Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(29) Malam yang Panjang (18+)

2.9K 306 60
By dekmonika

Bagi yang di bawah umur, tutup mata, tutup kuping, dan tutup kebaperannya ya *loh? wkwk. Author ga tanggung jawab (eh, isinya nggak ada apa-apa, haha)

___________________________

Malam kian larut. Andin bersama Darwin baru saja keluar dari sebuah lift yang mengantarkan mereka menuju kamar masing-masing. Sambil berjalan bersama di lorong-lorong barisan kamar hotel itu, mereka tampak mengobrol perihal hasil pertemuan mereka dengan client beberapa saat yang lalu.

"Untuk desain yang direquest Pak Chandra tadi, apa kamu menyanggupinya kalau besok pagi kita langsung mempresentasikan?"

"Bisa, Pak. Saya akan mengerjakannya malam ini juga." Jawab Andin dengan percaya diri.

"Kamu yakin? Ini sudah jam 11 malam loh, kamu masih sanggup untuk mengerjakannya? Kalau tidak juga tidak apa-apa. Saya akan me-reschedule ke meeting di Jakarta minggu depan." Tawar Darwin karena memahami bahwa Andin pasti sudah amat kelelahan setelah sejak tadi siang mengikuti kegiatannya.

"Saya yakin, Pak. Saya akan mengusahakannya malam ini."

"Oke kalau memang seperti itu. Besok pagi sebelum berangkat survei ke lokasi yang kedua, kita sempatkan meeting sebentar sambil breakfast, bagaimana?"

"Baik, Pak." Ucap Andin, menyanggupi.

"Yasudah, saya ke kamar duluan, ya." Darwin menghentikan langkahnya tepat di depan salah satu pintu kamar.

"Silahkan, Pak."

"Selamat istirahat." Ucap Darwin, tersenyum simpul. Andin membalasnya dengan sebuah anggukan, patuh.

Tak jauh dari kamar Darwin, Andin pun akhirnya tiba di kamarnya. Ia segera menutup dan mengunci pintu kamar hotel tersebut. Sambil memijat pelan tengkuk lehernya, ia berjalan menuju sebuah kursi di dekat jendela kaca. Andin mengaitkan tas pada hanger stand, meletakkan sebuah laptop yang ia bawa ke atas nakas di sampingnya, lalu melepas sepatu heelsnya.

"Huffftt!"

Andin menyandarkan tubuh lelahnya pada pangkal kursi yang sedang ia duduki sambil menatap ke luar jendela, melihat gemerlapnya malam di Bandung yang terasa cukup dingin. Ia mengambil ponselnya dan mengecek pesan-pesan yang masuk yang belum sempat ia buka. Di antaranya terdapat beberapa chat dari Baskara, Andin pun segera memberikan balasannya.

Namun di antara semua itu, ia tak melihat satu pun notifikasi yang datang dari kekasihnya. Sejak telponan mereka siang tadi, pria itu tidak menghubunginya sama sekali. Bahkan untuk sekedar mengirimkan pesan saja tidak. Andin jadi merasa aneh. Sebab setiap malam Aldebaran biasanya selalu memberi kabar meski sekedar mengucapkan selamat tidur melalui pesan.

"Apa dia masih di gala premier?" Gumam Andin sambil menatap layar ponselnya.

"Atau aku telpon saja, ya?"

Tanpa pikir panjang, Andin memutuskan untuk menghubungi Aldebaran lebih dulu. Satu kali ia menelepon tidak ada jawaban. Kedua kalinya, juga masih sama, tidak diangkat. Tumben sekali pria itu tidak menyambut telepon darinya. Apa Aldebaran begitu asyik di acara itu hingga tidak menyadari ponselnya yang berbunyi? Atau mungkin dia sudah tidur?

Andin segera menggelengkan kepalanya. Dalam situasi lelah yang sedang melanda fisiknya, ia tidak seharusnya memikirkan hal-hal yang tidak perlu untuk dipikirkan. Ini sudah larut malam, kemungkinan besar orang-orang juga sudah tidur, termasuk Aldebaran. Mungkin saja kekasihnya mengerti bahwa ia sedang sibuk mengerjakan projek sehingga tidak mau mengganggu dengan chatting ataupun telepon.

Andin pun memutuskan untuk menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya, setelah itu mengerjakan sedikit desain yang tersisa, kemudian baru bisa tidur.

