Rasa di Balik Tawanan

By RidaFrelly

536K 44.1K 3.3K

Harza Prama Hans menikahi Putri Zasha bukan karena cinta, melainkan taktik manipulasi. *** Namanya Putri Zash... More

-1- Rasa di Balik Tawanan
-2- Rasa di Balik Tawanan
-3- Rasa di Balik Tawanan
-4- Rasa di Balik Tawanan
-5- Rasa di Balik Tawanan
-6- Rasa di Balik Tawanan
-7- Rasa di Balik Tawanan
-8- Rasa di Balik Tawanan
-9- Rasa di Balik Tawanan
-10- Rasa di Balik Tawanan
-11- Rasa di Balik Tawanan
-12- Rasa di Balik Tawanan
-13- Rasa di Balik Tawanan
-14- Rasa di Balik Tawanan
-15- Rasa di Balik Tawanan
-16- Rasa di Balik Tawanan
-17- Rasa di Balik Tawanan
-18- Rasa di Balik Tawanan
-19- Rasa di Balik Tawanan
-20- Rasa di Balik Tawanan
-21- Rasa di Balik Tawanan
-22- Rasa di Balik Tawanan
-23- Rasa di Balik Tawanan
-24- Rasa di Balik Tawanan
-25- Rasa di Balik Tawanan
-26- Rasa di Balik Tawanan
-27- Rasa di Balik Tawanan
-28- Rasa di Balik Tawanan
-29- Rasa di Balik Tawanan
-30- Rasa di Balik Tawanan
-31- Rasa di Balik Tawanan
-32- Rasa di Balik Tawanan
-34- Rasa di Balik Tawanan
-35- Rasa di Balik Tawanan
-36- Rasa di Balik Tawanan
-37- Rasa di Balik Tawanan
-38- Rasa di Balik Tawanan
-39- Rasa di Balik Tawanan
-40- Rasa di Balik Tawanan
-41- Rasa di Balik Tawanan
-42- Rasa di Balik Tawanan
-43- Rasa di Balik Tawanan
-44- Rasa di Balik Tawanan
-45- Rasa di Balik Tawanan
-46- Rasa di Balik Tawanan
-47- Rasa di Balik Tawanan
-48- Rasa di Balik Tawanan
-49- Rasa di Balik Tawanan
-50- Rasa di Balik Tawanan
-51- Rasa di Balik Tawanan
-52- Rasa di Balik Tawanan

-33- Rasa di Balik Tawanan

8.8K 965 219
By RidaFrelly

Kita lihat saja nanti, jika semesta telah turun tangan dan ikut campur. Jiwa siapa yang akan diterkam oleh kepedihan dan juga neraka!

-Putri Zasha-

---•••---

Mas Harza
"Jangan pulang ke rumah malam ini, menginaplah di rumah Bu Siena. Soalnya aku ingin menyelesaikan beberapa masalah dengan Zasha tanpa gangguan siapa pun."

Ia menaruh benda pipih itu di atas meja, menelisik lelaki yang sekarang mulai teler di sofa. Dari tadi, sudah berapa kali tegukan ia meminum minuman haram yang sengaja Satya berikan padanya.

"Za ayo pulang, ini sudah malam."

"Ummm... Sat, aku kacau," Harza menunjuk lelaki yang tengah melipat lengan di hadapannya, sesekali telunjuk lelaki itu terayun bersama dengan gelak aneh yang terbentuk tak terarah. "Dia ingin membawa wanitaku."

"Apa yang kamu katakan? Bangun, ayo pulang," ucap Satya dengan tegas. Ia tarik lengan lelaki itu lalu ia kalungkan pada lehernya. Membawa Harza seperti membawa beban hidup, sangat amat berat. Sempoyongan mereka seolah sama-sama mabuk, pada kenyataannya cuma Harza yang separuh kesadarannya telah menghilang.

"Mau ke mana? Sat... Gempa, jalannya getar. Satya, berhenti dulu, kita cari tempat yang aman."

"Ya Tuhan," Satya mempererat dekapannya saat Harza mencoba lepas. Ia bahkan lelah dan susah sekadar menghirup udara yang masuk. "Jika bukan keinginan Zasha, aku tak akan membiarkan kamu mabuk begini, Za. Bukan kasian, tapi benar-benar menyebalkan."

