Hiraeth

By sierrakafka

3.1K 418 96

"Apa itu tempat kembali?" Pemuda pelarian itu mengerjap. Tak butuh waktu lama bagi sepasang biru samudera san... More

Tolong Baca Baik-baik. Jangan Skip Bagian ini🙏
虐殺
出会い
過去
定め
天罰
幸福
Bahkan lebih penting dari Kata Pengantar. Tolong Jangan Di-skip🙏

運命

194 29 0
By sierrakafka

Langit malam itu tengah cerah. Meski sang bulan tak kelihatan, hamparan gemintang sejauh mata memandang lebih dari cukup memberi penerangan di halaman belakang rumah kecil itu.

Mafumafu menyeka peluh di dahi setelah menancap sekop di sisi kanan. Ia baru saja membantu Soraru memakamkan empat buah hatinya. Sempat terbersit pertanyaan di hati Mafu mengapa orang ini tidak melapor saja ke polisi. Tapi kemudian, ia batal bertanya tatkala mengingat kondisi umum dunia saat ini. Melapor ke polisi sekarang seringkali mendapat penanganan yang buruk dan akan memakan waktu lama untuk diproses.

Apalagi, Mafu yakin para polisi itu pasti masih sangat sibuk memburu dirinya.

Sejenak ia lirik Soraru yang masih menyawang sendu nisan batu sederhana di hadapan mereka. Wajah itu jelas teramat kuyu, kehilangan semangat hidup. Mengetahui ini Mafumafu tersenyum tipis. Kemudian, ia merogoh saku untuk menebar sesuatu di atas empat makam kecil itu.

"Kau menabur apa?" Soraru yang penasaran bertanya pelan. Mafu terkekeh ringan, "Ini bibit bunga daisy putih. Aku memungutinya selama perjalananku kesini tadi karena mereka cantik. Siapa sangka akan berguna di situasi begini?"

Sepasang alis si raven bertaut, "Untuk apa menebarnya di atas makam?"

"Daisy putih adalah lambang kepolosan dan kemurnian. Dia juga bermakna cinta sejati yang tulus dan hangat. Selain itu, pasti akan cantik sekali kalau bunga-bunga ini tumbuh dan bermekaran di atas tempat mereka beristirahat, bukan? Anak-anak Soraru-san pasti lebih senang kebun mereka dihias dan terlihat nyaman," Mafumafu menjawab dengan nada yang ringan.

Senyuman tipis tersemat pada bibir pucat Soraru. "Mafumafu-san sangat peduli pada mereka, ya?"

"Sejujurnya aku ingin main dengan mereka," celetuk si albino menyentak si raven, "Aku lihat foto mereka di dalam tadi. Mereka menggemaskan sekali. Aku yakin mereka pasti anak-anak yang manis dan baik. Sayang sekali aku datang terlambat..."

Kali ini Soraru terkekeh kecil. "Mafumafu-san suka anak-anak?"

"Ah... sebenarnya tidak juga," pemuda itu menggaruk tengkuk, "aku tidak tahu bagaimana menghibur dan menyenangkan hati anak kecil. Wajahku lumayan seram, kan? Kurasa mereka malah akan takut padaku."

"Tidak seram, kok," tukas Soraru cepat, "kau punya paras yang tampan, tapi manis juga. Tidak kelihatan seram sama sekali, loh."

"Eh?"

Mafumafu sedikit terperangah. Mulanya Soraru bingung apa sebabnya, sampai kemudian ia merekognisi apa yang baru terucap spontan dari lisannya.

Sontak si lelaki raven gelagapan menutup mulut dengan wajah yang merona merah. "Ah!-- Etto... M-maaf, aku spontan... Ak-aku hanya refleks mengatakan apa yang kupikirkan..."

Mafumafu tergelak kecil. Semburat merah muda turut bersemi di pipi pemuda itu. "Baru kali ini ada yang bilang aku tampan."