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­___________________________________

Satu jam lebih berlalu, kini waktu telah menunjukkan pukul 12 malam lewat beberapa menit. Andin masih berkutat dengan laptop, kertas, dan pensil gambarnya. Sesekali ia terlihat menguap, lalu memandangi kotak musik pemberian Aldebaran yang sengaja ia bawa kesana. Terus-menerus mendengar alunan musik itu membuat matanya kian dimanjakan yang berakibat pada rasa kantuk yang semakin menjadi.

//TING TONG!!//

Andin yang tidak sengaja tertidur beberapa saat, seketika tersadar kembali. Ia seperti mendengar suara bel yang berbunyi. Tapi saat Andin melirik jam yang telah menunjukkan pukul 00.30, rasanya tidak mungkin itu karyawan hotel. Atau jangan-jangan ada orang lain di luar yang berniat tidak baik?

Andin masih duduk di tempatnya, mencoba mendengarkan lagi apakah itu benar-benar suara bel kamarnya atau mungkin saja suara itu dari alam bawah sadarnya, karena ia sempat tertidur. Namun keadaan terasa mencekam saat bel itu kembali terdengar. Itu artinya memang ada orang lain di luar sana. Tapi siapa?

Andin berdiri dari tempatnya, mengambil sebuah bletzer tipis untuk menutupi tubuhnya yang hanya dibalut dengan romper dengan tali spageti dan hanya menutupi setengah pahanya. Dengan perasaan takut dan gugup, ia mencoba berjalan menuju ke arah pintu dan menyalakan layar kecil yang terdapat pada dinding di sebelah pintu. Layar itu menampilkan rekaman cctv kondisi di depan kamarnya. Itu merupakan salah satu fasilitas dari hotel tersebut demi menjaga keamanan dan keselamatan tamu mereka.

"Tenang Andin, tenang." Gumam Andin, menyugestikan pada dirinya sendiri.

Kening gadis itu mengerut dan kegugupannya semakin tidak karuan saat melihat penampakan seseorang yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan penampilan serba hitam. Jika dilihat dari kamera yang terambil ndari atas itu, nampaknya seseorang itu adalah laki-laki. Ia mengenakan celana panjang, jas hitam, serta sebuah topi yang menutupi kepalanya, sehingga Andin tidak bisa melihat wajah seseorang itu sama sekali.

"Dia siapa?"

Kamera cctv itu terlalu buram untuk mengenali siapa dia. Andin segera mematikan layar tersebut dengan perasaan takut luar biasa. Ia jadi terbayang film-film psikopat luar negeri yang pernah ia tonton. Astaga, apakah ia sedang terancam sekarang? Apakah orang di luar itu adalah seorang psikopat yang sedang mencari mangsa, atau seorang yang barasal dari komplotan perampok?

//TING TONG!!//

Sekali lagi bel itu berbunyi membuat Andin semakin merinding. Jika ia hanya diam, mungkin orang itu akan tetap di luar dan menghantuinya dengan suara bel sepanjang malam. Andin meringis, membayangkan malam yang mengerikan yang tak pernah ia bayangkan. Apa ia minta tolong Darwin? Ah, tidak. Bosnya itu pasti sudah terlelap dalam mimpinya. Atau ia menghubungi pihak hotel saja?

//TING TONG!!//

Untuk kesekian kalinya bel itu berbunyi. Mata gadis itu tak sengaja mendapati sebuah tongkat bet, alat pemukul bola, yang cukup besar di salah satu sudut kamar hotelnya. Dengan keberanian yang tersisa ia meyakinkan dirinya untuk mengambil benda itu dan akan menghadapi sosok asing di depan pintu kamarnya itu.

"Bismillaah..." Andin menghela nafasnya saat akan membuka kenop pintu kamarnya.

//KLEEK!//

Pintu pun terbuka sedikit demi sedikit membuat Andin mengintipnya secara perlahan dengan tongkat yang tergenggam erat di tangannya yang akan menjadi senjatanya jika terjadi sesuatu yang berbahaya. Tampak orang misterius itu yang berjarak kurang dari dua meter darinya. Seseorang itu berdiri membelakangi pintu membuat Andin tidak bisa langsung mengetahui siapa orang tersebut. Akan tetapi jika dilihat dari postur tubuhnya, Andin merasa tidak asing.

"Kamu siapa?" Andin memberanikan diri membuka suaranya. Pertanyaan itu akhirnya membuat pria asing tersebut membalikkan badannya. Andin seketika terperangah saat pria itu berbalik sambil melepas topi hitamnya.

"Hai." Pria itu tersenyum lebar.

"Saya Aldebaran." Lanjutnya dengan senyuman kemenangan, seolah telah berhasil mengusili kekasihnya.