"Tegakkan badanmu, sialan!"

"Zasha..." Harza tergelak tipis. "Dia wanita yang cantik."

"Katakan saja sesukamu, aku capek," ucap Satya yang masih menyeret Harza menuju mobilnya. Tinggal tahap akhir dari pekerjaannya, setelah ini ia membiarkan Harza bertemu dengan Zasha agar wanita itu bisa bertanya sesuka hati. Sebab, Harza selalu hilang kendali, aa maksudnya hilang akal kala sedang mabuk.

"Mau muntah."

"JANGAN DI MOBILKU, SIALAN!"

"Siapa yang berteriak?"

Lagi-lagi Satya meneguk kuat salivanya. Sial, beberapa kali ia mengumpat di dalam hati. Jika terburu-buru membawa mobil, Harza bisa saja muntah dan membuat kotor mobil yang baru saja ia bersihkan. Tapi jika berlama-lama di perjalanan, lelaki itu bisa tak sadarkan diri sampai di rumah.

Pening mulai meresap ke dalam otak Satya. Ia juga menekan kening menahan ngilu. Teringat lagi kata-kata kasar yang terlontar untuk bos gilanya, bagaimana jika Harza ingat, maka akan menjadi perang mulut lagi di antara mereka.

"Satya, mau membawaku ke mana? Satya... Ayo pulang, aku ingin melihat Zasha."

"Ini juga menuju rumah. Kamu pikir aku akan membuangmu ke laut?"

"Dia cantik."

"Iya. Dia cantik, dia menarik atau apalah namanya, terserahmu Harza-"

"Tapi pembunuh."

Satya menoleh sesaat, ia pandangi lagi Harza yang terkapar seraya menyandarkan kepalanya. Tampak sangat rapuh dan penuh sakit, lelehan air matanya juga menetes deras, bahkan, Harza enggan untuk mengusap mengeringkan.

"Aku mencintainya."

"Aku tahu," mau tak mau. Acuh tak acuh. Tetap saja Satya menjawab meski singkat.

"Sangat mencintainya," Satya mengangguk lagi. "Tapi benci juga."

"Siapa? SIAPA! SIALAN! AAH KEPALAKU IKUT SAKIT! SIAPA YANG KAMU CINTAI SEKALIGUS KAMU BENCI, HAH?" Satya kembali menekan dahinya. Sakit sekali.

"Berhenti berteriak, atau aku lempar kamu dari mobilku."

"Dengkulmu! Siapa yang membuang siapa?" semoga saja Harza tak ingat dengan kata-kata Satya selama dirinya mabuk. Jika ingat, ia akan menjadi lebih gila daripada ini.

Pagar rumah Harza terbuka saat mobil milik Satya sampai. Terhenti lalu memandangi netra sendu yang terpancar di sana.

"Turun, aku sudah mengantarkanmu sampai tujuan," ucap Satya, Harza dengan bodohnya mengangguk lalu membuka pintu mobil meski dengan susah payah. Baru satu kakinya keluar, tubuh itu terhuyung lalu terjerambab bertemu tanah. "Menyebalkan sekali bos satu ini."

"Aakkhh... Gempa lagi, bumi ini bergoyang."

Helaan napas Satya terembus gusar, ia tatap Harza yang mencoba untuk membangunkan dirinya sendiri yang masih berjongkok di bawah.

"Anda gak papa, Pak? Bisa bangun sendiri?"

"Bisa. Bisa," jemari Harza terangkat mengayun memberitahu. "Tapi kenapa tanah di rumahku terus bergerak?"

"Karena pemiliknya gila," Satya merogoh saku celananya, mengambil ponsel lalu mengirimkan pesan pada Zasha, ia yakin wanita itu sudah menunggu dari tadi.

"Sudah bangun Pak?"

Harza berjongkok, kedua lengannya terletak di antara lututnya, sesekali menggelengkan kepala menahan rasa ngilu yang menjalar di sekujur otak.

"Sepertinya kamu salah alamat, Sat. Ini bukan rumahku. Tanahnya tak mau diam."

"Di mana ini. Gempanya kuat sekali, aku bisa mati-"

"Mas Harza, Satya."

