Jendela Joshua (End)

By meynadd

5.1K 1.3K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 30 - Pulang

52 21 0
By meynadd

Sesuai ketentuan pihak penerbit Magnet Group, Joshua harus menunggu sekitar tiga bulan ke depan untuk memastikan secara resmi apakah naskahnya diterima atau ditolak.

Mengingat bahwa editor akuisisi hanya menyortir naskah yang masuk, jika kesan awal saja tidak ada ketertarikan. Maka otomatis naskah ditolak. Jika naskah berkemungkinan mendapat peluang, maka akan diteruskan ke tahap selanjutnya dengan pengecekan yang lebih dalam lagi.

Pagi ini, yang bisa Joshua lakukan adalah duduk termenung di depan jendela kamar, menyaksikan dahan pohon-pohon mangga yang bergetar-getar mengikuti arah angin. Dan juga ayam jantan yang tengah sibuk mengais-ngais tanah hingga membentuk lubang kecil.

Di satu titik Joshua teringat momen malam minggu kemarin. Sambil memandang telapak tangan kanannya, dia tersenyum. Hati berdebar-debar. Seakan sensasi kelembutan dan kehangatan itu masih terjejal di sana. Terngiang-ngiang di kepala.

Walau Joshua sedikit kaget atas perlakuan kecil Kartika, entah kenapa rasanya nyaman. Apalagi kata-kata yang Kartika ucapkan malam itu membuat Joshua lebih percaya diri dan semakin optimis.

Ketimbang ayahnya, yang sulit sekali ditemui dari kemarin-kemarin. Waktu mendatangi kantor penerbit Koesno's Publishing, sang resepsionis bilang bahwa jadwal Tirto Koesno sangat padat sehingga menyulitkan Joshua untuk membuat janji temu.

Meski memaksa bertemu di saat senggang dan mengaku anak dari pemimpin redaksi, sang resepsionis malah ngotot dan menyuruh Joshua pulang.

Setelah termangu sepuluh menit di depan jendela, Joshua mengernyit bingung begitu mendapati ada motor bebek terparkir tepat di halaman rumah Budiman. Dan terlihat pula Budiman berada di sana bersama seorang tukang pos, bercakap-cakap sebentar.

Lalu tukang pos itu menyerahkan sebuah amplop kepada Budiman sebelum akhirnya pergi melesat jauh dengan motor bebeknya.

"Joshua!" panggil Budiman. Mengetuk-ngetuk pintu kamar.

Joshua lantas menyahut, beranjak dari atas kasur, bergegas membukakan pintu.

"Ya, Pak?"

Begitu pintu terbuka, pria renta itu langsung menyodorkan sebuah amplop kepada Joshua seraya berkata, "Ini surat untukmu."

Joshua meraih amplop itu sambil mengernyit. "Surat dari siapa, Pak?"

"Dari Lim Seo Mi, ibumu."

"Saya nggak nyangka, Seo Mi masih ingat alamat rumah ini. Padahal sudah lama sekali dia nggak berkunjung," lanjut Budiman sambil terkekeh.

Joshua lantas menjatuhkan rahang, mengecek betul nama dan alamat si pengirim di bagian depan amplop.

Benar saja, di sana tertera nama sang ibu dan alamat rumahnya, Busan, Korea Selatan.

Kalau sampai dikirim surat begini, pikiran Joshua semakin kacau. Paling-paling disuruh pulang atau mungkin menanyakan kabar setelah beberapa hari Joshua tak lagi menelpon sang ibu.

"Terima kasih, Pak Budi." Budiman hanya mengangguk, lalu melenggang pergi. Pintu kamar pun tertutup.

Joshua melompat ke sisi kasur sebelah kanan. Lekas menyobek dari ujung ke ujung kertas amplop, lalu mengeluarkan secarik kertas di dalamnya.

Begitu dilihat sekilas, surat tersebut ternyata ditulis menggunakan huruf hangeul. Jika diartikan kira-kira begini isi suratnya.

