Batas Akhir [END]✓

By dekookoo

98.9K 8.4K 322

"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, m... More

01. Sang pemilik nama✧
02. Dirinya yang rapuh☆
03. Ingin pulang☆
04. Tidak sendiri✧
05. Obrolan Satya✧
06. Gama yang tulus☆
07. Sosok penyelamat☆
08. Pulang ke rumah✧
09. Hati yang terluka☆
10. Bertemu Ayah?✧
11. Kehangatan seorang nenek☆
12. Rumah sakit✧
13. Ayah Fabio☆
14. Kenalan baru✧
15. Hari pertama sekolah☆
16. Pendengar yang baik✧
17. Sulit☆
18. Ceroboh✧
19. Pertemuan tidak terduga☆
20. Anak itu✧
21. Mencari jalan keluar☆
22. Suatu malam✧
23. Curahan hati☆
24. Takut mati✧
25. Mulai terungkap☆
26. Pertolongan☆
27. Ayah siapa?✧
28. Malam yang panjang✧
29. Rasanya tetap sakit☆
30. Kebenaran yang berdatangan✧
31. Mulai menerima☆
32. Hug Me✧
33. Kembali sekolah☆
34. Tanpa judul✧
35. Salah paham☆
36. Berujung celaka✧
37. Kembali berjuang☆
38. Hadiah Fabio untuk Bagas✧
39. Semua orang menunggu☆
40. Mencari kebahagiaan✧
41. Ayo bahagia☆
43. Fabio bahagia [END]☆
44. Secuil cerita✧
Yuk mampir
Hi, Luca

42. Sibling✧

2.2K 181 4
By dekookoo

Senyum tidak luntur di ranum pucat itu, Fabio sudah tidak sabar akan kepulangannya hari ini, jam sekarang sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ia memandang sang ibu, nenek beserta kedua ayahnya yang berada disana, tidak ketinggalan , Tiara, Gio, Andi, Wildan, Firda, Remada, Atttaka dan seseorang yang sangat di sayang oleh Fabio, Gama.

Gama juga turut merasakan senang, ketika harapan Fabio akhirnya bisa terwujud. Bertemu dan tinggal lagi bersama sang ibu, Gama senang ketika Fabio tidak hentinya memancarkan kebahagiaan di matanya. "Bahagia terus Yo.*

"Mau gendong aja. Boleh?" Tawar Fabio, ketika Satya mendekatkan sebuah kursi roda untuknya. Satya memberinya senyuman, lantas mengusap rambut Fabio dan mengatakan jika itu adalah bukan hal yang sulit untuk tidak di kabulkan.

Satya berjongkok didepannya, dengan perlahan Fabio naik ke punggung tegak tersebut. Hal tersebut tidak lepas dari pandangan semua orang yang berada disana, termasuk Rio sendiri yang sedikit merasa cemburu melihatnya.

Fabio menyamankan dirinya di punggung Satya, rasanya begitu menenangkan, pantas saja dulu Fabio selalu merasa nyaman dan selalu aman saat bersama Satya, mungkin hubungan anak dan ayahlah yang membuatnya seperti itu, "papa... Bio boleh manggil kayak gitu?" Bisiknya pelan ditelinga Satya.

Tidak ada alasan bagi Fabio untuk menghindar dan tidak bisa menolak jika Satya ayahnya, Fabio menerima Satya dan kini ia memberanikan memanggil pria itu dengan panggilan yang ia inginkan.

Satya yang sedikit terhenyak ditempatnya tidak bisa menyembunyikan senyum yang terbit, "panggil ayah sesuka kamu nak, papa?... Ayah suka panggilan itu."

Sedikit rahasia, jika Fabio dan Satya diam-diam melakukan deeptalk. Tujuannya adalah agar Fabio tidak menyimpan kesakitan nya sendiri dibantu Satya sendiri, Satya tidak akan tinggal diam saja saat mengetahui jika psikis sang anak sedikit drop akibat kecelakaan yang terjadi.

"Makasih pa, nanti kalo ada waktu kita sholat bareng ya. Kalo bisa di masjid, Papa yang adzanin." Tanpa ragu Satya mengangguk setuju, Satya juga ingin merasakan beribadah bersama sang anak nanti.

"Janji harus sembuh? Minggu besok kesini lagi, ada jadwal ganti gips 'kan?" Satya mengingatkan, bisa ia rasakan jika Fabio mengangguk di balik punggungnya.

