If Something Happens I Love Y...

By Mozajia

10.8K 206 4

Pernikahan nyatanya tak menjamin bahwa Ranu dan Raline akan hidup tenang bersama selamanya. Bulan madu mereka... More

Prolog
1. (Gift) on Birthday
2. Misteri Dua Tiket Pesawat
3. Did You Fuck Her?!
4. Sex After Fight
5. Delicate
6. Kejutan
7. Kamu dan Kematian
8. Paris in the Rain
9. Foto Keluarga
10. Story About His First Love
11. Laki-Laki atau Perempuan
12. Mr Hot Robot
13. Es Krim Coklat
14. Hati yang Patah
15. Berita Kematian
16. Lost Hope
17. Revenge!
18. After 2 Years
19. Maaf yang Tak Cukup
20. Drunk
21. Kehilangan Kepercayaan
22. Ricuh
23. Stunning
24. Unconditionally
25. Bukan Soal Waktu
26. Fans Club
27. Gym
28. Surat Cerai
29. Sebuah Pelukan Hangat
30. Hallucination
31. Run to You
32. Warm Night
33. Omelet
34. You're Mine!
35. Cause You're My Husband
36. Deep Talk
36. Hadiah

37. Bola api

168 4 0
By Mozajia

"..... Kalau terlalu dekat kita akan terbakar, tapi kalau terlalu jauh kita tidak akan merasakan hangatnya."

- R&R -

Puk... Puk... Puk...

Raline masih terpejam ketika tangannya menepuki ruang kosong di ranjang sebelahnya. Berselang hembusan napas panjang kemudian, matanya terbuka. Wajah layu dipilihnya untuk ditunjukan pagi ini.

Ranu benar-benar pergi.

Setelah mengucek mata dan menggeliat kecil, Raline menarik diri. Posisinya sudah duduk ketika suara panggilan telpon terdengar. Kepalanya celingukan. Ketika menemukan benda pipih yang bergetar di atas nakas, tangannya terulur menyambarnya.

Separuh mata Raline masih terpejam ketika menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Tanpa ingin tahu lebih dulu siapa yang menelpon, Raline menyapa dengan suara serak yang lesu, "Halo?"

"Morning, Wife."

Saat suara berat yang Raline hafal diluar kepala itu terdengar, segenap kesadaran Raline langsung mengumpul. Bibirnya melengkung ke atas, mengusir layu yang melanda.

"Morning," balas Raline dengan senyum kecil, "Kenapa tidak membangunkanku dulu sebelum pergi?"

"Aku tidak tega membangunkanmu . Lagipula kamu baru saja keluar dari rumah sakit, kamu masih butuh banyak tidur dan istirahat."

"Iya, tapi-"

"Sudah dulu ya, Sayang. Dad memanggilku. Kita lanjutkan nanti. I love you,"

Ketika Raline hendak menjawab, panggilan itu lebih dulu diputus sepihak, membuatnya mendesah panjang. Raline menatap layar hitam ponselnya nanar, lalu menggumam, "I love you too, bajingan."

Raline melemparkan ponselnya ke kasur. Ia menyentak badan dan berdiri. Kaki jenjangnya berjalan keluar kamar, mencari sesuatu untuk menghilangkan rasa laparnya.

Raline baru sampai di tangga ketika melihat Megan dan Daniel bersiap-siap seperti hendak pergi ke suatu tempat. Muka terburu-buru mereka membuat Raline mengernyit.

"Kalian mau kemana?"

Pasangan paruh baya itu kompak menoleh ke arah tangga. Terlihat sosok Raline dengan langkah cepat menuruni tangga dan menghampiri mereka.

"Kita akan ke rumah Reymond," jawab Megan.

"Apa sesuatu terjadi?" tanya Raline. Tidak biasanya Megan dan Daniel datang bersamaan ke rumah Reymond kalau bukan karena hal mendesak.

Megan mengangguk, "Adyan mulai bergerak. Kita harus melanjutkan rencana kita segera."

Raline tak dapat menyembunyikan raut terkejutnya, "Kalau begitu tunggu, aku harus ikut!"

"Tapi-"

Megan menggenggam tangan Daniel ketika pria itu hendak menahan Raline yang kembali melesat ke kamarnya untuk bersiap-siap.