Untuk anakku satu-satunya,
Lim Joohwa

Bagaimana kabarmu di sana? Apa baik-baik saja? Syukurlah jika tidak terjadi apa-apa, Nak. Sudah lama sekali sejak kamu menelpon ibu sampai ibu kesal dan khawatir karena kamu tak mengabari lagi di telepon beberapa hari belakangan. Ibu hampir mengira kamu jatuh sakit atau terjadi sesuatu kepadamu.

Jadi bagaimana dengan tujuanmu di awal? Sudah bertemu dengan ayahmu? Pasti kamu kaget begitu tahu kalau ayahmu selama ini telah menyembunyikan sesuatu darimu bukan?

Ibu tahu semenjak Evans pergi dari rumah, kamu bertanya-tanya alasannya. Dan maafkan ibu karena tidak memberitahumu dari awal karena Evans sendiri yang meminta ibu untuk tidak memberitahukannya.

Jika urusanmu di sana sudah selesai, bisakah kamu memenuhi permintaan ibu sekali saja? Ada hal yang ingin ibu beritahu padamu secara langsung. Ibu mohon pulanglah, Joohwa.

Hampir sebulan ini, ibu tak punya teman di rumah. Walau saudari-saudari ibu pernah datang berkunjung dan menawari untuk menemani ibu di rumah. Tapi ibu menolaknya dan merasa akan menambah perbincangan para tetangga. Apalagi semenjak kamu pergi, keadaan di sini sungguh runyam.

Ibu mendapat tekanan dari orang-orang sekitar. Mengatai ibu dengan berbagai macam versi sehingga ibu merasa muak dan selalu menghabiskan waktu mendekam di rumah.

Jika kamu merasa senang dengan ayahmu di sana, setidaknya kunjungilah seseorang yang telah melahirkan dan merawatmu ini di sini. Ibu harap kamu mau mengikuti permintaan ibu, Joohwa. Bila kamu bersedia pulang, ibu akan sangat senang mendengarnya.

Dari ibumu tersayang,
Lim Seo Mi

Joshua menggenggam kertas itu hingga kumuk. Perasaan terkekang kembali bangkit.

Ketika membaca surat tersebut, bukan lagi sebuah permintaan melainkan sebuah perintah. Dugaannya sudah betul sejak tadi dan firasatnya kali ini benar.

Joshua tersenyum miris begitu sang ibu menyentilnya di tulisan dengan mengira tengah bersenang-bersenang bersama sang ayah. Padahal realita tidak berkata demikian.

Ayahnya sepanjang minggu ini sangat sibuk. Percuma saja Joshua mengikuti perkataan Umar tempo lalu, malah yang ada tidak membantu apapun.

Akan tetapi, Joshua merasa sang ibu tidak main-main dalam mengirim surat ini. Dengan ibunya menceritakan bagaimana kondisi di sana, sukses membuat hati Joshua sedikit melunak.

Bahkan pemuda itu sangat penasaran apa yang mau Seo Mi sampaikan padanya bila pulang nanti.

Bergegas dia beranjak dari kasur kemudian mengambil ransel yang tergantung pada paku dinding dan beberapa pakaian dari lemari kayu, dan beberapa barang lainnya untuk dimasukkan ke dalam ransel.

Kebetulan pula visa paspornya sebentar lagi akan habis.

***

***

"Kamu mau pulang? Sekarang? Apa nggak bisa besok saja pulangnya, Joshua?" Pertanyaan beruntun dilontarkan langsung oleh Budiman.

Sementara Mbok Susi yang berada di antara mereka, mengerling-ngerling.

Joshua menunduk, menyampirkan ransel yang melorot ke pundak.

Usai keluar dari kamar, tadi dia langsung menemui pria renta itu di ruang tamu tengah mengobrol bersama tantenya.

Begitu Joshua berkata ingin pamit pulang ke rumah sekarang juga, Budiman dan Mbok Susi lekas bangkit dari sofa, mata mereka memelotot lalu saling bertukar pandang satu sama lain. Seolah menunjukkan keengganan terhadap hal-hal yang datang secara tiba-tiba.

"Lagipun nggak seharusnya saya berlama-lama lagi di sini, Pak."

