BERTAUT RASA

By EntinEmuahMuahh

97 41 30

Embun yang mengikuti alur hidup seperti air, Gema si lelaki seperti red Velvet yang mempunya sifat aneka rasa... More

1. T E N T A N G K U ✓
3. H A D I A H W I S U D A ✓
5. K E T E N A N G A N ✓
6. S E K E D A R S T A T U S ✓
4. K O M P O N E N ✓

2. R E D V E L V E T ✓

14 8 14
By EntinEmuahMuahh

Hal yang bisa membuat manusia hilang akal, bukan karena gila akan sesuatu yang diobsesi kan. Namun, karena tidak bisa mengontrol perasaan hilang akal karena tidak bisa mengontrol perasaan sendiri . . .  Sehingga membuat mereka lepas kendali.

Perempuan bercelana jeans putih gading dengan paduan kaos hitam sangat terlihat pas di badan yang sedikit mungil itu, ditambah dengan jas putih almamater sebagai ciri khas seorang dokter.

Matanya memandang lurus ke arah objek dan berbagai peralatan di meja praktek, ia sama sekali tidak memiliki semangat hari ini.

"Bun," panggil seseorang di ambang pintu, tangannya melambai menyuruh perempuan yang tidak memiliki semangat itu untuk mendekat.

Lelaki itu tersenyum, "Titip ya," ucapnya sambil meletakan sebuah kotak kecil ke tangan Embun, perempuan itu hanya menganggukkan kepala. Entah keberapa kalinya ia menerima titipan hadiah hari ini untuk sang kakak, mempunyai identitas sebagai seorang adik salah satu penguasa dunia entertainment sangat melelahkan. Itu yang ada dalam pikiran perempuan tersebut.

Matanya menatap kosong ke arah kotak kecil yang diberikan oleh seseorang tadi.

Tangan perempuan itu menerima dengan baik hadiah-hadiah yang di titipkan kepadanya untuk seorang wanita yang sangat terkenal Salju Katya Jaya, padahal sebelumnya tidak ada sama sekali yang mengetahui identitas Embun. Namun saat pengambilan raport kelas sebelas SMA kehadiran Salju di sekolah Embun membuat semua orang terkaget, hingga saatnya mereka mengetahui bahwa perempuan seperti Embun adalah seorang adik dari wanita terkenal itu.

"Adiknya Salju si model terkenal itu, ya?" tanya seorang lelaki yang saat itu menghampiri Embun yang tengah duduk santai di bangku taman fakultasnya.

Kehadiran lelaki itu membuat Embun kaget, bisa-bisanya seorang senior terkenal menghampirinya. Perempuan itu tersenyum sebagai tanda menghormati lelaki di sampingnya itu, namun matanya menatap ke arah sekitar memastikan tidak ada yang melihat bahwa lelaki most wanted yang paling di gemari itu sekarang ada di dekatnya.

"Kenapa ya, kak?"

Lelaki itu tersenyum ke arahnya, tangannya mencari sesuatu di dalam ransel coklat nya. "Nih,"

"Owh, fansnya ka Salju, ya?" tangannya meraih kotak kecil yang kemungkinan berisi gelang atau kalung di dalamnya. "Nanti aku sampaikan ke orangnya,"

Lelaki itu menggeleng kuat, menyangkal kuat perkataan Embun. "Buat lo,"

Perkataan lelaki disampingnya membuat Embun sulit bernafas, bukan karena hadiah tersebut tetapi karena lelaki most wanted yang memberikan hadiah itu kepadanya. Untuk pertama dan kali pertama ada orang yang memilih memberi hadiah kepadanya bukan kepada perempuan yang menyandang sebagai kakaknya.

Melihat lelaki di sampingnya, Embun merasa lelaki itu seperti– red Velvet.... seolah mewakili banyak rasa menjadi satu kesatuan yang unik dan berbeda. Unik.

"Kenapa?" tanya Embun setelah seorang temannya menyenggol bahunya sehingga ia kembali ke dunianya sekarang.

"Yang tidak ingin ikut praktek bareng saya, silahkan keluar." lelaki berjas putih itu menunjuk pintu keluar.

