▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Lagi dan lagi, orang tua Riona melakukan sesuatu yang bukan kemauan sang anak. Demi mendapat keuntungan besar dalam bisnisnya, mereka menjual kebahagiaan putri semata wayangnya. Katanya, mereka tidak akan menganggap Riona sebelum melakukan ini.
Tepat pada hari ini, Riona dipaksa menjalin hubungan dengan seseorang yang sama sekali tidak dia ia cintai. Dengan dalih akan membahas lebih lanjut perjodohannya dengan Jiandra, Riona diajak untuk pergi bersama mereka.
Siapa yang tau, perjodohan itu benar-benar berlanjut.
Dikediaman keluarga Raskan, Riona dan Jiandra terikat oleh cincin pertunangan. Tentu saja tanpa sepengetahuan dua orang yang bersangkutan itu. Pertunangan yang hanya dihadiri oleh keluarga dan para rekan bisnis, seakan-akan menunjukkan jika mereka berdua adalah simbol kerja sama dua pengusaha besar itu.
Sejak diketahui jika saat itu dia akan bertunangan, dada Riona sesak bukan kepalang. Hatinya sakit seakan tak ada yang memperdulikan bagaimana perasaannya saat ini, semua orang tertawa dan tersenyum lebar melemparkan kalimat selamat atas pertunangannya.
Pertunangan apa? Bahkan Riona sama sekali tidak menampilkan raut bahagia.
Sama sepertinya, Jiandra juga merasakan hal yang serupa. Raut wajahnya sudah tidak bersahabat, merasa kesal dengan kedua orang tuanya.
"Mau kemana lo?" tanyanya, melihat Riona meninggalkan dirinya seorang diri disana.
Riona tak menjawab, membuat Jiandra berinisiatif mengikutinya. Tak ada yang tau bukan, jika Riona bisa saja nekat dengan melayangkan nyawanya sendiri karena hal ini. Luka di pergelangan gadis itu tempo hari, membuat Jiandra bisa berpikir kearah sana.
Tapi ternyata tidak, gadis itu terhenti di halaman belakang rumah Jiandra. Mengambil posisi dengan duduk di sofa yang mengahadap kearah kolam renang.
"Gue mau ngobrol sama lo, Ji."
Jiandra mengernyit. "Gue lebih tua dari lo."
"Nggak peduli, udah diluar sekolah."
Akhirnya, Jiandra duduk disebelah Riona.
"Kita harus gimana sekarang?"
Jiandra melirik kearah Riona, lalu menatap sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang sama dengan milik Riona.
"Gimana? Udah terjadi."
Riona menunduk, menutup wajahnya dengan frustasi. Ingin rasanya dia berteriak sekeras mungkin, melepaskan sesak yang sedari tadi ia tahan.
"Gue nggak mau ini, Ji. Gue nggak bisa jalanin ini." Riona menatap jari manisnya, lalu bergerak untuk melepaskan cincin itu.
Jiandra yang seakan paham apa yang akan terjadi, menahan pergerakan Riona. Sorot matanya yang tajam seolah membuat gadis itu terpaku, ada sorot amarah juga disana.
"Nggak ada yang bisa kita lakuin sekarang, selain jalanin hubungan palsu ini sesuai harapan mereka."
"...... Lo terima ini semua?"
"Gue tanya sama lo, emang lo bisa apa?"
Riona menghela napasnya, menggeleng lemah.
"Nggak ada 'kan? Jadi yaudah, buat sementara biarin gini aja. Gue sama lo sama-sama nggak ada perasaan, hubungan ini cepat atau lambat bakal berakhir. Kita bisa sembunyiin ini, asal lo nggak ember."
"Gue nggak pernah ember, apalagi urusan sial kayak gini."
Jiandra berdecak. "Siapa tau, 'kan lo cewek. Omongan cewek nggak bisa dijaga."
Riona melirik sinis. Tapi jujur saja, ucapan Jiandra membuatnya sedikit lega. Memikirkan bagaimana teganya orang tua itu, tapi Jiandra bisa menyelesaikannya dengan tenang. Berbeda dengannya, yang memikirkan semua ini dengan pikiran yang rumit.
"Kalau gitu, kita bikin perjanjian."
Jiandra menaikkan sebelah alisnya.
"Kita tetap bersikap kayak biasa, nggak usah peduli satu sama lain. Nggak usah ikut campur masalah satu sama lain, paham?"
Jiandra tersenyum. "Tentu paham. Jangan lupa, lepas cincin kecuali kalau didepan orang tua."
"Iya! Gue ogah pake cincin couple sama lo."