"Harus dong pa, memangnya siapa yang mau sakit terus? Lagian Bio itu kuat Pa, kalo kata Mada tadi 'kak Bio kayak iron man'." Mengingat Remada, bisa 'kan jika Fabio menganggap anak kecil itu juga sebagai adiknya juga? Fabio juga ingin merasakan menjadi seorang kakak.

"Baik-baik disana sama bunda kamu ya? Kalo dia perlakuin kamu nggak baik, langsung bilang sama papa."

"Iya paaa... Papa cerewet kayak nenek."

***

Canggung, yang Fabio rasakan saat ini, setelah semua orang pulang meninggalkan Fabio, Airin, Gio, Andi, dan Remada di rumah tersebut.

"Jadi sekarang Mada punya dua Abang ya? Yeay seneng banget! Nanti Mada pamerin ke temen-temen Mada, boleh 'kan Bunda? Ucap Remada dengan matanya yang berbinar, bocah itu senang saat ada tambahan anggota lain yang akan tinggal disini. Nanti akan semakin ramai, Ramada bisa main bersama dua orang kakaknya sekaligus.

"Iya boleh dong sayang, coba bilang kalo Mada sayang sama kak Bio," tutur Airin, wanita itu berusaha baik-baik walau hatinya terus saja dihantui rasa bersalah hingga saat ini.

Remada menurut, dan duduk di sebelah Fabio. Ia menyentuh tangan sang kakak dan tersenyum benar, "Mada sang kak Bio banyak-banyak!"

"Kak Bio juga sayang Mada banyak-banyak juga," balas Fabio mencubit pipi gembil sang adik, berusaha memberikan afeksi sebagai seorang kakak.

"Bio, kamu 'kan masih sakit. Jadi untuk sementara waktu tidur bareng Gio dulu ya, biar kalo butuh sesuatu nggak susah." Andi berucap, sebenarnya ada kamar kosong yang memang tidak ditempati. Namun berhubung Fabio tidak dalam kondisi yang baik, Andi menyarankan hal tersebut untuk mengurangi resiko.

"Iya om, makasih banyak," jawabnya sungkan, jujur Fabio sedikit malu dengan Andi entah karena apa.

"Buat Gio, inget kalo kamu tidur nggak sendiri. Biasanya kamu kalo tidur itu nyeleneh." Gio yang mendengarnya berdecak kesal, ayahnya ini tidak bisa menjaga rahasia, Gio 'kan malu pada Fabio.

"Iya nak, Gio kalo udah tidur itu kayak jam. Muter-muter entah kemana, nggak jarang juga dia jatoh dari ranjang. Jadi bunda kasih kasur tambahan di bawahnya biar kalo dia jatoh nggak sakit." Airin juga ikut serta menceritakan, membuat Fabio tertawa kecil mendengarnya, ia jadi ingat kasur kecil lain yang ada di kamar Gio waktu itu. Apa yang dikatakan Gio benar, Airin menyayangi cowok itu walau bukan anak kandungnya.

Fabio tidak cemburu kok, ia bukan tipe orang yang mudah baper.

"Ya udah sekarang ke kamar yuk, istirahat. Ayok om bantu ke atas."

Kedua anak itu menurut, Andi menggendong Fabio ke punggungnya. Airin dan Remada juga ikut ke atas untuk tidur, Airin menyempatkan terlebih dahulu melihat Fabio untuk memberikan kenyamanan, wanita tersebut mencium kecing sang anak, "mimpi indah anak Bunda." Katanya lalu melakukan hal yang sama kepada Gio.

Tinggallah Fabio dan Gio berdua di kamar tersebut, Gio tidur menyamping menghadap Fabio, "gue seneng keadaan mulai reda Yo, gue senang mama sadar kalo lo itu berharga buat dia."

"Makasih banyak Gi, kalo lo aja seneng, apalagi gue?. Maafin jadi ngerepotin lo jadinya."

"Ngomong apa sih lo? Ya nggak lah, gue justru seneng ada temennya, gue beruntung ada lo disini," kata Gio dengan tulus. Hati Fabio menghangat mendengarnya.

"Kalo gitu bisa bantu gue?" Tanya Fabio.

"Bantu apa?"

"Ke kamar mandi mau wudhu, belum sholat soalnya." Gio pun membantu Fabio dengan telaten untuk ke kamar mandi, jadilah mereka sholat bersama mengingat Gio juga lupa jika Fabio tidak bilang tadi, efek senang karena Fabio akan tinggal disini.