Satya menoleh, memandangi Zasha yang mulai mendekat ke arahnya. "Tuh, dia udah teler. Bawa masuk."

Dalam anggukan pelan, tangannya terulur lalu meraih lengan Harza meminta untuk bangun. Lelaki itu mendongak, meneliti raut teduh sang istri lalu tersenyum.

"Kamu," Harza menunjuk dengan tawa yang terlihat tenang. "Cantik sekali."

"Mas, ayo masuk."

"Siapa namamu? Kenapa seperti gadis itu... Mmm siapa? Gadis yang pernah aku-"

"Mas bangun!" Zasha menarik kian kuat tangan Harza sehingga mau tak mau lelaki itu bangkit, masih terhuyung tetapi dengan sigap Satya ikut memegangi sehingga Harza tak lagi terjun ke tanah.

"Aku bantu untuk membawanya masuk," kata Satya. Zasha mengangguk lagi sembari tersenyum.

"Ke mana kalian membawaku. Kantor polisi? Aah, kepalaku sakit."

"Lakban aja mulutnya. Dari tadi gak mau diam."

Gelengan pilu Harza membuat Zasha dan Satya membuang kian kasar napasnya. Ia terus memopong tubuh yang sekarang mulai diseret untuk masuk ke dalam, kaki Harza seolah tak lagi berfungsi, ia seperti sedang bermain di antara dua manusia itu.

Bruk..

Terjatuh badannya di kasur milik Harza, lebih tepatnya sengaja terhempas.

"Satya-"

"Jangan pergi..."

Jemari Zasha terasa hangat saat Harza meraih untuk ia genggam. Menunduk Zasha memperhatikan betapa eratnya pegangan Harza di sana.

"Aku pamit," ucapan Satya membuat Zasha kembali mengangkat wajah. "Tugasku sudah selesai, sekarang giliranmu. Tanyakan apa pun yang mau kamu tanyakan padanya, kemungkinan besar, semua yang ada dalam benaknya bisa terlontar di saat-saat seperti ini."

"Terima kasih Satya."

"Siram aja kalau Harza bertingkah tak wajar," usul Satya. "Aku pamit."

Tak tampak lagi punggung Satya yang tertutup oleh pintu, Zasha mulai memegang genggaman itu, ia tatap wajah sendu yang mulai melelapkan netra meski tak sepenuhnya tertutup.

"Mas Harza. Kamu ingat aku?"

"Aku mencintai kamu."

Detak jantungnya berlomba untuk naik, hembusan napasnya tak lagi beraturan. Entah kenapa terasa asing saat Harza mengatakan mencintai dirinya.

"Mas, apa maksud kamu? Bagaimana bisa kamu-"

"Aku... Mencintai kamu... Karina."

Sontak, pegangan tadi terlepas. Perlahan dirinya mundur, memperhatikan sendu dari pandangan lelaki yang sekarang mencoba untuk membangunkan dirinya sendiri. Jemari Harza terulur, menunjuk wajah Zasha penuh tanda tanya.

"Zasha, kan?" tanyanya pelan, lalu terkekeh. "Sang pembunuh."

Mata Zasha terpejam kuat, kedua jemarinya bertaut kian erat. Atas dasar apa Harza menyebutnya pembunuh? Kenapa Harza meyakini dirinya pernah membunuh?

"Kamu membunuh orang yang aku cintai, Zasha!"

"Siapa? Karina?"

Dalam keadaan tertawa, lelaki itu mengangguk kian kencang. "Kamu penyebab kekasihku mati."

"Bukan aku."

"Kamu orangnya. Kamu penyebab kematian Karina!"

"Bukan aku-"

"Kamu mengatakan untuk mati saja daripada menjadi parasit di kehidupan orang lain."

"BUKAN AKU!" sorak keras itu, berhasil membuat Harza tersentak kaget. Ia diam lalu menatap dengan kedipan tampak pilu.

"Saya membencimu, Zasha. Sangat," titahnya lirih. "Saya ingin balas dendam denganmu atas kematian Karina, saya ingin menghancurkan Sazam dan memperumit dirinya di rantau orang," Harza tergelak lagi, ia menepuk kasurnya dengan tawa tak tertahankan. "Saya meminta Mama dan Papa menipu keluargamu, menyuruh orang-orang itu mengacak ladang dan juga sawah milikmu, membohongi serta membuat kalian rugi hingga berutang kepada keluarga saya. Boom! Berhasil! Kamu terlibat lebih jauh dengan cara datang menyerahkan diri untuk disakiti."

