COPY PASTE [Terbit, 2023]

By NoonaAgassi

17.3K 1.8K 730

[JUARA 2 TEMA MENTAL HEALTH GMGWRITERS 2022] Blurb: Kehidupan Kadita kerap diliputi oleh berbagai kecemasan h... More

NOONA's NOTE
1. Her Life
2. Dear, Mom
4. Let Me Hide
5. You Don't Know Me
6. Comfortable Uncomfortable
7. Help Me, Please
8. Unnoticed
9. Somethin' New
10. The Picker yet Perfectionist
11. Girl Brings The Boys Out
12. His World
13. The Ruler
14. Why Me?
15. Surprise!
16. Almost Done
17. Final Decision
18. Their Clash
19. Her Fears
20. Lean on Me
21. Them
22. Don't Judge by Its Cover
23. Unactivate Anxiety
24. I Think I ...
25. Perfect!
26. Side Story
27. About Him
28. Here It Comes Again
29. The Attack
30. In A Rush
31. His Order
OPEN PRE-ORDER!

3. The Opposite

468 80 27
By NoonaAgassi

Meski enggan, Kadita melangkahkan kakinya menuruni bukit hingga menemukan jalan besar penuh dengan kendaraan yang berlalu lalang. Sebuah botol semprot berisi cairan antiseptik dikeluarkan. Secara bergantian, dia menyemprotkannya pada kedua tangan. Tidak lupa, dia mengetatkan masker yang menutupi hidung dan mulutnya.

Kadita sempat menengok ke kanan kiri, menanti kendaraan umum yang kosong untuk membawanya menuju tempat tujuan. Namun, setelah lima belas menit yang ditunggu tidak tampak jua, Terpaksa dia menyewa jasa tukang ojek di sisi jalan.

Setelah mengatakan tujuannya dengan lirih, sang sopir ojek menyerahkan sebuah helm kumal pada Kadita. Meski sempat ragu, dia akhirnya mengenakan penutup kepala itu setelah menyemprotnya dengan cairan disinfektan. Bahkan isi botol berukuran sedang itu nyaris habis. Wanita itu menaiki motor-setelah menyemprot jok-, lalu melebarkan jarak antara dirinya dan sopir ojek.

"Korona mah tos teu aya¹, Neng," celetuk sopir ojek sebelum menyalakan mesin kendaraannya.

Angin menerpa sebagian kecil wajah Kadita. Sulit baginya untuk melihat arah tujuan dikarenakan kaca plastik penutup helm sudah dihiasi bergores-gores. Entah sudah berapa kali benda yang berfungsi untuk melindungi kepala itu terjatuh atau lebih parahnya terbanting.

"Naha teu kana umum atuh, Neng. Naek ojek mah panas. Engke hideung deui²," ujar sopir ojek lagi, saat matahari bersinar cukup terik. "Pan awewe mah sok rudet mun kapanasan. Sieun hideung. Padahal mah hideung ge geulis nyak, Neng? Duh, aya-aya wae³."

Kadita membisu. Perkataan sopir ojek memang benar adanya. Entah beberapa kali dia tidak sengaja mencuri dengar keluhan para wanita di sekitarnya, saat sang mentari sedang bermurah hati membagikan cahayanya. Kadita kerap menghindari sengatannya juga, tetapi untuk alasan yang berbeda.

Tiba-tiba saja sebuah mobil sedan mewah berpelat nomor ibukota, menyalip motor yang ditumpangi Kadita dengan cepat. Kendaraan roda dua itu sempat oleng, tetapi kepiawaian sang pengendara patut diacungi jempol. Pria paruh baya itu spontan mengumpat pengemudi yang hampir mencelakai dirinya. Telinga Kadita memerah dan panas, acap kali umpatan itu terdengar oleh rungunya.

Sekitar lima belas menit kemudian, sopir ojek mulai memperlambat laju kendaraan. Mesinnya berhenti menderu, saat bangunan dua lantai dengan konsep industrial terlihat. Kadita segera turun dan melepas helm yang selama perjalanan menyiksanya. Bukan karena tidak memikirkan keselamatan, tetapi pelindung kepala itu kerap menguarkan aroma tidak sedap.

Setelah membayar ongkos, Kadita mengeluarkan ponselnya dan kembali menghubungi Gayatri.

"Masuk aja," sahutnya dari seberang telepon. "Aku ada di taman dalam. Biar adem."

Kadita terdiam sesaat. "Di dalam ... banyak orang, gak?"

