Jendela Joshua (End)

By meynadd

4.9K 1.1K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 30 - Pulang
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta

42 18 0
By meynadd

Joshua menghirup udara di sekitar. Kemudian menghembusnya perlahan. Udara basah akibat hujan pukul tiga dini hari mendominasi penciuman. Sensasi dingin menjalar ke sekujur tubuh. Lantas mengeratkan jaket. Kulitnya yang pucat keputihan dengan cepat beradaptasi.

Setelah menempuh perjalanan di udara selama delapan belas jam. Akhirnya dia berhasil menginjakkan kaki di suatu tempat yang sejak lama dia rindukan.

Kini, waktu menunjukkan pukul empat. Dimana mentari belum nampak dan orang-orang masih terlelap.

Joshua menyampirkan ransel kemudian berjalan menyusuri gang basah di sekitar area kompleks perumahan dan apartemen yang berderet-deret. Letaknya berada di Jurye-Dong, Distrik Sasang-gu, Busan.

Rumahnya tinggal beberapa blok ke depan. Hingga dia berhasil mencapai ke sebuah rumah dua tingkat berwarna cokelat kekuningan diapit di antara dua apartemen sederhana dan kecil.

Kedua mata menyisir rumah sewa tersebut. Dari atas hingga bawah. Kemudian menaiki tiga undakan anak tangga di beranda sebelum akhirnya berdiri tepat di depan pintu berwarna hitam kecoklatan.

Joshua menghela napas. Telapak tangannya bergetar-getar begitu mengetuk pintu.

Joshua tahu, di jam-jam seperti ini, ibunya sudah bangun lebih awal.

Karena itulah dirinya menjadi semakin gugup bila sudah berada di rumah pagi-pagi sekali. Apalagi tanpa pemberitahuan apa-apa melalui surat.

Joshua merogoh kocek celana dengan tatapan hampa.

Tak ada yang bisa dia jadikan sebagai buah tangan untuk ibunya.

Padahal kemarin Budiman sempat memberi saran kepadanya untuk memberikan Seo Mi oleh-oleh apapun dari Jogja.

Entah pemikiran apa yang terlintas di benak Joshua, hingga dia menghabiskan sisa gajinya seorang diri untuk membeli berbagai camilan di kantin bandara selama menunggu masa delay pesawat berakhir.

Joshua seketika mengantukkan kepala ke pintu rumah. Merutuki diri penuh kesal.

Di saat bersamaan, pintu pun terbuka sampai tubuhnya sedikit terdorong ke depan.

Begitu mendongak, terdapat seorang wanita berkulit putih pucat berdiri di hadapannya dengan ekspresi begitu syok.

Wanita itu terlihat berbeda dari terakhir kali Joshua lihat. Malah kerutan di wajah semakin bertambah sekaligus ujung poni yang tampak sepenuhnya memutih. Sesaat kemudian wanita itu menutup mulut kemudian ujung mata mulai kelihatan berair.

"Joohwa?" pekiknya parau dengan aksen korea yang khas.

"Kamu pulang, Nak."

Joshua tersenyum sumringah. Mengangguk kecil.

"Nee. Naneun bogoshipo-yo, Eomma. (Aku sangat merindukanmu, ibu)," lirihnya.

Seo Mi lantas terisak, kemudian langsung merengkuh tubuh putra semata wayangnya erat.

"Eommado bogoshipo-yo, Joohwa. (Ibu juga merindukanmu, Joohwa)"

Joshua lekas membalas rengkuhan Seo Mi tak kalah eratnya. Dia merasakan kehangatan menjalari tubuhnya di kala udara dingin luar terus menerpa.

Kehangatan lain yang tak pernah dia temukan dari sesosok ibu yang angkuh dan penuntut.

Ini kali pertama dia dipeluk oleh ibunya sendiri.

Hati Joshua luluh, turut terisak di balik pundak kecil sang ibu hingga membasahi pakaiannya.

"Mianhae Eomma. (Maafkan aku, ibu) Aku tidak bermaksud untuk meninggalkanmu." Isakannya makin kencang, yang justru membuat Seo Mi menyeka air mata berkali-kali.

Seo Mi kemudian mengurai pelukan.
Menempelkan kedua telapak tangan pada wajah oriental pemuda tersebut. Menyeka air mata melalui kedua jempolnya.

Sambil mendesis wanita itu berujar, "Sudahlah. Jangan menangis. Nanti kedengaran sama tetangga. Lebih baik kamu masuk dulu dan bersihkan badan. Araseo?"

