Forever After

By dekmonika

104K 15.7K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(28) Gala Premier

1.6K 259 44
By dekmonika

Keesokan harinya, Andin yang baru beberapa saat sampai di kantor desain dengan segala persiapannya langsung diajak berangkat ke Bandung oleh Darwin menggunakan mobil pribadinya yang disetir oleh supirnya sendiri.

Selama perjalanan Jakarta ke Bandung, Darwin banyak mengajak mengobrol Andin mengenai projek yang akan mereka lakukan selama dua hari di Bandung. Seperti biasa, Andin selalu menyimak dengan seksama setiap kali seniornya itu menjelaskan sesuatu. Andin tentu senang sekali dengan ilmu-ilmu baru tentang dunia yang ia geluti tersebut.

Tiga jam berlalu dengan segala kemacetan yang terjadi di perjalanan mereka, akhirnya Andin dan Darwin tiba di sebuah gedung megah yang biasa disebut hotel. Saat Andin dan Darwin turun dari mobil beserta bawaan mereka masing-masing, mobil yang mereka tumpangi itu langsung berlalu pergi.

"Ini hotelnya, Pak?" Tanya Andin saat mereka akan memasuki pintu besar utama hotel tersebut.

"Iya, ini dia."

Baru saja mereka melewati pintu kaca besar itu, keduanya disambut oleh dua orang dengan pakaian formal. Salah satunya seorang pria bertubuh tinggi besar dengan setelan kemeja, dasi, dan jas. Sedangkan satunya lagi merupakan seorang wanita dengan pakaian yang sama formalnya.

"Selamat datang, mister Darwin." Sapa pria bertubuh besar itu kepada Darwin.

"Thank you, mister." Balas Darwin, ramah.

"Bagaimana perjalanan kalian kemari?"

"Nothing special. Seperti biasa, macet." Jawab Darwin, terkekeh, mengundang lawan bicaranya itu ikut tertawa.

"Who is...?" Tanya pria itu sambil menatap ke arah Andin yang tersenyum, kikuk.

"Ah iya. Perkenalkan, ini adalah asisten saya. Namanya Andini or we call her as Andin."

"Oh, halo nona Andin. Perkenalkan nama saya Tokas Sihombing, saya manajer hotel ini. Dan ini adalah sekretaris saya, namanya Gista."

"Halo, pak, bu. Salam kenal dari saya." Balas Andin, tersenyum ramah.

"Salam kenal, Andin." Balas perempuan bernama Gista tersebut.

"Nice to meet you two. Omong-omong, kamar kalian masing-masing sudah kami siapkan. Mister Darwin dan Nona Andin bisa beristirahat dulu beberapa saat. Setelah makan siang, kita bisa mulai meeting khususnya." Ucap Tokas.

"Oh, sure. Perjalanan tiga jam karena kemacetan ternyata cukup melelahkan." Sahut Darwin membuat mereka tertawa bersamaan.

"Mari kami antarkan." Kali ini Gista menimpali saat dua orang roomboy dengan seragam khasnya datang untuk membawakan koper mereka berdua.

"Terima kasih." Ucap Andin.

Andin merebahkan tubuhnya di atas springbed besar yang beralaskan bedcover tebal dan lembut berwarna krim kecoklatan. Ia menghela nafas beratnya saat setelah melihat jam telah menunjukkan pukul 11 siang, yang mana itu berarti waktu istirahatnya hanya bersisa satu jam.

Gadis itu bangkit melepas bletzer abu-abu yang sedari tadi melapisi blus krim yang melekat di tubuhnya. Ia mengaitkan bletzer tersebut pada hanger stand yang memang disediakan pada kamar hotel tersebut, kemudian membuka horden jendela kaca yang memperlihatkan kepadatan lalu lintas di jalan raya kota Bandung tersebut.

Tiba-tiba ponselnya berdering, penanda bahwa seseorang menelponnya. Andin bergegas berjalan kembali ke arah tempat tidur dan meraih benda pipih tersebut. Gadis itu tersenyum simpul saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Halo, Ma." Sapa Andin pada sang mama yang menghubunginya.

"Kamu sudah sampai Bandung?"

"Iya, Ma. Baru saja kami sampai di hotel."

"Ohh."

"Kenapa, Ma?" Tanya Andin.

"Nggak, mama hanya mau memastikan kamu sampai dengan baik-baik saja."