Zasha terdiam kikuk, kedua lututnya seolah ngilu dan juga lemah. Ingin terjatuh tubuh yang sedang berdiri tegap itu, tapi untuk apa? Tak ada gunanya menangisi segala hal yang memang sudah ia ketahui walaupun tak sedetail ini, bahkan kebencian Harza padanya sama dengan rasa benci Zasha untuk lelaki yang sekarang menjadi suaminya.

"Satya benar, kamu memperjelas segalanya saat-saat seperti ini, Mas."

"Tapi... Tapi kenapa hati saya sakit, Zasha?"

Kedua mata Zasha tersingkap nyalang, bukan tanpa alasan ucapan Harza terlontar, sebab. Ia melihat sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dalam benaknya setelah menemukan sebuah lukisan di bawah tempat tidur Harza, semua kembali runyam berkecamuk.

"Saya harus membohongi ini," kata Harza seraya menepuk dengan brutal dadanya. "Jauh-jauh dari saya, Zasha! Jangan menampakan wajah sok cantik lagi di hadapan saya-"

"Mas Harza," Zasha mengabaikan teriakan Harza, mendekat ia sehingga lelaki itu mendongak. "Kenapa ada lukisanku di bawah tempat tidurmu. Gambar usang di sana, sudah aku cari di setiap ruangan sekolah, ternyata ada di sini," Zasha melepas rematan jemarinya. Masih banyak yang ingin ia tanyakan sebelum Harza tepar.

"Aa. Itu gambar yang dibuat Sazam saat lomba sekolah," Zasha mengangguk dengan cepat. "Itu terlalu cantik untuk dipajang di sekolah."

"Tapi kamu menguburkannya di bawah tempat tidurmu, Mas?"

"Karena itu lebih baik," ucap Harza dengan seringaiannya. "Melihatmu selalu membuatku takut sekaligus panik. Mana boleh," ia mengangkat telunjuknya, Harza kibas seirama dengan gelengan kepala. "Saya gak boleh jatuh cinta, saya gak boleh tertarik dengan kecantikamu. Gak boleh! Karena benci harus menjadi benci untuk selamanya."

"Ternyata kamu mulai mencintaiku, Mas?"

"No!" senyum Harza kembali terbit, lengkungan tipis di sudut bibirnya membuat Zasha mengernyitkan kening heran. "Saya sudah jatuh hati sebelum kamu membunuh Karina."

Deg..

"Duluuuu... Duluu sekali. Tapi-" ucapan Harza terjeda, ia menghela napasnya dengan sangat gusar lalu menunduk memandangi lantai. "Saya juga sangat mencintai Karina, gadis pertama yang bisa membuat saya tertawa hanya Karina. Dia baik, cantik dan juga sangat periang. Kenapa? Kenapa kamu dan kakakmu membunuh Karina, Zasha?"

"Bukan aku," getaran di bibir Zasha kentara sangat jelas. Buliran bening menumpuk siap untuk meluncur. "Bukan aku, bukan kami penyebab matinya Karina. Dia sendiri yang mengakhiri hidupnya. Kamu salah paham, Mas."

"Kamu pembunuh. Sha..."

Sekali lagi, membisu Zasha. Tegak seolah terikat di beberapa bagian tubuh yang berdetak. Kedua jemari tergenggam kian rapat bahkan deru napas terbuang semakin kencang.

"Hanya karena gadis itu kamu menghancurkanku, Bang Sazam bahkan Umi dan Abi, Mas. Kamu penyebab luka keluargaku, kamu penghancur semua harapan Umi dan Abi tentang ladang dan juga sawah yang telah mereka bangun dengan peluh yang menetes deras. Kamu akibat sakit dan pedih hati Umi, kamu penyebab rapuh dan kegundahan Abi," Zasha mulai kembali pada dirinya, kelembutan tak lagi tersampaikan ketika amarah mengambil alih. Ia tak menyebutkan nama lagi saat berucap, dan ini pertanda kebencian Zasha semakin meluap.