"Aku tahu kau khawatir dengannya, tapi dia sudah terlibat dari awal. Menghalanginya sekarang akan membuatnya kecewa, Daniel." Megan berkata lembut, dijawab anggukan pelan Daniel.

- R&R -

Seperti sebelumnya, kedatangan Daniel bersama dua orang wanita di belakangnya disambut baik oleh Milan-assisten Reymond. Mereka berjalan melewati lorong yang dihiasi kayu hitam lalu sampai di suatu ruangan yang letaknya tersembunyi dan berdinding kedap suara.

Ketika pintu terbuka, tiga punggung pria langsung menyapa mereka. Tapi hanya satu yang membuat Raline tak bisa menahan senyum. Begitu Raline mendekat, punggung itu memutar, dan wajah tampan seorang pria menyambutnya.

Daniel dan Megan telah mengincar tempat duduk seperti sebelumnya. Namun Raline masih terdiam, menatap horor pada seorang lelaki disamping Ranu yang terlihat begitu santai menggulir-gulir layar ponselnya.

Dug!

"Aw-sshh" Jay merintih saat tulang keringnya tiba-tiba ditendang benda keras. Ia menoleh pada pria di sebelahnya, "Apa?!" geramnya dengan suara tertahan.

Ranu menaikan dagunya menunjuk kursi kosong di sebelah Jay dengan maksud agar pria itu segera enyah kesana. Namun otak kecil Jay agaknya tidak mampu mencerna isyarat tersebut.

"Move or I'll kill you."

Sampai suara wanita yang mendesis dari balik punggungnya terdengar, membuat Jay merinding. Setelah meneguk ludah, Jay berdiri dan membungkuk sesaat lalu memboyong bokongnya ke kursi lain.

Jay mendengus kasar saat melihat sepasang manusia di sampingnya saling tersenyum mesra. Tangan Ranu membelai rambut Raline dan Raline menggosok-gosokan kepalanya ke tangan Ranu. Sungguh pemandangan yang membuat Jay berdecih.

"Baiklah, karena semua sudah ada, mari kita mulai,"

Suara Reymond yang memecah senyap membuat orang-orang disana memasang wajah menyimak. Ketika Reymond menatap sepasang manusia yang berpotensi menyulut keributan seperti sebelumnya, ia kembali melanjutkan, "Jangan membuat kekacauan lagi atau kuusir kalian berdua dari sini,"

"Hm,"

"Hm,"

Dehaman singkat kompak disuarakan oleh Ranu dan Raline. Diam-diam dibawah meja, dua tangan mereka saling bertaut erat. Lalu mata mereka saling tertanam melalui lirikan.

"Megan, apa yang Adyan katakan saat menghubungimu semalam?" Reymond kembali bersuara.

"Adyan sudah tidak ingin melakukan penawaran lagi," jawaban Megan mengerutkan dahi orang-orang disana. Megan kembali melanjutkan dengan suara dalam, "Dia ingin langsung bertransaksi tatap muka."

Reymond menjengitkan satu alisnya "Baguslah, berarti dia sudah percaya pada kita. Saat transaksi terjadi, dan dia menampilkan batang hidungnya, kita bisa langsung membunuhnya."

Megan terlihat gelisah. Ia mengeluarkan suara lenguhan, "Kita belum punya rencana bagaimana akan membunuhnya."

"Kita akan membuatnya-"

"Dia minta malam ini."

Seruan Megan membuat orang-orang disana tercekat.

Megan mengerjap lantas kembali melanjutkan, "Aku tahu kita belum punya rencana detail untuk membunuhnya. Karena itu, semalam aku bilang kalau obat yang aku tawarkan belum memenuhi jumlah permintaannya. Jadi dia memberikanku tambahan waktu-"

"Berapa lama?" celetuk Daniel.

"Tiga hari," Ketika Megan melihat ketegangan di wajah Daniel berkurang, ia kembali menambahkan,"...tapi dengan syarat," bola mata Megan menggelinding pada Raline, "Harus Julianne yang melakukan transaksi."

"No!"

"No!"

Daniel dan Ranu kompak menolak tegas. Sementara Raline terdiam dengan isi kepala yang berputar-memikirkan segala kemungkinan.