"Iya, aku baik-baik saja kok, Ma. Mama jangan khawatir, ya." Ucap Andin dengan senyumnya yang merekah. Ia senang sekali mendapat perhatian dari wanita yang ia sebut mama itu, mengingat bagaimana dinginnya sikap wanita itu biasanya.

"Baguslah kalau begitu. Mama hanya mau memastikan itu. Yasudah, mama tutup, ya." Balas sang mama.

"Tunggu, Ma." Cegah Andin saat sang mama akan memutus sambungan mereka.

"Kenapa?" Andin tersenyum haru dan berusaha mengontrol rasa bahagia yang tiba-tiba menyelimuti perasaannya.

"Makasih, ya, Ma, sudah perhatian sama aku. Aku sayang sama mama." Ucap Andin, menahan rasa harunya.

Hening. Tak ada terdengar suara beberapa saat.

"Iya, sudah, jangan lupa istirahat." Balas Susan, masih dengan nada datarnya. Sementara Andin sedang berusaha menahan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Iya, Ma. Mama juga." Balas Andin.

Sambungan mereka pun berakhir, namun menyisakan raut keharuan di wajah Andin. Ia jarang sekali mendapat perhatian sekecil itu dari sang mama. Biasanya hanya Baskara yang mendapat perhatian-perhatian spesial, tetapi hari ini ia mendapatkannya kembali.

Belum sempat Andin bergerak dari posisinya, ponselnya kembali berbunyi. Andin tersadar dan segera mengambil benda itu lagi. Lagi-lagi bibirnya membentuk sebuah senyuman saat melihat nama yang terpampang disana. Mungkin itu adalah pertanda yang baik untuk ia memulai pekerjaan di Bandung hari ini.

"Halo..." Sapa Andin.

"Hei, bagaimana perjalanan kalian?" Suara berat seorang pria terdengar bertanya. Andin tersenyum manis sambil duduk pada sudut tempat tidurnya.

"Kami baru saja sampai hotel, Mas." Sahut Andin.

"Ohh. Hotel apa?"

"Grand Palm Hotel."

"Ohh." Aldebaran hanya ber'oh' ria membuat Andin terkekeh.

"Kenapa? Mau nyusul?" Andin mengulum senyumnya dengan melayangkan pertanyaan pancingan.

"Kalau kamu mau, sekarang pun saya bisa menyusul ke Bandung." Jawab Aldebaran, santai.

"Heh." Tegur Andin, kemudian gadis itu tertawa.

"Nggak usah aneh-aneh, ya. Malam ini kan gala premier film Roy, kamu harus hadir disana buat adik kamu." Ujar Andin.

"Saya tidak suka dengan acara-acara rame seperti itu. Saya sukanya berdua sama kamu." Sahut Aldebaran, entah dengan sengaja mengumbar gombalan recehnya itu atau memang begitu kenyataannya. Andin tertawa geli mendengarnya.

"Kaku kaku begini kamu hobi gombal juga ya, Mas?"

"Gombal apa, sih? Saya berkata apa adanya, Andin."

"Ya ya ya, oke. Aku percaya." Andin masih mengulum senyumnya.

"So, saya menyusul kamu ke Bandung, ya?" Aldebaran masih kekeh dengan ide konyolnya.

"Mas, please, nggak usah, ya. Kamu harus datang ke acara Roy, dia pasti sangat mengharapkan seluruh orang-orang terdekatnya datang. Lagi pula aku disini kan buat ngerjain projek bukan liburan." Andin meminta dengan serius kali ini. Pria di seberang telepon itu tak menyahut untuk beberapa saat.

"Mas..."

"Baiklah, saya akan datang ke acara Roy malam ini. Kamu disana baik-baik, ya." Andin kembali tersenyum tatkala mendengar jawaban Aldebaran yang telah luluh.

"Ya. Kamu juga baik-baik disana."

"Yasudah, kamu istirahat dulu, pasti masih capek." Kata Aldebaran.

"Eee, Mas..." Andin mencegah Aldebaran untuk tidak memutuskan sambungan mereka terlebih dahulu.

"Iya?"

"I miss you." Ucap Andin dengan sedikit berbisik.

