If Something Happens I Love Y...

By Mozajia

10.8K 206 4

Pernikahan nyatanya tak menjamin bahwa Ranu dan Raline akan hidup tenang bersama selamanya. Bulan madu mereka... More

Prolog
1. (Gift) on Birthday
2. Misteri Dua Tiket Pesawat
3. Did You Fuck Her?!
4. Sex After Fight
5. Delicate
6. Kejutan
7. Kamu dan Kematian
8. Paris in the Rain
9. Foto Keluarga
10. Story About His First Love
11. Laki-Laki atau Perempuan
12. Mr Hot Robot
13. Es Krim Coklat
14. Hati yang Patah
15. Berita Kematian
16. Lost Hope
17. Revenge!
18. After 2 Years
19. Maaf yang Tak Cukup
20. Drunk
21. Kehilangan Kepercayaan
22. Ricuh
23. Stunning
24. Unconditionally
25. Bukan Soal Waktu
26. Fans Club
27. Gym
28. Surat Cerai
29. Sebuah Pelukan Hangat
30. Hallucination
31. Run to You
32. Warm Night
33. Omelet
34. You're Mine!
35. Cause You're My Husband
37. Bola api
36. Hadiah

36. Deep Talk

214 4 0
By Mozajia

Dibawah pijar lampu jingga di atas nakas, sepasang mata coklat Raline seperti bersinar. Hangat dari sana membuat Ranu tergetar. Debar jantungnya bertambah cepat. Ranu bisa merasakan darah yang mengalir cepat di sekujur tubuhnya berdesir.

— R&R —

Sejak beberapa pekan lalu mendengar suara yang sangat ia kenal, Adyan benar-benar tidak bisa tenang. Walaupun Alex telah menyelidiki latar belakang Liam—laki-laki yang datang bersama Juliane—tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan dengan identitasnya. Seolah-olah sosok itu memang sudah hidup sejak dulu di panti asuhan sebagaimana yang tertulis dalam biografinya—yang jelas bertolak belakang dengan dugaan Adyan.

Meskipun mustahil, Adyan masih mengira sosok itu adalah Ranu—laki-laki yang telah ia bunuh hampir tiga tahun yang lalu. Tidak menutup kemungkian bagi bedebah—yang sayangnya cerdik—itu berhasil selamat dan selama ini mengelabuhinya. Kalau memang begitu, berarti ini adalah ancaman serius.

Ya. Apalagi dengan kematian Thomas yang secara mendadak dan misterius itu sampai sekarang belum ditemukan siapa pelakunya. Ini pasti ulah Ranu dan sekutu-sekutunya, pikir Adyan.

Bola mata Adyan menggelinding pada pintu ruangannya yang terbuka bersamaan dengan munculnya sosok lelaki dengan wajah gusar, "Alex, ada apa?"

Laki-laki yang dipanggil Alex itu menghentikkan langkahnya tepat di depan meja kebesaran Adyan, "Saya membawa informasi penting, Tuan."

Ketika Adyan mengernyit, Alex kembali melanjutkan, "ini tentang Julianne."

"Julianne?" Adyan membeo diangguki Alex. Laki-laki itu lantas mengeluarkan sesuatu dalam map coklatnya. Tak selang lama, tumpukan foto-foto seorang wanita memenuhi meja Adyan.

"Apa ini?" Dahi Adyan berkerut tak memahami maksud foto wanita yang beberapa hari lalu sempat menemuinya bersanding dengan foto wanita lain yang terlihat asing baginya. Sekilas, dua wanita itu tampak mirip.

"Informasi tentang Liam mungkin tak bisa kita dapatkan dengan mudah. Sepertinya dia sangat berhati-hati untuk menampakkan diri. Karena itu, saya beralih menyelidiki Julianne diam-diam. Kemunculannya yang sangat tiba-tiba di depan publik membuat saya menaruh kecurigaan padanya. Dalam penyelidikan itu, saya berhasil mengetahui kalau identitasnya ternyata palsu."