Matanya sedikit mendelik kaget, bahkan sekarang ia mengikuti telunjuk kanannya yang menunjuk ke arah pintu keluar. Gawat, perempuan itu mahasiswi akhir yang akan merangkak menjadi seorang dokter walaupun rasanya sangat tidak lah mungkin. Dan sekarang harus berurusan dengan lelaki yang sekarang menatapnya datar?

"Maaf ka, saya tidak akan mengulangi lagi!" ucap Embun meminta ampun.

Ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan memaafkan, ia mengabaikan perkataan Embun dan milih mendekat meja praktek.

Perempuan itu menghembuskan nafasnya pelan, pandangannya ia fokuskan ke objek manusia yang baru saja ia khayalkan. Tidak saat menjadi mahasiswa saja, bahkan ketika ia sudah lulus saja dan sudah menjadi dokter tetap menjadi most wanted di fakultasnya.

Setelah melaksanakan praktek, beberapa mahasiswa-mahasiswi itu melangkahkan kakinya keluar ruangan. Perempuan itu memijit pelipisnya pelan  merasa sedikit pusing dengan praktek yang seniornya ajarkan, tangannya bergerak untuk melepaskan jas putihnya. Meraih ransel di ujung meja, memakainya dan jas tersebut ia tenteng.

"Kenapa?" tanya seseorang yang sekarang merangkul bahunya, tidak ada penolakan sama sekali saat lelaki itu merangkul.

Lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar karena tidak menerima respon dari perempuan tersebut, "Bunnn!"

"Embun . . . Panggil nama gue dengan lengkap dong," perempuan itu melepaskan tangan lelaki itu yang masih merangkul bahunya. "Yang gak tahu gue pasti mereka ngiranya gue bunda lu, ongeb!!"

"Embun . . . Di pagi buta . . ." Lelaki itu malah bernyanyi lengkap dengan cengiran khasnya.

Perempuan itu melotot tajam, "Biru anaknya bapak Mahmuddin."

Lelaki yang bernama Biru itu kembali merangkul bahu Embun, membawanya keluar ruangan. Perempuan itu sama sekali tidak menolak akan rangkulan lelaki tersebut, bahkan keduanya sering dibicarakan oleh beberapa mahasiswa namun keduanya sudah kebal dan akan menjaga persahabatan mereka agar tetap utuh.

Keduanya merupakan sahabat sedari kecil, dari mereka hidup di sebuah kampung pemulung sampai saat lelaki itu di adopsi oleh keluarga cukup dalam hal ekonomi. Setidaknya Biru tidak kekurangan makanan setelah mengikuti keluarga barunya, namun lelaki itu sama sekali tidak melupakan kulitnya.

Ia akan selalu ingat dimana ia menghabiskan masa kecilnya selama lima tahun di tempat kumuh tersebut, bahkan di tempat itu juga kedua orangtuanya memilih meninggalkanya di tumpukan sampah.

"Bir," Panggil perempuan itu.

Lelaki itu berdecak, "Bun-bun, stop call me Bir..Birrr," matanya menatap tidak suka sedangkan tangannya semakin kuat merangkul bahu perempuan itu. "Orang yang gak tahu nama gue Biru, ngiranya lu lagi minta Bir,"

Keduanya tertawa hanya karena masalah persoalan panggilan nama, langakah keduanya menggema di koordinator fakultas kedokteran yang bisa dibilang cukup sepi.

"Pusing banget gue mikirin skripsi," Perempuan itu akhirnya memberi tahu permasalahan yang sedari tadi ia pikirkan.

Suara tawa renyah terdengar ditelinga pendengaran perempuan itu, "Aduh, jangan mikirin itu dulu deh! Gue juga cape banget harus berhubungan dengan guru botak itu, dikit-dikit revisi, dikit-dikit coret sana sini, dikiranya bikik kayak gitu gak pake duit apa?!" lelaki itu ternyata bernasip sama.

"Birr, tukeran otak dong gue udah capek." perempuan itu memegang kepalanya seolah akan memindahkan otak dari dalam kepalanya ke kepala lelaki itu.

