin menyiapkan berkas dan apa saja yang harus dibawanya untuk mendaftar ke sekolah baru besok. Jantung Raline berdebar tak karuan menyambut datangnya hari itu.

Continue Reading

You'll Also Like

6.3M 269K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1M 57.4K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1M 96.7K 53
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
389K 47.8K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...