Adyan terlihat mencerna kalimat sekretarisnya dengan baik, "Lalu siapa dia sebenarnya dan apa hubungannya dengan foto perempuan ini?"

"Julianne adalah nama samaran yang dipakai oleh Raline Zander, istri Ranu."

"Apa?!" Adyan merasa benang benang kusut kini menyesaki kepalanya.

"Sepertinya dia datang untuk balas dendam, Tuan. Dia sudah tahu kalau tuan adalah dalang di balik kecelakaan itu."

Adyan mengangguk-angguk paham. Sebelum ia berkomentar, Alex kembali menambahkan dengan suara hati-hati, "Selain itu, Raline ternyata adalah putri Daniel Lauren."

Adyan tersenyum miring, nampak tak terkejut. "Aku sudah tahu itu. Dia punya anak selain Gavin dari wanita lain. Aku pernah memergoki Daniel hampir menemui putrinya saat di Paris."

Terjadi senyap sesaat sebelum Alex kembali bertanya, "Lalu apa rencana Anda, Tuan?"

Adyan menggaruk-garuk dagunya berpikir, "Istri Zander sekaligus anak Daniel. Perempuan itu punya banyak alasan untuk menjadi incaranku." Seringai tipis muncul di wajah paruh baya Adyan saat ia kembali meneruskan "Aku hanya memerlukannya untuk bisa membuat bajingan-bajingan macam mereka bertekuk lutut di hadapanku. Dan saat itu terjadi, aku akan melenyapkan mereka sekaligus. Segera jalankan rencana yang kita punya untuk mereka." perintahnya diangguki Alex.

— R&R —

Setelah diperbolehkan pulang oleh Lydia, malamnya, Ranu mengantar Raline pulang ke kediaman Daniel. Karena situasi mereka yang saat itu masih pura-pura bertengkar jadi niatnya Ranu akan langsung pergi. Tapi bila dipikir-pikir lagi, Ranu tak ingin berpisah dari Raline. Akhirnya, atas dasar rasa inginnya itu, mereka berdua mengendap-endap masuk ke kamar Raline yang berada di lantai dua. Beruntung, malam telah menunjukan waktu larut, dan saat itu sedang gerimis kecil sehingga para penghuni rumah makin pulas tidur di tempatnya masing-masing.

"Sebenarnya kita bisa pesan kamar hotel saja, jadi tidak perlu mengendap-endap seperti tadi. Untung Ayah sama Mom sudah tidur, coba kalau tadi kita kepergok, pasti akan terjadi kekacauan," ucap Raline sambil menunduk dan memainkan karet rambut di tangannya.

Walau jam dinding sudah melewati tengah malam, Raline masih belum juga diterjang kantuk. Padahal, sesampainya mereka dalam kamar, Ranu sudah beberapa kali mencoba membuatnya tidur agar bisa beristirahat. Namun usahanya selalu gagal. Hingga akhirnya ia menyerah dan memilih duduk bersama wanita itu.

"Kamu sudah beberapa hari tidak tidur di rumah, ayahmu pasti akan cemas kalau  tidak menemukanmu ada di kamar lagi." sahut Ranu ringan dengan suara rendahnya.

Raline menganggukkan kepalanya setuju. Ia mengembalikan pandangannya ke depan, menerawang bebas.

"Ini sangat menyenangkan," ucapnya, tiba-tiba.

"Apanya?" tanya Ranu, "Mengendap-endap ke rumah sendiri seperti kekasih gelap maksudmu?"

Raline berdecak, "Bukan itu," katanya.  "Maksudku, mempunyai ayah yang menungguku pulang rasanya sangat menyenangkan. Aku masih tidak percaya bisa bertemu dengannya lagi."

Kepala Ranu mengangguk-angguk, "Hanya itu saja yang menyenangkan?"