Perkataan itu membuat Soraru yang semula malu salah tingkah terdiam. Ia bertanya murni karena bingung, "Benarkah? Kukira kamu orang yang populer... Tidak cuma tampan, tubuhmu juga tinggi dan berpostur bagus."

"D-duh, hentikan, dong," tangan si albino bergerak menutupi semburat yang makin jelas di wajahnya, "Soraru-san terlalu memujiku..."

Sebentar setelahnya Mafu berdehem. "Yah," kata dia, "skenario itu terlalu bagus buatku. Sebaliknya, Soraru-san, hampir semua orang membenciku."

"Membencimu?"

Mafu mengangguk. "Sejak kecil aku sebatang kara. Orangtuaku menjadi salah dua dari ratusan ribu orang yang tak selamat 12 tahun lalu. Kemudian aku jadi ikut Bibi dan Paman. Pamanku pemabuk berat dan suka menghambur uang untuk judi, sedang Bibi bekerja di distrik merah. Tiap hari mereka selalu bertengkar dan aku kerap terseret dalam arusnya. Aku seperti beban yang harus mereka tanggung di rumah. Mungkin karena itu, mereka jadi ringan tangan terhadapku. Di sekolah pun, aku... dibuli hampir semua orang. Baik teman angkatan maupun bukan, sekelas ataupun tidak, mereka sudah menganggapku sebagai kasta terbawah. Guru-guru juga kebanyakan terkesan tak peduli..."

Seketika kalimatnya terhenti. Mafumafu menjadi ragu. Perlukah ia lanjutkan kalimat barusan? Apakah dia bisa mengatakan pada orang di hadapannya, bahwa dia adalah seorang pembunuh keji yang kabur dari kejaran penegak hukum?

Pada orang ini, yang baru saja kehilangan sosok berharga?

Menyadari gestur rikuh si albino, Soraru tersenyum tipis. "Pasti berat bagimu untuk sampai kemari. Apa kau kabur dari rumah?"

Ilham untuk berkelit datang menghampirinya.

"B-benar..." Mafumafu mencicit lirih, "aku tidak tahan, jadi aku kabur..."

Dia tidak berbohong, bukan? Dia gagal menahan diri, makanya dia kabur sebagai pelarian.

Bermaksud benar-benar menyudahi pembicaraan tentang dirinya, Mafu menggaruk tengkuk selagi bicara, "Malam semakin larut, ayo kita masuk..."

Soraru mempersilakan Mafu menggunakan kamar tidurnya karena ia ingin tidur di kamar anak-anak. Akan tetapi, Mafu menolak dan memilih untuk tidur di sofa ruang tengah.

Maka disinilah si albino, berbaring menghadap langit-langit dengan tangan tersilang di balik punggung kepala. Sudah ia duga, sendu itu tak mungkin hilang segini kejap. Samar dari dalam kamar di samping dapur itu, isak tangis si raven masih dapat didengar telinganya.

Sampai beberapa menit lalu ia masih berpikir untuk singgah semalam saja di rumah ini. Esok pagi-pagi sekali, ia akan langsung melanjutkan pelariannya dan meninggalkan sepucuk surat untuk si raven.

Tapi sekarang pikirannya sedikit berubah. Ah, mungkin menetap sedikit lebih lama tidak akan menjadi masalah. Ia tak sampai hati membayangkan sosok pemilik netra samudera itu ditinggal sebatang kara, tanpa seorangpun di sisi.

Setidaknya sampai keadaan mental Soraru membaik, biarkan dia menjadi teman penghibur di tempat ini. Selagi berpikir demikian, lambat laun sepasang netranya terpejam, berangkat ke alam mimpi.

Mafumafu tidak yakin penyebab bangun siangnya itu murni kelelahan sehabis menempuh pelarian yang sulit, atau karena telah lama ia tidak merasa damai saat tidur. Tak dapat dipungkiri, tidurnya semalam pulas sekali. Tanpa mimpi, tanpa gangguan berarti. Sudah lama sejak terakhir kali ia merasa ringan sehabis bangun tidur.

