Pliss! Remember Me (END)

Da anaknya-offgun

15K 1.4K 247

Bukan kah segala sesuatunya selalu berhubungan dengan garis takdir? Lalu kenapa saat semuanya yang sudah di t... Altro

prolog [PRM]
PRM 0
PRM 1
PRM 2
PRM 3
PRM 4
info
PRM 5
PRM 6
PENTING
PRM 7
PRM 8
PRM 9
PRM 11
PRM 12
PRM 13
PRM 14
Not update but, secret project
PRM 15
PRM 16
NEW FF
PRM 17
PRM 18
PRM 19
PRM 20
INFO ONESHOOT
PRM 21
PRM 22
PRM 23
PRM 24
PRM 25
PRM 26
PRM 28
PRM 29
WEDING DAY [END]

PRM 10

414 39 3
Da anaknya-offgun

20 agustus 2022

Chimon baru saja pulang dari kegiatan ospeknya. Hari ini sebenarnya cukup berat untuk Chimom tapi saat ini dia sudah memiliki penyamangat dalam hidupnya. Kakaknya tercinta, White Wasuthorn Patthiyakorn.

Kakak dan ayahnya itu belum bisa datang dan berkumpul bersama Chi lagi. Kakaknya masih harus tetap disana sampai kondisinya benar benar stabil. 4 tahun sudah berlalu, tapi 4 tahun itu menjadi kisah pilu White dalam berjuang melawan penyakitnya. Disaat yang lain sedang besenang senang, dia justru harus berperang melawan penyakitnya sendiri.

4 tahun itu pula menjadi tahun yang begitu panjang untuk pemuda bemata sipit dan pemuda berkulit tan itu. Off, pemuda itu yakin, yakin kekasihnya ada disuatu tempat, tempat untuk mereka saling menunggu.

Chimon langsung melemparkan tubuhnya dikasur besar miliknya yang begitu empuk. Dia merebahkan tubuhnya sebentar, ospek jurusan benar benar menguras tenaganya, terlebih lagi jurusan yang dia ambil adalah teknik. Meski lelah tapi Chimon tidak mengeluh, kakaknya saja setiap hari harus disuntik dan melakukan banyak terapi tapi dia tidak pernah mengeluh, bagaimana bisa dia mengeluh disaat kakaknya begitu kuat.

“Kayaknya aku emang salah jurusan deh,” monolog Chimon sambil menatap langit langit kamarnya. Sejak awal dia merasa memang ada yang aneh semenjak dia masuk jurusan teknik. Dia merasa seperti salah jurusan sejak awal, tapi kayaknya sekarang dia benar benar merasa salah jurusan.

Chimon menetralkan tubuhnya dulu sebentar sambil membiarkan dinginnya AC membalut dirinya. Dia benar benar merasa lelah dan panas, itulah sebabnya dia menetralkan dulu dirinya sebelum melakukan video call dengan Kakaknya. Setelah dirasa cukup dia pergi mandi terlebih dahulu, jika tidak Kakaknya itu pasti akan memarahinya.

“Males sih, tapi dari pada nanti dia ngamuk.” Dengan langkah gontai Chimon berjalan menuju kamar mandinya, dia benar benar malas tapi nanti Kakaknya bisa marah.

Setelah 14 menit lebih Chimon keluar hanya dengan menggunakan bathrobenya, dia malas keluar untuk mengambil bajunya jadi sekarang ini dia hanya menggunakan bathrobe. Dia mengeringkan rambutnya dengan handuk, karena masih sangat basah jadi belum bisa menggunakan hairdyer.

17:45.

Itu adalah jam yang sudah Chimon dan White tentukan untuk mereka berkomunikasi. Mereka harus mengatur jadwal karena berbeda jam dan juga berbagai kesibukan mereka. White dua tahun lalu sudah mulai menjalankan tugasnya sebagai penerus Keluarga Patthiyakorn, itulah mengapa dia belum bisa kembali karena kondisinya juga masih harus dipantau.

Buru buru Chimon langsung mengambil Macbook miliknya dan membuka Whatsapp di Macbook miliknya. Benar saja, tidak lama setelah dia berhasil masuk ke Whatsapp Kakaknya langsung menghubunginya. White benar benar orang yang disiplin dia selalu tepat waktu.

“Helo Kakaknya Chi,” sapa Chimon kepada Kakaknya yang berada disana.

Chimon sontak mengerutkan dahinya saat melihat selang oksigen yang melingkar di hidung sang Kakak. Kemarin Kakaknya baik baik saja tapi rupanya hari ini dia kembali ke Rumah Sakit lagi?

“Kakak kenapa?” tanya Chimon yang langsung terduduk dengan tegap, jelas terlihat kalau dia khawatir dengan kesehatan sang Kakak.