"Ya, apalagi?" Sahut Raline santai, agak membuat Ranu sedikit dongkol.

Ranu menghela napas panjang, "Yasudah, kalau kamu tidak senang punya suami setampan dan sekaya aku, aku pergi saja."

Raline terkikik kecil ketika Ranu benar-benar beranjak dari duduknya, "Just kidding. Of course my biggest gratitude is having you as my husband."

Ranu merasakan pipinya merona lalu kembali duduk. "Nah begitu dong. Suamimu ini harus jadi nomor 1, baru setelah itu kamu bisa mendaftarkan hal lain sebagai sumber kebahagiaanmu."

Raline tergelak lagi, "Baiklah, aku mengerti sekarang. Biar kuulang."

"Aku bahagia karena suamiku tampan dan saaaaaaaaangat kay--"

"Ralat," Potong Ranu. "Harusnya sangat tampan dan sangat kaya. Ulangi."

Raline berdecih, "Ya sudah. Aku ulangi lagi."

" Aku sangat bahagia punya suami yang saaangat tampan dan saaaaaangat kaya."

Melihat Ranu terlihat puas Raline melanjutkan lagi dengan riang, "Lalu, aku juga bahagia punya ayah, mommy, dan juga an---"

Sejurus kemudian, Raline tersadar hampir mengucapkan sesuatu yang belum yakin bisa Dia sampaikan sekarang.

"Anak anak!" Celetuk Ranu yang mana membuat kedua mata Raline hampir copot saking syoknya.

Astaga! Bagaimana Dia bisa tahu?!

"Kenapa ekspresimu begitu? Aku berpikir setelah semua ini selesai kita bisa hidup bahagia dan memiliki anak-anak. Bukankah kamu juga tadi akan mengadakan itu?"

"Eh?" Raline tergugu, "Ah Ya! Tentu saja! Anak-anak! Kita harus punya banyak anak!" Ucap Raline.

Ranu tersenyum lebar melihat Raline yang sangat bersemangat. Tadinya Ranu khawatir Raline akan sensitif dengan obrolan anak mengingat mereka berdua pernah gagal menjadi orang tua di masa lalu. Tapi sepertinya sekarang Ranu tidak perlu mengkhawatirkan itu lagi.

"Ngomong-ngomong..." Raline menyoal, ia Masih berniat mengubah arah pembicaraan,  "Bagaimana denganmu? Mereka masih mengira kita belum baikan, kalau besok mereka lihat kita tidur bersama pasti—"

"Aku akan pergi saat pagi-pagi buta," celetuk Ranu.

Seketika Raline memberengut. Padahal aku ingin melihatnya saat bangun tidur.

"Aku jadi kesal," lenguhnya membuat Ranu mengernyit. "Saat dirumahmu kita hampir dipergoki Jay, lalu dirumahku kita harus mengendap-endap. Kita seperti sedang berhubungan gelap."

Gerutuan Raline membuat dua ujung bibir Ranu berkedut, "Kalau itu masalahnya, kita bisa memberitahu mereka kalau kita baikan. Jadi mereka bisa memakluminya. Lagipula ini sudah cukup lama. Aku yakin, mereka tidak akan mengira kita baikan karena kejadian itu."

Walau mengangguk tipis, Raline masih tampak ragu, "—maksudku terlepas dari mereka sudah tahu kita baikan atau belum, bukankah kita tetap butuh ruang berdua untuk ditinggali? Where it's just the two of us."

"Ya...mungkin."

Jawaban Ranu yang sangat-sangat jauh dari harapannya membuat Raline melenguh. Padahal kode yang Raline berikan sudah cukup jelas. Dari sini Raline sadar, ternyata laki-laki yang tak punya perasaan peka sama sekali memang betulan ada. Dan sialnya, itu adalah suaminya sekarang.

