Bismillah
Pocong Itu Bapakku
#part 38
#R.D.Lestari.
Angin malam yang berhembus kencang membuat pintu Musholla bergerak maju mundur.
Udara di luar terasa dingin dan mendung bergelayut. Awan hitam yang berarak menutupi bulan sabit yang nampak malu-malu.
Pohon-pohon di luar bergerak seiring hembusan angin yang mendayu-dayu. Pohon kelapa meliuk-liuk bak tarian menyambut datangnya hujan yang sudah siap turun.
Pak Ustad dan beberapa orang yang sudah berada di dalam Musholla menatap nanar keluar, pemandangan menyedihkan itu pastinya membuat warga sekitar enggan untuk berkumpul di Musholla seperti yang dijanjikan sebelumnya.
Ia hanya menatap pasrah saat matanya menoleh ke arah tumpukan kotak kue yang disiapkan Ibu-ibu sebagai bekal oleh-oleh saat pengajian usai.
"Bagaimana, Pak Ustad, apa bisa kita laksanakan sekarang acaranya? mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Saya pun takut untuk pulang," seru Pak RT dengan raut wajah khawatir melihat mendung yang semakin menggulung.
Pak Ustad menghela napas yang terasa sesak. Ia memandang satu persatu warga yang sudah berkumpul di dalam Musholla.
Hanya ada sekitar sepuluh orang, itupun termasuk dirinya dan Pak RT.
Ia pun akhirnya mengangguk setuju dan duduk memimpin jalannya pengajian malam itu.
Hujan turun dengan derasnya dan suara gemuruh di luar terdengar bersahut-sahutan, seiring suara alunan doa yang di panjatkan bersama-sama.
Lamat-lamat terdengar lolongan suara anj*ng di kejauhan. Desiran suara angin yang membawa titik hujan, hingga pelataran Musholla basah.
Acara itu sudah selesai dilaksanakan, menyisakan kebingungan karena kotak kue yang terlampau banyak untuk mereka bawa.
"Pak Ustad, apa kita buang saja kotak beserta isinya ini?" tanya Umar yang melihat gurat kecemasan di wajah tua Pak Ustad Salman.
"Jangan, Umar. Mari Kita bagi-bagi ke warga sekitar," ajaknya lagi.
"Tapi, Pak, hari sudah terlampau malam dan kue tersisa amat banyak. Itu bisa menyulitkan kita, apalagi diluar hujan deras," papar Umar seraya menatap ke arah luar.
"Kalau di buang, mubazir, Umar. Kita tidak boleh buang-buang makanan," Pak Ustad menatap dalam mata Umar.
Umar mendesah. Benar kata Pak Ustad, mereka tak boleh buang-buang makanan. Umar akhirnya setuju, jika hujan reda, Ia, Pak RT dan Pak Ustad akan mengantarkan sisa kue ke warga terdekat, beserta beberapa warga yang tadi ikut pengajian.
Tak lama hujan pun reda. Meski masih rintik-rintik, mereka memaksakan diri keluar sembari membawa dua kantong besar di kiri dan kanan. Total ada enam kantong dan itu semua masing-masing dibawa dua oleh Pak Ustad, Umar dan Pak RT.
Jalanan cukup licin dan penuh genangan air di mana-mana. Pak Ustad hampir saja terjungkal jika tak cepat di tangkap dengan salah satu warga.
"Maafkan Kami, Pak Ustad. Kami benar-benar takut untuk mengikuti Pak Ustad membagi-bagi makanan. Sejak tadi perasaan Saya tidak enak, seperti ada yang mengintai dari kejauhan," keluhnya.
Pak Ustad hanya bisa mengangguk dan menatap sendu.
"Sebenarnya itu hanya perasaan Bapak saja. Semakin Bapak takut, semakin gencar setan mengganggu. Yang terpenting kita tidak melakukan kesalahan. InsyaAllah akan selalu ada bantuan,"
"Iya, Pak Ustad," jawabnya pasrah.
"Mari, kita lanjut. Langit semakin gelap. Takutnya hujan akan kembali turun. Terima kasih sudah menolong Saya," tutur Pak Ustad dengan lembut.
***
Sementara itu, di rumah Karno--salah satu warga yang ikut pengeroyokan, mati lampu.
Ia yang hanya hidup bersama istri dan mertuanya itu melangkah takut-takut ke arah dapur untuk mengambil lampu teplok yang tergantung di dinding belakang.