Duduk sejenak di tepian, padahal sofa itu tidak terlalu empuk. Biasa saja, layaknya sofa pada umumnya dengan harga yang standar. Si albino tertegun sedikit lama. Satu menit berjalan, raga dibawa bangkit dan mulai mengayun langkah.

Mafumafu dengan perlahan mengintip ke dalam kamar di sisi dapur. Ah, Soraru rupanya pun masih terlelap. Kedua mata si raven tampak bengkak cukup parah. Agaknya tenaga pemilik netra biru samudera itu habis dikuras sang tangis. Kini wajahnya terlihat tenang nan damai, bernapas teratur masih menyamankan diri diantara bantal-bantal aneka warna milik buah hatinya.

Mendapati itu, Mafu tersenyum tipis. Memutuskan untuk tidak mengganggu istirahat sang pemilik rumah. Albino itu bergerak mulai berbenah. Ia rapikan sudut-sudut rumah yang berantakan, mencuci perabot, serta membersihkan sisa-sisa tragedi semalam. Mafu yakin, Soraru takkan kuat kalau disuruh mengepel bercak-bercak darah di ruang tengah itu sendiri.

Jarum pendek jam telah setengah jalan menuju angka sembilan tatkala sepasang mata bengkak si raven terbuka perlahan. Sempat dikuceknya kedua indera penglihat itu sebelum Soraru benar-benar bangun. Tidak, awalnya bukan riuh rendah dari luar kamar yang membuatnya bangun, melainkan sisipan sinar pagi sang surya yang masuk lewat celah-celah kerai. Tapi setelah difokus pikiran nan pendengaran, kegaduhan minor dari balik pintu memang mengundang penasaran.

Maka ia terkejut kala pintu dibuka. Si albino tengah panik berusaha memadamkan kompor yang terbakar. Asap yang membubung dari atas teflon itu jelas hitam pekat warnanya. Sungguh, apapun itu yang tengah dimasak di atasnya, pastilah berubah serupa arang.

"Kau ini sedang apa?" Soraru bertanya keheranan.

Mendengar bariton itu sempat membuat bahu Mafu berjengit sedikit untuk sesaat, sebelum kemudian dia melirik takut-takut ke arah si empunya suara. "A-Ano... J-jadi aku sedang berusaha membuatkan sarapan untukmu... Tapi, yah, sepertinya memang tidak berjalan dengan baik..."

Lihat itu kejujurannya. Cukup untuk membuat Soraru mengurungkan niat untuk melempar amarah. Sebagai gantinya ia tertawa kecil, "Sepertinya, Mafumafu-san sama sekali tidak tahu cara memasak, ya..."

"Aku bisa, kok," si putih melakukan pembelaan. Soraru membalas, "Oh, benarkah? Kalau begitu coba kau jelaskan kekacauan yang terjadi di dapurku pagi-pagi begini, saat kau sedang memakainya."

"Ukh..."

Soraru memberikan tepuk lembut pada bahu si albino, mengisyaratkan agar sang pemuda duduk saja di kursi makan. "Kau duduklah, biar aku yang buatkan sarapan," kata dia.

"Soraru-san..."

"Aku tidak apa-apa, sungguh," hangat biru samuderanya menyawang sepasang merah darah lawan bicara, "terima kasih sudah memikirkanku. Sekarang tidak apa-apa, kok. Aku sudah merasa lebih baik."

Beberapa menit berjalan setelahnya. Aroma masakan mulai menyapa saraf pembau Mafu. Wangi yang harum, jelas berbeda dengan bau gosong sekian menit lalu saat dirinya yang memasak.