“Gak pa-pa, cuman tadi agak pusing aja, makanya ke Rumah Sakit lagi,” jawab White disebelah sana sambil menyenderkan kepalanya ke bantal yang sudah di tinggikan.

“Nahkan, untung aja Kakak udah lulus kuliah jadi gak terlalu cape, jangan kerja mulu, Chi khawatir,” omel Chimon, “apa perlu Chi bantu? Biar Kaka bisa istirahat, bedrest gitu loh,” lanjut Chimon.

Wajah White tiba tiba berubah horor. Dia sering kali kecapean hingga Dokter sering menyuruhnya bedrest dan dia benar benar tidak menyukainya. Bagi White bedrest adalah hukuman paling menyebalkan untuknya, karena itu akan membuatnya merasa sangat bosan.

“Jangan aneh aneh, Chi belajar aja yang bener biar pinter,” kata White, “oh ya, gimana hari ini lancar gak?” tanya White begitu dia ingat kalau dia belum menanyakan itu.

“Ohoy, Chi cape banget rasanya tulang remuk semua, kayaknya Chi mau pindah jurusan deh,” ungkap Chimon yang langsung dibalas oleh White.

White langsung memperagakan seolah olah dia sedang menyentil Chimon. “Gak ada pindah pindah jurusan, gak boleh seenaknya begitu, jalanin aja dulu nanti juga kebiasa,” cecar White.

“Tapi Chi cape, kejam banget mereka tuh, katingnya juga sama aja, serem mana galak,” cicit Chimon mencoba untuk mendapatkan pembelaan. Namun itu tidak berguna sama sekali.

“Chi, Kakak memang tidak tahu bagaimana rasanya ospek karena Ayah melarang Kaka ikut ospek kala itu, ya walau karena telat masuk juga sih,” ucap White, “tapi Chi, Kakak tau maksud mereka itu baik, teknik itu pasti harus serius banget kan karena kalau salah perhitungan bisa fatal, makanya mereka nyiapin maba-nya kaya gitu supaya kalian itu siap,” lanjut White.

White mengambil napasnya sebentar untuk mengatur napasnya yang sedang terasa begitu berat. “Chi inget pesen Kakak, jalanin semuanya dulu jangan nyerah diawal, inget ini Chi, Patthiyakorn ditakdirkan menjadi yang terbaik dari yang terbaik,” tegas White yang sedikit demi sedikit menyadarkan Chimon.

“Kau bilang ingin membantu Kakak kan?” Chimon mengangguk mengiyakan perkataan White. “Jadilah terbaik Chi, bantu Kakak untuk semakin melambungkan marga Patthiyakorn, Kakak tidak bisa dan tidak mau terbang sendiri Chi, kau mengerti?”

“Kak, maafkan Chi, Chimon terlalu banyak mengeluh padahal yang dihadapi Kaka lebih berat dari pada aku,” tutur Chimon, “Chimon akan bantu Kaka, apapun itu Chi akan bantu, Chi akan menjadi yang terbaik dari terbaik.” Chimon mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi tinggi, menunjukan betapa semangatnya dia.

White sebenarnya tidak tega meminta Chimon untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik, tapi inilah Patthiyakorn, dimana setiap generasinya selalu menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Jika Chimon tidak melakukannya maka segala hal buruk bisa menimpa adiknya, permata berharga yang dia miliki setelah Ayahnya. Dia tidak akan bisa memafkan dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk menimpa kedua permatanya yang berharga.

Tidak bisakah kau mengingatnya White, tidak, Gun. Tidak bisakah kau mengingatnya jika kau juga permata berharga milik seseorang. Seseorang yang bahkan rela hidup dalam kesendirian karena masih menganggapmu sebagai kekasihnya. Tidak bisakah kau mengingat itu? Mengingat segala hal yang kau impikan bersama kekasihmu itu? Ingat rencana pertunangan kalian bahkan rencana pengadobsian anak untuk masa depan kalian? Tidak bisakah .... Tidak bisakah kau memgingat itu? Setidaknya sedikit saja, ingalah kalau kau pernah mencintai dan dicintai sebegitu dalamnya dengan orang yang merelakan segala sesuatunya hanya untuk dirimu seorang.

=====

=====

Tok tok tok.

“Masuk!” seru White saat ada yang mengetuk pintu ruangan Rumah Sakitnya. Dia tidak perlu takut yang masuk adalah orang asing karena ruangannya sudah dijaga dengan begitu ketat, bahkan rumah sakit inipun sudah dijaga dengan ketat.