Perempuan itu sedikit terhuyung kebelakang saat ia akan meletakan tangannya di atas kepala lelaki bernama Biru itu, kepalanya mendongak karena tarikan tangan yang sangat kuat di rambutnya.

"Aww," rintih Embun saat jambakan di kepalanya terasa sangat nyeri.

Lelaki bernama Biru itu kaget saat menyadari seseorang yang ia kenali kini tangah menjambak rambut Embun kasar, tangannya terulur untuk membantu Embun keluar dari amukan macan betina di hadapannya.

"Amara!!!" hadrik Biru, suaranya menggema di lorong tersebut sehingga menyita berbagai mata mahasiswa yang baru keluar kelas.

Perempuan yang dipanggil Amara itu melepaskan tangannya, matanya menyorot mata lelaki itu kecewa. Kedua bola matanya memerah karena menahan amarah dan tangis karena Biru yang menyandang sebagai kekasihnya sudah membentaknya di depan umum.

Tangan perempuan itu menuding Embun yang sekarang tengah memegangi kepalanya karena merasa cenat-cenut akibat jambakan, mata Embun sedikit memanas namun ia masih bisa mengontrol.

"Loe," Embun menelan ludahnya susah payah, kemudian tangan yang menunjuknya ia hempaskan kasar karena merasa tidak nyaman.

Amara terkekeh, kemudian menatap mata Biru yang sekarang menatapnya tajam. "Demi dia?" Ia kembali menunjuk ke arah Embun, "Kamu ninggalin aku di kantin, cuma gara-gara dia? Dari fakultas Ilmu komunikasi loh!" Ia menekan setiap katanya.

"Apa istimewanya sih dia ketibang aku sebagai pacar kamu?" tanyanya dengan sudut mata yang sudah mulai berair.

Biru memejamkan matanya sejenak, melirik keberadaan sekitar yang sepertinya menyita perhatian mahasiswa. Matanya menatap keberadaan Embun yang sekarang menyerandi ketembok dengan tangan memegang kepalanya, padahal beberapa menit yang lalu perempuan itu mengeluhkan rasa pusing karena skripsi. Dan sekarang rasa itu pasti menjadi-jadi karena jambakan kasar yang Amara sebabkan.

"Cukup!" ucap Biru setelah ia mengontrol emosinya agar tidak kembali membentak perempuan di hadapannya sekarang, "Loe cemburu? Udah berapa kali gue bilang kalau kita berdua itu sah-"

"Sahabat?" lanjut Amara memotong perkataan Biru, "Kamu pikir aku bakal tahan? Melihat kamu mesra-mesraan? rangkul-rangkulan? ketawa haha-hihi? Dan itu bukan sama aku, tapi sama perempuan perusak ini?" tangannya kembali menunjuk Embun.

"Astagfirullah Amara!!" Biru tampak tidak terima akan perkataan Amara.

Embun kembali memijat pelipisnya, hatinya sedikit ngilu saat mendengar perempuan perusak dari mulut perempuan di hadapannya. Merasa keberadaannya malah membuat perempuan itu makin tidak terkontrol, ia beranjak dari senderannya.

"Gue duluan, kalian selesain masalah kalian dulu aja," pamitnya tanpa melihat kedua objek dihadapannya.

Bahunya ditahan oleh perempuan itu, sehingga membuat Embun kembali menyender ke tembok.

"Gue sama dia sahabat, jadi tidak perlu ada yang loe cemburuin!" Embun sudah sedikit tidak terkendali.

"Bilang aja loe suka sama cowok gue, dasar perempuan perusak!" Perempuan itu hendak melayangkan tangannya ke arah Embun.

Biru hendak melangkah ke arah Embun untuk melindungi nya dari amukan Amara, namun pergerakan nya kalah cepat oleh seseorang lelaki berjas putih yang kini sudah menangkis tangan Amara.

Bahu tegak dengan balutan jas putih di badannya, membuat Embun mengerjapkan matanya. Yang semulanya kaget karena akan menutup mata, malah melotot kaget karena tubuh tegak dan kekar kini berada di hadapannya. Bahkan matanya hanya bisa mengintip dari belakang punggungnya untuk melihat wajah Amara, dan wajah Biru yang sama-sama kaget sepertinya.

