STRUGGLE

By IM_Vha

24.4K 1.4K 156

[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pu... More

Prolog
1. Kesalahan
3. Perbandingan
4. Just Wanna Sleep
5. Mama
6. Mabuk
7. Sebuah Alasan
8. Rindu
9. Not Okay
10. Katanya, Rumah Tempat Ternyaman
11. Liburan
12. Liburan (2)
13. Sebuah Apresiasi
14 ; Si Akar Masalah
15. Keduanya Terluka
16. Seorang Teman
17. Mencoba Terbuka

2. Rasa Aman

1.2K 99 22
By IM_Vha

“Aduh ... aduh! Iya, ampun, Pak. Besok nggak lagi, deh,” pekik remaja itu saat pria berkumis di depannya memperkuat jeweran.

“Sakit, ‘kan?” Pak Tomo, sang guru BK yang paling gemar menghukum siswa itu mendelik tajam.

“Iyalah. Masih ditanya segala. Bapak kalau dijewer kira-kira sakit apa malah enak?” Bocah itu masih berusaha melepas jeweran di telinganya.

Namun, bukannya berhenti, Pak Tomo justru berjalan sembari menarik Rei untuk mengikuti langkahnya. Pria berkumis tebal itu membawa Rei menuju ke bagian paling belakang sekolah, yang merupakan lapangan basket.

“Dikasih tahu, bukannya sadar malah jawab terus! Sekarang kamu bersihkan seluruh lapangan ini, dan kembali ke kelas. Hanya kurang dua jam lagi, dan kamu mau membolos? Jangan mentang-mentang pintar, kamu bisa seenaknya meninggalkan jam pelajaran,” tukas Pak Tomo kemudian melepaskan tangannya dari telinga Rei.

“Saya nggak mau bolos, Pak. Cuma mau cari angin, di kelas sumpek.” Cowok itu mengusap telinganya yang kini terasa panas.

Sungguh sial sekali nasibnya. Padahal sudah memberi sogokan pada satpam berupa satu bungkus rokok mahal, agar ia mendapat akses keluar dengan mudah. Akan tetapi, Pak Tomo sudah lebih dulu memergokinya di tempat parkir saat ia berusaha mengeluarkan motor.

“Saya nggak mau dengar alasan lagi. Cukup selesaikan hukuman, dan kembali ke kelas.” Pak Tomo menepuk-nepuk pelan bahu bocah di depannya.

“Maaf kalau saya terlalu keras, tapi di sini posisi saya juga nggak menguntungkan, Rei,” sesal pria itu lantas berbalik dan melangkah pergi.

Jemari remaja itu mengepal. Bahkan sekolah yang menjadi satu-satunya tempat ia bersenang-senang pun tak luput dari pengawasan ibunya. Seakan setiap embus napasnya bukan lagi di bawah kendalinya.

“Ck … yakali gue harus nyapu. Nongki di kantin juga beres,” tukasnya sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana.

Mengetik pesan pada salah satu nomor di kontak, kemudian melenggang menuju tempat terakhir yang bisa mengembalikan suasana hatinya.

To: Calvin

[Sapuin lapangan basket. Gue mau makan Indomay dua mangkok di tempat Bu Mel.]

🍬🍬🍬

Rumah yang ditinggali sekarang, bagi Rei tidak bisa disebut rumah. Karena dia tidak memberi kehangatan, maupun kenyamanan. Yang Rei rasakan hanya dingin, gelisah, dan tercekik. Bahkan tetumbuhan hijau yang subur mengelilingi tanahnya sama sekali tak mengurangi rasa sesak yang kian hari kian mendesak.

“Hari ini Mama nggak pulang lagi?”
Lelaki itu duduk di kursi meja belajarnya sembari membalik halaman buku saat kedua telinganya disumbat oleh headset bluetooth.

Terdengar helaan napas dari sosok di seberang. “Kenapa, Rei? Baru juga tiga hari lalu Mama pulang. Kok, udah tanya lagi kapan pulang.”

“Nggak kenapa-kenapa, sih. Cuma kangen, hehe.”