Diam-diam Mafu memperhatikan sosok yang tengah asyik berkutat itu. Tubuhnya kurus, terlihat sedikit kurang nutrisi dan letih. Meski demikian dia punya postur yang cukup langsing untuk seorang lelaki. Sama sekali tidak terlihat bahwa orang di hadapannya ini telah melahirkan empat orang anak. Rambut ikalnya begitu menggemaskan. Sungguh lembut juga tebal mengundang untuk diusak dan dielus. Gerak si raven begitu piawai. Terlihat sekali bahwa orang itu telah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi dengan celemek merah muda yang terpasang. Mengait membentuk pita di belakang pinggang dan di bawah tengkuknya yang putih. Mafu yakin, kulit di balik pakaian itu pun akan sama putih dan mulusnya--

Aduh, apa yang dia pikirkan.

Tanpa sadar Soraru telah selesai melakukan tugasnya. Lelaki muda menghidang sepiring roti panggang dengan keju dan daging asap serta telur mata sapi di atas meja. Ia juga membuat harshbrown dengan sup krim jamur serta segelas susu hangat. Aroma mereka amat menggiurkan.

"Silakan dimakan," lembut tutur si raven.

Maka keduanya makan bersama. Soraru kagum ketika memperhatikan sekeliling. Rumah itu telah bersih dan rapi. Apa Mafu yang membersihkannya? Ah, ia tak pernah merasa selega ini sebelumnya. Setiap hari dia seorang diri mengurus rumah, mengurus anak-anak. Baru kali ini ada orang yang membuatnya tak perlu merasakan kerepotan pagi.

Di saat tengah memperhatikan, atensinya tertuju pada foto besar keluarganya yang dipajang pada dinding ruang tengah. Bagian suaminya telah robek, entah kemana.

"Foto suamiku robek... Apa Mafumafu-san yang melakukannya?" Celetuk bibir Soraru spontan.

Mafu membalas agak kikuk, "Oh, ternyata betul itu foto suamimu? Aku khawatir Soraru-san akan sedih dan takut lagi jika lihat mukanya. Maka dari itu semua foto suami Soraru-san yang aku temukan waktu beberes rumah sudah kurobek dan kubakar... Eum... Apa aku melakukan kesalahan...?"

Tersenyum tipis, Soraru menggeleng pelan. "Terima kasih sudah melakukannya untukku. Mafumafu-san sungguh orang yang perhatian."

"Tidak masalah. Aku juga kesal kalau lihat mukanya," balas Mafu santai, "bisa-bisanya menyia-nyiakan istri yang bisa masak seenak ini. Gila! Padahal Soraru-san juga manis banget. Aku yakin wanita yang kabur dengan dia itu bahkan ngga ada apa-apanya dibanding Soraru-san!"

Mendengar pujian ini membuat wajah Soraru memerah. Ah, jantungnya berdesir. Apa ini? Apakah karena sudah lama sekali tidak ada orang selain Emi yang memuji dirinya?

Mencoba menepis berbagai prasangka dan perasaan aneh yang melanda, Soraru tertawa kecil dan berceletuk, "Mafumafu-san orang yang sangat baik, ya..."

Seketika gerak sendok dan garpu di tangan si albino terhenti. Dirinya diam cukup lama, hingga Soraru merasa heran dibuatnya. "Mafumafu-san?"

"Ah, tidak," yang dipanggil tersenyum kecut, "jangan berpikiran seperti itu. Aku tidak sebaik kelihatannya, kau tahu."

"Benarkah?" Soraru terkekeh.

"Tidak, aku serius," Mafu menanggapi, "aku ini bukan orang yang baik. Aku sarankan Soraru-san jangan terlalu terlibat denganku. Jangan terlalu percaya padaku..."

Mendengar hal itu membuat Soraru tertegun. Tapi itu tak lama, karena kemudian dia bertanya dengan lirih, "Hei, apa kau... mau tinggal disini?"

Tanpa sadar genggaman Mafu pada alat makannya sedikit mengerat.

Soraru melanjutkan dialog, "Mafumafu-san kabur dari rumah, kan? Kau tahu? Sekarang aku sebatang kara. Aku tak punya siapapun lagi. J-jadi, mungkin Mafumafu-san bisa menemaniku tinggal di rumah ini. T-tentu aku takkan meminta harga sewa! Sungguh!"