Budiman lantas menggaruk kepala yang tak gatal.

"Pasti ibumu yang minta kamu pulang kan? Di surat yang tadi?"

Joshua mengangguk.

"Iya, Pak. Memang ini agak mendadak, tapi saya harus pulang. Saya nggak bisa biarkan ibu saya sendirian di sana lagi. Sama ... visa paspor saya juga bentar lagi bakal habis."

Budiman melirik ke arah tantenya tepat di samping.

Mbok Susi menghela napas panjang kemudian memberikan kode kecil berupa anggukan pelan. Setelah mendapat persetujuan, Budiman kembali melirik ke lawan bicara di hadapan.

Budiman sedikit kesulitan melepas seseorang yang menurutnya cukup berkesan. Seseorang itu adalah anak dari temannya sendiri.

Meski di hati kecil berkata anak tersebut banyak merepotkan, terus-terusan hidup menumpang mandi, makan, tidur, serta keperluan lain tanpa berpikir rumah siapa ini.

Akan tetapi, di balik sesosok itu dia menemukan seorang pemuda yang pantang menyerah. Berjiwa terus belajar dan ingin memperbaiki kesalahan apapun begitu karyanya dikritisi.

Budiman berpikir, ambisi Joshua sungguh luar biasa. Tak banyak orang yang tahu jika pemuda tersebut memiliki kepribadian seperti itu. Dan Budiman salah satu saksinya.

"Kamu mau saya antarkan ke bandara?" tawar Budiman.

"Nggak perlu Pak Budi. Saya bisa—"

Belum sempat Joshua menyelesaikan kalimatnya, Budiman buru-buru memotong.

"Nggak apa-apa. Kamu sudah beli tiket pesawatnya atau belum?"

Payah.

Joshua lupa akan hal satu itu.

Gaji yang dia pakai sebagian dihabiskan untuk ongkos angkutan umum. Sisanya dia simpan. Yang sebetulnya tidak dapat mencukupi untuk membeli tiket pesawat.

Dasar naif. Terlalu mengentengkan sesuatu yang bisa kapan saja dianggap genting. Lagi-lagi sifat impulsif itu kambuh.

Joshua sontak memegang kepalanya.

"Oh ... Gimana kalau saya saja yang belikan tiket pesawatnya?" Budiman kembali menawar yang langsung dibalasi gelengan oleh Joshua.

"Jangan ditolak, anggap saja ini sebagai hadiah perpisahan dari kami berdua," ujar pria renta itu penuh harap.

Joshua melirik keduanya.

Budiman dan Mbok Susi tersenyum sumringah. Menolak sama saja tidak tahu terima kasih atas segala bantuan yang diperoleh dari mereka. Maka dari itu, Joshua membalas senyuman keduanya kemudian mengangguk.

"Terima kasih sudah banyak ngerepotin, Nenek dan Bapak."

Budiman lantas terkekeh-kekeh. Begitu juga Mbok Susi yang berusaha menahan tawa agar tidak terdengar keras. Lekas mereka bertiga berjalan bersisian menuju teras depan pintu rumah.

"Sama-sama."

Budiman mengurai tawa kemudian merangkul pundak pemuda tersebut lalu membawanya menuju ke halaman samping rumah tepat dimana mobil pick up itu berada.

"Satu hal yang ingin saya sampaikan. Jangan pernah lupakan jasa-jasa orang yang sudah membantumu selama kamu berada di sini, Joshua. Nggak peduli apakah bantuan mereka berguna atau nggak."





Hlm 30 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

2K 233 36
Bloom (noun): A Beautiful Process of Becoming. Sederhana saja, Areksa Gatra Sadajiwa jatuh cinta pada target incaran sahabatnya sendiri. Namira Gea R...
2M 47.6K 54
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
10.4K 1.9K 45
⭐ Follow sebelum membaca ⭐ Reswara Hita, si bocah jail yang punya seribu cara menarik perhatian, selalu mengisi tempat spesial di hati abangnya, Dewa...
10.9K 1.8K 5
[Tenaga Pendidik Version] Seven still choosy and Juni still clumsy