Seperti mendapatkan hembusan angin lembut, Aldebaran terpaku begitu mendengar ucapan singkat namun terdengar mesra di telinganya. Senyuman sumringah perlahan terukir indah di bibir pria tampan itu. Entah sudah berapa kali perasaan yang sama itu terulang kepada orang yang sama pula. Jantungnya berdetak cepat, darahnya seakan berdesir, dan hatinya yang menghangat. Perasaan yang hanya bisa ia dapatkan dari seorang Andin.

"Saya tahu." Balas Aldebaran dengan percaya diri.

"Nggak mau bales 'I miss you too' gitu?" Protes Andin atas respon kekasihnya.

"Memangnya kalau bilang 'I miss you too' bisa mengobati rindu, ya?" Tanya Aldebaran membuat Andin menghela nafasnya.

"Ya enggak sih."

"Saya tidak mau merindukan kamu. Saya maunya bertemu kamu." Timpal Aldebaran membuat kedua pipi gadis itu seketika memerah, tersipu.

"Dasar! Sudah, kamu lanjut kerja, gih. Aku mau bersih-bersih dulu, terus istirahat." Aldebaran pun terkekeh.

"Baiklah."

"Dah, Mas."

"Dahh..."

_______________________

Suasana malam di sebuah rumah mewah tampak sedang sibuk masing-masing mempersiapkan diri. Aldebaran tampak siap lebih dulu dengan penampilan simpel namun tetap terlihat gagah dan elegan. Pria itu mengenakan celana hitam panjang dan baju model turtle neck putih polos yang dilapisi dengan jas hitam.

Ia menuruni tangga penghubung antara kamar dengan ruang tengah rumah tersebut sambil memperhatikan sang mama yang sibuk berinteraksi dengan seseorang di telpon. Wanita itu pun terlihat sudah siap dengan dress abu gelap yang panjang di bawah lutut serta model rambut updo modern yang membuatnya tampak lebih muda dari usianya yang sudah hampir setengah abad.

"Habis telepon siapa, Ma?" Tanya Aldebaran saat sang mama baru saja menutup teleponnya.

"Mama tadi siang pesan banyak buket bunga untuk Roy dan teman-teman cast filmnya juga. Terus tadi minta tolong sekretarisnya papa untuk menghandel biar bunga-bunga itu langsung dikirim ke lokasi gala premier." Jelas Rossa.

"Ohh. Terus, Papa mana? Sudah setengah 8 ini."

"Papa sudah siap di depan, lagi nunggu Pak Gilang datang mungkin."

"Yaudah deh, aku ke papa dulu."

"Iya, mama tinggal ambil tas saja ke kamar. Kalian tunggu saja di depan."

"Oke, Ma."

Aldebaran pun keluar rumah dan mendapati sang papa yang tengah mengobrol dengan satpam penjaga rumah mereka. Ia memperhatikan pekarangan rumah tersebut yang masih kosong, belum terparkir satu mobil pun.

"Pak Gilang belum datang, Pa?" Tanya Aldebaran saat telah menghampiri pria setengah tua yang mengenakan pakaian semi formal seperti dirinya.

"Belum. Mungkin masih kena macet di jalan." Jawab Damar dengan santai.

"Macet apanya, Pa? Rumah di depan komplek mau kena macet polisi tidur?" Sahut Aldebaran serius, meskipun ia tahu bahwa sang papa sedang bercanda. Damar dan satpamnya tertawa melihat respon Aldebaran.

"Kamu lihat, Ya? Bos kamu ini tidak bisa diajak bercanda, terlalu serius." Celetuk Damar, meledek putranya sendiri. Mendengar ucapan itu membuat satpam yang diajak bicara sempat kembali tertawa, meskipun sesaat kemudian ia harus menghapus tawanya karena Aldebaran melirik tajam ke arahnya.

"Aku serius, Pa. Acaranya mulai jam 8, kan? Kalau kita hanya menunggu Pak Gilang, yang ada nanti Roy marah karena kita terlambat." Damar menghela nafasnya mendengar Aldebaran yang tidak sabaran.

"Yasudah, kamu maunya seperti apa?"

"Papa sama mama pergi sama aku saja. Biar aku yang bawa mobil." Usul Aldebaran.

"Andin nggak ikut?" Tanya Damar.

"Nggak, dia lagi ada projek di Bandung." Jawab Aldebaran.

"Oh, pantes ada yang suntuk seharian. Lagi ditinggal pergi rupanya." Goda Damar pada putranya itu.

