Cinta ABCD [ON GOING]

By Alsabiil

5.7K 4.1K 6.5K

"Aku menyukai mu" Shaka mengatakannya dengan tulus kepada gadis dingin itu. Tapi sialnya, kenapa gadis itu ha... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40

Bab 23

101 78 253
By Alsabiil

- D -

Baik Delisa maupun Akram, mereka sama-sama terkejut saat hasil ulangan dibagikan. Bayu dan Yudha bergantian menertawai satu sama lain. Mereka sama-sama mengulang. Bayu mendapatkan nilai 45, sedangkan Yudha 46.

Akram berdecak kesal. Nilainya memang tinggi dibanding Delisa. Delisa mendapatkan nilai 58, sedangkan Akram 60. Tapi bagaimana pun juga, mereka harus mengulang ulangan tersebut.

"Dasar pak guru sialan, seharusnya dia memberikan soal sesuai dengan materi"

"Bilang saja kau tidak belajar" celutuk Delisa merendahkan

"Apa bedanya dengan kau? Kau juga mengulang"

"Itu karena aku tidak belajar sampai materi akhir. Coba saja aku belajar sampai akhir, mungkin aku tidak akan mengulang seperti kau"

"Bagaimana kalau nanti malam, kalian pergi bersama ke karaoke Bunga? Kalian bisa sekalian bahas ulangan itu kan?"

"Seperti tidak ada saja yang mau dibahas selain ulangan" timpal Delisa tak terima. "Tapi aku sudah janji dengan Niko"

"Niko Niko Niko. Selalu Niko" balas Akram dengan nada merendah

"Memangnya kenapa? Masalah?" tanya Delisa tak terima

"Lisa"

Tomi memanggilnya dari belakang. Dengan ragu, ia berjalan menghampiri mereka bertiga.

"Kepala sekolah memanggil mu"

Lisa menarik nafasnya sejenak, berterimakasih kepada Tomi lalu berjalan keluar dari kelasnya. Sedang Akram yang sedari tadi menatap kepergiannya seakan mengerti apa yang akan dihadapi Delisa nantinya.

"Ah..."

Delisa melirih saat ia berjalan melewati koridor. Tidak banyak siswa siswi disana yang menyapanya. Beberapa dari mereka bahkan ada yang menatap Delisa dengan sinis.

"Sial" lirihnya lagi

***

"Bukankah kau sudah belajar tadi malam?"

Suara berat kepala sekolah memenuhi ruangan siang itu. Matahari sangat terik dari luar jendela. Untung saja ada mesin pendingin diruangan kepala sekolah, maka Delisa tak perlu merasa gerah berada disana.

Ya... seharusnya begitu.

Hanya saja siang itu, Delisa merasa gerah dan risih saat berada diruangan papanya. Ia mencoba bersikap seperti normal. Merasa menyesal dan tak akan mengulanginya lagi.

"Akhir-akhir ini kau banyak bermain" sambung kepala sekolah kepada anak pertamanya. "Bukannya papa melarang mu bermain, tapi kau juga harus memperhatikan sekolah mu, perhatikan nilai-nilai mu. Kau tak bisa terus-terusan mendapatkan nilai seperti ini"

Delisa hanya mendengarkan tanpa berucap sepatah kata pun. Sesekali ia melihat pemandangan dari luar jendela, memikirkan hal-hal yang menurutnya menyenangkan dari pada mendengarkan ceramah papanya.

"Bukankah kau dekat dengan Adelia, kau bisa belajar dengannya kan? Seharusnya kau mencontoh Adelia"

Delisa menarik nafasnya sejenak, ia mengangguk sebagai tanda mengerti dan siap untuk mendengarkan penjelasan selanjutnya.

"Setelah ini kau akan naik ke kelas tiga, dan setelah itu kau akan masuk kuliah. Kalau nilai mu selalu dibawah rata-rata, kau bisa kesulitan mencari kampus"

Delisa meremas pakaiannya, berusaha untuk tidak merasa kesal saat kepala sekolah menasehatinya.

"Semester depan papa akan memasukkan mu les. Itu akan membantu mu untuk meningkatkan nilai"

Setelah berlama-lama mendengar penjelasan itu, Delisa pamit, keluar dari ruangan papanya dan berlari ke sembarang arah.

Ia sangat membenci semua penjelasan papanya. Bukannya ia tak mau belajar, dan bukannya ia tak menyesal dengan nilainya itu. Tentu saja ia memikirkan nilai-nilainya juga. Dan tentu saja ia merasa malu dengan nilai nilai itu.

Hanya saja dari dulu, papanya tidak pernah berubah.

Baik itu kepadanya atau pun kepada adiknya. Setiap hari mereka selalu diperintahkan untuk belajar. Walau tak ada tugas pun, mereka harus belajar dan dipantau setiap harinya.