Diam-diam Ranu menyimpan senyumnya dari balik punggung Raline.  Posisi mereka duduk bersila di atas ranjang dengan Ranu menghadap punggung Raline. Mendengarkan Raline mengoceh sambil bermain rambut lebat sehalus sutra milik istrinya itu. Walau tangannya  terbilang kaku, tapi Ranu begitu telaten mengambil sejumput rambut untuk ditindihi pada sejumput lainnya sampai membentuk kelabangan.

"Apa belum selesai?" Ketika Raline hendak berbalik, Ranu menahannya.

"Jangan bergerak, nanti bentuknya rusak. Ini tinggal sedikit lagi, Sayang," Ranu menegur dengan suara lembutnya.

Saat kepangannya sudah sampai di ujung rambut, Ranu menyodorkan tangannya ke depan, "Ikat rambutmu...?"

Raline menyerahkan karet lentur bewarna hijau rumput laut yang dibanduli pita pendek pada Ranu. Membiarkan jemari besar Ranu berputar-putar di belakang, mengulur-ulur karet itu hingga akhirnya bisa mengikat sejumput rambutnya.

"Selesai!" sorak Ranu dengan gembira sambil menyeruk kepangan itu ke depan. 

Raline tersenyum geli melihat kepangan yang bertengger di salah satu pundaknya. Bentuknya bengkok-bengkok berantaran. Beberapa helai rambut tampak mencuat kemana-mana dan ukurannya hampir tidak seragam.

Ketika kepala Ranu bertengger di pundaknya yang lain, Raline bertanya, "Omong-omong kenapa kamu tiba-tiba mengepang rambutku?"

Alis Ranu mendatar, "Entahlah, aku juga tidak tahu. Sebenarnya sudah sejak lama aku sangat ingin mengepang rambutmu. Dan setelah akhirnya bisa melakukannya sekarang, rasanya benar-benar sangat lega," katanya sambil mengencangkan pelukan.

Raline mengerutkan dahinya dalam, "Aneh,"

"Hm," Ranu mengangguk setuju. "Akhir-akhir ini aku memang merasa menjadi aneh." 

"Kenapa?"

Selang satu hembusan napas panjang, Ranu menjawab, "Aku merasa jadi sensitif dan sangat emosional, nafsu makanku jadi bertambah banyak, bahkan sekarang aku suka makan es krim malam-malam..."

"Kamu memang sebelumnya pun orang yang emosional Ranu," Raline berdecih, "Tapi emosimu akhir-akhir ini memang agak keterlaluan...dan juga, makan es krim malam malam? Itu bukan kebiasaanmu sama sekali, kamu bahkan tidak begitu suka es krim."

Ranu mendengus karena perkataan Raline yang terdengar mengolok-olok, "Ya pokoknya begitulah—bulan lalu malah lebih aneh lagi."

"...kenapa?"

"Aku mual setiap pagi,"

Raline sempat terbatuk beberapa kali. Ia berdeham dan menetralkan raut wajahnya segera, "Bagaimana bisa?"

Pertanyaan yang seharusnya hanya terucap di pikiran Raline itu, tiba-tiba keluar dalam suara gumaman yang dibalas Ranu, "Aku juga tidak tahu."

"Apa parah?"

Ranu menggeleng di pundak Raline, "Tidak terlalu," jawabnya. "Tapi Jay sampai memanggilkan dokter."

"Lalu apa kata dokter?"

"Dokter juga tidak tahu," jawab Ranu. "Malah dia balik tanya."

Dahi Raline berkerut dalam, "Tanya apa?"

"Apa anda  punya pacar/istri?', begitu."

Raline meneguk ludahnya, "T-terus?"

"Aku tidak menjawabnya. Lalu dia pergi." balas Ranu dengan nada bosan, "Tapi sebelum pergi, dia sempat bilang sesuatu."

"Bilang apa?"

"Katanya supaya mualnya hilang, mungkin aku harus bertemu dengan istriku. Ternyata benar, setelah aku menemuimu di studio waktu itu, aku sudah jarang mual lagi."