"Aku ambil mobil sebentar, Pa." Ucap Aldebaran sambil berlalu, tak terlalu menghiraukan ledekan sang papa barusan. Pria itu pergi begitu saja, membuat Damar terkekeh.

Sudah hampir setengah jam berlalu, namun mobil yang membawa mereka menuju lokasi gala premier masih bergerilya di tengah padatnya lalu lintas di malam itu. Aldebaran yang menyetir ditemani sang papa yang duduk di sampingnya beberapa kali telah mengambil jalan alternatif, namun mereka tetap tidak bisa terhindar dari kemacetan.

"Papa sudah menghubungi Roy kalau kita sedang terjebak macet. So, don't worry." Kata Damar, santai.

"Yang mengantar pesanan buket mama sudah mau sampai lokasi, Pa. Kalau kita belum datang, masa Roy harus bawa semua buketnya sih." Ujar sang mama.

"Tommy sudah sampai disana, Ma. Mama minta tolong saja ke dia." Tukas Aldebaran.

"Tommy datang juga?"

"Iya. Aku yang memintanya untuk datang."

"Oke. Mama telpon Tommy saja kalau begitu."

"Lagipula mama beli buket banyak-banyak buat apa sih?" Tanya Damar pada sang istri.

"Buat Roy dan teman-teman cast-nya lah, Pa."

"Semuanya, Ma?" Aldebaran bertanya, meyakinkan.

"Nggak semuanya juga. Buat teman-temannya yang kita kenal saja, kayak Giulio, Aurel, Zara, dan beberapa yang lain lagi. Mama juga pesan buket khusus buat idola mama yang main di film itu juga." Kalimat terakhir wanita itu membuat Aldebaran dan Damar saling melirik satu sama lain.

"Anjasmara?" Tanya Aldebaran, membuat sang mama tersenyum lebar di belakang.

"Siapa lagi?" Sahut Rossa dengan berbinar. Aldebaran kembali melirik sang papa yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aldebaran terkekeh.

"Anjasmara saja dapat bunga, masa papa nggak sih?" Sindir Aldebaran, mengusili pasangan itu.

"Begitulah mamamu, Al. Padahal gantengan juga papa." Balas Damar.

"Apaan sih papa. Kayak anak muda saja sok-sok cemburuan." Komentar Rossa, membuat Aldebaran tertawa renyah.

Ia suka mendengar perdebatan kecil kedua orang tuanya yang justru terdengar lucu bagi Aldebaran. Entah kenapa, hal itu membuat Aldebaran semakin merindukan kekasihnya. Ia merindukan suaranya, wajah lucu saat kesal padanya, dan tawa gadis itu. Aldebaran menggelengkan kepalanya, mencoba untuk kembali fokus menyetir.

Gemerlap cahaya jepretan kamera tampak meramaikan sebuah acara perayaan di dalam sebuah mall besar di ibukota. Karpet merah sudah membentang panjang untuk menyambut para pesohor yang akan menjadi bintang-bintangnya beserta seluruh tamu istimewa yang hadir.

Secara bergiliran mereka berjalan di atas karpet merah tersebut dimana semua sisi jalannya telah disesaki oleh para wartawan media dan beberapa fotografer. Ada yang berjalan sendiri, ada yang tampil berpasangan, dan ada pula yang berjalan beramai-ramai.

Aldebaran dan yang lainnya masih berada di dalam sebuah ruangan besar bernama dinner room. Disana tempat berkumpulnya seluruh para cast film, tim produksi, dan orang-orang terdekat yang menjadi tamu istimewa mereka semua. Sebelum pemutaran film di jam 9 nanti, mereka makan malam bersama terlebih dahulu.

Aldebaran hanya bisa memperhatikan keramaian di sekelilingnya. Ada yang sibuk foto bersama. Ada yang asyik ber-selfie ria. Ada pula yang masih mengobrol dengan bahan obrolan yang tak kunjung habis. Pria itu tak pernah bisa menikmati acara seperti itu terlalu lama. Ia mudah bosan. Seandainya Andin ikut bersamanya, mungkin ia tak akan merasa sebosan sekarang.

"Kak Al, foto rame-rame, yuk." Ajak seorang gadis dengan penampilan cantiknya yang serba merah.

"Oh iya, Zara. Boleh."