Tidak, sebenarnya buka itu alasannya. Sejak sebelum sang ibu menikah lagi dengan Samuel, dia sudah sering ditinggal sendirian karena urusan bisnis. Namun, itu dulu, saat rumah yang ditempati bukan ini, dan keluarganya hanya terdiri dari dirinya serta sang ibu.

Sekarang, dia selalu ingin bertemu dengan Celine karena saat wanita itu ada di sekitarnya, Rei merasa aman. Akan tetapi, reaksi sang ibu tak selalu sejalan dengan keinginan Rei.

“Kalo cuma kangen, tinggal telepon kayak gini ‘kan udah selesai masalah. Kenapa tanya kapan Mama pulang?”

Decakan pelan terdengar. “Kamu itu udah gede, jangan banyak nuntut. Yang Mama urus bukan Cuma kamu, tapi juga perusahaan. Sekarang kamu belajar yang rajin, jangan Cuma nungguin Mama pulang aja,” lanjut wanita itu.

“Iya, Ma. Maaf.”

Tenaga Rei menguap begitu saja. Niatnya untuk menceritakan tentang bagaimana perkembangan di sekolah, serta dirinya yang akan ikut turnamen voli antar sekolah pun ia urungkan. Hal itu hanya akan menuai kritik dari Celine, karena dianggap membuang waktu.

“Udah, ya. Mama sibuk banget. Pokoknya kamu cukup belajar aja, dan capai hasil yang maksimal. Cuma kamu yang bisa diharapkan, jadi jangan sampai mengecewakan Mama dan Papa. Jangan kayak kakak kamu, pusing Mama lihatnya,” tukas sang ibu, yang semakin membuat Rei tersenyum miris.

“Iya, Ma. Kalau gitu aku tutup teleponnya, ya. Mama hati-hati di sana.” Tak menunggu jawaban dari si lawan bicara, Rei memutus sambungan secara sepihak.

Ia melepas headset lantas melemparkannya ke atas meja dengan sedikit kesal. Remaja itu mendongak menatap langit-langit kamar, kemudian menghela napas cukup panjang.

“Cuma gue yang bisa diharapkan? Emangnya apa yang bisa diharapkan dari gue? Apa, ya?”

Rei terus menggumamkan kalimat itu, sampai tidak sadar jika seseorang sudah memasuki kamarnya. Duduk di salah satu sofa, dan memainkan ponselnya. Jelas sosok itu tak ingin menganggu lamunan si empunya kamar.

Hingga saat Rei memutar kursinya, barulah pemuda itu terlonjak saat mengetahui ada sosok lain berada di dalam kamarnya.

Oh, shit! Calvin, lo setan apa gimana?!” pekiknya yang kini terjatuh dari kursi akibat terlalu terkejut.

Rei tahu, dia memang seringkali lupa untuk mengunci pintu kamarnya, jadi tidak heran jika Calvin bisa keluar-masuk sesukanya. Namun, dia tidak pernah bisa terbiasa ketika bocah itu tiba-tiba muncul tanpa mengeluarkan suara.

“Lo aja yang kebanyakan ngelamun. Gue udah ketuk pintu sebelum masuk, tapi nggak dijawab. Jadi jangan salahin gue,” sahut Calvin enteng.

“Mau keluar nggak? Anak-anak ngajak nongkrong di kafe deket sekolah, nih. Pacar lo juga tadi tanya kenapa lo nggak mampir ke kelasnya waktu pulang tadi.”
Calvin mendengkus pelan dan lanjut berucap, “Kalau udah nggak mau berhubungan sama Chelsea, mending putusin aja, Rei. Gue kasihan kalau lo diemin gitu.”

Calvin berbicara seperti itu karena dia sudah begitu paham dengan perangai Rei. Cowok itu sering berganti-ganti kekasih, dan tak pernah benar-benar menyangkutkan perasaan ke dalam hubungan. Walau demikian, Rei selalu memperlakukan gadis yang menjadi kekasihnya dengan baik. Mereka bertingkah selayaknya sepasang kekasih pada umumnya.

Namun, akhir-akhir ini Rei seringkali lupa jika dirinya masih mengikat hati seorang gadis di genggamannya. Tidak seperti dirinya yang hobi memamerkan kemesraan, kini dia tampak seperti siswa teladan nan ambisius. Seolah deretan prestasi yang diraih masih tak membuatnya merasa cukup.