"Tapi lihatlah sekarang, putri tersayang mereka justru menikahi putra dari keluarga kaya raya penyebab hancur lebur perasaannya. Putri yang mereka lepaskan agar mendapatkan bahagia, malah menyerahkan hidup dalam kesakitan keluarga Hans, sang pembuat luka terhebat untuk keluarganya."

"Mas Harza," dari tetesan kecil hingga meluncur kian deras, Zasha menekan kalimat yang terucap dalam getaran dan sesak napasnya. "Jangan berharap dapat balasan atas sebuah perasaan dariku. Jangan berharap dicintai balik oleh wanita yang sekarang berada tepat di hadapanmu. Jangan berharap tenang selama aku masih hidup dan bernapas. Satu lagi, jangan pernah merasakan bahagia, hiduplah bersama kesakitan sebab kamu dan keluargamu, sudah membuat Umi dan Abi tersiksa."

"Ini sumpah dari orang-orang yang telah kamu hancurkan."

Terdiam Harza dalam beku. Entah ia bisa meresapi kalimat yang terlontar, atau bisakah ia mengingatnya nanti jika Harza telah bangun. Terulur jemari lelaki itu, mengusap tangisan dengan ekspresi tanpa beban, Zasha memundurkan tubuh.

"Kamu membenci saya juga ternyata."

"Haaa... Dunia ini terlalu kejam ketika mempertemukan kita dan menjadikan kita sedekat ini, ya?" meski tertatih dan sulit, Harza berhasil untuk bangkit dan berdiri di hadapan Zasha, ia tundukan wajahnya lalu bersandar di bahu wanita itu, Zasha membeku di tempat kala wajahnya bertemu dengan surai milik Harza.

"Karin..." perlahan, kedua lengan Harza melingkar erat lalu memeluk. "Kamu di mana? Aku cari gak ketemu, justru Adam yang kutemui di sini."

Seteguk air liur Zasha meluruh, dalam keadaan meracau pada bahunya, lelaki tadi mengusap punggung Zasha menepuk halus. "Aku rindu kamu, Karina."

"Karin-"

Zasha mencengkram bahu Harza lalu melempar lagi hingga ia terjatuh keras di ranjang. Sorot mata menajam dari Zasha mengunus lelaki yang menekan kuat pinggangnya.

"AKU ZASHA! PUTRI ZASHA! BUKAN KARINA!"

"DENGAR BAIK-BAIK LAKI-LAKI BIADAP! AKU ZASHA! ZASHAA!" bentak Zasha penuh dengan amarah.

"KAMU LIHAT SAJA NANTI, SIAPA YANG AKAN MENANGISI KEPERGIANKU MELEBIHI TANGISMU ATAS KEPERGIAN KARINA."

"KAMU ATAU AKU YANG AKAN MERASAKAN KESAKITAN JIKA SEMESTA TELAH MENGUBAH TAKDIRNYA.

Zasha menunjuk Harza. Sekuat tatapan penuh rasa pedih, gemelutuk dari giginya menahan kegeraman terdengar. Sekali lagi Zasha membuang habis napasnya, mengusap lelehan yang tertumpah lalu berucap.

"Kita lihat saja nanti Mas Harza. Siapa yang akan menerima neraka dari perasaan gila ini!"

Deg...

Tubuh Zasha membeku, sejak kapan laki-laki itu bangkit, karena setelah berbalik badan beberapa detik saja Harza mendekapnya dengan erat dari belakang, kedua lengan Harza melingkar di perutnya dan Harza, menangis terisak di sana.

"Saya sudah menemui neraka semenjak membawamu ke sini, Sha. Kamu neraka dalam hidup saya. Kamu siksa paling pedih yang terus mengusik. Kamulah... Neraka itu, Zasha!"

---•••---

Eheemm...
Aku datang 💃💃
Mohon maaf jika cerita ini bolak balik kagak jelas ya. Dan sangat susah dipahami. Tapiii..
Ya gak tau, aku juga puyeng.
Jangan lupa vote dan komennya ya kak.
Lope sekebonn 😍

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 23.4K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.7M 136K 60
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
1.6M 23.2K 25
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
516K 37.2K 37
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...