"Sebenarnya, bukan disitu masalahnya, Soraru-san."

Perkataan itu melebarkan sepasang netra si raven. Mafu tersenyum tipis, "Aku sungguh harus pergi. Aku tak bisa menetap lama di sini."

Ah, lihat itu tatap biru samudera yang berubah sendu. Mafumafu sejujurnya gamang, ia ingin memberitahu Soraru, namun ada ketidakberanian yang muncul di hati. Nyalinya masih ciut untuk menceritakan yang sebenarnya. Bahwa ia seorang buron, bahwa dirinya seorang pembunuh massal.

Hingga kemudian kepala bersurai salju itu menunduk. "Y-yah... karena satu dan lain hal, aku harus terus berpindah tempat... Aku harus pergi sejauh mungkin..."

Selanjutnya ia mendongak, menatap lurus biru samudera Soraru seraya tersenyum tipis, "Tapi jangan khawatir. Aku akan menyertaimu sebentar lagi. Sampai kau merasa lebih baik, aku akan menetap di sisimu."

Jujur saja, jawaban itu terasa mengganjal hati Soraru. Tapi siapa dia? Mereka baru saling kenal semalam. Sepenuhnya asing. Soraru harus tahu diri. Ia tak boleh egois meminta orang yang baru dikenalnya untuk menetap.

Tapi bagaimana lagi? Hatinya terlampau nyaman bila berada di dekat orang ini. Mafumafu adalah orang pertama yang memperlakukannya segini baik, segini lembut. Bahkan, jauh jika dibandingkan mantan suaminya dulu sebelum berstatus sebagai suaminya. Mungkin, itulah alasannya.

Tapi tentu, Soraru tahu ia tak boleh bersikap egois.

Maka satu-satunya pilihan adalah memaksa senyum meski tipis. Si raven mengangguk pelan. "Baiklah, terima kasih..."

Soraru pikir lepas percakapan itu mereka berdua akan canggung. Namun, siapa sangka tak lama kemudian ia kembali disuguhkan kelakuan jenaka si pemuda albino yang berusaha menghiburnya. Mafumafu bertanya tentang beragam hal. Mulai dari hobi, makanan favorit, cerita Soraru dengan anak-anaknya, sampai ke candaan-candaan ringan yang membuat hati Soraru lagi-lagi menghangat.

Ah, ya. Begini saja. Tak perlu bersikap egois. Cukup menikmati kebersamaan mereka walau singkat, ia pasti dapat membentuk kenangan. Soraru memantapkan diri melanjutkan hidup, dengan semangat yang baru demi anak-anaknya juga.

Hari berganti. Pagi ini Soraru berniat pergi ke toko untuk membeli beberapa kebutuhan. Mafumafu tetap tinggal di rumah, mengucap hati-hati di jalan dengan nada bicara yang riang.

Siapa sangka, ia akan mendengar kabar yang amat mengejutkan di tengah sukacita yang baru saja ia raih.

"Pemberitahuan penting. Seorang pembantai dari Ibu Kota berstatus buronan saat ini masih dalam kejaran polisi. Nama Mafumafu, umur 17 tahun. Berambut putih dengan tatto barkode di pipi kiri. Siapapun yang melihatnya, diimbau untuk segera melapor ke kepolisian terdekat."

"...Huh?"

***

To be Continued...

Continue Reading

You'll Also Like

283K 22K 102
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
2.9K 316 10
hanya sebuah lagu dari justin bieber X broken IwaOi slight KuroOi
2.7K 167 11
Hai, ini hanya sekedar cerita keseharian Boboiboy dengan kawan kawannya, and with he partner. Plot? Tidak ada yang tau, alur...eum maybe aga berantak...
44.6K 3.2K 10
Di mana ada cahaya pasti ada kegelapan. Bagaimana kalau kegelapan itu lepas kendali? Terlalu banyak hingga melahap perlahan cahaya itu. Sebagai penge...