Delisa sangat berbeda dengan adiknya, Sheila. Sheila anak yang pintar, hampir semua nilai Sheila melebihi rata-rata. Walau ada beberapa kali Sheila mengambil kesempatan untuk tidak belajar, tapi nilai yang di dapat selalu diatas rata-rata.

Berbeda dengan dirinya yang bodoh. Belajar saja dia masih mendapatkan nilai jelek, apa lagi tidak belajar.

"Sial!" kesal Delisa mendaratkan pukulannya pada gedung sekolah

Ia sangat membenci dirinya yang bodoh. Rasanya ia tak cocok dengan keluarganya. Papanya yang pintar, mamanya yang pandai, adiknya yang ahli dalam segala bidang. Sedang dia, Delisa hanyalah anak kepala sekolah yang bodoh.

Rasanya Delisa ingin sekalimenghilang dari dunia. Hidup di dunia baru dimana tidak ada satu pun orang yang memperdulikannya. Hidup dengan aturan yang ia mau.

Sekali lagi, Delisa mendaratkan pukulannya ke gedung sekolah. Tapi bersamaan dengan itu, seseorang datang menghampirinya dengan tatapan datar, seakan telah mengerti apa yang dirasakan Delisa.

"Kenapa?" tanya Delisa dengan cetus

"Seharusnya aku yang bertanya begitu" balas Akram sambil melipat tangannya

"Kenapa kau kesini?"

"Dari tadi aku mencari mu. Tadi pak guru memberikan kisi-kisi untuk ulangan selanjutnya" lirih Akram sambil memberikan selembaran kertas kepada Delisa

"Kau mencari ku hanya untuk ini?"

"Bagaimana tadi?"

Bukannya menajwab, Akram malah bertanya balik seakan mengalihkan topik pembicaraan. Ia menyenderkan dirinya di dinding tepat disamping Delisa.

"Seperti biasa" lirih Delisa yang ikut menyenderkan dirinya ke dinding

"Jadi anak kepala sekolah memang berat ya" lirih Akram

"Yahh, berat untuk orang bodoh seperti ku"

"Dibanding dengan kau, sepertinya aku lebih parah"

"Tapi kau aneh. Kalau di film-film, Biasanya orang yang aktif dan populer itu kan pintar. Kenapa kau tidak?"

"Kau merendahkan ku ha?!"

Delisa tertawa menimpali Akram. Ya, selalu begitu. Sejak mereka kenal dan dekat, Akram selalu berhasil membuat Delisa tertawa.

"Sebenarnya kita ini sama. Sama-sama bodoh"

Mereka tertawa menikmati terik matahari siang itu. Jauh dilubuk hati kedua insan itu, ada sesuatu yang membuat mereka sama-sama merasakan nyaman.

"Nanti malam aku pergi dengan Niko. Kau mau bareng?"

Ya tuhan! Kenapa saat Akram merasa nyaman seperti ini, Delisa selalu menyebut nama Niko?!

- C -

"Kenapa akhir-akhir ini kau sering keluar malam?"

Caca melirik sekitaran memikirkan alasan yang bagus untuk ibunya.

Setiap kali ia ingin keluar bersama temannya, ibunya selalu saja menanyai beberapa pertanyaan yang tentu saja ibunya tak akan memperbolehkan Caca pergi.

Menurut Caca, ibunya terlalu overprotektif. Sedikit saja Caca membuat kesalahan, maka ibunya akan menghujaninya dengan beribu pertanyaan yang membuatnya merasa bersalah.

Bukannya ia tak ingin diperhatikan oleh ibunya, hanya saja ibunya ini terlalu berelebihan.

"Aku pergi bersama yang lainnya kok. Lagi pula aku ke rumah teman ku. Teman ku itu perempuan" jelas Caca meyakinkan ibunya

"Walaupun begitu, ibu tetap mencemaskan mu"

"Kami hanya bercerita dan membahas pelajaran kok"

"Membahas pelajaran kenapa tidak membawa buku pelajaran?"

"Satu buku sudah cukup kan bu"

"Bagaimana kalau saat kau pulang nanti ada orang jahat? Sekarang ini banyak orang jahat yang berkeliaran. Ditambah lagi kau itu perempuan"

Caca menggepalkan tangannya merasa kesal. Lagi pula kalau masalah orang jahat, bahkan siang hari pun orang jahat tetap berkeliaran.

Ahh rasanya ia ingin menyerah saja malam ini. Mengabarkan kepada teman-temannya bahwa ia tak jadi pergi.

Tapi jauh dilubuk hatinya, ia sangat menginginkan ini. Tidak hanya bertemu dengan teman-teman, walau ia telah ditolak oleh Sakha, ia ingin sekali melihat Sakha malam ini.