Dalam diamnya Raline tercekat.

Ketika ia hendak berkomentar, Ranu berbicara lagi, "Dan setelah hubungan kita membaik. Aku tidak pernah mual lagi. Sangat aneh, kan? Aku curiga jangan-jangan kamu...."

Debar jantung Raline seketika menjadi kencang. Ia meneguk ludahnya pelan.

"...mengguna-guna aku ya?" Lanjut Ranu membuat Raline sontak melotot tajam. Selang hembusan napas kasar, wanita itu lantas memutar tubuh agar berhadapan dengan Ranu.

"Bagaimana bisa itu yang kamu pikirkan?!" Sangat gereget, sampai Raline ingin memasukan tangannya ke dalam kepala Ranu dan meremas otak lelaki itu.

Sementara di depannya, wajah Ranu memerah tampak menahan gelak. Ekspresi Raline yang sedang kesal benar-benar menghiburnya. Pipi wanita itu menggelembung membuat Ranu tak tahan ingin mencubitnya.

"Ya Tuhan, aku hanya bercanda, Sayang. Astaga... wajahmu menggemaskan sekali," ledek Ranu sambil tertawa kecil. 

Raline menatap datar lelaki yang tengah meremas-remas pipinya. Ia menghela napas kasar berulang kali sampai suara tawa Ranu mereda.

Apakah aku beritahu saja dia sekarang?

Raline mendongak lalu matanya secara langsung disambar sepasang mata kelam Ranu. Sama halnya dengan Raline, Ranu pun tertegun. Ia sedang merapihkan kepangan tadi saat Raline tiba-tiba mendongak lalu sepasang mata mereka saling bertubrukan.

Dibawah pijar lampu jingga di atas nakas, sepasang mata coklat Raline seperti bersinar. Hangat dari sana membuat Ranu tergetar. Debar jantungnya bertambah cepat. Ranu bisa merasakan darah yang mengalir cepat di sekujur tubuhnya berdesir.

Ketika Ranu makin tenggelam, satu tangannya menggapai rahang Raline. Merayap hingga ke leher. Menarik tengkuk wanita itu. Lalu menyambar bibir Raline dengan bibirnya. Menekan benda padat itu lantas melumatnya.

Raline terpejam sebagaimana biasanya. Merasakan bibir Ranu memagut bibirnya satu persatu. Pertama melahap yang atas, menekan dan menghisapnya dengan penuh nafsu. Lalu menjauh dan kembali melakukan hal yang sama pada bibir bawahnya. Ketika merasa pangutannnya makin dalam, Raline menyusupkan tangannya ke dada Ranu. Merambati bidang keras itu hingga berakhir mengalung di leher belakang Ranu.

Sentuhan Raline di kulit leher Ranu berhasil membuat lelaki itu merinding. Darahnya menderas. Sangat deras sampai Ranu bisa merasakan pangkal pahanya gemetar.  Menyebabkan lelaki itu makin gencar. Ia semakin memperdalam ciumannya. 

Ranu merebahkan Raline di atas permukaan busa empuk dengan hati-hati seperti wanita itu terbuat dari kaca tipis. Betapa telapak tangannya masih menyangga kepala Raline, lalu satu tangan yang lain menopang tubuh Raline.

Ranu menjeda pangutannya. Ia menarik wajahnya dan menyisakan hanya satu senti jarak diantara wajah mereka. Tanpa malu Ranu memandangi wajah Raline dengan penuh kekaguman.

"Kamu sangat cantik," gumam Ranu

Raline mengedipkan mata pada Ranu, "Semua laki-laki bilang begitu."

Menyadari perubahan warna muka Ranu yang siginfikan membuat Raline terkekeh. 

"...but I don't fucking care about them, as I just wanna look pretty for you," ucap Raline dengan nada sungguh-sungguh. Jemarinya lalu merambat ke atas, merayapi rahang kokoh Ranu, lantas mengusap bibir Ranu yang padat dengan ibu jarinya sambil melanjutkan "How proud I am to be yours, Ranu."