“Ogah, ah. Bulan depan udah kenaikan kelas. Gue mau fokus belajar, setidaknya sampai bisa ngalahin anak kelas sebelah. Dan lo pasti yang paling tahu, gimana respons nyokap kalau lihat nilai gue ada di bawah orang lain. Pasti dia juga suruh lo ke sini biar gue buat ngingetin gue soal itu, ‘kan?” tuduh Rei yang membuat Calvin membelalakkan matanya.

Cowok itu menggeleng ribut. “Nggak ada, Tante nggak bilang apa-apa, Rei. Gue ke sini murni karana mau ngajak lu nongkrong. Tapi kalau emang lo nggak mau, gue juga nggak maksa,” sangkalnya membela diri.

Tuduhan Rei bukan tanpa sebab. Hanya saja, ia tahu betul, seperti apa hubungan ibunya dengan orang tua Calvin. Mereka adalah atasan serta bawahan yang sangat loyal. Karena hubungan itu pula, Rei bisa berteman dengan Calvin.

Persahabatan yang ia kira murni, nyatanya adalah ilusi. Sejak pertama kali Calvin menjadi teman sebangkunya saat SMP, bocah itu sudah mengemban tugas dari Celine untuk mengawasi segala gerak-gerik Rei.

Bodohnya, Rei baru mengetahui hal itu di penghujung kelulusan SMP. Marah pun percuma, karena Calvin hanya korban sepertinya. Namun, semua itu ada baiknya, karena sekarang mereka benar-benar menjadi teman. Meski tak ayal, Rei masih tak bisa sepenuhnya mempercayai  bocah bermata rubah itu.

“Lo pergi aja, gue nggak ada niat buat keluar rumah,” pungkas pemuda itu setelah terselimuti hening yang cukup lama.

Ia menata buku yang semula berserakan di atas meja. Kemudian menjatuhkan tubuh ke aras kasur empuknya. Namun, tak lama kemudian, Rei kembali duduk dan mengambil botol obat dari dalam laci. Mengeluarkan satu butir pil kemudian menelannya dengan bantuan segelas air. Hingga detik itu, Calvin masih bergeming, tak beranjak maupun berucap.

“Terserah kalau lo mau jadi patung di situ. Gue mau tidur, dan jangan ganggu. Skip juga makan malem. Kalau mau, lo aja yang wakilin gue buat makan.” Ia menarik selimut hingga sebatas dada.

“Obatnya pahit, tapi kalau nggak minum, susah banget buat tidur. Padahal kalau Mama ada di sini, gue nggak perlu minum benda itu. Tapi ….”

Calvin tak mendengar kelanjutan dari ucapan Rei. Karena setelahnya hanya suara dengkuran halus dari sosok yang kini tampak begitu pulas. Mungkin saat ini Rei sudah dibuai mimpi. Namun, bukan mimpi yang bisa membuat senyum merekah. Sebab, dalam tidur pun, Calvin masih melihat bocah itu tampak gelisah.

–STRUGGLE–

Fyi: awal cerita ini mengambil latar sewaktu Rei kelas sepuluh, ya. Jadi sebelum ada Aaron dan Hansa ataupun mbak gebetan.  Dan mungkin mereka akan muncul di tengah-tengah part.

Aku lupa, Minggu kemarin itu up hari Senin apa Selasa. Jadi selamat membaca yaa. Untuk update duluan belum ada, karena aku sangat 'sok' sibuk.

Jangan lupa tinggalkan jejak dan follow IM_Vha and see you next part 😗

Salam

Vha
(09-08-2022)

Continue Reading

You'll Also Like

82.8K 7.2K 26
Juan merasa hidupnya seperti terombang-ambing ditengah lautan setelah kepergian Ibunya untuk selama-lamanya. Banyak hal tak terduga yang Juan alami s...
Adelfós By NJM

Teen Fiction

149K 15.7K 37
Saudara? Menurut Alva, saudara adalah mereka yang saling berbagi kasih sayang dalam lingkup kekeluargaan. Sayang, hal itu tak berlaku dalam keluarga...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 327K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
581K 22.6K 35
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...