Jiandra menarik napasnya, pikirannya tertuju pada gadis yang saat ini bisa ia tebak sedang berkutat dengan buku-bukunya.
Maaf Alina, entah ini disebut selingkuh atau tidak.
Tapi ini bukan kehendakku, ini paksaan diluar perasaanku.
Aku menyakitimu tanpa kamu sadari, memiliki hubungan yang lebih serius daripada kita.
Tapi Alina, sampai kapanpun hatiku hanya menjadi tempat pulangmu.
"Gue ingatin, jangan sampe lo naksir gue."
Jiandra menoleh, menaikkan sebelah alisnya dan tertawa kecil.
"Nggak mungkin, pasti lo yang naksir."
"Dih, Alden lebih ganteng daripada lo!"
"Ganteng, tapi gantung. Jiahhh..."
"Jiandra!"
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
"Riona, bersikap baik sama Jiandra. Dia tunangan kamu sekarang." Langkah Riona yang hendak menuju kamarnya jadi terhenti.
Ia memutar badan menghadap Aruni, menatap sendu kearah mata yang selalu menatapnya dingin.
"Tapi aku nggak cinta dia."
Aruni melipat tangannya didepan dada. "Bukan nggak, tapi belum."
"Ma-"
"Setelah menghilangkan nyawa Calvin, seenggaknya kamu lakuin sesuatu yang bisa berguna."
"....... Berarti selama ini aku nggak berguna?"
"Orang berguna nggak akan bunuh kakaknya sendiri. Bayar kematian Calvin dengan nurut sama orang tua, jangan biarin kematian Calvin sia sia."
Riona menatap nanar dengan mata yang berkaca-kaca, ia menatap tubuh mamanya yang sudah bergerak masuk kedalam kamarnya. Kini, hanya tersisa Arzan dan Riona yang saling terdiam.
Arzan menghela napas panjang, tangan yang ia lipat sedari tadi kini ia turunkan. Langkahnya bergerak mendekati sang putri.
"Langsung istirahat, besok harus sekolah."
"Iya, pa." Dengan tak bersemangat, Riona kembali melangkah menuju kamarnya yang berada dilantai atas.
Dilemparkannya barang-barang yang berada dijangkauannya, melampiaskan kesedihannya yang selalu datang dikala Aruni mengungkit Calvin. Mental yang sudah rusak ini, disebabkan oleh orang tua yang harusnya menjadi penopang hidup.
Luka-luka yang ada, menjadi saksi bisu seberapa sering gadis itu terpuruk dimalam hari. Pandainya, tak ada seorangpun yang menyadari bekas lukanya.
Sampai Jiandra menyadarinya.
Semesta, tak bisakah kau kembalikan kakaknya yang sudah lama berpulang? Mungkin dengan itu, dia bisa menjadi selayaknya anak yang mendapat kasih sayang.
Kematian Calvin, masih menghantuinya sampai sekarang. Kakaknya seakan-akan memarahinya agar tidak melemparkan bola ke sembarang arah. Suara-suara manis milik Calvin selalu berdengung ditelinganya, seakan menyapanya dari masa lalu.
"Ona, lempar bolanya ke kakak!"
Riona menutup telinganya, menggeleng kuat untuk menolak melempar bola ke arah kakaknya.
"Aku nggak mau, kak."
"Ona! Udah kakak bilang jangan lempar sembarangan, nanti kena orang."
Riona meringkuk dilantai, dengan mata yang terpejam kuat dan rambut yang sudah ia tarik dengan kasar. Ia mencoba menghilangkan suara suara yang terus berdengung tak jelas.
"Ona, punggung kakak sakit. Truk itu injak punggung kakak, tubuh kakak mati rasa."
"Arghhh!!!!"
Di ruang yang kedap suara itu, Riona kembali melukai dirinya. Kilas balik tentang Calvin yang ia lihat sudah remuk tergilas ban truk diusianya yang masih 15 tahun, kembali terputar diingatan. Erangan kesedihan menggema diruangan itu, tak ada satupun orang yang menemani keterpurukannya.
Gorden yang terbuka lebar, sorot cahaya rembulan menampilkan seberapa mirisnya Riona. Ruang kamar yang gelap, membuat keadaan semakin suram.
Teruntuk sosok yang kini hanya tinggal kenangan dan nama, tolong bawalah kesengsaraan ini bersamamu.
Jangan beri hukuman semenyakitkan ini pada adikmu, Calvin.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
aku bakal up sesering mungkin, biar cepet selesai!!!
jgn lupa vote dan komen yaaa
teubaaa