White adalah penerus Keluarga, akan tetapi hal itu belum diberitahukan kepada publik karena satu dan lain hal. Publik hanya tahu Patthiyakorn hanya punya satu anak yaitu Chimon, tapi kini kehadiran Gun yang dibesarkan sebagai White Patthiyakorn membuat mereka tidak bisa gegabah dalam hal apapun. Perlahan tapi pasti, Tuan Patthiyakorn mulai memberikan berita tentang White sedikit demi sedikit, selain bertujuan untuk melindungi Putranya, dia juga ingin melihat reaksi seseorang, Off Jumpol Adulkittiporn.

White melihat siapa yang datang, dia tersenyum tulus kepada sang Ayah. “Chi, tunggu sebentar,” ucap White sebelum akhirnya dia menegakkan dirinya menyapa sang ayah.

Menundukkan sedikit kepalanya, White menyambut Pria yang menjabat sebagai Pemimpin Keluarga Patthiyakorn, jabatan yang sebentar lagi akan menjadi miliknya. “Halo Ayah.” White melambaikan tangannya kepada sang Ayah. Ayahnya mengambil tangan Putranya tersebut dan membawanya ke dalam dekapannya.

“Bagaimana keadaanmu White, sudah lebih baik?” tanyanya sembari mengelua rambut Putranya itu. White hanya menganggukkan kepalanya sembari mengedahkan kepalanya ke atas, melihat sang ayah.

“White, Ayah harus pulang lebih dulu, harus mengurus Chimon dan mengerus peresmianmu sebagai Pemimpin Keluarga kita,” ucap sang Ayah dengan tatapan sendu nan penus kelembutan. Dia tidak tega meninggalkan Putranya sendirian disini, meski ada beberapa pekerja yang dia tugaskan melayani White, tetap saja itu berbeda dan White tidak terlalu suka bersama dengan orang lain selain keluarganya. Keadaan White juga masih mengkhawatirkan, terkadang jika dia berada dikeramaian atau berada ditempat yang begitu berisik kepala White akan terasa begitu menyakitkan.

“Aww Ayah tidak perlu mengkhawatirkan ku, aku baik baik saja, persiapan peresmian Kakak juga biarkan aku yang mengurusnya.” Chimom dari sebrang sana mencoba untuk menahan sang Ayah, agar tetap disana dan menjaga Kakak saja.

“Tidak Chi, ada hal lain juga yang harus ayah urus seperti penggantian nama properti dan lainnya.” Tuan Patthiyakorn memberikan alasan lain kenapa dirinya harus kembali ke Negara asal mereka.

“Ayah pergi saja, White akan baik baik disini, banyak yang menyayangiku mereka pasti akan menjaga dan merawatku.” Hati kedua Pria itu menghangat. White benar benar memaparkan cahaya kehangatan untuk keluarga Mereka.

Mungkin White memang bukan orang yang mudah percaya kepada orang lain. Namun dia benar benar mempercayai Keluarganya dia mungkin masih selalu menaruh rasa curiga kepada para pekerja, akan tetapi White yakin kalau Ayahnya sudah menyelisih pekerja mereka dengan sangat baik. Dibalik itu semua... ada satu orang, satu orang yang benar benar White percaya, orang yang selalu memenuhi pikirannya dan satu satunya yang White ingat.

White menjauhkan tubuhnya dari dekapan hangat sang Ayah, dekapan yang sejak lama Gun impikan. Dia melihat genggaman tangannya dan sang Ayah yang belum terlepaskan sejak tadi. Dia berusaha, sudah berusaha sekuat mungkin, akan tetapi dia tidak sanggup lagi menahannya. Kepala White sepertinya akan hancur dia tidak sanggup lagi.

AKHHHHH!

Suara teriakan White terdengar bersamaan dengan suara pecahan Macbook miliknya. Pria bertubuh mungil itu benar benar kesakitan, kepalanya seolah dihantam dari berbagai sisi. Kedua tangannya bergerak menjambak rambutnya, menarik kuat kuar rambut seolah olah hal itu bisa membuat rasa sakitnya hilang.

“White, White jangan seperti ini!” Tuan Patthiyakorn berusaha sekuat mungkin mencoba menghentikan Putranya. Darah White naik, infusan itu mulai berubah menjadi merah darah karena White bergerak dengan gusar menjabak rambutnya.

Tangan kanannya berusaha mengehentikan tangan White yang terus mencak mencak menarik rambutnya, sedangkan tangan kirinya memencet tombol darurat untuk memanggil Dokter. Dia benar benar khawatir akan tetapi dia harus berusa tenang karena jika dia juga panik maka situasi akan semakin sulit.

“Mati, harusnya aku mati kenapa kau menolongku.” Pria mungil itu meringkukkan tubuhnya diatas kasur, dia benar kehilangan arah saat ini.