"Sepi, Say. Sini."

Setelah memasukkan kembali ponselnya, Kadita menaiki tangga satu per satu. Sesekali sudut matanya menatap awas. Waspada jikalau mendadak ada orang yang hendak bersinggungan dengan dirinya. Pengalaman mengajarkan berbagai kemungkinan bertabrakan hingga jatuh tergelincir, jika dia bersenggolan dengan orang lain.

Indera penciuman Kadita menghirup aroma roti yang baru dipanggang, bercampur wangi kopi yang baru saja diseduh dengan air panas. Kombinasi wewangian yang menjadi favoritnya. Bermacam-macam jenis roti tampak dipajang rapi memanjang di etalase berbentuk kotak persegi. Begitu pula dengan beraneka macam jenis kue dan juga tart yang berada di sebelah etalase roti.

Perut Kadita segera berdemo, meminta haknya atas aroma yang terhirup oleh indera penciuman. Namun, Kadita memilih melanjutkan langkah menuju taman bagian dalam bangunan toko roti dan kue itu. Tujuannya datang ke tempat ini untuk menemui Gayatri, bukan untuk memuaskan rasa lapar.

"Halo! Apa kabar?" sapa Gayatri diikuti senyuman lebar yang menampakkan gigi putihnya yang tersusun rapi. "Duduk sini."

Kadita menoleh ke kanan kirinya. "A-aku sebentar aja, kok."

Wanita berambut sebahu yang diwarnai cokelat kemerahan itu menatapnya usil. "Yakin kamu gak lapar? Udah jam makan siang, loh."

Kadita mengembuskan napas kuat-kuat, sebagai pernyataan kalau perkataan kawan bicaranya benar. Wanita bertubuh kurus itu mengambil tabung berisi cairan disinfektan dari dalam tas, lalu menyemprotkan ke setiap inchi kursi dan meja yang hendak digunakannya. Lantas ia mengeluarkan tisu basah dari tempat yang sama. Namun, belum sempat Kadita mengelap meja, Gayatri mencegahnya.

"Kamu udah semprot bagian itu pake disinfektan. Artinya ...."

"Sudah bersih."

Gayatri kembali tersenyum lebar, lalu mempersilakan Kadita duduk. "Mau pesen apa?" tanya wanita yang mengenakan blus berwarna pastel itu, seraya menyodorkan papan menu pada Kadita.

"Apa aja."

Gayatri menaikkan salah satu alisnya.

Kadita menatap papan menu. Berbagai macam jenis masakan khas dari dalam dan luar negeri, tercetak indah di sana. Sudah lama Kadita tidak memakan sajian ikan laut. Biasanya ada Sinta yang biasa menyiapkan berbagai macam makanan kesukaannya. Hanya saja akhir-akhir ini lebih banyak sajian nusantara yang memanjakan lidah Kadita, meski dalam bentuk mi instan.

"Salmon,"ucap Kadita lirih.

Gayatri mencondongkan sedikit badannya ke arah Kadita. "Apa?"

Kadita menunjuk tulisan salmon teriyaki. "Ini."

Kedua alis Gayatri menaik, diikuti dengan matanya yang melebar.

"Salmon teriyaki."

"Nah, gitu,"puji Gayatri. "Suaramu bagus, lho. Artikulasinya bisa jelas. Hanya perlu ditambah volume-nya aja sedikit lagi."

Kadita menunduk. Butuh waktu lama untuk bisa berbicara seperti saat ini. Sejak Kadita mulai merasa nyaman dengan keberadaan Gayatri, berulang kali psikolog itu meminta kliennya mengoreksi volume suara. Bahkan sampai membuat wanita yang usianya terpaut empat tahun lebih muda itu bosan.

Kadita selalu menanyakan hal yang sama pada Gayatri, seperti saat ini. "Untuk apa ... suaraku harus didengar jelas oleh orang yang tidak aku kenal?"

"Aku gak perlu lagi menerangkan pentingnya bisa berdiri di atas kaki sendiri sama kamu, karena kamu udah melakukannya,"jawab Gayatri. "Perlahan, tapi pasti seperti itu jauh lebih baik, daripada terburu-buru, tapi malah balik lagi ke titik nol waktu udah di tengah jalan."

Kadita kini menatap kawan bicaranya.

Gayatri menyandarkan badannya pada kursi. "Kita ini makhluk sosial, Kadita. Bahkan seorang penyendiri sepertimu tetap membutuhkan-"

"A-aku udah bisa sendiri."