Menyadari keusilan yang dibuat Aldebaran, Andin langsung menghujani perut serta lengan pria itu dengan cubitan-cubitannya. Aldebaran tertawa sambil meringis menerima luapan kekesalan gadisnya, namun berusaha untuk menghentikannya.

"Sorry sorry sorry..." Aldebaran berhasil menangkap kedua tangan Andin.

"Kamu bikin aku takut tahu nggak?" Keluh Andin, bercampur perasaan lega.

"Saya minta maaf, ya." Ucap Aldebaran lagi, sambil memegang kedua tangan Andin. Kemudian tanpa permisi, ia sedikit menunduk dan mencium tangan yang ada dalam genggamannya tersebut.

"Can I hug you?" Tanyanya, meminta izin. Meski masih merasa kesal, Andin tidak mau munafik bahwa ia merasa bahagia akan kedatangan pria itu disana.

Tanpa memberikan jawaban melalui kata-kata, Andin langsung memeluk pria itu lebih dulu. Aldebaran tertawa dan membalas pelukan itu dengan hangat. Untuk beberapa saat, keduanya hanyut dalam pelukan mesra itu tanpa berkata apapun. Andin mendekap dengan salah satu tangan yang mengusap tengkuk Aldebaran. Sedangkan Aldebaran sesekali memberikan kecupan pada pundak Andin yang sedikit terbuka.

"Kok ada disini?" Tanya Andin, masih saling berpelukan.

"Kan saya sudah bilang, saya mau ketemu kamu."

"Undangan Roy bagaimana?"

"Saya kesana, tapi tidak sampai selesai."

"Roy tahu?" Aldebaran mengangguk.

"Tahu kok. Saya bilang ke mama sama papa juga."

Andin akhirnya melepas pelukan mereka. Namun dengan jarak yang sangat dekat, keduanya saling menatap satu sama lain dengan tersenyum dan perasaan yang berbunga-bunga. Aldebaran tersenyum miring, dan dalam sekejap berhasil mencuri sebuah ciuman singkat di bibir Andin.

"Kamu benar-benar membuat saya tidak bisa fokus." Tuturnya setengah berbisik. Andin nampak tersipu.

"Mau masuk?" Tawar Andin, malu-malu, membuat Aldebaran tersenyum penuh makna.

Tanpa menunggu jawaban Aldebaran, Andin masuk kembali lebih dulu dan membiarkan pintu itu terbuka. Aldebaran masih berdiri di tempatnya, kemudian menoleh ke kanan dan kiri. Tentu saja tidak ada siapa-siapa karena waktu sudah sangat larut malam. Tanpa keraguan, pria itu itu pun masuk ke dalam kamar hotel sang kekasih.

"Aku bikinkan teh hangat, ya. Pasti dingin kan, berjam-jam di luar." Ucap Andin. Sambil melepas jas hitamnya, pandangan Aldebaran tidak lepas dari sosok perempuan yang sedang bersamanya. Andin mengambil jas pria itu dan mengaitkannya pada hanger stand yang ada.

"Boleh." Sahut Aldebaran, tanpa berkedip.

"Sebentar, ya." Andin berlalu dari hadapan Aldebaran untuk menuju area dapur kecil yang memang tersedia pada kamar hotel tersebut.

Aldebaran meletakkan topinya di atas nakas di samping sebuah kursi sofa di dekat jendela. Ia duduk disana dan melepas sepatu yang telah mengurung kakinya berjam-jam lamanya. Disandarkan punggungnya sesaat seraya menatap langit-langit kamar dengan menghela nafas lega.

Perhatiannya tiba-tiba teralihkan pada sebuah benda yang berkilauan, memancarkan cahaya. Benda itu adalah kotak musik yang tempo hari ia berikan untuk Andin. Lebih tepatnya, hadiah yang diberikan oleh Ferdinand untuk putrinya dengan perantara dirinya. Meskipun Andin belum mengetahui itu. Aldebaran menekan satu tombol benda tersebut yang kemudian mengeluarkan alunan musik yang indah.

"Kau kah itu, Andin?" Gumam Aldebaran, memegangi kotak musik tersebut.

"Semakin saya yakin kalau seseorang itu adalah kamu, semakin saya yakin kalau kamu memang hanya untuk saya." Aldebaran tersenyum memandangi salju-salju yang bertebaran di dalam kaca kotak musik tersebut.