Di detik yang sama, Ranu merasa perutnya telah menjadi sarang kupu-kupu. Ia seperti melayang-layang dalam tubuh membekunya.

"Wow, you're blushing," Raline terkikik geli saat melihat kedua pipi Ranu tampak memerah.

Pria itu seketika mengerjap. Bibirnya terpelintir menahan malu. Setelah menetralkan rona mukanya, ia berkata, "Istriku jadi pintar menggoda, ya?"

Raline mengangkat bahunya enteng, "Istri penggoda akan jadi penggoda juga."

"Aku bukan penggoda—"

"Kamu selalu menggodaku,"

"Ya karena kamu istriku, Sayang." balas Ranu disertai helaan, "Siapa lagi yang bisa aku goda selain kamu, hm?"

Raline tersenyum tertahan, sekarang tinggal ia yang tersipu. Wajah Raline merona membuat Ranu gemas. Lalu senyum tampannya muncul dan detik berikutnya ia mendaratkan kecupan di dahi, dua kelopak mata, hidung dan berakhir di bibir ranum Raline.

Ketika Ranu mengubah kecupan bibirnya menjadi lumatan yang bergairah, Raline menahan lengannya, membuat Ranu terhenti dan menarik wajahnya menjauh. "Ada apa?" tanyanya.

"Er... can we just sleep?"

Pinta Raline dengan nada memohonnya membuat Ranu menjadi tak kuasa. Serta merta ia mengangguk walau saat ini hasratnya sedang meletup-letup.

Raline terbaring di samping Ranu begitu nyaman berbantalkan lengan pria tersebut. Sebenarnya Raline tidak ingin benar-benar tidur. Ia hanya membutuhkan beberapa waktu untuk berpikir dan kembali menimbang-nimbang perihal tadi yang menyesaki kepalanya. Suasana hati Ranu tampak bagus, dan sekarang juga tidak mungkin dia tiba-tiba pergi seperti dulu, kan. sepertinya ini waktu yang tepat untuk memberitahunya.

"Aku ingin bicara sesuatu,"

Namun Ranu lebih dulu membuka suara membuat kata-kata yang susah payah disiapkan dalam tenggorokan Raline harus ditelan kembali.

"Apa?" tanya Raline.

Terjadi jeda beberapa detik sebelum Ranu kembali melanjutkan dengan nada dinginnya, "Aku tidak suka kamu dekat dengan Justin."

Obrolan yang tidak Raline sangka-sangka itu keluar. Membuatnya mengerjap beberapa kali lalu menjawab, "Tapi—"

"Bukan Tapi melainkan Baiklah. Begitu seharusnya jawabanmu, Raline." potong Ranu dengan suara tak ingin disanggah.

"Dengarkan aku dulu," Raline mendesak, "Aku bukan berniat membelanya, tapi antara aku dengan dia memang tidak ada apa-apa, Ranu. Kemarin aku hampir jatuh dan dia kebetulan jalan di belakangku. Justin refleks menangkapku—"

"Dan kalian menjadi berciuman sambil berpelukan mesra seperti itu?" Ranu kembali mengeluarkan nada sarkasnya membuat Raline merinding

"Bukan begitu," Raline terdengar mengeluarkan desahan putus asa, "—maksudku kejadiannya sangat cepat, dan itu terjadi begitu saja tanpa disengaja."

"Aku hanya bilang aku tidak suka kamu dekat dengan Justin, kenapa kamu harus memberikan penjelasan sebanyak itu. Kalau bukan membela lalu apa namanya?" suara Ranu mulai meninggi di akhir kalimat.

Raline melepas pelukannya lalu mendongak dan menatap Ranu, "Kamu tidak percaya aku?"