"Adyan penuh dengan tipuan. Bagaimana kalau itu ternyata jebakan? Dia mungkin mengincar Raline," Ranu berargumen. Mengingat bagaimana saat itu Adyan melahap kaki istrinya membuat wajahnya mengeras.

"Aku tidak mau mempertaruhkan nyawa anakku lagi!" Daniel satu suara dengan Ranu. Lalu, ia kembali melanjutkan dengan suara rendah, "...dia ikut kesini saja sudah membuatku hampir gila."

"Aku tidak keberatan," cicit Raline memecah hening yang sempat terjadi.

Ketika Ranu dan Daniel menegakkan punggung hendak protes, Raline melanjutkan, "Kita bisa mengajukan syarat juga padanya. Misalnya, tempat transaksi harus dari kita yang menentukan. Dengan itu, kita mampu mengendalikan situasinya sehingga Adyan tidak bisa banyak bergerak."

Di tempat duduknya, Reymond terlihat manggut-manggut. Kepalanya membentuk peta-peta pikiran untuk menemukan strategi yang tepat.

"Sepertinya aku punya rencana bagus...."

Ucapan Reymond menyeret semua perhatian padanya. Dengan konsentrasi serius ia menumpahkan segala isi kepalanya ke meja itu. Dengan dasar Raline sebagai perantara transaksi dan tempat ditentukan oleh mereka, Reymond yakin strateginya akan berhasil untuk membunuh Adyan. Ditambah ketika Daniel beberapa kali menyahut dan mengoreksi bagian yang cacat dari rencananya, Reymond menjadi semakin yakin rencananya akan sempurna. Dua orang pria paruh baya yang berpengalaman di bidang menghancurkan bedebah seperti Adyan, saling menyatukan isi kepala mereka. Ranu sebagai golongan muda seringkali ikut meleburkan pendapatnya yang didasari oleh hasil analisisnya soal Adyan selama ini. Walau lebih banyak menyimak dan mengangguk, Jay dan dua orang wanita disana tetap menanggapi dengan serius ketika ditanyakan pendapat.

Lalu, dengan berbekal pikiran dari enam kepala disana, sebuah strategi yang sempurna untuk menghabisi Adyan akhirnya tercipta. Ranu dan Daniel sudah tak keberatan dengan Raline yang berperan sebagai perantara langsung. Karena dalam strateginya, Reymond seratus persen menjamin keselamatan wanita itu. Raline hanya bertugas untuk kesana dengan membawa umpan, lalu setelah Adyan terlihat, Ranu-dari tempat tersembunyi-akan menghancurkan kepala Adyan dengan senapan panjang.

Namun, sekalipun telah mengetahui strategi yang sempurna itu, Raline masih tak bisa lepas dari rasa cemas. Sambil menyentuh perutnya, ia berusaha mendiamkan isi hati yang mulai disesaki firasat buruk.

"Dari sekarang kita semua harus lebih berhati-hati, terutama kau Ranu. Sepertinya Adyan telah mencurigaimu,"

Mendengar Reymond yang berbicara dengan nada was-was pada Ranu membuat Raline beralih. Seketika rasa cemasnya menjadi dua kali lebih besar.

"Orang suruhan Adyan mengintai mobilmu kemarin siang di studio pemotretan. Aku tak habis pikir apa yang kau lakukan kesana, huh?!" Reymond kembali melanjutkan dengan lenguhan. Seperti jemu menasihati Ranu yang sering keluyuran kemana-mana disaat genting seperti ini.

Ketika Ranu hendak menjawab, Raline lebih dulu bersuara, "Dia mengantarku."

Reymond menganga. Selang satu kedipan, Ia membeo "Dia... mengantarmu?"

Setelah Raline mengangguk Reymond melirik Ranu sesaat lantas kembali pada Raline bergantian, "Kalian sudah berbaikan?"

"Sebenarnya...." Ranu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Kita tidak pernah bertengkar."

Pengakuan Ranu membuat orang-orang disana memasang wajah mencibir.

"Kalian adu mulut sampai membuat orang tua ikut babak belur, apa bukan bertengkar namanya?" Megan menyindir.

Mengingat kejadian tempo hari di tempat yang sama, membuat Raline meringis ngilu.Raline kemudian ikut menimpali, "Itu bukan bertengkar, Mom."