"Mas..." Aldebaran menoleh ke arah sumber suara, dimana Andin berjalan ke arahnya sambil membawa segelas minuman yang tampaknya masih panas. Sesampainya disana, Andin meletakkan gelas tersebut di nakas yang sama.

"Secangkir teh hangat untuk yang datang malam-malam dari Jakarta." Tutur Andin membuat Aldebaran terkekeh.

"Ini sih teh panas." Aldebaran berkomentar.

"Iya, tunggu sampai jadi hangat dulu maksudnya baru bisa diminum." Sahut Andin, ikut terkekeh.

Andin menarik kursi yang satunya sehingga membuat mereka duduk saling berhadapan dengan adanya sebuah nakas di tengah-tengahnya. Aldebaran menyesap teh tersebut dengan perlahan sambil melirik Andin di depannya yang mulai beraktivitas kembali dengan laptop yang sudah sedari tadi menyala.

"Lagi ngerjain apa?" Tanya Aldebaran.

"Desain buat presentasi ke client besok pagi. Tinggal dikit sih." Jawab Andin.

"Sudah larut malam begini. Memangnya tadi balik ke hotel jam berapa?"

"Sekitar jam 11 deh kayaknya. Tadi diskusi sama pihak hotelnya cukup alot, jadinya selesai agak ngaret." Aldebaran mengangguk mengerti.

"Perlu bantuan?" Tanya Aldebaran membuat kening gadis itu mengerut.

"Memangnya kamu bisa desain, Mas?" Andin terdengar meremehkan kekasihnya itu. Hal itu membuat Aldebaran langsung bereaksi dengan bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan ke belakang Andin.

Andin yang bingung dengan gelagat pria itu, tiba-tiba terdiam saat Aldebaran berada tepat di belakangnya dengan posisi sedikit membungkuk dan salah satu tangannya meraih papan mouse laptop Andin. Wajah pria itu tepat berada di samping kepala Andin. Bahkan kulit Andin bisa merasakan helaan nafas pria tersebut. Parfum beraroma mint yang melekat pada tubuh Aldebaran membuat kegugupan Andin semakin tidak karuan.

"Kamu meragukan saya?" Tutur Aldebaran, lembut, dengan mata yang fokus pada layar laptop di depan mata keduanya dan satu tangan yang sibuk menggeser-geser mouse.

"Asal kamu tahu, Darwin bisa membuat desain sehebat sekarang karena awalnya belajar dari saya." Timpalnya lagi.

"Kok bisa?" Tanya Andin seraya mengamati pergerakan pria itu pada desain yang ia buat di laptopnya.

"Semua bisa bagi seorang Aldebaran." Ucapnya dengan penuh percaya diri. Andin seketika menyipitkan matanya dengan dengan sedikit melirik Aldebaran yang ada di dekatnya. Aldebaran menyunggingkan senyumannya.

"Saya bercanda." Ucapnya kemudian.

"Aldebaran yang kaku ternyata bisa juga bercanda." Balas Andin sambil mengulum senyumannya. Melihat Andin yang mengejeknya membuat senyuman Aldebaran memudar dan kembali memasang wajah datarnya.

"Saat sekolah dulu, saya belajar banyak hal dari Darwin, termasuk menggambar." Aldebaran mulai berbicara serius.

"Katanya sih sejak kecil dia sudah sangat menyukai menggambar. Kami bertemu saat SMA, dia adalah kakak kelas saya waktu itu. Saya suka sekali mengamati dia menggambar sesuatu. Karena saya hanya sering melihat saja, dia meminta saya untuk mencoba. Awalnya saya ragu, tapi Darwin meyakinkan saya. Saya berkali-kali belajar, mencoba, bahkan sering ikut Darwin ke beberapa pameran lukisan. Sampai akhirnya saya berhasil membuat sebuah lukisan terbaik yang pernah saya buat."

"Oh ya? Lukisan apa, Mas? Aku boleh melihatnya?" Tanya Andin dengan antusias. Aldebaran tersenyum simpul.

"Boleh. Nanti ya, saya tunjukkan ke kamu." Jawab Aldebaran.

"Darwin itu persis seperti Roy. Bedanya hanya soal perempuan, Darwin adalah sosok romantis yang hanya setia pada satu wanita dari dulu, sedangkan Roy dia kebanyakan main-main sama perempuan." Aldebaran melanjutkan ceritanya, membuat Andin kembali menatapnya.

"Kalau kamu?" Tanya Andin, pelan, membuat Aldebaran menjeda aktivitasnya pada laptop tersebut dan membalas menatap Andin.

"Saya?"