“Lo gila kali ya? Berapa kali gua bilang kalau mau bunuh diri jauh jauh dari gua, gua gak mau jadi saksi mata,” sahut Pria satunya yang lebih tinggi darinya dan juga memiliki mata sipit.

“Lo kenapa mau bunuh diri?”

“Tidak ada, tidak ada siapa siapa.”

Pria bemata sipit itu memejiat kepalanya. Dia bertanya apa pria mungil itu menjawab apa, rasanya kesabarannya benar benar sedang di uji. Kenapa juga dia menolong Pria itu? Alasannya saja sangat tidak masuk akal.

“Gua itu nanya k.e.n.a.p.a bukan s.i.a.p.a, lo ngerti bahasa manusia kan?” Emosi Pria itu mulai naik, kesabarannya benar benar setipis kapas, apa lagi dia tidak suka terusik.

“Ayah meinggal, ibu 5 hari yang lalu, tidak ada siapa siapa, aku sendiri disini.” Tiba-tiba Pria sipit itu terbungkam.

Pria mungil dihadapannya kehilangan arah, kehilangan pondisi, dan kehilangan pegangan. Pria itu sedang terseaat dan dengan bodohnya dia malah menyalahkan Pria itu.

Dia berjalan menuju kasur dimana pemuda mungil itu berada. Dia duduk disamping Pria itu yang terus menatap kedepan dengan tatapan kosong. Tanpa aba aba dia memeluk tubuh ringkih itu membuat sang empu merasa kaget tapi juga merasakan kehangatan.

“Jangan mati, gua berani taruhan kalo ortu lu juga gak mau lo kayak gini apa lagi mati.”
“Mati gak nyelesain masalah cuman nambah masalah aja, lo pikir lo bakal ketemu ortu lu dengan bunuh diri? Kaga bakal bego!”

Pria sipit itu melepaskan pelukannya  dan menggenggam tangan Pria mungil itu. Terlalu kurus hingga dia bisa merasakan tulangnya. Dua pasang mata itu saling bertemu dan menatap sedalam dalamnya hingga menciptakan suatu getaran aneh dijiwa salah satunya.

“Gua bisa jadi sahabat lo, jadiin gua pijakan lo ya?”

=====

=====

Dada White naik turun. Dia sudah ditangani dokter dan diberi obat penenang serta pereda rasa sakitnya. White tidak pingsan, hanya saja kondosinya memburuk dari sebelumnya. Dia juga melihat keatap atap ruangannya, terbayang akan sekelibat penglihatannya yang benar benar buram bahkan seolah visualnya tidak berguna karena satu satunya yang jelas adalah suarannya. Siapa yang mencoba bunuh diri? Siapa yang kehilangan orang tuanya? Siapa yang mau dijadikan pijakan? Berusaha melupakannya malah membuat White semakin memikirkannya hingga terpaksa harus mengalihkan perhatiannya.

White menggenggam tangan sang Ayah yang sedang berbicara dengan Dokter disamping bangkarnya. “White tidak pa-pa Ayah, jangan khawatirkan White,” lirih White, “banyak yang harus Ayah urus bukan? White baik baik saja lagi pula ada dia yang akan menjaga dan merawatku.” Suara lirih White masuk ketelinganya sehingga membuatnya mengalihkan fokus dari Dokter.

“Sayang....”

“Bagaimana Ayah bisa memberikan kedudukan Pemimpin Keluarga kepadaku kalau Ayah meragukanku?”

“Sayang, Ayah bukannya meragukanmu, hanya saja .... White sudah cukup Ibu kalian jika kau jug—”

“Ayah, Ibu selalu melindungiku karena dia ingin melihat keluarganya bahagia, percayalah Ayah kalau Ibu tidak akan mengambikku sebelum semuanya selesai.”

Ya, White benar. Mereka tidak akan mengambil White sebelum semuanya benar benar selesai. White yakin, kemungkinan penyakit untuk sembuh sangatlah kecil, tapi karena ada yang belum selesai mereka tidak bisa membawanya pergi.

White lelah dan ingin menyerah, tapi sekeras apapun dia mencoba untuk mati jika tugasnya belum selesai, maka dia tidak akan bisa mati.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

436K 44.4K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
1.7K 73 12
wanita bernama Cece yang memiliki pasangan bernama Zidan, sebagai mana layak nya pacaran anak sekolah.... seketika semua berubah akibat kedatangan Az...
35.4K 4K 33
"Aku baru tau kamu pengen punya anak empat?" "Ohh iya dulu pernah bilang gitu hahaha, tapi yaa segimana dikasihnya aja." "..." "..." "Yuk." "??? Hmm...
8.2K 1.6K 30
Gun Atthaphan mendapat firasat, pertemuannya dengan sang Pahlawan akan membawanya bertualang. Benar saja, mereka mulai sering "kebetulan" bertemu dan...