"Jangan berani menyentuh dia!"

••••


Tidak pernah Embun pikirkan sama sekali, setelah satu setengah tahun yang lalu Embun tidak lagi bertemu dengan seorang lelaki berkepribadian red Velvet itu. Dan hari ini, lebih tepatnya saat Embun memikirkan pertemuan pertama kala itu. Bahkan terakhir kali keduanya bertemu saat malam itu, malam ketika ia membawa perempuan yang ia kenalkan sebagai tunangan.

Ia membawa Embun ke dalam mobilnya, bau parfum perempuan tiba di indra penciuman Embun. Dan Embun yakin, sebelumnya ada perempuan yang duduk di samping kemudi lebih tepatnya kursi penumpang yang tengah Embun duduki. Hal itu tidak lagi aneh, sudah jelas perempuan itu adalah perempuan yang ia sebut sebagai tunangan malam itu.

"Makasih ka," ucap Embun setelah beberapa menit keduanya hanya saling diam.

Lelaki itu hanya diam sibuk dengan handphone-nya, lagi-lagi ia selalu seperti ini. Ini kali kedua Embun bilang makasih dan dia memilih memainkan handphone.

Tangannya terulur meraih ransel Embun, mengambil sesuatu disana sehingga membuat Embun diam karena bingung. Embun hanya diam melihatnya yang sekarang sudah memegang hasil skripsi yang masih tahap revisi.

Ah aku saja sudah merasa muak dengan kaver biru itu.

"Biasanya bu Dina suka begini sama anak bimbingannya, bukannya membantu biar kelar ia malah semakin mempersulit." Tangannya mencoret-coret disana, bahkan Embun saja sekarang sudah menyerah.

Bu dina, Embun sedikit kesal . . . Ah, lebih tepatnya sangat kesal karena revisinya yang sama sekali semakin menjadi-jadi setiap hari. Kesalahannya kenapa dia tidak langsung saja memberi tahu semua kesalahannya, Bukan hanya memberi tahu di halaman utama dan melupakan halaman-halaman berikutnya. Padahal dia sendiri yang sudah mengiyakan tetapi dia sendiri yang meralat.

"Dia suka begitu, ngasih tahu masalah di halaman utama saja tanpa mengecek halaman berikutnya agar di hari berikutnya loe bisa ngebenerin halaman selanjutnya,"

Mata Embun seketika membulat akan perkataan yang lelaki itu ucapkan, benar-benar mengerti dengan apa yang Embun pikirkan.

Tangannya memberikan cover biru itu ke hadapan Embun, "Untuk selanjutnya ajuin buat sidang aja, masalah ini pasti beres." imbuhnya lagi seolah hasil revisinya akan menghasilkan nilai sempurna dari bu Dina, namun tampangnya sangat meyakinkan apabila Embun mengelak untuk tidak mempercayainya.

Keduanya kembali diam, lelaki disamping Embun sama sekali tidak mengeluarkan suaranya.

"Ka," panggil Embun lirih, namun lelaki itu menengok ke arah Embun yang sepertinya mendengar suara Embun yang seperti bisikan itu.

Embun melirik ke arah nama tag yang menempel di dada kirinya Gema Dharmendra, sesuai dengan kepribadian yang Embun simpulkan. Lelaki itu seperti Red Velvet, unik . . . seperti namanya 'Gema'

"Aku gak yakin kalo aku bakal berhasil kayak orang-orang disekitar aku, terkhususnya seperti ka Gema," Embun kembali diam menunggu reaksi yang akan lelaki itu tunjukan, hingga bau wangi parfum perempuan itu kembali tercium di batang hidung Embun.

"Mmmm, Aku duluan." tangan Embun sudah memegang pintu mobil siap untuk ditarik, "Eh_ Btw makasih ka, soal tadi."

🕳️Salam 'Bertaut'🕳️

'Keberhasilan butuh niat dan usaha'
-......

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 15.2K 24
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
1.2M 17.4K 23
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
487K 34.7K 36
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
16.6M 707K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...