Wanita itu lantas menarik Joshua masuk. Lekas menutup pintu.

***

***

Usai Joshua mandi dan berganti pakaian, meletakkan ransel dalam kamar. Entah kenapa badannya terasa lebih berat dari terakhir kali dia ingat. Seperti sehabis mengangkut beban beberapa kilo di kedua pundaknya.

Dengan lesu dia langsung merebahkan diri di atas sofa ruang keluarga yang terhubung langsung dengan dapur di seberangnya.

Dia menatap hampa langit-langit rumah. Belum lagi kedua mata kian memberat setelah acara tangis-menangis yang digelar dari tadi.

Terlihat pula Seo Mi tengah menjerang air yang kemudian dituangkan ke sebuah poci kecil. Lalu meletakkannya di atas meja bar dapur beserta dua buah cangkir dari tembikar.

Seo Mi langsung mengibaskan tangan. "Kemarilah Joohwa, kita minum teh bersama."

Joshua secara susah payah berusaha beranjak lalu berjalan gontai menuju meja bar dapur dan duduk di salah satu kursi yang cukup tinggi, berhadap-hadapan dengan sang ibu.

Seo Mi langsung menyeduh teh kantung di masing-masing cangkir lalu menambahkan satu sendok gula kemudian diaduk hingga larut.

Joshua menopang wajah pada salah satu tangan, lalu tangan yang lain mengambil sebuah cangkir dengan tidak berselera, lalu mengangkat dan mencelupkan teh kantung itu berulang kali hingga Seo Mi yang melihatnya sedikit muak.

"Joohwa, Eomma perhatikan wajahmu muram sekali. Apa yang terjadi padamu? Tolong katakan sesuatu," pintanya penuh harap.

Sepertinya Seo Mi sudah menyadari hal itu.

Joshua menggeleng lemah.

"Gwaechana (Tidak apa-apa). Mungkin aku sangat kelelahan saja ketika pulang, Eomma."

Seo Mi mendesah pelan.

"Baiklah. Tapi setidaknya ceritakan sesuatu. Apa Budi banyak membantumu selama di sana?"

Joshua terkesiap.

Menarik kata-katanya kembali.

Ternyata tidak sepenuhnya kepribadian Seo Mi berubah. Masih sama menjengkelkan. Jujur saja Joshua tak habis pikir jika membahas tentang kehidupannya yang lumayan berliku-liku di negeri orang.

Tanpa sadar, dia berada di bawah tekanan dan pergolakan batin yang semakin berpacu-pacu tak lekat oleh waktu.

Untuk sekarang, Joshua tidak ingin membahasnya terlebih dahulu.

"Lain kali aku akan cerita, Eomma."

Seketika Seo Mi terdiam. Hening kian merayapi mereka berdua. Lalu saling menyeruput cangkir teh masing-masing dengan tenang.

"Kamu mau sarapan apa, Nak?" tanya Seo Mi memecahkan keheningan. Begitu melirik jam dinding di ruang keluarga yang menunjukkan pukul setengah lima.

Joshua mengidikkan bahu. "Terserah. Aku akan makan apapun yang Eomma masak."

Seo Mi berbalik badan, menelusuri lemari-lemari atas dapur. Kemudian tangannya menjangkau sebuah bungkusan roti tawar beserta stoples selai kacang dari dalam. Lalu mengangkat keduanya ke hadapan Joshua.

"Bagaimana dengan roti selai kacang? Eomma baru saja membelinya semalam."

"Boleh."

Tanpa perlu berlama-lama. Kedua tangan ligat membuka bungkusan lalu mengambil beberapa roti tawar yang kemudian diolesi selai kacang dengan menggunakan pisau khusus makanan. Masing-masing ditimpa satu lapis roti lainnya.

Lantas memberikan salah satu roti kepada sang anak. Dan satu lagi untuk dirinya.

Mereka berdua lahap melumat roti lapis selai kacang dengan nikmat.

"Menikmati ini aku jadi teringat dengan makanan khas Indonesia yang isinya berupa sayur-sayuran, potongan tahu, dan juga lontong yang dilumuri saus kacang. Kalau tidak salah namanya pecel. Waktu itu aku pernah memakannya di tempat kerja karena salah satu rekan kerjaku tak sempat membuat sarapan lalu membelikan sarapan tersebut untuk kami semua."

Joshua mulai bercerita di sela mulut terisi penuh.

Kedua alis Seo Mi terangkat. Lekas berhenti mengunyah.

"Apa katamu barusan? Kamu sempat bekerja di sana?" tanya Seo Mi menaikkan nada beberapa oktaf.