***

"Udah Yo, gue ngeri liatnya. Emangnya nggak sakit apa?" Beberapa kali Gio di buat ngeri saat Fabio berjalan tertatih, padahal masih ada gips yang melekat di kakinya itu.

Fabio terkekeh pelan, "ini nggak sakit kok, karna pake gips Gi. Gue cuma mau ngelatih jalan aja."

Gio beroh ria, ia tidak tahu karena belum pernah merasakan patah tulang dan Gio tidak mau sampai itu terjadi, membayangkan saja sudah linu sendiri.

"Kalo gitu, sini gue bantuin ganti perban lo." Ajak Gio, ia mengambil kain kasa baru dan juga plester. Mengajak duduk dengan pelan-pelan di sofa.

Fabio yang memakai kemeja lengan pendek tidak menyulitkan Gio untuk membantunya, bekas luka operasinya sudah mengering, namun harus tetap di tutup agar steril. "Ini, sakitnya kayak apa Yo? Kalo lo napas emang nggak sakit?" Tanya Gio penasaran, tangannya cekatan mengganti kasa dengan yang baru.

"Sakit banget lah Gi, pas pertama bangun nyeri tapi sekarang udah kering udah nggak." Luka di luar dadanya sudah mulai mengering, begitu juga dengan luka di dalam dadanya yang perlahan tertutup rapat.

"Bagas... Dia masih marah sama gue?" Kata Fabio dengan pelan, Fabio ingin meminta maaf pada Bagas, namun kondisinya tidak memungkinkan, Gio yang selesai membantu Fabio pun duduk disebelah cowok itu.

"Bagas nggak marah sama lo Yo, justru dia yang merasa bersalah karna dia lo jadi kecelakaan... Dia sebenernya mau liat lo, tapi dia malah yang takut lo bakal marah... Udah gue bujuk kalo lo itu nggak akan marah, tapi ya emang dari sono nya Bagas keras kepala... Gue bisa apa? Om Satya aja nggak bisa bujuk dia 'kan?"

Yang di katakan Gio benar, Fabio tentu sudah menanyakan Bagas pada Satya, namun yang ia dapatkan adalah jawaban yang berulang.

"Apa memang seharusnya gue nggak ada sini aja ya? Kalo seandainya gue nggak egois, semua ini nggak akan terjadi ya Gi?" Fabio menunduk menatap tangannya, mood nya kini memang sering berubah-ubah.

"Stop ngomong gitu Yo! Lo nggak egois sama sekali. Coba aja lo pikir Yo, kalo seandainya lo nggak hadir sekarang apa Bagas sama om Satya udah baikan sekarang? Apa mama akan tetap bohong sampe sekarang? Apa lo masih kangen aja sama mama? Justru karena kehadiran lo, semuanya berubah jadi lebih baik... Bagas sekarang udah baikan sama om Satya... Mama nggak bohong tentang apa yang terjadi... Dan lo bisa puas-puasin liat mama sekarang, lo tinggal bareng lagi sama Mama... Lo nggak egois... Tolong jangan bilang gitu lagi."

Fabio sungguh terharu mendengarnya, selain pintar dan bisa di andalkan. Gio sangat bijak, membuat Fabio semakin yakin jika Gio bisa membuat Airin bangga nantinya, Fabio merentangkan tangannya memberi kode meminta peluk, Gio yang tahu pun menghambur untuk memeluk Fabio dengan hati-hati.

"Sekali lagi terimakasih banyak Gio, gue juga beruntung bisa ketemu lo dan Bagas, kita saudara. Lo anak baik, gue yakin lo bisa buat Mama seneng terus nantinya, titip Bunda ya?"

TBC

[]

Adakah yang menunggu?

Lampung, 04092022

Continue Reading

You'll Also Like

Different By Moon

Fanfiction

25.9K 2.6K 26
"Sejak kecil, aku selalu melihat hal yang berbeda. Apa yang ada pada ku atau pada mas itu juga berbeda. Aku ada tapi tidak terlihat, mau seberapa ser...
465K 45.2K 66
Katanya, anak sulung bahunya harus kuat. Katanya, anak bungsu harus jadi penutup yang berbakat. Lantas, anak tengah harus berperan sebagai apa? Katan...
157K 15.5K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
AtheRion By TATA

Teen Fiction

89.4K 11.5K 19
Athera-dua puluh lima tahun, bukan sosok sempurna seorang Kakak yang menjadikan dirinya panutan. Arion juga bukan Adik terbaik yang memaksa dirinya m...