Aldebaran beranjak dari duduknya, menerima ajakan dari salah satu teman Roy bernama Zara tersebut. Ia langsung diserbu oleh beberapa cast yang lain untuk turut serta berfoto bersama, termasuk disana adalah Aurel. Wanita itu tampil anggun dengan dress panjang kotak-kotak dengan belahan panjang pula pada salah satu sisi pahanya.

"Al, bisa foto berdua nggak?" Tanya Aurel.

"Foto berdua?" Aldebaran tampak ragu.

"Sini gue fotoin." Timpal Roy yang berinisiatif sendiri. Aldebaran tersenyum kaku, kemudian mengangguk setuju.

Dengan kamera handphone yang siap dijepret oleh Roy, Aurel dan Aldebaran pun bersiap dengan gaya masing-masing. Gadis itu menggandeng lengan Aldebaran yang sebenarnya membuat Aldebaran kurang nyaman. Namun pria itu hanya bisa tersenyum simpul di hadapan kamera.

"Makasih ya, Al." Tutur Aurel dengan mata berbinar saat ia telah mendapatkan foto mereka berdua.

"Sama-sama, Rel."

"Sama gue nggak bilang makasih, nih?" Sindir Roy. Aurel tersadar, lalu tertawa.

"Iya iya. Makasih banyak ya, Roy." Ucap Aurel.

"Iya, sama-sama, Aurel."

"Eee, Roy, gue mau ngomong sebentar." Aldebaran mencegah adiknya itu untuk pergi.

"Ngomong apa?" Tanya Roy dengan kening mengerut. Aurel yang merasa kondisi itu tidak berhak ia campuri, akhirnya pamit memisahkan diri dan bergabung dengan yang lain.

"Kenapa?" Tanya Roy, sekali lagi.

"Gue hanya mau bilang kalau gue nggak bisa stay disini sampai acara selesai."

"Mau kemana memangnya?"

"Gue ada urusan lain."

"Urusan apa malam-malam?" Roy menyipitkan matanya, menatap curiga pada sang kakak. Namun belum sempat Roy mendapat jawaban dari pertanyaannya, tiba-tiba sang mama datang bersama Tommy di belakangnya yang membawa beberapa buket bunga yang sudah ia pesan.

"Roy, temani mama, yuk." Ajak Rossa.

"Kemana, Ma?"

"Kan mama sudah bilang jauh-jauh hari, kalau mama mau ketemu Anjasmara di acara gala premier kalian."

"Astaga, si mama." Roy tertawa disusul dengan tawaan dari Aldebaran melihat mama mereka yang tampak antusias ingin bertemu idola lamanya.

"Terus, buket-buket ini buat siapa?" Roy bertanya sambil menunjuk pada bawaan Tommy yang tampak kerepotan.

"Oh iya. Ini mama ambil satu buat Anjasmara. Sisanya, mama minta tolong sama kamu ya, Al. Tolong kamu berikan pada teman-teman Roy sesama cast."

"Kok aku sih, Ma?" Aldebaran memprotes.

"Terus kalau bukan kamu, siapa? Masa Tommy sih yang bagi-bagiin? Nanti yang ada Tommy dikira sales bunga lagi." Aldebaran ingin memprotes kembali, namun ia tak mampu mengeluarkan kata-katanya sebab ia tahu bahwa perintah sang mama akan sulit ditolak.

"Pokoknya mama nitip sama kamu, ya. Ayo Roy!"

Rossa buru-buru menarik tanganputra bungsunya tersebut, tidak sabar ingin menemui seorang Anjarmara, aktortersohor pada masanya. Sementara Aldebaran hanya mampu menghela nafas beratnyasaat melihat tiga buket bunga tersisa yang ada pada asisten pribadinya.

___________Bersambung____________

Kira-kira apa yang akan terjadi?

Dan Al mau kemana kira-kira? 🤔

Aku yakin kalian sudah banyak yang bisa menduga sih, wkwk.

Silahkan kasih vote dan komen kalian yaaa...

Continue Reading

You'll Also Like

140K 13.7K 25
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...
131K 13.6K 24
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...
AZURA By Semesta

Fanfiction

219K 10.5K 23
Menceritakan sebuah dua keluarga besar yang berkuasa dan bersatu yang dimana leluhur keluarga tersebut selalu mendapatkan anak laki-laki tanpa mendap...
88.3K 9.7K 29
"Tunggu perang selesai, maka semuanya akan kembali ketempat semula". . "Tak akan kubiarkan kalian terluka sekalipun aku harus bermandikan darah, kali...