"Iya. Bekerja sebagai pelayan. Memangnya kenapa? Apa ada yang salah dengan itu?"

Meja di antara mereka terhentak keras usai wanita itu menepuknya.

"Tentu saja salah!!" bentak Seo Mi.

"Kamu tahu berapa banyak Eomma habiskan waktu bekerja siang dan malam. Menunggu orang-orang agar datang ke tenda untuk memesan makanan lalu melayani mereka tanpa mendapatkan tip sepersen pun?"

Wajah wanita itu seketika memerah usai mengungkapkannya hingga Joshua tersentak.

Dia mengambil napas dalam, lalu kembali melanjutkan.

"Berkali-kali Eomma mendatangi satu kampus ke kampus yang lain untuk meminta brosur dari mereka seperti pengemis yang meminta uang makan. Kamu harus tahu, betapa berambisinya Eomma agar dapat menyekolahkanmu ke perguruan tinggi, Nak! Hargailah usaha Eomma seperti halnya kamu menghargai usaha Appa-mu!" serunya panjang lebar. Mengeluarkan tekanan yang dipendam bulat-bulat.

"Dan sekarang. Kamu dengan entengnya mengatakan pernah bekerja di sana?!?" sergahnya sambil mendemontrasikan melalui gerakan tangan.

"Eomma lebih baik mati daripada mendengar putranya bekerja menjadi seorang pelayan."

Setelah menelan habis roti lapisnya. Joshua mengepal sebelah tangan dalam. Dada bergemuruh riuh.

Di saat jiwa dan raga lelah seperti ini, sang ibu malah membangkitkan tekanan lain yang ada dalam dirinya. Kini kesabaran pemuda itu sudah di ambang batas.

"Eomma tahu apa tentangku? Eomma sama sekali tak mau mendengarkanku saat aku mengatakan ingin menjadi apa di masa depan. Eomma sama sekali tak peduli!" bantahnya keras dengan suara yang bergetar-getar menahan tangis.

"Eomma melakukan ini agar kamu mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari Eomma dapatkan. Kecamkan itu!" terkam Seo Mi sambil mengeluarkan telunjuk tepat di depan wajah putranya seperti sedang menusukkan jarum ke gumpalan wol.

Nyali Joshua tiba-tiba menciut untuk membantah kembali. Lagipun sekarang dia tak punya tenaga untuk meluapkan amarah.

"Menjadi penulis tidak akan menghasil cukup uang, Nak! Apalagi untuk membiayai kebutuhan seumur hidupmu!"

"Apa kamu tak malu melihat teman-teman seangkatanmu yang sudah kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak? Ibu dengar, Kang Taehoon kini berkuliah di salah satu universitas terbaik di Busan, Joohwa!"

Intensitas di antara keduanya semakin lama semakin meradang.

Seo Mi berhasil melampiaskan seluruh ketidaksenangannya terhadap pemuda itu. Terutama hati Joshua semakin dibuat tertusuk oleh perkataan sang ibu yang sudah membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain terutama dengan salah satu teman dekatnya sewaktu SMA.

Joshua lantas menyeka buliran air mata yang sempat keluar kemudian meloncat turun dari kursi tingginya.

"Aku menulis bukan mengharapkan bayaran uang, Eomma. Aku sudah lelah berdebat terus denganmu. Terima kasih untuk sarapannya. Aku ingin ke kamar," lirih Joshua sinis.

Tanpa menatap sang ibu, Joshua lekas meninggalkan dapur dengan perasaan sesal, marah, sedih, kecewa, dan rasa lelah yang bercampur aduk jadi satu. Tak peduli berapa kali Seo Mi meneriakkan namanya dari belakang.





Hlm 31 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 80.3K 14
[Sudah terbit] [SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS] Pemenang Wattys Award 2016 kategori "CERITA SOSIAL" "I just wanna feel wanted..." Bagi Gandana Wanudara...
639 79 4
Bagi Cakra, dunia ini palsu. Kehidupan hanya berpihak pada hal yang dicintai oleh semesta, dan hal itu bukan Cakra. Ada banyak manusia yang terasa se...
4.3K 648 17
[Cerita ini DISCONTINUED/ tidak akan dilanjutkan, berakhir pada chapter terakhir yang di upload author -ARE] ___ 18 tahun setelah Jia dan Wonwoo meni...
13.1K 1.8K 33
Bertahan dalam suka duka menjalin hubungan adalah bukan perkara mudah. Menjalani semuanya dengan penuh keikhlasan saat musibah singgah dalam kehidupa...