Ketika Megan mengerutkan dahinya, Raline menjelaskan, "Kata ayah, hubungan itu seperti bola api. Kalau terlalu dekat kita akan terbakar, tapi kalau terlalu jauh kita tidak akan merasakan hangatnya."

Raline lantas mengangkat tangannya ke atas meja, menyatukan telapak tangannya, "Aku dan Ranu terlalu dekat sehingga terbakar, jadi kami harus menjauh beberapa saat," gerakan kedua telapak tangannya menjauh, "Lalu ketika sudah merasa dingin kami kembali dekat," Raline kembali menyatukan kedua telapak tangannya lebih erat, lalu menyimpulkan, "Gampangnya, kami menjauh supaya bisa lebih semakin dekat lagi. Betul kan, suamiku?" ia menoleh pada pria disampingnya yang sedari tadi memerhatikan sambil tersenyum kuat.

Ranu mengangkat dua alisnya setuju, "Betul, Sayang."

Ranu menarik kursi Raline mendekat, lalu menggapai tangan Raline hingga mereka berpelukan dengan senyum yang mematri wajah masing-masing.

"Astaga, aku ingin muntah." gumam Reymond setelah berulang kali mengelus dadanya.

"Jadi... sia-sia kita hampir membunuh bocah itu. Masalahnya ternyata bola api," Megan balas menggumam diangguki Reymond.

Pria itu melirik Daniel, dan berselang satu hembusan napas panjang, ia kembali bergumam, "Ini semua karena ajaran Daniel. Dia memang sesat."

Seolah tak melihat dua orang yang menatap horor padanya, Daniel mengangkat bahu lantas menarik diri, "Aku suka bola api." kicaunya sambil melenggang pergi.

Tak lama setelah Daniel pergi, Megan dan Reymond pun menyusul. Namun sebelum sampai pintu, Reymond melirik Jay sekilas.

"Junaedi,"

Merasa terpanggil, Jay yang sedang mengecek ponselnya, menoleh.

"Segera keluar dari sini dan sucikan matamu," kata-kata Reymond membuat Jay mengernyit. Ketika kepalanya memutar ke samping, Jay terlonjak mendapati Ranu sedang berciuman dengan Raline. Posisi mereka; Raline duduk di pangkuan Ranu.

"Oh shit! My eyes!" Jay mendesis sambil menutup matanya dengan telapak tangan yang sedikit terbuka-menyisakan celah yang cukup untuk mengintip. Dengan langkah hati-hati, ia mundur hingga akhirnya bisa keluar diserta hembusan napas lega.

Ranu mengakhiri lumatan bibirnya dengan kecupan kecil seperti biasa. Ia memposisikan tangannya di sisi samping tubuh Raline. Lalu seperti mengangkat kapas, ia menaikan Raline ke atas meja. Dengan posisi begini, Ranu jadi lebih leluasa memandangi wajah istrinya.

"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," katanya dengan tangan yang masih di pinggang Raline.

"Kemana?"

"Rahasia."

Jawaban Ranu membuat Raline mendengus, "Aku tidak mau ikut kalau kamu tidak memberitahuku lebih dulu."

"Tidak masalah," Jawab Ranu lalu berdiri, "Aku tetap akan membawamu dengan segala cara,"

"No!" Raline menahan Ranu yang hendak bersiap-siap menggotongnya di pundak.

"Oke, oke, aku akan ikut- dengan jalan sendiri." Raline meneguk ludah. Sembari di pegangi Ranu, Ia turun dari meja bundar itu.

Ranu menyeringai. Dengan satu tangan menggenggam tangan Raline, ia berjalan menuju parkiran mobilnya di basement.

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 142K 65
RATHOD In a broken family, every person suffers from his insecurities and guilt. Successful in every field but a big failure when it comes to emotio...
246K 37.7K 109
Maran and Maya, two independent individuals hate each other out of their family background but destiny has some other plans by bringing them together...
55.4K 3K 22
If you knew what it felt like to have your entire life upended, that was exactly what Isabelle felt like right at this moment. From finding out you h...
BROTHERS IN ARMS By Arya

General Fiction

139K 8K 53
This is a story about three brothers. The eldest brother is serving his life for his nation while the other two brothers are following their eldest b...