#part 70
#R.D.Lestari.
Brakk!
Jamillah menendang pintu kamar belakang, di mana Danang dan Mulyani sedang terlelap.
Dengan wajah yang masih sembab dan mata yang berkunang-kunang, karena bangun dalam keadaan terkejut, bocah SD itu sedikit terhuyung.
Samar Ia menatap Yayuk Jamillah, tetangganya yang sudah Ia anggap sebagai Ibu karena kebaikannya itu, sedang bersidekap dan menatapnya garang.
Raut wajah marah itu membuat Danang bingung. Apa yang sudah Ia perbuat hingga wanita baik itu berubah.
"Kau ... bawa adikmu itu keluar dari rumah ini sekarang juga!" suara itu membahana membuat Mulyani terbangun dan menangis histeris.
Danang yang panik langsung meraih adiknya dan membawanya dalam pelukannya.
Sedang Jamilah semakin menampakkan raut wajah tak suka. Belas kasih dalam hatinya lenyap entah kemana. Terbang berganti dengan rasa benci dan kecewa, meskipun Ia tau, anak-anak itu tidak bersalah.
"Cepat keluar sekarang juga!" bentaknya yang membuat jantung Danang rasa rontok seketika.
Air mata begitu saja menerobos keluar. Tubuh kecil itu bangkit dan menggendong adiknya dengan tangan gemetar. Susah payah bocah itu membawa adiknya dan berlalu dari hadapan wanita yang dulu baik padanya.
Brakk!
Pintu di tutup keras saat Danang keluar dari rumah besar full keramik itu. Terdengar jelas Jamillah mengunci pintu.
Bocah itu memandang pintu rumah itu dengan tatapan sedih. Bocah kurus berbobot dua puluh dua kilo dengan kulit kusam itu hanya mampu menghela nafas dalam.
Tubuhnya menggigil menahan dingin udara malam yang menusuk hingga ke tulang.
"Kita balik ke rumah ya, Dik," ucapnya lirih sembari merapatkan kain gendongan lusuh yang selalu Ia bawa sebagai penghangat tubuh Mulyani, adik kecilnya.
Bayi kecil itu tak jua henti menangis. Tangisannya terdengar begitu menyayat hati dan menggema di tengah sunyinya malam.
Gemetar bukan hanya menahan rasa dingin, tapi juga takut yang teramat sangat.
Di malam gelap yang hanya di terangi pendar cahaya bulan, Danang berjalan hanya ditemani bayi mungil yang masih saja menangis di gendongannya, seolah ikut merasakan takut, atau mungkin tak kuat menahan dingin yang terasa membekukan.
Gemerisik suara dedaunan dan derit suara bambu yang diterpa angin sesekali membuat jantung Danang seolah berhenti. Was-was jika saja sewaktu-waktu ada makhluk halus yang tiba-tiba menampakkan diri.
Benar seperti dugaannya, sepasang mata dengan awas menatapnya dari balik rumpunan bambu, mengawasi gerak-gerik bocah yang nampak ketakutan dan pasrah itu.
Kaki kecilnya terpaksa Ia bawa melangkah meski susah payah membawa beban yang hampir separuh berat tubuhnya.
Srek-srek-srek!
Danang terjaga. Tubuhnya bagai membeku dan tak mampu bergerak. Hanya peluh yang meluruh karena rasa takut yang naik hingga ke ubun-ubun.
Dalam ketakutannya, sekilas Ia melihat sekelebat kain putih terbang dengan begitu cepat menuju rumahnya. Bocah itu hanya tercengang dan ragu untuk kembali ke rumahnya, padahal jarak langkah hanya sekitar empat puluh meteran saja.
Namun, ekor matanya menangkap bayangan seseorang dari dalam rumah yang remang-remang karena hanya diterangi lampu kuning lima watt.
Samar Ia melihat pintu terbuka perlahan, dan tak lama bayangan seseorang berdiri di ambang pintu dengan tangan melambai.
Danang memicingkan mata, menatap awas sosok yang semakin nampak jelas meski di kejauhan.
"Mbak Indah ...," lirihnya.
"Danang ... sini, Dek! Mbak sudah pulang,"
Danang masih terpaku di tempat, memastikan jika itu memang Indah, kakaknya.
Namun, saat Ia menurunkan pandangannya dan melihat Mulyani, adiknya, perasaan ragu itu hilang.
