Tentang Sebuah Kisah

By _missdandelion

245K 24.2K 2.1K

Kisah tentang Eva yang berada di antara dilema. Bahtera pernikahan 15 tahunnya terancam karam. Nahkodanya ke... More

Event MERDEKA!
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30 (END)
Bukan Update

1

15.4K 784 39
By _missdandelion

Hai, kalian semua.

Insha Allah selama 45 hari ke depan, aku akan rutin update cerita ini setiap harinya. 

Stay tuned, ya.

Semoga kalian suka.

Happy reading!

Seorang wanita terus memandangi layar ponselnya. Seharian ini, entah berapa kali ia terus mencoba untuk menghubungi sang suami. Sebelum berangkat, suaminya berjanji akan menyusul dan menghabiskan liburan bersamanya dan ketiga anak mereka. Namun, sampai detik ini Eva sama sekali tak mendapatkan kabar dari suaminya—Pratama Djayanegara.

Ketiga buah hatinya terus-terusan bertanya soal ayah mereka. Tak biasanya laki-laki itu lalai akan janji yang dibuatnya. Tama dikenal sebagai seorang laki-laki yang memegang teguh apa yang sudah diucapkannya.

"Kamu ke mana sih, Pa? Dihubungi berkali-kali nggak bisa," gumamnya kecewa.

Dipandanginya dua anak yang tengah asyik bermain bersama dengan asisten rumah tangga dan supir mereka. Si sulung lebih senang menyingkir dan sibuk dengan ponselnya. Di liburan kali ini, sang suami bersikeras agar Eva mengajak ART dan supir mereka ikut serta. Supaya ada yang membantunya menjaga anak-anak, katanya.

Samudera, anak pertamanya mendekat. Remaja itu sepertinya menangkap gurat kegelisahan di raut wajah sang Bunda. Meskipun tenggelam dalam asyiknya game online, Sam memang sempat beberapa kali memperhatikan Eva yang tak pernah melepas ponsel dari genggamannya.

"Bunda kenapa?" tanyanya. Eva hanya menjawabnya dengan senyuman. Tak ingin si sulung merasa kecewa. "Ayah nggak bisa dihubungi?"

"Bukan nggak bisa. Tapi, belum bisa. Mungkin Ayah masih banyak pekerjaan. Tahun ini, Ayah pegang beberapa proyek."

"Itu kenapa aku nggak pernah suka Ayah jadi anggota dewan. Ayah selalu sibuk, bahkan sering tugas ke luar kota. Seharusnya Ayah nggak perlu janji kalau nggak bisa nepatin. Kalau begini, cuma buat orang kecewa."

"Sam, jangan begitu. Ayah pergi karena itu kewajibannya. Ayah kerja untuk keluarga kita."

"Bunda selalu begitu." Samudera yang kecewa, berlalu dan meninggalkan Eva masuk ke penginapan.

"Sam! Samudera! Abang!" teriak Eva, tapi tak direspons si empunya nama. "Dengar Bunda dulu, Nak!"

Eva menghela napas. Anak bujangnya memang sudah pandai menyampaikan pendapat. Sejak menjadi anggota dewan, Tama memang sibuk dalam tugas yang didelegasikan oleh komisi yang menaunginya. Dalam sepekan, kehadirannya di rumah bisa dihitung dengan jari.

Jemarinya menekan tombol telepon. Berharap kali ini usahanya akan membuahkan hasil. Namun, tetap saja. Lagi-lagi pil kepahitan harus ditelan.

"Bu, anak-anak katanya sudah capek main," tutur Mbak Maryam, ART-nya. "Saya ajak masuk ke dalam aja ya, Bu?"

"Iya, Mbak. Tolong sekalian suruh mandi."

"Ibu nggak masuk?"

"Saya masih coba telepon Bapak." Matanya menelisik mencari keberadaan Pak Rahmat—supir keluarga. "Pak Rahmat ada di mana ya, Mbak?"

"Lagi ngopi di sana, Bu. Mau saya panggilkan?"

"Bilang Pak Rahmat kita pulang sekarang. Saya kurang enak badan."

"Kita nggak tunggu sampai Bapak datang, Bu?" tanya Mbak Maryam. Eva mengangguk. "Baik. Saya sampaikan ke Pak Rahmat."

"Nanti bantu saya packing barangnya anak-anak ya, Mbak."

OoO

Perjalanan pulang dari Bandung ke Jakarta memakan waktu sangat lama karena akhir pekan. Setibanya di rumah, Mbak Maryam menggandeng si bungsu—Terra, sementara Pak Rahmat memindahkan koper-koper dari bagasi ke rumah. Samudera yang sepanjang perjalanan lebih memilih untuk tidur pun sekarang sudah sepenuhnya terjaga. Ia memanggul tas punggungnya dan masuk tanpa bersuara. Sepertinya, ia masih begitu kesal dengan sang Ayah. Apalagi, saat melihat kenyataan kalau mobil Tama terparkir rapih di garasi. Sagara mengekor di belakangnya.