Karno menghela napas gusar saat tangannya mulai menggerayangi dinding yang terasa dingin.
Suasana sepi diiringi suara rintik hujan diluar membuat bulu kuduknya meremang.
"Abang! cepetan! gelap ini!" suara teriakan dari dalam kamar membuat Karno terjingkat karena kaget dan ketakutan.
"I--Iya, Dik. Sebentar," jawabnya terbata.
Dengan langkah takut-takut, Karno memasuki dapur dan saat tangannya hendak menyentuh dinding, Ia merasakan sesuatu yang aneh.
Benda lumat dan berlendir. Seketika ia menarik tangannya dan mencium telapak tangannya yang berbau bangkai dan aktif darah.
"Huekkk!" Karno seketika muntah, tak mampu menahan mual dan perutnya yang langsung berputar-putar.
Ctek!
Karno langsung menghidupkan korek gas yang sejak tadi ada digenggamnya dan ...
Matanya seketika membulat sempurna saat Ia mengangkat wajah dan menatap ke arah dinding, di mana lampu teplok itu tergantung.
Tepat disamping lampu teplok, bersandar makhluk mengerikan dengan senyum menyeringai.
Mukanya sebagian gosong dan sebagian lagi penuh dengan borok dan nanah serta darah kental yang mengalir membasahi wajah.
Belatung-belatung bergerombol memenuhi mata yang bolong. Tanpa sadar Karno mundur beberapa langkah dengan kaki yang gemetar hebat.
"Giliranmu, Karno .... ha-ha-ha," sosok mengerikan dengan ikat kepala itu melayang mendekati Karno dengan suara tawa yang membuat jantung Karno seolah rontok seketika.
Peluh mengguyuri wajah dan tubuhnya.
Brukk!
Tubuh itu luruh seketika dan menghentak lantai.
Tak!
Karno mengaduh kesakitan karena kepalanya menghantam lantai keras. Dunianya rasa berputar, samar-samar Ia melihat makhluk itu melayang tepat diatas tubuhnya dan ....
"Aaaa!"
***
"Abang!"
Sintia--istri Karno langsung berlarian begitu mendengar suara Karno yang menjerit dari arah dapur.
Drap-drap-drap!
Tap!
Bertepatan dengan langkah kaki yang baru saja memasuki dapur, lampu menyala. Sintia menghentikan langkah dan pandangannya mengedar ke sekitar.
"Astaga! Abang!"
Tubuh wanita itu langsung luruh mendapati suaminya kini terbaring tak sadarkan diri di lantai dapur yang dingin.
"Abang! Bang!" Ia menepuk pipi suaminya berulang kali tapi tak ada respon sedikit pun.
Tak ingin membuang waktu, Sintia berdiri dan berlarian ke arah kamar orang tuanya yang sedang tertidur lelap.
Dok-dok-dok!
"Pak! Mamak!" Sintia memanggil kedua orang tuanya dan menggedor pintu dengan kuat, hingga dua orangtua itu langsung membuka pintu.
"Ada apa, Sin? kenapa sepertinya kamu sangat khawatir?" tanya mamaknya.
"Itu, Mak ... Bang Karno pingsan di dapur!" ucap Sintia sembari menarik tangan mamaknya, bapaknya menyusul di belakang.
Tergopoh-gopoh dua orang itu mengikuti anaknya dan reaksi yang sama mereka perlihatkan saat melihat Karno yang tergeletak tak bergerak.
"Ayo, kita bawa ke Rumah Sakit saja, nampaknya ini serius," usul bapaknya yang lantas diangguki Sintia dan mamaknya.
"Bapak ke rumah Pak RT dulu pinjam mobil. Kalian tunggu di sini," titah bapaknya Sintia.
"Apa Bapak berani?" tanya istrinya ragu.
"Ya, Mamak sama Sintia tunggu disini," sahut Bapak.
Sintia dan Mamaknya mengangguk pelan dan kembali memfokuskan diri pada Karno.
Baru saja Bapaknya Sintia hendak melangkah ke arah ruang tamu, tiba-tiba terdengar ketukan.
Dok-dok-dok!
Seketika Bapak Sintia menghentikan langkah dan mundur beberapa langkah, sedang Mamaknya Sintia mendekat ke arah Bapak.
"Siapa, Pak?"
****