Setelah sedikit perdebatan dengan ibunya, entah bagaimana akhirnya ibu memperbolehkan Caca pergi dengan satu syarat.

"Pulang jam sembilan. Dan paling lama jam setengah sepuluh. Kalau lebih, untuk besok ibu tidak akan mengizinkan mu lagi"

Dengan segera Caca melangkahkan kakinya keluar, membanting sepatunya dengan kasar dan menahan tangisnya.

Jujur saja, sebenarnya ia juga tak mau menangis, cengeng sekali kalau dia sampai menangis. Tapi karena kekesalannya malam ini, Caca bersusah payah menahan tangisan itu. Bahkan langit malam pun tak ia hiraukan sama sekali. Padahal cahaya bulan sangat indah malam itu, bintang-bintang bertaburan disana.

"Bisa-bisa bedak mu itu hilang sebelum sampai"

Seseorang melirih kearahnya. Caca membalikkan badannya dan mendapatkan Oskar disana.

Pria itu mengenakan baju kaos putih yang diselimuti jaket hitam. Tangannya di masukkan kedalam saku celana yang juga berwarna hitam. Dengan cepat Caca segera menyeka tangis yang hampir saja melunturkan bedaknya.

"Kenapa kau disini?" tanya Caca menunggu Oskar agar mereka bisa berjalan bersampingan

"Kenapa? Sudah pasti ke tempat Bunga kan"

"Maksudku, kenapa lewat jalan ini?"

"Memangnya salah kalau aku lewat sini?"

"Ah sudahlah"

Kesunyiam mulai menyelimuti mereka, membiarkan mereka bermain dengan pikiran masing-masing.

Sepanjang jalan, beberapa pedagang menawarkan jualan kepeada mereka. Menarik pejalan kaki yang lewat, memberikan harga yang murah dan meyakinkan mereka bahwa barang yang dijual adalah barang dengan kualitas yang tinggi.

"Mampirlah, jangan malu-malu. Gelang ini cocok sekali untuk pacar mu"

Salah satu pedagang menawarkan dagangannya kepada Oskar. Caca yang mendengar kalimat itu sedikit tersentak dan memperhatikan sekitaran dengan gugup. Sedang Oskar seperti biasa, tak terlalu menghiraukan itu dan melewatinya dengan santai.

"Wahh pasangan yang manis"

Salah satu pedangan melirih menatap mereka. Entah sejak kapan mereka menjadi pusat perhatian para pedagang itu. Namun Oskar sama sekali tak menghiraukannya.

Sejenak Oskar melirik kearah Caca. Disampingnya Caca sedari tadi sibuk sendiri, menatap sekitaran, sibuk dengan ponsel dan hal lainnya.

"Kau anaknya memang tidak bisa diam ya?" tegur Oskar dan membuat Caca sedikit terkejut

"A-apa?"

"Kenapa kau gelisah sekali?"

Caca menggeleng dengan samar, bahkan rasanya ia tak mampu menatap Oskar.

Sekitar satu menit akhirnya mereka keluar dari kerumunan pedagang itu. Caca menghela nafas merasa lega. Kalau dipikir-pikir, ia juga penasaran dengan Oskar. Bagaimana wajah anak itu setelah terbebas dari pedagang-pedagang aneh tadi.

Tapi saat Caca menatap wajah pria itu, yang ia dapati hanyalah sebuah keanehan.

Entah kenapa malam ini, wajah Oskar sedikit tampan. Setiap lekuk wajahnya diterangi cahaya rembulan. Caca mendapati telinga Oskar yang sedikit memerah. Ia sendiri juga bingung, kenapa telinga itu memerah.

Dan saat angin malam menerpa rambut Oskar dengan lembut, Oskar melirik Caca yang diam-diam tengah menatapnya. Seketika jantung Caca berdetak lebih cepat saat mata dingin itu menatap kearahnya.

Ada sesuatu yang membuat Caca sedikit malu saat bertatapan dengan Oskar. Ia tak mengerti dengan jelas maksud perasaan itu.






Haii gaiss gimana ceritanya??

Oiya, part ini jumlah katanya 1497 kata. Menurut kalian ini kepanjangan atau nggak sih? Aku bingung :') Kalau sekiranya kepanjangan, untuk nextnya aku buat yang lebih pendek deh

Jangan lupa tinggalin vote dan komen ya, kritik dan saran juga boleh!

Share juga ke teman-teman kalian

See u next chapter~

Continue Reading

You'll Also Like

630K 45.1K 40
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
3.2M 33.1K 30
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
280K 37.9K 16
Young adult contents 18+ Please be wise.
964K 95.4K 26
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...