"Mobilnya ada di rumah, tapi kenapa dihubungi nggak bisa?" ucap Eva kesal.

Rasa kesal dan kecewa bercampur menjadi satu. Lelahnya tak lagi dihiraukan. Ia tak menemukan sang suami di ruang tengah. Langkahnya membimbingnya berjalan menuju ke kamar.

Kejutan macam apa ini? Berkali-kali ia mencoba untuk menghubungi sang suami demi menjaga perasaan anak-anak mereka. Namun ....

"Apa-apaan ini? Brengsek kamu, Tama!"

Laki-laki yang dinikahinya menodai kesucian pernikahan mereka. Di atas ranjang mereka, di mana mereka kerap kali bertukar keringat demi mendapatkan kepuasan, Tama bergelung di dalam selimut dengan wanita yang selama setahun ini dikenalnya sebagai sekretaris pribadi sang suami. Darah Eva memanas. Rasa-rasanya kepalanya siap untuk meledak.

"Bangun!" bentaknya. Selama ini, Eva tak pernah sekalipun berbicara dengan nada keras. Saat bertengkar pun ia akan memilih untuk diam.

Tama dan sekretaris pribadinya segera memisahkan diri. Semua orang yang ada di rumah pun berkerumun di ambang pintu kamar. Eva menangkap keberadaan anak sulungnya.

"Ada apa, Bun?" tanya Samudera. Anak sulungnya terkejut saat mendapati adanya kehadiran wanita lain di kamar kedua orang tuanya. "Bunda, Ayah ...."

"Abang masuk kamar dulu, ya. Bunda mohon."

"Tapi, Bunda ...."

"Please."

Tama yang panik segera memungut pakaiannya yang tercecer di lantai. Tak butuh waktu lama, laki-laki itu sudah berpakaian lengkap. Eva menghampiri wanita tanpa busana yang terlihat ketakutan di atas ranjang.

"Pakai baju kamu!" perintahnya. "Saya tunggu di luar."

Tama berjalan membuntuti sang istri keluar kamar. Ia tak bisa melakukan apapun, selain meyakinkan Eva kalau semua yang terjadi karena kekhilafannya. Eva yang masih begitu terkejut merasakan kedua kakinya yang lemas.

"Va, dengar aku dulu."

"Cukup. Jadi ini alasan kenapa kamu nggak bisa ikut liburan sama aku dan ana-anak, Tam? Kamu minta Mbak Mar dan Pak Rahmat untuk ikut tuh gara-gara ini? Jawab!" teriak Eva. "Aku sudah ratusan kali telepon kamu. Tapi apa? Nggak bisa sama sekali. Segitu menggangunya kah kami sampai kamu harus menonaktifkan handphone?"

"Sayang ... ini salah paham."

"Apanya yang salah paham, Tama? Kamu pikir mataku buta? Bahkan, Samudera lihat tingkah kamu! Apa sih yang ada di otak kamu?"

Belum sempat Tama menjawab, Regina sang sekretaris keluar dari kamar. Dengan langkah penuh keraguan, wanita itu menghampiri sepasang suami istri yang rumah tangganya terancam berakhir karena ulahnya. Regina memilih untuk tetap berdiri.

Eva menarik napas sepanjang yang ia bisa. Dadanya terasa begitu sesak. Selama ini, ia selalu berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik untuk suaminya. Namun, kenapa kesetiaan yang selama ini ia berikan justru dibalas dengan sebuah pengkhianatan tak termaafkan?

"Sejak kapan, Tam?" ucap Eva membuka suara. Tama mendongak. "Sejak kapan kalian ...."

Napasnya tercekat. Eva tak mampu melanjutkan ucapannya. Ia tak siap untuk mengetahui kalau seandainya hubungan gelap keduanya sudah berlangsung lama di belakangnya.

"Va ...."

"Tiga bulan, Bu," sela Regina. "Kami sudah berhubungan selama tiga bulan."

"Hebat! Dan dengan nggak tau malunya kalian masuk ke rumah ini? Kalian kotori rumah ini dengan dosa?" Jantungnya berdegup kencang. Kedua tangan Eva gemetar. Sungguh ia ingin sekali melempar vas bunga di hadapannya ke arah suaminya. "Dan ... kalian melakukannya di kamar kita, Tam? Di ranjang kita! Ya Tuhan. Aku kurang apa selama ini? Semuanya aku lakukan demi bisa hidup bahagia sama kamu dan anak-anak. Aku nggak pernah membantah kamu. Aku dukung karier kamu. Aku selalu dukung apapun yang kamu mau. Tapi, kenapa ...."