"Bukan begitu, aku percaya. Tapi cara Justin menatapmu sangat menggangguku. Karena itu lebih baik jangan dekat dengannya."

"Justin bukan orang seperti itu—"

"Sekarang kamu benar-benar membelanya," kembali Ranu memotong dengan suara dingin dan menohok.

Ketika Ranu berdecak dan hampir melepas pelukannya, Raline menyeletuk, "Dia sudah punya anak istri."

Ranu tercengang, dahinya berkerut dalam, "Seriously?"

"Eh-hm. Dia pernah cerita soal istri dan anaknya yang masih kecil. Dan dia seperti sangat mencintai keluarganya. Jadi mana mungkin dia bertindak macam-macam seperti dugaanmu," terang Raline.

"Kamu yakin?"

"Yakin!" tegas Raline. "Orang-orang di studio juga sudah tahu. Kata mereka, Justin itu sangat family man. Dia bisa membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan dengan baik. Dengar-dengar, saat istrinya sedang hamil dulu, Justin sendiri yang selalu membuatkan susu hamilnya. Justin bahkan sampai membuat formula khusus supaya istrinya tidak mual saat meminumnya. Bayangkan, susu hamil yang rasanya hambar dan bau amis bisa menjadi sangat enak kalau Justin yang membuatnya. Istrinya pasti sangat bahagia, punya suami yang seperhatian Justin. Dan lagi, minum susu hamil itu kan tiga kali dalam sehari. Pagi, siang dan malam. Kalau pas waktu siang katanya Justin itu—"

"Ekh-hem!"

Dehaman suara berat yang terdengar memutus cerita panjang Raline. Wajah Ranu terlihat sangat masam ketika mendengar Raline yang begitu bersemangat bercerita tentang Justin. Cih, apa hebatnya brengsek itu?!!!

"Kamu bilang ingin tidur, Kenapa jadi bercerita panjang tentang suami orang lain?" Ranu berkata dengan nada bosannya, sedikit ketus.

"Hm, ya baiklah." sahut Raline setelah berdecak. Ia lantas menenggelamkan kepalanya dalam pelukan Ranu dan terpejam. Padahal aku cerita supaya dia ada gambaran nanti

Di saat yang sama, Ranu juga berkelebat dalam hati, brengsek itu berhasil mengambil hati istriku, kurang ajar!

Tak berselang lama, sepasang suami-istri itu hanyut di alam mimpi masing-masing. Keduanya terlihat nyaman dalam posisinya yang saling berpelukan. Rintikan hujan yang selalu datang tiap malam semakin menenggelamkan mereka dalam lelap.

Begitu damai wajah keduanya membuat pria paruh baya yang baru saja membuka pintu tersenyum kecil. Daniel terbangun hanya untuk memastikan bahwa anak perempuannya sudah pulang dan tidak menduga pemandangan ini yang justru didapat olehnya. Lalu dengan senyum yang mematri di wajah keriputnya, ia kembali menutup pintu dengan perlahan. 

Continue Reading

You'll Also Like

384K 13.1K 53
Anhay Sharma:- Cold business tycoon who is only sweet for his family. He is handsome as hell but loves to stay away from love life. His female employ...
61.4K 1.4K 35
โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€ you got me down on my knees it's getting harder to breathe out . . . โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€ ๐‘ฐ๐‘ต ๐‘พ๐‘ฏ๐‘ฐ๐‘ช๐‘ฏ . . . ๐œ๐ก๐ซ๐ข๐ฌ ๐ฌ๐ญ๐ฎ๐ซ๐ง๐ข๐จ๐ฅ๐จ ha...
144K 7K 28
Hooked onto drugs, no family, no guidance or sanity until she met HIM. Cover Creds: @Triceynexttdoor โค๏ธ -BLICKY.
490K 17.3K 195
(Fan TL) Won Yoo-ha, a trainee unfairly deprived of the opportunity to appear on a survival program scheduled to hit the jackpot, became a failure of...