Dengan langkah lebar, Danang berlarian membawa Mulyani di gendongan.
"Hati-hati, Nang! nanti Adik jatuh!" seru sosok itu berusaha memperingatkan. Danang mengangguk menahan haru. Indah bagaikan penyelamat baginya saat ini.
Bught!
Danang berhambur di pelukan kakaknya. Tangisnya pecah saat itu juga.
Sosok itu mengelus pelan punggung Danang, mencoba menenangkan.
"Udah, jangan nangis, anak cowok mana boleh cengeng. Mbak kan disini, Mbak ga akan ninggalin Danang lagi,"
Saat Danang merasa lebih tenang, sosok itu mengajaknya masuk. Sampai di dalam rumah, Ia membuat susu untuk Mulyani.
Bayi itu dengan lahap menyedot air susu dari dalam botol dot. Nampak sangat kehausan karena sedari tadi menangis tanpa henti.
Setelah kenyang, Ia ditimang hingga tertidur lelap. Sedang Danang begitu lahap menyantap nasi uduk berlauk ikan lele goreng serta sambal juga sayur kemangi.
Awalnya tak ada yang aneh, tapi lama-lama Danang melihat keanehan dari Mbaknya.
Aroma bangkai menguar begitu menyengat dari tubuhnya. Semakin lama aromanya semakin kuat.
"Huekkkk!"
Masih tersisa beberapa suap lagi, tapi Danang menyerah. Ia sudah tidak kuat menelan karena aroma yang membuat perutnya berputar.
"Mbak ... Mbak mandi, gih. Kok bau banget, sih?"
Bukannya marah, sosok itu malah membingkai senyum misterius di bibirnya, yang membuat tengkuk Danang meremang.
"Iya, kalau sudah selesai makan, Kamu tidur, ya? tutup pintu dan jangan keluar hingga subuh,"
Danang menurut. Setelah mencuci tangan, Ia masuk ke dalam kamar, dimana Mulyani sudah terlelap.
Bocah itu lalu mendekap adiknya dengan perut yang sudah kenyang. Tak lama, matanya terasa berat, dan hanya dalam hitungan detik, Ia pun terlelap.
***
"Ada apa ribut-ribut!"
Rahmat yang baru saja keluar dari kamar mandi mencak-mencak saat tadi menahan geram, karena suara ribut yang begitu memekakkan telinganya.
Jamillah tak menjawab, hanya menatap sinis ke arah Rahmat. Sedang mata Rahmat mengedar ke segala arah.
Pandangannya tiba-tiba terhenti pada kamar belakang yang terbuka lebar. Ia mengernyitkan dahi dan melangkah ke arah kamar, seperti ada yang mengusik pikirannya.
Seketika matanya membola saat melihat kamar itu kosong, Ia langsung berbalik dan menatap tajam ke arah Jamillah yang duduk santai di depan TV.
"Mama Danang dan Mulyani! kenapa mereka tak berada di dalam kamar!" kaki Rahmat menghentak mendekati Jamillah.
Jamilah menoleh dan mengulas senyum misterius.
"Aku usir. Memang kenapa?" jawabnya seperti tanpa dosa.
"Apa? Kau usir? apa Kau sudah gil*, Ma?"
Rahmat tak habis pikir dengan kelakuan istrinya itu.
"Kau yang buat Aku jadi gil*, Pa," jawabnya singkat dan kembali menatap TV.
"Tapi, ini sudah malam, Ma. Di mana hati nuranimu! di mana rasa kasihmu! mereka itu masih kecil, bagaimana bisa mereka di rumah itu seorang diri?"
Mendengar ucapan suaminya, Jamilah hanya mengedikkan bahu.
"Semua rasa itu sudah mat* , Pa. Lagian untuk apa kasihan sama adiknya pelakor," Jamilah berusaha keras untuk meredam rasa sakit hatinya saat itu. Ia tak mau terlihat lemah
"Mama jangan pernah sebut Indah pelakor! Dia bukan pelakor!"
Sontak, ucapan itu membuat Jamillah naik pitam. Dengan sadar suaminya membela wanita lain di hadapannya. Itu membuat emosinya naik hingga ke ubun-ubun.
"Aku tak akan membiarkanmu menikah dengan wanita itu! Aku bersumpah, Kau dan Dia tak akan bisa bersama!"
***
Udah pindah ke fizzo ya 🙏🙏🙏