"Va, aku sama dia nggak ada apa-apa. Aku sama sekali nggak serius. Kamu percaya, kan?"

"Diam kamu!" ucap Eva tegas. "Aku nggak mau dengar apapun yang keluar dari mulut kamu. Aku sudah nggak percaya lagi sama kamu." Tatapan Eva menyalang ke arah Regina yang duduk dengan kepala tertunduk. "Kamu itu perempuan. Kamu cantik dan masih muda. Karier kamu juga bagus. Kenapa kamu begitu murahan sampai mau dipacari laki-laki yang sudah beristri dan punya tiga anak? Kenapa? Apa yang suami saya janjikan ke kamu?"

"Ma—maaf, Bu. Bapak yang paksa saya. Saya berani sumpah, Bu. Saya nggak bohong. Bapak bilang kalau Bapak akan menikahi saya."

Eva merasakan tubuhnya semakin memanas. Kedua tangannya terkepal begitu kuat.

"Baik. Kamu bisa ambil suami saya," ucap Eva. Wanita itu pikir ia sudah tak berarti untuk suaminya. "Kamu bisa nikahin dia, Tam."

"Va! Jangan percaya. Aku nggak mungkin nikah sama dia. Aku cuma cinta sama kamu."

"Kalau kamu cinta sama aku, kamu nggak mungkin tega melakukan ini semua. Kamu nggak mikir kita punya anak perempuan, Tama. Bagaimana kalau nanti Terra mengalami apa yang aku alami sekarang?"

"Va! Jangan ngomong begitu!"

"Nggak ada jalan lain. Kita cerai. Aku yang akan urus semuanya."

Eva berjalan meninggalkan keduanya. Kamar tamu di lantai atas menjadi tujuannya. Ia tak akan pernah sudi menginjakkan kaki di kamarnya dan Tama lagi. Terlebih tidur di atas ranjang di mana pengkhianatan itu terjadi.

OoO

Suasana di rumah terasa begitu dingin semenjak kejadian malam itu. Eva tak pernah lagi menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Ia memilih untuk berdiam diri di kamar dan baru akan keluar setelah suaminya pergi.

Eva tak ingin anak-anaknya mengetahui apa yang terjadi. Kecuali Samudera. Ia tak bisa berbohong pada anak sulungnya. Samudera memang baru 14 tahun. Tapi, sepertinya ia mengerti kalau kejadian itu mengancam keutuhan rumah tangga kedua orang tuanya.

"Bunda," panggilnya. "Aku mau ikut Bunda."

"Mau ikut ke mana? Bunda nggak ke mana-mana, Sam."

"Bunda sama Ayah mau pisah, kan?" Eva sontak terkejut. "Aku, Saga sama Terra mau ikut Bunda. Kami nggak mau ikut Ayah. Aku benci Ayah."

"Abang ...."

"Ayah minta aku untuk bilang ke Bunda supaya nggak cerai."

Tangisannya luruh. Kenapa hal seperti ini harus terjadi di rumah tangganya yang sudah terjalin selama 15 tahun? Eva pikir hidupnya sudah bahagia karena ia sudah berhasil melewati 10 tahun pertama pernikahan. Tapi, ternyata anggapan itu salah besar.

Ia masih ingat betul perjuangan keduanya untuk bisa menikah. Pernikahan itu mendapat tentangan dari orang tua Tama. Mereka tak pernah menyetujui pernikahan, sampai akhirnya anak-anak lahir.

Kalau pada akhirnya keduanya bercerai, mungkin ini yang orang bilang kalau menikah itu butuh restu kedua orang tua. Eva belum mengkonsultasikan rencananya uuntuk bercerai dengan siapapun. Dalam hati kecilnya, ia memikirkan dampak buruk kalau sampai perceraian itu terjadi. Ketiga anaknya masih sangat membutuhkan biaya besar untuk sekolah.

Seluruh beban pikiran yang ditampung di kepalanya membuatnya pusing. Ada dorongan rasa mual yang begitu hebat. Ia pun segera berlari ke kamar mandi. Isi perutnya keluar, termasuk cairan lambung berwarna kekuningan. Sudah beberapa hari ini nafsu makannya benar-benar hilang. Eva teringat akan satu hal.

"Nggak mungkin," gumamnya pelan.

Kalau sampai apa yang ditakutkannya terjadi, maka akan sulit baginya untuk bercerai dengan sang suami.

to be continued

Depok, 3 Agustus 2022

Continue Reading

You'll Also Like

7.1M 349K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
3.2M 25.2K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1.5M 6.7K 16
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
435K 27.2K 55
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...