"Tapi, kamu masih sering mengunjungi makam bundamu tanpa mengucapkan sepatah kata pun."

"Karena ... tidak ada yang perlu aku katakan, kan?"

Gayatri hanya tersenyum. "Kita makan dulu, yuk! Sampe lupa belum pesan. Saking senengnya bisa ketemu dan ngobrol lagi sama kamu."

"Kenapa begitu?"

"Begitu gimana?"

"Apa aku ... keberadaanku, membuatmu senang?"

Gayatri terkekeh. "Jelas, dong! Kamu itu punya sesuatu yang bisa bikin orang betah berada di deket kamu, ngobrol sama kamu, bahkan membuat orang lain berdecak kagum sama kamu."

"Kagum?"

Wanita berkulit putih itu mengangguk. "Kamu masih belum mau mengakui kelebihan yang kamu miliki?"

"A-aku hanya ... wanita biasa."

Gayatri menggeleng sambil tersenyum. "Kamu memiliki sesuatu dan kamu menyadarinya, Kadita. Hanya saja ... kamu belum bisa menerimanya. Kamu masih membandingkan dirimu dengan orang lain. Tanpa kamu sadari."

"Tapi, memang aku ... biasa-biasa saja."

"Kamu istimewa, Kadita. Setidaknya untuk orang yang mengenalmu sejak dulu."

Dering telepon seluler Kadita berbunyi, menandakan sebuah pesan diterima. Wanita itu menyelipkan sebagian anak rambut ke belakang telinga, seraya mengintip layar gawai. Mata Kadita membulat, disusul wajahnya yang memucat setelah dia membaca isi pesan itu. Takdir kembali mempermainkan dunianya.


Terjemahan bahasa Sunda:

¹Sudah tidak ada

²Kenapa tidak naik kendaraan umum, Neng. Naik ojek panas. nanti kulitnya hitam lagi.

³Bukannya perempuan suka cerewet kalau sudah kepanasan. Takut kulitnya hitam. Padahal kulit hitam juga cantik. Duh, ada-ada saja.


Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 91.9K 46
|๐‘๐จ๐ฌ๐ž๐ฌ ๐š๐ง๐ ๐‚๐ข๐ ๐š๐ซ๐ž๐ญ๐ญ๐ž๐ฌ - ๐ˆ| She was someone who likes to be in her shell and He was someone who likes to break all the shells. "Jun...
2.9M 118K 75
"แ€˜แ€ฑแ€ธแ€แ€ผแ€ถแ€€แ€œแ€ฌแ€•แ€ผแ€ฑแ€ฌแ€แ€šแ€บ แ€„แ€œแ€ปแ€พแ€„แ€บแ€œแ€พแ€ฏแ€•แ€บแ€žแ€ฝแ€ฌแ€ธแ€œแ€ญแ€ฏแ€ทแ€แ€ฒแ€ท.... แ€™แ€Ÿแ€ฏแ€แ€บแ€›แ€•แ€ซแ€˜แ€ฐแ€ธแ€—แ€ปแ€ฌ...... แ€€แ€ปแ€ฝแ€”แ€บแ€แ€ฑแ€ฌแ€บ แ€”แ€พแ€œแ€ฏแ€ถแ€ธแ€žแ€ฌแ€ธแ€€ แ€žแ€ฐแ€ทแ€”แ€ฌแ€™แ€Šแ€บแ€œแ€ฑแ€ธแ€€แ€ผแ€ฝแ€ฑแ€€แ€ปแ€แ€ฌแ€•แ€ซ.... แ€€แ€ปแ€ฝแ€”แ€บแ€แ€ฑแ€ฌแ€บแ€›แ€„แ€บแ€แ€ฏแ€”แ€บแ€žแ€ถแ€แ€ฝแ€ฑแ€€...
4.3M 282K 60
"Why the fuck you let him touch you!!!"he growled while punching the wall behind me 'I am so scared right now what if he hit me like my father did to...
802K 8.1K 67
๐ข๐ง๐œ๐ฅ๐ฎ๐๐ž๐ฌ ๐š๐ฅ๐ฅ ๐จ๐Ÿ ๐ญ๐ก๐ž ๐›๐จ๐ฒ๐ฌ โœฆ . ใ€€โบ ใ€€ . โœฆ . ใ€€โบ ใ€€ . โœฆ don't forget to vote, share and comment. ๐Ÿค