"Iya. Mas termasuk yang mana? Yang seperti Roy atau seperti Pak Darwin?"

"Saya tidak seperti siapa-siapa. Saya akan mencintai wanita saya dengan cara saya sendiri. Tapi yang pasti, saya tidak akan pernah mempermainkannya." Jawab Aldebaran menimbulkan tatapan yang amat dalam dari kedua binar mata Andin. Andin menunduk sambil menyembunyikan senyuman manisnya.

_______________________________

Andin melepas bletzer tipis yang sejak tadi melapisi tubuhnya yang hanya mengenakan romper yang cukup terbuka. Ia membereskan laptop dan segala kertas yang agak berserakan di atas nakas hasil pekerjaannya. Tangannya meraih jas Aldebaran yang berada di pangkal kursi, dan menggantungnya dengan rapi.

Waktu telah menjelang dini hari dan ia sudah beberapa kali tampak menguap. Andin menutup gorden abu-abu pada jendela kaca kamar tersebut, sehingga pemandangan malam di jalan raya lenyap dari pandangan matanya.

Andin sedikit tersentak saat sepasang tangan tiba-tiba melingkar di perutnya dari belakang. Pundaknya tiba-tiba terasa berat seperti sedang menumpu sesuatu. Namun beberapa detik kemudian ia sadar bahwa tidak ada seseorang lagi di kamar tersebut selain dirinya dan sang kekasih, Aldebaran.

"Mas..." Desis Andin, melihat dagu pria itu yang menempel di salah satu pundaknya yang terbuka.

"Kenapa?" Tanyanya, sambil mengelus punggung tangan yang melingkar itu.

"Saya mau kamu." Ucap Aldebaran, agak berbisik tepat di samping telinga gadis itu.

"Kan aku disini sekarang." Balas Andin sambil terkekeh.

Andin bergidik geli, saat merasakan bibir pria itu perlahan menjelajahi pundak dan sesekali melintasi lehernya. Tangannya sontak memegangi kepala pria itu sebagai benteng pertahanan. Namun Aldebaran terlanjur terlena dalam permainannya sendiri. Ia menghadapkan tubuh Andin padanya dan mereka saling menatap dalam.

Tanpa berkata-kata, Aldebaran mendaratkan bibirnya pada bibir kekasihnya. Andin pun tidak menolaknya. Gadis itu tampak pasrah menerima perlakuan dari Aldebaran, bahkan sesekali membalas ciuman tersebut.

Keadaan terasa kian memanas saat Aldebaran dengan berani menciumi leher Andin. Tangannya aktif mengelus salah satu lengan Andin yang terbuka bebas. Andin memejamkan matanya menahan gejolak jantungnya yang tak karuan dengan tangan yang sesekali mencengkram rambut belakang Aldebaran.

Beberapa menit berlalu, keduanya telah terbaring di atas tempat tidur dengan posisi Aldebaran yang menindih tubuh Andin dengan pertahanan kedua tangannya. Sejoli itu masih terbuai dalam cumbuan mereka yang semakin detik, semakin berani.

"Mhhhpp..."

Aldebaran berhasil menurunkan tali spageti baju gadis itu. Dengan tatapan yang berkabut akan hasrat, Aldebaran bangkit dan melepas baju turtle neck putihnya dan menampakkan tubuhnya yang bidang. Pipi Andin seketika memanas saat melihat pemandangan di depannya karena malu. Dengan tersenyum miring, Aldebaran kembali mencumbu bibir Andin dengan lembut namun menuntut.

"Kita habiskan malam ini bersama, ya?" Aldebaran berbisik dengan mesra. Seolah terhipnotis dengan bisikan itu, Andin mengangguk pelan.

"Ini pertama kali untukku, Mas." Andin balas berbisik dengan tatapan yang resah bercampur cemas.

"I know. Jangan takut, ya." Aldebaran mencoba menengkan Andin.

I'm seeing the pain, seeing the pleasure

No.body but you, body but me, body but us

Bodies together

I'd love to hold you close, tonight and always

I'd love to wake up next to you

(Pillowtalk- Zayn Malik)

"Ahh..."

"I can't stop it, Andin. Oh God..."

"Mas..."

______________Bersambung_____________

Aduh, gimana ini Al Andin?

Apakah yang terjadi selanjutya... eng ing eng!!

Yok tebak tebak buah manggis lagi yok, WKWKK

Continue Reading

You'll Also Like

48.4K 6.4K 39
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
244K 36.7K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
77.6K 7.5K 21
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
477K 47.7K 38
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...